Rabu, 22 April 2020

Sejarah Air Bangis (25): Alamsjah dan Abdoellah gelar Toeankoe Radja Moeda di Air Bangis; Republiken Sejati di Jogjakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disin

Siapa Alamsjah? Yang jelas bukan Sakti Alamsjah (pendiri surat kabar Pikiran Rakyat Bandung yang pernah saya bertemu tahun 1981). Hampir semua orang tidak mengetahui siapa Alamsjah dan hanya sedikit yang mengenalnya. Alamsjah adalah anak seorang pemimpin berpengaruh di Air Bangis. Alamsjah merantau kali pertama melanjutkan studi sekolah budidaya (Cultuutschool) di Soekaboemi pada tahun 1914. Pada tahun yang sama Abdul Azis Nasution gelar Soetan Kanaikan lulus sekolah menengah pertanian (Middelbare Landbouwschool) di Buitenzorg.

Abdul Azis Nasution setelah lulus sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock (Bukittinggi) tidak menjadi guru, tetapi melanjutkan studi ke sekolah pertanian (Landbouwschool) di Buitenzorg. Pada tahun 1913 Abdul Azis Nasution lulus tingkat dua dan naik ke tingkat tiga (Bataviaasch nieuwsblad, 06-08-1913). Sekolah yang lama kuliahnya tiga tahun ini, pada tahun 1913, namannya diubah menjadi Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool). Abdul Aziz lulus pada tahun 1914. Ini berarti Abdul Azis Nasution adalah alumni pertama Sekolah Menengah Pertanian Bogor (Middelbare Landbouwschool). Pada tahun ini juga (1914), Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, anak Padang Sidempuan, pionir pribumi kuliah di luar negeri (tiba di Belanda, 1905) pulang ke tanah air dan untuk sementara ditempatkan di sekolah eropa di Buitenzorg (Bogor) sebelum menjadi kepala sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock (tahun 1915). Besar kemungkinan Soetan Casajangan telah bersua dengan Abdul Azis Nasution dan Alamsjah. Jelang kepulangan Soetan Casajangan ke tanah air telah bersua dengan Sorip Tagor di Belanda. Sorip Tagor lulus sekolah kedokteran hewan (Veeartsenschool) Buitenzorg tahun 1912 dan diangkat menjadi asisten dosen lalu pada tahun 1913 berangkat melanjutkan studi ke Belanda. Sorip Tagor adalah angkatan pertama Veeartsenschool yang dibuka pada tahun 1907. Sorip Tagor Harahap, kelahiran Padang Sidempoean adalah ompung dari Inez/Risty Tagor.

Sudah barang tentu Alamsjah dan Abdul Azis Nasution saling mengenal. Kampong mereka saling berdekatan. Alamsjah lahir dan besar di Air Bangis sedangkan Abdul Azis Nasution gelar Soetan Kanaikan lahir dan besar di Moeara Kiawai (kota dimana muara sungai Batang Kiawai bermuara di sungai Batang Kanaikan). Lantas siapa Abdoellah gelar Toeankoe Radja Moeda? Seperti halnya Alamsjah, Toeankoe Radja Moeda juga kurang terinformasikan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Alamsjah Bukan Orang Biasa

Sekolah budidaya (Cultuutschool) berbeda dengan sekolah pertanian (Landbouwschool). Cultuutschool adalah sekolah yang baru. Rencana pendirian sekolah ini diberitakan pada tahun 1911 dan akan diselenggarakan di Buitenzorg (lihat De Preanger-bode, 27-05-1911). Namun sekolah ini akhirnya ditetapkan di Soekaboemi yang dibuka pada tahun 1912.

Sementara itu di Buitenzorg sudah ada Landbouwschool yang sudah terselenggara sejak tahun 1903. Juga di Buitenzorg sudah ada sekolah kedokteran hewan (Veeartsenschool) yang penyelenggaraannya dimulai pada tahun 1907. Cultuutschool akan diselenggarakan untuk melatih para pemuda untuk perkebunan dan pertanian. Dimana tmpat Cultuutschool diselenggarakan sempat diusulkan agar dipindahkan dari Buitenzorg ke Bandoeng (lihat Algemeen Handelsblad, 20-02-1912). Lalu keputusan terakhir tidak menetapakan di Buitenzorg dan juga tidak di Bandoeng tetapi di Soekaboemi (lihat De Preanger-bode, 15-10-1912).

Pada tahun 1914 anak Air Bangis, Alamsjah diterima di Cultuutschool. Sekolah ini tidak hanya pribumi juga siswa Eropa-Belanda dan Tionghoa. Sekolah ini terdiri dua afdeeling (Afdeeling A Boschbouw dan Afdeeling B Cultures). Sementara Landbouwschool hanya ditujukan untuk siswa pribumi. Pada tahun 1915 Alamsjah naik kelas dari kelas satu ke kelas dua (lihat De Preanger-bode, 01-06-1915).

Alamsjah berada di Afdeeling A Kehutanan. Mengapa Alamsjah memilih jurusan kehutanan diduga terkait dengan dibukanya perkebunan di District Air Bangis dan District Ophir oleh investor besar. Yang satu angkatan dengan Alamsjah di Afdeeling A sebanyak 19 siswa naik kelas dan lima siswa gagal (DO). Yang naik kelas di atas Alamsjah dari kelas dua ke kelas tiga Afdeeling A diantaranya A Hakim Siregar. Sedangkan yang lulus dengan diploma di Afdeeling A sebanyak 21 siswa (lulus semua); di Afdeeling B lulus sebanyak 14 siswa (gagal tiga orang).

Alamsjah dinyatakan lulus dari sekolah Cultuutschool pada tahun 1918 (lihat De Preanger-bode, 28-05-1918). Alamsjah harus menyelesaikan perkuliahan selama empat tahun. Tidak diketahui secara jelas apakah pernah mengulang atau menunda setahun. Alamsjah kemudian ditempatkan sebagai pengawas kehutanan di Oostkust van Sumatra (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 09-11-1918). Pada tahun 1922 Alamsjah pulang kampung, sebagai Manajemen Kehutanan (Beheershoutvester) di Sumatra’s Westkust (lihat De Sumatra post, 14-09-1922).

Setelah Abdul Azis Nasution lulus Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool) di Buitenzorg diangkat pemerintah sebagai advisor pertanian di berbagai tempat: Tapanoeli, Priaman, Painan, Pajacombo, dan Atjeh. Tugas ini dilaksanakan Abdul Azis beberpa tahun hingga akhirnya diangkat pemerintah menjadi kepala sekolah pertanian (landbownormaalscholen) di Padang Pandjang. Namun dalam perjalanannya, sekolah Landbownormaalscholen di Padang Pandjang macet karena kondisi keuangan pemerintah.

Alamsjah kembali bertemu seniornya Abdul Azis Nasution dengan tugas yang berbeda di Residentie West Sumatra. Alamsjah bekerja sebagai pengawas manajemen kehutanan dan Abdul Azis Nasution sebagai kepala sekolah guru pertanian (landbownormaalscholen) di Padang Pandjang. Mereka berdua adalah pionir-pionir pertanian dan kehutanan di Residentie West Sumatra yang justru berasal dari daerah terpencil (Moeara Kiawai dan Air Bangis).

Meskipun sekolah pertanian di Padang Panjang macet, Abdul Azis Nasution tidak kehilangan akal. Guru tetaplah guru, pertanian juga tetaplah pertanian. Abdul Azis kemudian lalu berinisiatif mendirikan sekolah pertanian swasta di Loeboeksikaping (ibu kota onderafdeeling Loeboeksikaping, Afdeeeling Agam, Residentie West Sumatra). Uniknya, sekolah pertanian ini kurikulumnya mengintegrasikan pendidikan pertanian, pendidikan agama dan praktek dengan sistem asrama. Karena itu orang Belanda menyebutnya sebagai Mohammedaansch Lyceum. Guru-guru pertanian direkrut dari sekolah menengah pertanian Buitenzorg, sedangkan guru-guru agama dari  Universitas Al Azhar di Kairo (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 21-12-1925). Pada bulan Mei diketahui Alamsjah dan Abdul Azis Nasution berangkat dari Paneh ke Medan dengan menumpang kapal ss Singaradja (lihat De Sumatra post, 02-05-1925). Besar dugaan mereka berdua tengah mempromosikan sekolah pertanian di Loeboeksikaping di wilayah Tapanoeli dan Oost van Sumatra.

Tiga tahun kemudian Alamsjah mendapat kenaikan pangkat menjadi Opzichter lste klasse di lingungan Boschwezen in Nederlandsch-Indie di West Sumatra (lihat De Indische courant, 08-08-1928). Pangkat ini merupakan pangkat tertinggi sebagai pegawai pemerintah dari kalangan pribumi. Alamsjah kemudian dipindahkan ke Riauw (lihat De locomotief, 02-09-1929). Dalam perkembangannya tugas Alamsjah juga meliputi wilayah Djambi. Pada tahun 1936 Alamsjah dipindahkan dari Riouw-Djambi ke Atjeh (lihat De Indische courant, 04-08-1936).

De Sumatra post, 13-05-1938
Alamsjah tidak lama di Atjeh. Selama dua puluh tahun mengabdi untuk rakyat sebagai pegawai pemerintah, termasuk di kampong halaman di West Sumatra, Alamsjah sudah waktunya untuk pensiun untuk memulai kegiatan lain. Alamsjah tidak pulang kampong di Air Bangis tetapi ke West Java. Namun bukan ke Soekaboemi tempat sekolahnya tempo doeloe, tetapi ke Bandoeng. Alamsjah memiliki pengalaman yang menegangkan di Bandoeng pada tahun 1915 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-09-1915). Boleh jadi pengalaman itu tidak dilupakan, karena itu untuk hidup menetap di masa tua di pilih di Bandoeng.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Abdoellah gelar Toeankoe Radja Moeda

Sementara Alamsjah pensiun, Abdoellah gelar Toeankoe Radja Moeda di Air Bangis tengah lagi naik daun. Abdoellah gelar Toeankoe Radja Moeda terpilih sebagai salah satu anggota dewan daerah Minangkabauraad di Padang (lihat De Sumatra post, 13-05-1938).

Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie, 1941
Dewan daerah (residentie) West Sumatra baru terbentuk pada tahun 1938. Sementara dewan daerah tetangga di onderafdeeeling Angkola en Sipirok (Residentei Tapanoeli) sudah terbentuk sejak 1920. Dewan daerah (gewest) Angkola en Sipirok, Tapanoeli termasuk salah satu di Hindia Belanda yang dibentuk pertama. Penduduk secara keseluruhan terwakili melalui anggota dewan (pribumi) dalam mengontrol pemerintah dan berpartsiipasi dalam pembuatan aturan hukum dan usulan program-program pembangunan. Dewan daerah (gewest) tidak banyak di Hindia Belanda, umumnya dewan yang ada adalah dewan kota (gemeenteraad) yang hanya terbatas di kota-kota saja. Dewan kota (gemeenteraad) di Residentie Tapanoeli terdapat di Padang, Fort de Kock, Padang Pandjang dan Sawahloento. Di Kota Padang, salah satu anggota dewan kota senior (wethouder) adalah Dr. Abdul Hakim Nasution. Sebagai anggota dewan paling senior, Dr. Abdul Hakim Nasution juga merangkap sebagai Wakil Wali Kota (Burgemeester) sejak 1931 (hingga berakhirnya era kolonial Belanda, 1942).

Selain anggota dewan terpilih Abdoellah gelar Toeankoe Radja Moeda juga anggota dewan yang terpilih adalah Abdul Azis Nasution gelar Sutan Kenaikan. Ini sangat menarik karena Onderafdeeling Air Bangis dan Onderafdeeling terwakili di dewan daerah West Sumatra. Dalam hal ini masing-masing onderafdeeling dipimpin oleh seorang demang dan dibantu asisten demang. Onderafdeeling Air Bangis terdiri dari dua dua onderdistrict yakni Onderdistrict Air Bangis dan Onderdistrict Oedjoeng Gading. Sementara ondeerafdeeeling Ophir terdiri dari tiga onderdistrict yakni Talamau, Tjoebadak dan Pasaman. Kampong (nagari) Moeara Kiawai berada di Onderdistrict Tjoebadak. Abdoellah gelar Toeankoe Radja Moeda adalah kepala nagari (onderdistrict) Air Bangis sedangkan Abdul Azis Nasution gelar Sutan Kenaikan adalah tokoh penting (yang berasal) dari nagari (onderdistrict) Tjoebadak.

Sumatra-bode, 21-11-1914
Nama Abdul Azis Nasution gelar Sutan Kenaikan muncul menjadi anggota dewan daerah Minangkabauraad pada pertengahan Juli 1938 (lihat Sumatra post, 26-07-1938). Abdul Azis yang sudah populer dan merakyat itu dengan mulus menuju Padang (lihat De Sumatra post, 14-01-1939). Boleh jadi, dari 32 orang anggota dewan, Abdul Azis Nasution adalah satu-satunya yang memiliki marga yang menjadi anggota dewan di ranah Minangkabau. Anggota dewan umumnya orang-orang Belanda dan tokoh-tokoh Minangkabau. Tionghoa dalam dewan yang baru ini diwakili oleh satu orang bernama Tjo Sim Soe (Letnan China). Abdoellah gelar Toeankoe Radja Moeda dan Abdul Azis Nasution gelar Sutan Kenaikan adalah dua tokoh penting dari ‘dapil’ Onderfadeeeling Air Bangis dan Onderafdeeling Ophir (Afdeeling Agam, Residentie West Sumatra). Dua tokoh ini mengingatkan saya beberapa puluh tahun lalu (1993) ketika saya dari Jakarta (FEUI) memimpin suatu survei di Provinsi Sumatra Barat dimana tim kami menginap (kost beberapa hari) di rumah Om Masran Nasution dan Uci Is di pusat kota Bukittinggi. Saya ingat betul Om Masran Nasution berasal dari Cubadak dan Uci Is berasal dari Air Bangis. Salam lungun Om Masran jika kebetulan membaca artikel ini (ada kalanya sejarah itu tidak bisa diduga). Bolehlah artikel ini didedikasikan kepada Om Masran dan Uci Is.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Republiken Sejati di Jogjakarta

Belum tiba waktunya berakhir masa keanggotaan Minangkabauraad, terjadi pendudukan militer Jepang pada tahun 1942. Minangkabauraad yang juga beranggotakan orang-orang Belanda dengan sendirinya mati suri dan kemudian benar-benar berakhir. Abdoellah gelar Toeankoe Radja Moeda dan Abdul Azis Nasution gelar Sutan Kenaikan juga berakhir sudah. Dua tokoh yang sudah berumur dari Air Bangis dan Ophir ini pun pensiun. Namun tidak demikian dengan Alamsjah di Bandoeng. Alamsjah tengah menjalankan bisnis di Bandoeng.

Pada saat pendudukan militer Jepang, hubungan Alamsjah dengan seorang (mantan) taruna KNIL Abdul Haris Nasution kembali terjadi di Bandoeng. Perkawanan mereka di Bandoeng sudah dimulai di Bandoeng sejak 1937 ketika Abdul Haris Nasution mengikuti pendidikan guru di Bandung, sementara Alamsjah menyusul ke Bandoeng untuk bermukim setelah pensiun sebagai pengawas kehutanan di Atjeh. Bandoeng saat itu belumlah ramai, sementara warga asal Sumatra di Bandoeng belum begitu banyak. Persahabatan Alamsjah dan Abdul Haris Nasution yang berbeda generasi ini menjadi kental karena kampong mereka saling berdekatan: Alamsjah lahir tahun 1900 dan besar di Air Bangis dan Abdul Haris Nasution lahir tahun 1918 dan besar di Kotanopan (hanya dibatasi oleh gunung Malintang).

Persahabatan Abdul Haris Nasution dengan Alamsjah semakin menguat setelah Abdul Haris Nasution kembali ke Bandoeng pada tahun 1940 untuk mengikuti dinas militer Belanda (untuk menjadi taruna KNIL). Alamsjah sendiri yang sudah pensiun sebagai pegawai pemerintah setelah di Bandoeng memulai kegiatan usaha. Bisnis Alamsjah cepat berkembang. Dua orang asal gunung Malintang ini bagaikan abang dan adik di rantau urang. Ketika terjadi pendudukan militer Jepang, taruna Abdul Haris Nasution kembali ke Bandoeng dari kejaran militer Jepang. Pemuda Letnan Abdul Haris Nasution tidak sulit untuk menemukan perlindungan di Bandoeng. Di Bandoeng juga ada sejumlah tokoh terkenal asal afdeeling Mandailing en Angkola (afdeeling Padang Sidempoean). Salah satu diantaranya adalah Dr. Sorip Tagor (mantan kepala dinas kesehatan ternak West Java) dan di Soekaboemi Mr Amir Sjarifoeddin Harahap yang membuka praktek hukum (pengacara). Di Bandoeng juga terdapat Ir. Tarip Abdullah Harahap yang lulus THS 1939 membuka usaha konsultan konstruksi di Bandoeng. Di Bandoeng juga ada Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia mantan guru Abdul Haris Nasution di HIK Bandoeng yang masih terdaftar sebagai guru di Holandsche Indische Kweekschool (HIK) Bandoeng. Soetan Goenoeng Moelia adalah direktur pertama sekolah HIS di Kotanopan (19120-1922) yang juga saudara sepupu Mr Amir Sarifoeddin Harahap.

Pendudukan militer Jepang tidak lama. Kekalahan Jepang dalam perang Pasifik menyebabkan para pemuda di Djakarta mendesak dua tokoh revolusioner (Ir. Soekarno dan Drs Mohamad Hatta) untuk memprolamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dua diantara tokoh pemuda saat itu di Djakarta adalah yang akrif mendesak proklamasi tersebut adalah Adam Malik dan Chairoel Saleh (anak buah Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap yang sedang menjalani hukuman di penjara militer Jepang di Malang). Adam Malik berasal dari Kotanopan dan Chairoel Saleh berasal dari Taloe (anak Dr. Achmad Saleh). Alamsjah yang selama pendudukan militer Jepang kegiatan bisnisnya terhalang di Bandoeng sangat lega dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia. Sementara taruna Abdul Haris Nasution di Bandoeng ‘bangkit dari tidur’, sebagai mantan tentara tahu apa yang akan dilakukan (dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia).

Di Djakarta Presiden RI Ir Soekarno dan Wakil Presiden Drs Mohamad Hatta mulai menyiapkan susunan kabinet. Langkah pertama siapa yang menjadi Menteri Penerangan. Hanya dua orang tokoh revolusioner yang jago beretorika, selain Soekarno adalah Amir Sjarifoeddin Harahap. Namun ada persoalan, Amir Sjarifoeddin Harahap sedang di tahanan militer Jepang di Malang. Diantara tokoh revolusioner hanya Amir Sjarifoeddin Harahap yang terang-terangan menentang Jepang selama pendudukan militer di Indonesia, karena itu dihukum mati tetapi dikurangi menjadi hukuman seumur hidup di penjara terketat militer Jepang di Malang. Saat itu, dari empat pemimpin revolusioner Indonesia, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap adalah pemilik portofolio tertinggi karena satu-satunya yang 100 persen menentang kehadiran Jepang di Indonesia (sementara Soekarno dan Mohamad Hatta berkolaborasi dengan Jepang). Untuk keperluan pos Menteri Penerangan, Soekarno dan Mohamad Hatta bernegosiasi dengan pemimpin tertinggi militer Jepang di Indonesia dan mengirim utusan untuk menjemput Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap ke Malang. Posisi Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap sangat sesuai saat itu karena dapat memberi kesan kepada sekutu-Inggris bahwa anggota kabinet tidak hanya pro Jepang tetapi juga ada yang anti Jepang. Mereka bertiga inilah yang kemudian menjadi Three Founding Father RI.

Abdul Haris Nasution seorang mantan KNIL dan juga pernah diperbantukan untuk melatih pribumi sebagai cadangan militer Jepang (PETA) secara alamiah mulai membentuk pasukan di Bandoeng untuk menjaga keamanan di Bandoeng dan sekitar. Besar dugaan dalam pembentukan pasukan di Bandoeng peran pengusaha Alamsjah sangat nyata. Seperti halnya Abdul Haris Nasution, juga Alamsjah ingin membantu berdirinya RI di Bandoeng. Hal ini sebelumnya di Bandoeng, Sakti Alamsjah telah aktif membantu berdirinya RI dengan menyiarkan teks proklamasi kemerdekaaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 malam hari melalui Radio Bandoeng.

Pada awal pendudukan militer Jepang, Soekarno dan Mohamad Hatta meminta Parada Harahap untuk membantu Indonesia untuk turut aktif di pusat komunikasi Jepang (surat kabar dan radio). Parada Harahap merekrut sejumlah anak muda diantaranya Adam Malik dan Mochtar Lubis di ruang kerja berita, Sakti Alamsjah Siregar di ruang kerja radio dan BM Diah di ruang kerja surat kabar. Dalam perkembangannya, Sakti Alamsjah dipindahkan ke radio militer Jepang di Bandoeng. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Adam Malik meminta Mochtar Lubis untuk ke Bandoeng agar Sakti Alamsjah menyiarkan teks proklamasi kemerdekaan agar bisa di dengan di seluruh Priangan dan dapat ditangkap sisarannya di luar negeri. Itulah sebab teks proklamasi kemerdekaaan Indonesia cepat tersiar di Bandoeng dan dapat ditangkap di Australia.

Parada Harahap, The King Of Java Press adalah mentor politik praktis Soekarno (sejak 1926) dan Mohamad Hatta (sejak 1919). Pada tahun 1933 ketika Ir. Soekarno setelah ditahan di Bandoeng akan diasingkan, Parada Harahap, pemimpin surat kabar Bintang Timoer di Batavia memimpin tujuh revolusioner Indonesia ke Jepang pada bulan November 1933. Salah satu anggota rombongan revolusioner ini adalah Drs Mohamad Hatta yang belum lama pulang dari Belanda setelah menyelesaikan studi. Parada Harahap kali pertama mengenal Mohamad Hatta tahun 1919 ketika diadakan kongres Sumatranen Bond pertama di Padang. Parada Harahap pendiri surat kabar revolusioner di Padang Sidempoean Sinar Merdeka adalah ketua delegasi Tapanoeli ke kongres yang diadakan di Padang. Mohamad Hatta yang masih sekolah menengah pertama (MULO) turut hadir dalam kongres tersebut. Ketua panitia kongres adalah Amir (mahasiswa STOVIA) dan pembina kongres adalah Dr. Abdul Hakim Nasution, anggota dewan kota (gemeenteraad) Padang yang juga ketua NIP pantai barat Sumatra. Partai politik Indonesia pertama NIP (National Indisch Partij) dibentuk oleh tiga serangkai yang dipimpin Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Dr. Abdul Hakim Nasution sudah lama mengenal Dr, Tjipto, sama-sama satu kelas di STOVIA dan sama-sama lulus pada tahun 1905.

Awal kemerdekaan dan awal kabinet Presidensial (Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta) banyak hal yang terjadi. Di satu pihak pemerintah harus melayani Sekutu/Inggris untuk proses pembebasan interniran Eropa/Belanda dan juga untuk pelucutan senjata militer Jepang dan evakuasinya. Di pihak lain, munculnya banyak badan-badan keamanan rakyat yang belum teratur dan muncul desakan untuk partisipasi politik dalam pemerintahan. Satu hal yang tidak terduga, pihak Belanda turut hadir di Indonesia di belakang  pasukan SEkutu/Inggris yang telah membentuk korpsnya dengan nama NICA. Sulitnya pasukan Sekutu/Inggris dalam tugasnya karena ada gangguan keamanan dari berbagai pihak Indonesia dan kehadiran NICA yang menguntit di belakang Inggris membuat situasi dan kondisi dimana-mana menjadi runyam. Puncak ketegangan terjadinya perang di Soerabaja pada tanggal 10 November 1945.

Rangkaian peristiwa perang sebagai berikut: Terjadi peristiwa berdarah di Depok pada tanggal 11 Oktober 1945. Sebagai respon terhadap pasukan sekutu Inggris dan NICA yang tidak peduli terhadap Proklamasi Kmerdekaan Indonesia, lalu Tentara Rakjat Indonesia mengumumkan Proklamasi Perang pada tanggal 13 Oktober 1945 dan yang juga hal yang sama dilakukan Oemat Islam sebagaimana dilaporkan Keesings historisch archief: 14-10-1945. Pasukan Inggris yang tiba di Buitenzorg tanggal 15 Oktober 1945 untuk pembebasan interniran, sekaligus mengevakuasi sandera di Depok. Dari hari ke hari, tanda-tanda suhu perang semakin menguat. Presiden Soekarno dalam dilema. Sebagian menginginkan dengan jalan tertib dan damai dan sebagian yang lain (terutama dari kalangan pemuda) menginginkan perang. Radio Bandoeng yang dilansir surat kabar berbahasa Belanda melaporkan bahwa Markas Barisan Rakjat di Bandoeng tidak bisa menerima situasi yang terus memburuk apalagi kehadiran NICA, Soekarno harus disalahkan (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant, 17-10-1945). Dalam permulaan perang ini terindikasi hanya satu saluran pemberitaan di kalangan nasionalis Indonesia yakni Radio Indonesia Bandoeng (lihat De patriot, 18-10-1945). Pada tanggal 16 Oktober 1945 pasukan Belanda/NICA mengambil kendali lapangan terbang Tjililitan. Pada tanggal 17 Oktober 1945 terjadi pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Indonesia di sekitar lapangan terbang Tjililitan. Lalu pada tanggal 18 Oktober 1945 pasukan Sekutu-Inggris memasuki Bandoeng. Pasukan Sekutu-Inggris pada tanggal 20 Oktober 1945 mendarat di Semarang dan pada tanggal 25 Oktober 1945 di Surabaya. Lalu pada tanggal 28 Oktober hingga 31 Oktober 1945 terjadi pertempuran yang hebat di Sperabaja.

Pasukan Indonesia di Bandoeng yang dipimpin oleh Abdul Haris Nasution masih mampu mengatasi situasi dan keadaan ketika pasukan Sekutu-Inggris sejak kedatanggannya di Bandoeng pada tanggal 18 Oktober 1945. Proses pembebasan para interniran dan pelucutan senjata militer Jepang masih berjalan normal di bawah pengawalan pasukan Indonesia. Namun di Soerabaja mencapai puncaknya pada tanggal 10 November 1945. Situasi membuat Presiden Soekarno membubarkan kabinetnya dan meminta Soetan Sjahrir untuk memimpin kabinet baru.

Partai yang dipimpin Soetan Sjahrir dan partai yang dipimpin Mr Amir Sjarifoeddin Harahap mereka gabung karena memiliki platform yang sama. Lalu munculnya partai fusi terebut dengan nama Partai Sosialis Indonesia (PSI). Oleh karena menurut pertimbangan Soekarno partai inilah yang lebih sesuai daripada partai Islam (Masyumi) untuk membuat situasi lebih kondusif, maka PSI yang ditunjuk untuk menjadi pemimpin kabinet baru. Kabinet baru yang dipimpin PSI menetapkan Soetan Sjahrir sebagi Perdana Menteri dan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai Menteri Keamanan Rakjat dengan tetap menjabat sebagai Menteri Penerangan. Kabinet ini disahkan pada tanggal 14 November 1945. Dalam susunan kabinet ini juga disertakan orang-orang dari partai Islam Masyumi, partai Kristen dan non-partai. Salah satu menteri yang ditunjuk untuk jabatan Menteri Pendidikan adalah adalah Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D (mantan guru dari Abdul Haris Nasution).

Sebelum kabinet baru diumumkan, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap yang akan diplot sebagai menteri baru dalam bidang keamaan yang tetap merangkap sebagai Menteri Penerangan, meminta Kepala Staf Umum Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo untuk mengadakan konferensi diantara para komandan tentara untuk menentukan pimpinannya sebagai Panglima untuk menggantikannya. Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap ingin fokus pada fungsi manajemen keamanan-pertahanan serta penerangan. Panglima tentara adalah yang memimpin pertempuran di lapangan.

Konferensi yang diadakan pada tanggal 12 November 1945 di Djogjakarta menghasilkan sejumlah keputusan yang antara lain pembagian wilayah pertahanan Indonesia (terutama di Jawa) dan penetapan pimpinan militer tertinggi sebagai Panglima. Yang terpilih adalah salah satu pimpinan TKR/TRI, Soedirman. Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap juga sebelumnya telah meminta Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo untuk merekrut sejumlah sarjana pintar yang masih muda-muda untuk difungsikan pada bidang strategis dengan pangkat Overste (Letnan Kolonel). Jumlahnya ada 17 orang diantaranya Ir, AFP Siregar gelar Mangaradja Onggang Parlindoengan (sarjana teknik kimia); sejumlah dokter (Dr. Ibnoe Soetowo, Dr. Irsan Radjamin Nasution, Dr Willer Hoetagaloeng) dan sejumlah sarjana hukum (Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr Arifin Harahap). Overste Ir. AFP Siregar ditugaskan ke Bandoeng untuk urusan produksi senjata dan mesiu, Overste Willer menjadi dokter khusus Jenderal Soedirman, Overste Ibnoe Soetowo untuk urusan produksi pertambangan minyak di Tjepoe dan Ovesrte Mr Arifin Harahap (adik Mr Amir Sjarifoeddin Harahap) di Djakarta sebagai urusan dengan pihak Inggris-Belanda/NICA (sebagai pejabat militer penghubung).

Dalam fase konsolidasi organsiasi tentara ini, perang terus berkobar dimana-mana, Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap menilai terdapat tiga wilayah TKR yang melakukan tugasnya dengan rapih seperti dikutip oleh surat kabar Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia. 21-11-1945: ‘TKR di Tjikampek, Tangerang dan Depok Jawa Barat (di bawah komando Abdul Haris Nasution yang berbasis di Poerwakarta). Sjarifoeddin Harahap menyatakan TKR di tiga wilayah ini lebih rapih (disiplin) jika dibandingkan di Jawa Timur’. Namun situasi cepat berubah di West Java lebih-lebih setelah tragedi pembantaian pasukan Sekutu-Inggris di Bekasi pada tanggal 23 November 1945.

Dalam situasi pergerakan pasukan apakah Inggris, Belanda-NICA dan TRI, pasukan Sekutu/Inggris dari Djakarta yang dikirim ke Semarang pada tanggal 23 November 1945 tiba-tiba mendarat darurat di Tjakoeng, Bekasi. Major Madmuin Hasiboean yang berbasis di Tjilintjing dapat mengatasinya dan menjebloskannya ke penjara Bekasi. Ternyata beberapa waktu kemudian pasukan laskar di Bekasi (di luar komando Kolonel Abdul Haris Nasution) membunuh semuanya. Menteri TKR Mr Amir Sjarifoeddin Harahap menyesalkan tindakan ini dan kemudian dilaporkan ke Inggris. Tindakan yang tidak bertanggungjawab ini menjadi gaduh. Setelah seminggu, setelah cukup informasi (dan dianggap memiliki waktu dan sumber daya), pada hari Kamis [29-11-1945] batalion Punjabi dikirim ke Bekasi yang didukung satu pasukan 9 buah tank dan pasukan kaveleri serta satu skuadron empat pesawat pembom (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 30-11-1945). Berita ini dikirim koresponden yang ikut serta dalam ekspedisi ini pada Kamis sore dari Bekasi. Pasukan Inggris melakuan balas dendam dengan membakar habis semua rumah di Bekasi. Di satu sisi pasukan-pasukan yang tidak terkendali semakin liar dan pasukan Sekutu-Inggris yang telah banyak menjadi korban apakah di Soerabaja dan Bekasi membuat mental pasukan Sekutu-Inggris juga menjadi buas. Para komandan militer TRI semakin sulit menetralisir situasi dan kondisi lapangan, termasuk di West Java yang berada di bawah komando Kolonel Abdul Haris Nasution. Perdana Menteri Sjahrir menjadi sangat sibuk untuk menangkis tuduhan-tuduhan asing dan dan Menteri TKR dan Penerangan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap menjadi sibuk untuk mengorganisir keamanan dan penerangan kepada masyarakat. Algemeen Handelsblad, 04-12-1945

Situasi di West Java dan khususnya di Bandoeng secara perlahan-lahan mulai memanas sehubungan dengan tindakan pasukan Sekutu-Inggris melakukan pembakaran rumah-rumah di Bekasi. Alamsjah yang bisnisnya mulai menggeliat kembali mulai was-was. Situasi dan kondisi di Bandoeng bisa jadi menjadi tidak menentu. Friksi-friksi yang terjadi di Bandoeng antara pasukan Sekutu-Inggris dengan para laskar mungkin dirasakannnya. Tugas pasukan Sekutu-Inggris jelas tidak meudah untuk dua urusan pembebasan para interniran Eropa-Belanda dan pelucutan senjata militer Belanda. Para militer Jepang juga masih memegang senjata. Para pasukan rakyat yang ingin mendapatkan senjata dari gudang-gudang persenjataan Jepang juga menambah situasi dari hari ke hari menajadi lebih tegang.

Pada tanggal 13 Desember 1945 dibentuk Komando Tentara dan Teritorium di Jawa (Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Panglima). Lalu beberapa hari kemudian Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin akhirnya menetapkan dan mengangkat Kolonel Soedirman menjadi Panglima pada tanggal 18 Desember 1945 (dengan tetap berpangkat Kolonel). Dengan demikian fungsi perencanan dan pengaturan (anggaran dan personel) ditangani oleh Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin dan pelaksana tugas di medan perang dikomandokan oleh Panglima Soedirman.

Untuk meningkatkan kualifikasi TRI dan menjaga korps keamanan, ruang pertempuran di wilayah luar Batavia (yang meliputi seluruh West Java) berada di bawah komando Siliwangi yang berpusat di Bandoeng dan kemudian di relokasi ke Poerwakarta. Peristiwa pembunuhan terhadap korps militer Sekutu/Inggris di Bekasi (oleh pasukan Banteng Hitam) menjadi alasan untuk memindahkan markas dari Bandoeng ke Poerwakarta. Boleh jadi untuk mengantisipasi kemungkinan tentara Sekutu/Inggris melakukan balas dendam

Dalam perkembangannya, perhatian Sekutu/Inggris segera bergeser dari Bekasi ke Bandoeng, demikian juga fokus Kolonel Abdul Haris Nasution terkonsentrasi di Priangan. Ini sehubungan dengan semakin memuncaknya perseteruan TKR/TRI plus pejuang rakyat (laskar) menghadapi Inggris di Bandoeng. Ini juga terkait dengan rencana pemerintah memindahkan ibukota dari Djakarta ke Jogjakarta. Komandan Sekutu/Inggris di Bandoeng saat ini adalah Brigadir Jenderal MacDonald.

Ibukota RI akhirnya dipindahkan dari Djakarta ke Djogjakarta tanggal 4 Januari 1946. Lalu di Jogjakarta TKR diubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) pada tanggal 25 Januari 1946. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk menjadikan TRI sebagai satu-satunya organisasi militer yang mempunyai tugas khusus dalam bidang pertahanan darat, laut, dan udara. TRI ini kemudian dibiayai oleh negara atas pertimbangan banyaknya perkumpulan atau organisasi laskar pada masa itu yang mengakibatkan perlawanan tidak dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Sementara itu pasukan Sekutu-Inggris tidak lagi sekadar untuk dua tugas utama, tetapi sudah ada tugas tambahan untuk menyiapkan kebutuhan Belanda-NICA.

Pada tanggal 12 Maret 1946 Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap bersama Kolonel Zulkifli Lubis membentuk Departemen Pertahanan RI di Djogja (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 20-07-1948). Disebutkan satu cabang utama Departemen Pertahanan ini berada di Poerwakarta-Tjikampek. Salah satu divisi (divisi ke-5) Departemen Pertahanan ini adalah agitasi dan propaganda (Agitprop).

Dalam perkembangan selanjutnya, di Bandoeng, Sekutu/Inggris sudah nekad. Komandan Sekutu/Inggris di Bandoeng telah memberi ultimatum agar TRI (Tentara Rakyat Indonesia) mengosongkan kota sejauh 11 Km dari pusat kota paling lambat pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946. Maklumat ini diumumkan sehari sebelumnya. Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap lantas bergegas dari Jogjakarta dengan menggunakan kereta api ke Bandung dan mendiskusikannya dengan Panglima Divisi III/Siliwangi, Kolonel Abdul Haris Nasution.

Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Divisi III Siliwangi, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, lantas menyampaikan pengumuman agar TRI dan penduduk untuk meninggalkan kota. Ultimatim tanggal 24 Maret 1946 merupakan rangkaian ultimatum pertama tentara sekutu pada tanggal 21 November 1945 yang mana tentara Sekutu/Inggris meminta Bandung Utara dikosongkan selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Tentu saja ultimatum ini tidak diindahkan oleh para pejuang yang menyebabkan terjadinya sejumlah insiden. Pasukan Sekutu/Inggris sendiri mendarat di Bandoeng sejak 17 Oktober 1945.

Saat pejuang dan penduduk Kota Bandung mengungsi disana sini terjadi pembakaran. Terjadinya kobaran api yang besar ini yang kelak dikenal sebagai ‘Bandung Lautan Api’. Politik bumi hangus di Bandung terjadi di Bandung Selatan. Tindakan bumi hangus ini bersamaan dengan serangkan mortir yang dilancarkan oleh republic ke Bandung Utara tempat dimana pasukan Sekutu/Inggris berada. Tindakan ini telah memicu kemarahan Sekutu/ Inggris. Ini bukan provokasi tetapi tindakan patriot antara TRI dan penduduk di Bandung.

Limburgsch dagblad, 26-03-1946: ‘Dilaporkan dari Bandung, Minggu malam di Bandung Selatan telah terjadi kebakaran hebat berdasarkan pemantaun yang dilakukan patroli pesawat. Ini mengingatkan tempat kejadian menunjukkan banyak kesamaan dengan kebakaran pertama yang disebabkan oleh serangan udara di London pada tahun 1940. Beberapa menit sebelum tengah malam terjadi kebakaran di Onion saat yang bersamaan saat dilakukan tembakan mortir yang ditujukan ke Bandung Utara dalam melawan posisi Inggris. Meskipun tidak mungkin untuk melakukan estimasi kerusakan di malam hari, adalah, tanpa diragukan lagi, lebih dari sepertiga dari Zuid Bandung dibakar. Ini adalah politik bumi hangus yang digunakan oleh pejuang dengan maksud untuk menunda ultimatum Inggris. Kebakaran Minggu itu yang disebabkan sebagian besar oleh lingkaran Republik berakibat permohonan TRI penundaan operasi Inggris ditolak’

Aksi bumi hangus yang dilakukan oleh republik karena sebelumnya Inggris menolak penundaan ultimatum. TRI coba memuinta ultimatum ditunda tetapi atas penolakan itu penduduk gerah dan melakukan tindakan bumi hangus. TRI tidak bisa menenangkan penduduk. Terjadilah pembakaran dimana-mana. Republik dituduh dibantu tentara Jepang sehingga cukup tersedia bahan bakar yang menjadi api mudah berkobar.

Politik bumi hangus di Bandung telah menyebabkan lautan api. Area yang kebakaran meliputi sepertiga dari Bandung Selatan. Jumlah bangunan yang terbakar ditaksir sebanyak 150 bangunan (Algemeen Handelsblad, 30-03-1946).

Dalam aksi bumi hangus ini sejumlah properti eks Belanda dibakar, juga sejumlah bangunan warga rela dikorban untuk dibakar karena akan digunakan oleh Belanda-NICA. Aksi pembakaran ini di satu sisi suatu pengorbanan di sisi lain suatu tindakan untuk mencegah Belanda-NICA menggunakannya. Dalam hal ini sejumlah properti Alamsjah juga ikhlas dikorbankan. Alamsjah akan merapat ke Jogjakarta, ibu kota RI yang baru.

Untuk mengefektifkan fungsi pertahanan, setelah secata nyata Belanda-NICA telah bercokol di sejumlah kota, Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, Komandan Intelijen RI Kolonel Zulkifli Lubis dan Soeltan Djogja mendesain organisasi pertahanan. Mereka bertiga inilah founder father Kementerian Pertahanan RI (dihilangkan atau hilang dari sejarah Kementerian Pertahanan). Sehubungan dengan posisi baru Kolonel Soedirman sebagai Panglima, Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap menyediakan secara khusus dokter pribadi, seorang dokter muda berbakat (Dr. Willer Hoetagaloeng). Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap juga menyediakan ajudan pribadi Soeltan Djogja yakni Kapten M Karim Loebis (yang menguasai bahasa Belanda dan Inggris).

Sehubungan dengan semakin menguatnya Belanda/NICA yang telah menggantikan Sekutu/Inggris, wilayah pertahanan Indonesia kembali dibagi ke dalam beberapa Divisi dengan mengangkat panglimanya. Pemerintah RI membentuk panita organisasi tentara yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Hasil kerja panitia diumumkan pada tanggal 17 Mei 1946 yang terdiri dari struktur pertahanan (yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap) dan struktur kemiliteran yang akan dipimpin Soedirman. Dalam pengumuman ini Soedirman telah dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal, sementara personil militer disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi (lihat Nieuwe courant, 29-05-1946). Nama-nama para pimpinan TRI ditetapkan untuk mengisi jabatan-jabatan strategis.

Nieuwe courant, 29-05-1946: ‘Perubahan dan penunjukan pada posisi baru TRI telah diterbitkan. Dalam penunjukkan ini terlihat keterlibatan orang-orang muda dan perwakilan dari tentara rakyat di Jawa. Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal. Ketua Pengadilan Tinggi Militer ditunjuk Mr. Kasman Singodimedjo. Kepala staf diangkat Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Kolonel Soetjipto diangkat menjadi Kepala Dinas Rahasia; Kolonel TB Simatoepang sebagai Kepala Organisasi; Kolonel Hadji Iskandar sebagai Kepala Departemen Politik; Kolonel Soetirto sebagai Kepala Urusan Sipil; Kolonel Soemardjono sebagai Kepala Hubungan dan Kolonel Soerjo sebagai Kepala Sekretariat. Sudibijo diangkat menjadi Direktur Jenderal Departemen Perang yang mana Didi Kartasasmita adalah Kepala Infantri. Di dalam Departemen Perang juga diangkat: Kepala Departemen Artileri Letnan Kolonel Soerjo Soermano; Kepala Departemen Topografi Soetomo (bukan penyiar radio); Kepala Geni Kolonel Soedirio; Kepala Persenjataan Mayor Jenderal Soetomo (juga bukan penyiar radio) dan Kepala Polisi Militer Mayor Jenderal Santoso (bukan penasihat Dr. Van Mook). Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasution ditunjuk sebagai Panglima Divisi-1 dengan Letnan Kolonel Sakari sebagai Kepala Staf. Panglima Divisi-2 Mayor Jenderal Abdulkadir (bukan penasihat Dr. Van Mook) dengan Letnan Kolonel Bamboengkoedo sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-3 Mayor Jenderal Soedarsono (bukan menteri) dan Letnan Kolonel Pari sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-4 Mayor Jenderal Sudiro dengan Letnan Kolonel Fadjar sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-5 Mayor Jenderal Koesoemo dengan Letnan Kolonel Bagiono sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-6 Mayor Jenderal Songkono dengan Letnan Kolonel Marhadi sebagai Kepala Staf, dan Panglima Divisi-7 Mayor Jenderal Ramansoedjadi dengan Letnan Kolonel Iskandar Soeleiman sebagai Kepala Staf.

Dalam struktur organisasi tentara yang baru ini kali pertama diperkenalkan pangkat tertinggi yang disebut Jenderal (Soedirman, sebagai Panglima). Pangkat dibawahnya Letnan Jenderal (Oerip Soemohardjo, sebagai Kepala Staf). Lalu kemudian pangkat Mayor Jenderal disematkan kepada tujuh Panglima Divisi plus Kepala Persenjataan dan Kepala PM. Pangkat di bawahnya sejumlah Kolonel dan sejumlah Letnan Kolonel (belum digunakan pangkat Brigadir Jenderal). Satu fungsi strategis adalah Kolonel Zulkifli Loebis sebagai kepala intelijen negara.

Setelah reorganisasi ketentaraan ini, struktur TRI/TNI semakin rapih dan solid dalam menghadapi pasukan Belanda/NICA. Pertempuran yang tidak berkesudahan lalu kemudian terjadi proses diplomatik yang ditindaklanjuti dengan gencatan senjata (sejak 14 Oktober) dan dilanjutkan dengan suatu perundingan antara pemerintah Indonesia (PM Soetan Sjahrir) dengan pajabat Belanda/NICA di Linggarjati, Jawa Barat pada tanggal 11 November 1946. Namun hasil perjanjian ini tidak diterima semua pihak, Perdana Menteri Soetan Sjahrir dalam dilema. Pada tanggal 3 Juli Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dilantik menjadi Perdana Menteri untuk menggantikan Soetan Sjahrir.

Meski sudah menjabat posisi Perdana Menteri, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap masih merangkap sebagai Menteri Pertahanan. Soeltan Hamengkoeboewon tetap menjadi Menteri Negara urusan Pertahanan. Itu berarti Kolonel Zulkifli Loebis tetap di posisinya sebagai kepala intelijen negara.

Namun baru dua minggu Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap memimpin kabinet, Belanda/NICA pada tanggal 20 Juli 1947 melancarkan serangan militer yang kemudian disebut Agresi Militer Belanda. Belanda/NICA berdalih bahwa TNI dan pejuang (laskar dan rakayat) melakukan gangguan dan kemudian melakukan serangan dan pendudukan di wilayah-wilayah yang dikuasi oleh Republik. Padahal agresi ini jelas-jelas untuk merebut wilayah-wilayah yang potensial dimana banyak perkebunan-perkebunan besar seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Timur dan Jawa Barat dan tentu saja perkebunan-perkebunan di Tapanoeli dan Sumatera Barat (khususnya di Air Bangis dan Ophir).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Alamsjah di Jogjakarta

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar