Sabtu, 25 April 2020

Sejarah Bogor (30): Sejarah Kedung Badak dan Cilebut, Batas Gemeente Buitenzorg; Riwayat Tanah Partikelir Tempo Doeloe


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Kedung Badak dan sejarah Cilebut bukanlah baru. Dua nama tempat ini memiliki sejarah yang sudah tua di Bogor. Sejak era VOC dua nama tempat yang bertetangga sudah dikenal luas. Pada era Pemerintah Hindia Belanda dua nama tempat ini dipisahkan. Kedong Badak dimasukkan ke dalam kota, sementara Tjileboet berada di luar kota tetap sebagai tanah partikelir (land). Pembebasan land di Buitenzorg dimulai pada era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811). Namun kapan land Kedong Badak dan land Tjileboet dibebaskan masih perlu ditelusuri. Kini, area Kedong Badak menjadi metropolitan baru di Kota Bogor.

Lahan-lahan di hulu sungai Tjiliwong mulai dikapling-kapling menjadi tanah-tanah partikelir bermula ketika Abraham van Riebeeck tahun 1703 sepulang ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong diberi izin oleh Pemerintah VOC untuk mengelola lahan di Bodjongmanggis (kini Bojong Gede). Ketertarikan Abraham van Riebeeck membuka lahan karena land Bodjongmanggis memiliki tanah yang subur, lebih-lebih setelah Cornelis Chastelein membuka lahan baru di Depok. Sebelum Cornelis Chastelein memperluas lahannya di Serengseng ke Depok, Majoor Saint Martin sudah lebih dahulu mengakuisisi land Tjitajam (land terbaik di hulu sungai Tjiliwong). Majoor Saint Martin, Chastelein dan Abraham van Riebeeck adalah peminat botani yang terkenal. Pada tahun 1701Michiel Ram dan Cornelis Coops membuat peta baru di hulu sungai Tjiliwong. Nama-nama tempat yang diidentifikasi adalah kampong-kampong Babakan, Bantar Djati, Kampong Baroe, Kedong Dalam dan Kedong Waringin. Pada saat itu kampong Kedong Waringin tampaknya lebih terkenal dari kampong Kedong Badak.

Lantas apa hebatnya land Kedong Badak? Yang jelas di Kedong Badak ada jembatan utama yang menghubungkan Batavia dan Buitenzorg. Jembatan ini awalnya dirintis oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff (1743-1750). Jembatan ini kemudian direkonstruksi dengan jembatan beton pada era Pemerintah Hindia Belanda tahun 1818 (lihat Bataviasche courant, 11-04-1818). Tentu saja biaya pembuatannnya mahal, karena itu kendaraan yang lewat dipungut tol. Jembatan tersebut kini dikenal sebagai jembatan Warung Jambu. Namun yang kini dipungut tol adalah jembatan (flyover) Kedung Badak. Antara jembatan tol masa lalu tersebut dengan jembatan flyover masa kini pada era pendudukan militer Jepang terdapat kamp interniran Eropa-Belanda. Lalu apa hubungannya land Kedong Badak dengan land Tjileboet? Jika warga Kedong Badak ingin naik kereta api harus ke stasion Tjileboet. Okelah, untuk lebih menambah pengetahuan, dan wawasan sejarah nasional di Bogor, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kelurahan Kedung Badak dan Kelurahan Kedung Waringin (Now)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.  

Nama Kedong Badak dan Tjileboet: Jembatan Tol

Nama Kedung Badak paling tidak sudah dicatat pada era VOC tahun 1779 sebagai titik pengukuran ketinggian air sungai Tjiliwong (lihat Verhandelingen van het Bataviaasch genootschap, der konsten en weetenschappen, 1784). Disebutkan ketinggian air sungai Tjiliwong di Godong Badak empat meter selama bulan Juli 1779. Ketinggian air ini tentu saja sangat tinggi dan pencatatannya dilakukan di Kedong Badak (kini pencatatan dilakukan di Katulampa).

VOC memulai koloni di sungai Tjiliwong pada tahun 1619 dengan membangun benteng di sisi timur muara sungai Tjiliwong. Di dalam benteng ini semua aktivitas VOC dipusatkan. Benteng ini kemudian dikenal sebagai Kasteel Batavia. Pada tahun 1667 VOC mulai mengubah kebijakannya dari perdagangan yang longgal dengan penduduk asli di kota-kota pantai menjadi kebijakan baru yang mana pendudukan dijadikan sebagai subjek. Untuk memperluas wilayah subjek di jauh dari benteng Kasteel Batavia pemerintah VOC mengirim satu ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong pada tahun 1687. Ekspedisi ini dipimpin Sersan Scipio, Tim ekspedisi ini kemudian membangun benteng di titik singgung terdekat antara sungai Tjiliwong deng sungai Tjisadane. Benteng tersebut kemudian disebut Fort Padjadjaran (kini posisi GPSnya berada di Istana Bogor). Untuk menjajaki kemungkinan kerjasama dengan pemimpin lokal, pada tahun 1703 kembali suatu ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong. Tim ekspedisi ini langsung dipimpin setingkat direktur yakni Abraham van Riebeeck. Rute yang dilalui ekspedisi ini adalah sisi barat sungai Tjiliwong dari Tjililitan, Pondok Tjina, Depok, Pondok Terong, Bodjong Manggis dan Parong Angsana. Tidak lama sepulang ekspedisi ini pemerintah VOC memberi izin kepada Abraham van Riebeeck untuk membuka lahan di Bodjongmanggis (kini Bojong Gede). Abraham van Riebeeck sebelumnya sudah memiliki land di Tangerang dan Bekasi. Inilah awal adanya land (tanah partikelir) di hulu sungai Tjiliwong. Satu yang penting dari pembukaan land di hulu sungai Tjiliwong adalah pembelian land Bloeboer oleh Gustaaf Willem baron van Imhoff untuk membangun villa di dekat Fort Padjadjaran pada tahun 1745. Area villa ini kemudian disebut Buitenzorg (yang menjadi awal nama wilayah Buitenzorg).

Keberadaan (land) Kedong Badak diketahui kembali pada tahun 1816 (lihat Java government gazette, 06-07-1816). Disebutkan seorang Cina Tjong Seeng tinggal di Landgoed Kedong Badak. Tidak ada keterangan apakah Tjong Seeng sebagai penyewa atau pemilik land (seperti kita lihat nanti apakah nama Tjong Seeng yang menjadi asal usul nama Tjiseeng).

Bataviasche courant, 26-12-1818
Nama Kedong Badak semakin terkenal sehubungan dengan pembangunan baru jembatan di atas sungai Tjiliwong di Kedong Badak. Pada tahun 1818 desain arsitek Hort ditawarkan ke publik untuk membangun suatu istal di Buitenzorg dan untuk membangun jembatan di atas Tjieliwoug di Kedong Badak (lihat Bataviasche courant, 11-04-1818). Pembangunan harus dilakukan sesuai dengan rencana dan profil yang dapat mengambil berkasnya di kantor Departemen bangunan sipil. Tertanda JC Schultze. Batavia, April 1818. Catatan: Jembatan ini pada dasarnya untuk menggantikan jembatan yang sudah ada sejak era Gubernur Jenderal VOC van Imhoff (1743-1750) sehubungan dengan pembangunan villa Buitenzorg. Jembatan ini kini dikenal sebagai jembatan Warung Jambu.

Pada tahun 1818 land Tjiliboet dijual oleh pemiliknya J van den Berg yang bertempat tinggal di Kedong Badak (lihat Bataviasche courant, 26-12-1818). Siapa pembeli landgooed Tjileboet tidak diketahui secara jelas. Pada tahun-tahun sangat banyak terjadi mutasi kepemilikan lahan di seputar Buitenzorg termasuk land Djasingan en Bolang. Tentu saja land Tjiliboet maupun land Kedong Badak harganya belum terlalu tinggi lebih-lebihkarena belum lama terjadi transisi dari kekuasaan Inggris ke kekuasaan Belanda.

Untuk meningkatkan produktivitas lahan di sekitar Buitenzorg pada tahun 1821 mulai meningkatkan kanal-kanal lama dan mengembangkannya lebih lanjut. Kanal Bondongan di sungai Tjipakantjilan yang airnya jatuh ke sungai Tjisadane diangkat dengan membangun kanal baru melalui Paledang dan airnya digunakan untuk mengairi lahan di hilir di Kedong Badak dan Tjiliboet. Kanal ini dibangun tahun 1776-1777. Kanal yang disebut kanal Tjipakantjilan di Paledang ditingkatkan kembali pada tahun 1821 untuk mennmbahh debit air. Di atas kanal ini kemudian dibangun jembatan yang kemudian disebut Roode Brug ( dan oleh penduduk disebut Djambatan Merah), Kanal di hilir ini yang juga disebut sungai Tjipakantjilan sebagiam airnya masuk ke sungai Tjiliwong (di Kedong Badak) setelah mengairi persawahan dan sebagian airnya diintegrasikan dengan sungai Tjileboet. Kanal yang baru (sungai Tjipakantjilan) ditingkatkan inilah yang kemudian meningkatkan value lahan-lahan di hilir Buitenzorg.

Untuk mengefektifkan jalannya pemerintahan di seluruh Hindia Belanda, pada tahun 1826 pemerintahan pusat melakukan penataan ulang pemerintahan dan membentuk cabang-cabang pemerintahan yang baru termasuk di Afdeeling Buitenzorg (lihat Bataviasche courant, 04-10-1826). Residentie Buitenzorg dilebur ke Residentie Batavia. Di Afdeeling Buitenzorg ditempatkan seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Buitenzorg. Sejak pendudukan Inggris status Buitenzorg adalah sebuah Residentie yang dipimpin oleh seorang Residen.

Demangschap Paroeng, Buitenzorg
Sehubungan dengan pengangkatan Asisten Resident Buitenzorg (beserta perangkatnya), juga diangkat Bupati (beserta perangkatnya, seperti kepala penghoeloe dan djaksa). Selain itu dibentuk empat district yang masing-masing dikepalai oleh seorang Demang, Keempat district tersebut adalah Tjibinong, Paroeng, Djasinga dan Tjibaroesa. Untuk district Paroeng ditambahkan seorang wakil Demang. Hal ini karena District Paroeng sangat luas. Dalam hal ini land Kedong Badak dan land Tjiliboet masuk dalam wilayah District Paroeng.

Secara keseluruhan Asisten Residen Buitenzorg membawahi dua Bupati dan empat demang. Dua bupati tersebut berada di Buitenzorg. Bupati pertama memimpin penduduk di tanah-tanah pemerintah (gouvernementslanden) yang meliputi ibu kota Buitenzorg atau Bogor (di Empang), Pasar, Bloeboer dan Kampong Baroe; sedangkan bupati yang kedua mencakup wilayah-wilayah tanah partikelir di Buitenzorg yakni Tjisaroea, Pondok Gede, Tjikopo, Tjiawi, Tjitjoeroek,Tjiomas dan Dramaga. Besar dugaan bahwa tanah-tanah partikelir yang telah dibebaskan pada era Gubernur Jenderal Daendels (sebelum pendudukan Inggris) adalah empat land pemerintah di Buitenzorg yang disebutkan. Sementara lahan-lahan lainnya sejauh ini masih berada di tangan swasta.

Pada tahun 1829 dilaporkan jumlah pasar yang telah diratifikasi pemerintah (lihat Javasche courant, 15-12-1829). Dua diantara pasar-pasar tersebut adalah Pasar Paroeng dan Pasar Buitenzorg (milik pemerintah). Pasar terdekat lainnya berada di Tjiampea dan Tjibinong.

Untuk mendukung pengembangan wilayah dan memajukan perekonomian pemerintah menetapkan kelas jalan berdasarkan beslit (lihat Javasche courant, 30-01-1836). Jalan kelas satu termasuk jalan post Batavia ke Buitenzorg hingga ke Megamendoeng terus ke Preanger dan jalan dari Batavia melalui Tangerang hingga Bantam. Jalan kelas satu (nasional) ini merupakan jalan pos trans-Java yang pembangunannya digagas pada era Gubenur Jenderal Daendels (1808-1911). Berdasar beslit (undang-undang) ini, untuk kategori jalan kelas dua (wilayah) diantaranya adalah jalan dari Parapattan (Tjikinie) hingga Pondok Terong (land Tjitajam). Jalan kelas dua lainnya adalah dari Buitenzorg melalui Tjiampea dan Djasinga terus ke Bantam; dan jalan dari Buitenzorg melalui Semplak, Koeripan, Paroeng hingga ke Tangerang. Jalan melalui Semplak berada di sisi barat land Tjileboet. Sedangkan jalan disi timur land Tjileboet adalah jalan lama (jalan kuno) dari Buitenzorg melalui Pabaton, Toegoe, Kebon Pedes di Land Kedong Badak terus ke utara (landhuis Tjileboet) terus ke Bodjong Gede dan Pondok Terong (land Tjitajam). Jalan ini berada di sisi barat sungai Tjiliwong.  

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar