*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disin
Siapa Alamsjah? Yang
jelas bukan Sakti Alamsjah (pendiri surat kabar Pikiran Rakyat Bandung yang pernah saya bertemu tahun 1981). Hampir
semua orang tidak mengetahui siapa Alamsjah dan hanya sedikit yang mengenalnya.
Alamsjah adalah anak seorang pemimpin berpengaruh di Air Bangis. Alamsjah
merantau kali pertama melanjutkan studi sekolah budidaya (Cultuutschool) di
Soekaboemi pada tahun 1914. Pada tahun yang sama Abdul Azis Nasution gelar
Soetan Kanaikan lulus sekolah menengah pertanian (Middelbare Landbouwschool) di
Buitenzorg.
Sudah barang tentu Alamsjah
dan Abdul Azis Nasution saling mengenal. Kampong mereka saling berdekatan. Alamsjah
lahir dan besar di Air Bangis sedangkan Abdul Azis Nasution gelar Soetan
Kanaikan lahir dan besar di Moeara Kiawai (kota dimana muara sungai Batang
Kiawai bermuara di sungai Batang Kanaikan). Lantas siapa Abdoellah gelar
Toeankoe Radja Moeda? Seperti halnya Alamsjah, Toeankoe Radja Moeda juga kurang
terinformasikan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah
nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber utama yang
digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan
lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru
yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*
Alamsjah
Bukan Orang Biasa
Sekolah budidaya
(Cultuutschool) berbeda dengan sekolah pertanian (Landbouwschool). Cultuutschool
adalah sekolah yang baru. Rencana pendirian sekolah ini diberitakan pada tahun
1911 dan akan diselenggarakan di Buitenzorg (lihat De Preanger-bode, 27-05-1911).
Namun sekolah ini akhirnya ditetapkan di Soekaboemi yang dibuka pada tahun
1912.
Sementara itu di Buitenzorg sudah ada Landbouwschool
yang sudah terselenggara sejak tahun 1903. Juga di Buitenzorg sudah ada sekolah
kedokteran hewan (Veeartsenschool) yang penyelenggaraannya dimulai pada tahun
1907. Cultuutschool akan diselenggarakan untuk melatih para pemuda untuk
perkebunan dan pertanian. Dimana tmpat Cultuutschool diselenggarakan sempat
diusulkan agar dipindahkan dari Buitenzorg ke Bandoeng (lihat Algemeen
Handelsblad, 20-02-1912). Lalu keputusan terakhir tidak menetapakan di
Buitenzorg dan juga tidak di Bandoeng tetapi di Soekaboemi (lihat De
Preanger-bode, 15-10-1912).
Pada tahun 1914 anak Air
Bangis, Alamsjah diterima di Cultuutschool. Sekolah ini tidak hanya pribumi
juga siswa Eropa-Belanda dan Tionghoa. Sekolah ini terdiri dua afdeeling
(Afdeeling A Boschbouw dan Afdeeling B Cultures). Sementara Landbouwschool
hanya ditujukan untuk siswa pribumi. Pada tahun 1915 Alamsjah naik kelas dari
kelas satu ke kelas dua (lihat De Preanger-bode, 01-06-1915).
Alamsjah berada di Afdeeling A Kehutanan. Mengapa Alamsjah
memilih jurusan kehutanan diduga terkait dengan dibukanya perkebunan di
District Air Bangis dan District Ophir oleh investor besar. Yang satu angkatan
dengan Alamsjah di Afdeeling A sebanyak 19 siswa naik kelas dan lima siswa gagal
(DO). Yang naik kelas di atas Alamsjah dari kelas dua ke kelas tiga Afdeeling A
diantaranya A Hakim Siregar. Sedangkan yang lulus dengan diploma di Afdeeling A
sebanyak 21 siswa (lulus semua); di Afdeeling B lulus sebanyak 14 siswa (gagal
tiga orang).
Alamsjah dinyatakan lulus
dari sekolah Cultuutschool pada tahun 1918 (lihat De Preanger-bode, 28-05-1918).
Alamsjah harus menyelesaikan perkuliahan selama empat tahun. Tidak diketahui
secara jelas apakah pernah mengulang atau menunda setahun. Alamsjah kemudian
ditempatkan sebagai pengawas kehutanan di Oostkust van Sumatra (lihat
Bataviaasch nieuwsblad, 09-11-1918). Pada tahun 1922 Alamsjah pulang kampung,
sebagai Manajemen Kehutanan (Beheershoutvester) di Sumatra’s Westkust (lihat De
Sumatra post, 14-09-1922).
Setelah Abdul Azis Nasution lulus Sekolah Menengah
Pertanian (Middelbare Landbouwschool) di Buitenzorg diangkat pemerintah sebagai
advisor pertanian di berbagai tempat: Tapanoeli, Priaman, Painan, Pajacombo,
dan Atjeh. Tugas ini dilaksanakan Abdul Azis beberpa tahun hingga akhirnya
diangkat pemerintah menjadi kepala sekolah pertanian (landbownormaalscholen) di
Padang Pandjang. Namun dalam perjalanannya, sekolah Landbownormaalscholen di
Padang Pandjang macet karena kondisi keuangan pemerintah.
Alamsjah kembali bertemu
seniornya Abdul Azis Nasution dengan tugas yang berbeda di Residentie West
Sumatra. Alamsjah bekerja sebagai pengawas manajemen kehutanan dan Abdul Azis
Nasution sebagai kepala sekolah guru pertanian (landbownormaalscholen) di
Padang Pandjang. Mereka berdua adalah pionir-pionir pertanian dan kehutanan di
Residentie West Sumatra yang justru berasal dari daerah terpencil (Moeara
Kiawai dan Air Bangis).
Meskipun sekolah pertanian di Padang Panjang macet,
Abdul Azis Nasution tidak kehilangan akal. Guru tetaplah guru, pertanian juga
tetaplah pertanian. Abdul Azis kemudian lalu berinisiatif mendirikan sekolah
pertanian swasta di Loeboeksikaping (ibu kota onderafdeeling Loeboeksikaping,
Afdeeeling Agam, Residentie West Sumatra). Uniknya, sekolah pertanian ini
kurikulumnya mengintegrasikan pendidikan pertanian, pendidikan agama dan
praktek dengan sistem asrama. Karena itu orang Belanda menyebutnya sebagai
Mohammedaansch Lyceum. Guru-guru pertanian direkrut dari sekolah menengah pertanian
Buitenzorg, sedangkan guru-guru agama dari
Universitas Al Azhar di Kairo (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
21-12-1925). Pada bulan Mei diketahui Alamsjah dan Abdul Azis Nasution
berangkat dari Paneh ke Medan dengan menumpang kapal ss Singaradja (lihat De
Sumatra post, 02-05-1925). Besar dugaan mereka berdua tengah mempromosikan
sekolah pertanian di Loeboeksikaping di wilayah Tapanoeli dan Oost van Sumatra.
Tiga tahun kemudian
Alamsjah mendapat kenaikan pangkat menjadi Opzichter lste klasse di lingungan
Boschwezen in Nederlandsch-Indie di West Sumatra (lihat De Indische courant, 08-08-1928).
Pangkat ini merupakan pangkat tertinggi sebagai pegawai pemerintah dari
kalangan pribumi. Alamsjah kemudian dipindahkan ke Riauw (lihat De locomotief, 02-09-1929). Dalam perkembangannya tugas
Alamsjah juga meliputi wilayah Djambi. Pada tahun 1936 Alamsjah dipindahkan
dari Riouw-Djambi ke Atjeh (lihat De Indische courant, 04-08-1936).
De Sumatra post, 13-05-1938 |
Alamsjah tidak lama di
Atjeh. Selama dua puluh tahun mengabdi untuk rakyat sebagai pegawai pemerintah,
termasuk di kampong halaman di West Sumatra, Alamsjah sudah waktunya untuk
pensiun untuk memulai kegiatan lain. Alamsjah tidak pulang kampong di Air
Bangis tetapi ke West Java. Namun bukan ke Soekaboemi tempat sekolahnya tempo
doeloe, tetapi ke Bandoeng. Alamsjah memiliki pengalaman yang menegangkan di
Bandoeng pada tahun 1915 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-09-1915). Boleh jadi
pengalaman itu tidak dilupakan, karena itu untuk hidup menetap di masa tua di
pilih di Bandoeng.
Abdoellah
gelar Toeankoe Radja Moeda
Sementara Alamsjah pensiun, Abdoellah gelar Toeankoe
Radja Moeda di Air Bangis tengah lagi naik daun. Abdoellah gelar Toeankoe Radja
Moeda terpilih sebagai salah satu anggota dewan daerah Minangkabauraad di
Padang (lihat De Sumatra post, 13-05-1938).
Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie, 1941 |
Selain anggota dewan
terpilih Abdoellah gelar Toeankoe Radja Moeda juga anggota dewan yang terpilih
adalah Abdul Azis Nasution gelar Sutan Kenaikan. Ini sangat menarik karena Onderafdeeling
Air Bangis dan Onderafdeeling terwakili di dewan daerah West Sumatra. Dalam hal
ini masing-masing onderafdeeling dipimpin oleh seorang demang dan dibantu
asisten demang. Onderafdeeling Air Bangis terdiri dari dua dua onderdistrict
yakni Onderdistrict Air Bangis dan Onderdistrict Oedjoeng Gading. Sementara
ondeerafdeeeling Ophir terdiri dari tiga onderdistrict yakni Talamau, Tjoebadak
dan Pasaman. Kampong (nagari) Moeara Kiawai berada di Onderdistrict Tjoebadak. Abdoellah
gelar Toeankoe Radja Moeda adalah kepala nagari (onderdistrict) Air Bangis
sedangkan Abdul Azis Nasution gelar Sutan Kenaikan adalah tokoh penting (yang
berasal) dari nagari (onderdistrict) Tjoebadak.
Sumatra-bode, 21-11-1914 |
Tunggu deskripsi
lengkapnya
Republiken
Sejati di Jogjakarta
Belum tiba waktunya berakhir masa keanggotaan
Minangkabauraad, terjadi pendudukan militer Jepang pada tahun 1942. Minangkabauraad
yang juga beranggotakan orang-orang Belanda dengan sendirinya mati suri dan
kemudian benar-benar berakhir. Abdoellah
gelar Toeankoe Radja Moeda dan Abdul Azis Nasution gelar Sutan Kenaikan juga
berakhir sudah. Dua tokoh yang sudah berumur dari Air Bangis dan Ophir ini pun pensiun.
Namun tidak demikian dengan Alamsjah di Bandoeng. Alamsjah tengah menjalankan
bisnis di Bandoeng.
Pada saat pendudukan
militer Jepang, hubungan Alamsjah dengan seorang (mantan) taruna KNIL Abdul
Haris Nasution kembali terjadi di Bandoeng. Perkawanan mereka di Bandoeng sudah
dimulai di Bandoeng sejak 1937 ketika Abdul Haris Nasution mengikuti pendidikan
guru di Bandung, sementara Alamsjah menyusul ke Bandoeng untuk bermukim setelah
pensiun sebagai pengawas kehutanan di Atjeh. Bandoeng saat itu belumlah ramai, sementara
warga asal Sumatra di Bandoeng belum begitu banyak. Persahabatan Alamsjah dan Abdul
Haris Nasution yang berbeda generasi ini menjadi kental karena kampong mereka
saling berdekatan: Alamsjah lahir tahun 1900 dan besar di Air Bangis dan Abdul
Haris Nasution lahir tahun 1918 dan besar di Kotanopan (hanya dibatasi oleh
gunung Malintang).
Persahabatan Abdul Haris
Nasution dengan Alamsjah semakin menguat setelah Abdul Haris Nasution kembali
ke Bandoeng pada tahun 1940 untuk mengikuti dinas militer Belanda (untuk
menjadi taruna KNIL). Alamsjah sendiri yang sudah pensiun sebagai pegawai
pemerintah setelah di Bandoeng memulai kegiatan usaha. Bisnis Alamsjah cepat
berkembang. Dua orang asal gunung Malintang ini bagaikan abang dan adik di
rantau urang. Ketika terjadi pendudukan militer Jepang, taruna Abdul Haris
Nasution kembali ke Bandoeng dari kejaran militer Jepang. Pemuda Letnan Abdul
Haris Nasution tidak sulit untuk menemukan perlindungan di Bandoeng. Di
Bandoeng juga ada sejumlah tokoh terkenal asal afdeeling Mandailing en Angkola
(afdeeling Padang Sidempoean). Salah satu diantaranya adalah Dr. Sorip Tagor
(mantan kepala dinas kesehatan ternak West Java) dan di Soekaboemi Mr Amir
Sjarifoeddin Harahap yang membuka praktek hukum (pengacara). Di Bandoeng juga
terdapat Ir. Tarip Abdullah Harahap yang lulus THS 1939 membuka usaha konsultan
konstruksi di Bandoeng. Di Bandoeng juga ada Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan
Goenoeng Moelia mantan guru Abdul Haris Nasution di HIK Bandoeng yang masih terdaftar
sebagai guru di Holandsche Indische Kweekschool (HIK) Bandoeng. Soetan Goenoeng
Moelia adalah direktur pertama sekolah HIS di Kotanopan (19120-1922) yang juga
saudara sepupu Mr Amir Sarifoeddin Harahap.
Pendudukan militer Jepang tidak lama. Kekalahan
Jepang dalam perang Pasifik menyebabkan para pemuda di Djakarta mendesak dua
tokoh revolusioner (Ir. Soekarno dan Drs Mohamad Hatta) untuk memprolamirkan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dua diantara tokoh pemuda
saat itu di Djakarta adalah yang akrif mendesak proklamasi tersebut adalah Adam
Malik dan Chairoel Saleh (anak buah Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap yang sedang
menjalani hukuman di penjara militer Jepang di Malang). Adam Malik berasal dari
Kotanopan dan Chairoel Saleh berasal dari Taloe (anak Dr. Achmad Saleh).
Alamsjah yang selama pendudukan militer Jepang kegiatan bisnisnya terhalang di
Bandoeng sangat lega dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia. Sementara
taruna Abdul Haris Nasution di Bandoeng ‘bangkit dari tidur’, sebagai mantan
tentara tahu apa yang akan dilakukan (dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia).
Di Djakarta Presiden RI
Ir Soekarno dan Wakil Presiden Drs Mohamad Hatta mulai menyiapkan susunan
kabinet. Langkah pertama siapa yang menjadi Menteri Penerangan. Hanya dua orang
tokoh revolusioner yang jago beretorika, selain Soekarno adalah Amir
Sjarifoeddin Harahap. Namun ada persoalan, Amir Sjarifoeddin Harahap sedang di
tahanan militer Jepang di Malang. Diantara tokoh revolusioner hanya Amir
Sjarifoeddin Harahap yang terang-terangan menentang Jepang selama pendudukan
militer di Indonesia, karena itu dihukum mati tetapi dikurangi menjadi hukuman
seumur hidup di penjara terketat militer Jepang di Malang. Saat itu, dari empat
pemimpin revolusioner Indonesia, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap adalah pemilik
portofolio tertinggi karena satu-satunya yang 100 persen menentang kehadiran
Jepang di Indonesia (sementara Soekarno dan Mohamad Hatta berkolaborasi dengan
Jepang). Untuk keperluan pos Menteri Penerangan, Soekarno dan Mohamad Hatta bernegosiasi
dengan pemimpin tertinggi militer Jepang di Indonesia dan mengirim utusan untuk
menjemput Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap ke Malang. Posisi Mr. Amir Sjarifoeddin
Harahap sangat sesuai saat itu karena dapat memberi kesan kepada sekutu-Inggris
bahwa anggota kabinet tidak hanya pro Jepang tetapi juga ada yang anti Jepang.
Mereka bertiga inilah yang kemudian menjadi Three Founding Father RI.
Abdul Haris Nasution seorang mantan KNIL dan juga pernah
diperbantukan untuk melatih pribumi sebagai cadangan militer Jepang (PETA)
secara alamiah mulai membentuk pasukan di Bandoeng untuk menjaga keamanan di
Bandoeng dan sekitar. Besar dugaan dalam pembentukan pasukan di Bandoeng peran
pengusaha Alamsjah sangat nyata. Seperti halnya Abdul Haris Nasution, juga
Alamsjah ingin membantu berdirinya RI di Bandoeng. Hal ini sebelumnya di
Bandoeng, Sakti Alamsjah telah aktif membantu berdirinya RI dengan menyiarkan
teks proklamasi kemerdekaaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 malam hari
melalui Radio Bandoeng.
Pada awal pendudukan
militer Jepang, Soekarno dan Mohamad Hatta meminta Parada Harahap untuk
membantu Indonesia untuk turut aktif di pusat komunikasi Jepang (surat kabar
dan radio). Parada Harahap merekrut sejumlah anak muda diantaranya Adam Malik
dan Mochtar Lubis di ruang kerja berita, Sakti Alamsjah Siregar di ruang kerja
radio dan BM Diah di ruang kerja surat kabar. Dalam perkembangannya, Sakti
Alamsjah dipindahkan ke radio militer Jepang di Bandoeng. Pada tanggal 17
Agustus 1945 Adam Malik meminta Mochtar Lubis untuk ke Bandoeng agar Sakti
Alamsjah menyiarkan teks proklamasi kemerdekaan agar bisa di dengan di seluruh
Priangan dan dapat ditangkap sisarannya di luar negeri. Itulah sebab teks
proklamasi kemerdekaaan Indonesia cepat tersiar di Bandoeng dan dapat ditangkap
di Australia.
Parada Harahap, The King
Of Java Press adalah mentor politik praktis Soekarno (sejak 1926) dan Mohamad
Hatta (sejak 1919). Pada tahun 1933 ketika Ir. Soekarno setelah ditahan di
Bandoeng akan diasingkan, Parada Harahap, pemimpin surat kabar Bintang Timoer
di Batavia memimpin tujuh revolusioner Indonesia ke Jepang pada bulan November
1933. Salah satu anggota rombongan revolusioner ini adalah Drs Mohamad Hatta
yang belum lama pulang dari Belanda setelah menyelesaikan studi. Parada Harahap
kali pertama mengenal Mohamad Hatta tahun 1919 ketika diadakan kongres
Sumatranen Bond pertama di Padang. Parada Harahap pendiri surat kabar
revolusioner di Padang Sidempoean Sinar Merdeka adalah ketua delegasi Tapanoeli
ke kongres yang diadakan di Padang. Mohamad Hatta yang masih sekolah menengah
pertama (MULO) turut hadir dalam kongres tersebut. Ketua panitia kongres adalah
Amir (mahasiswa STOVIA) dan pembina kongres adalah Dr. Abdul Hakim Nasution,
anggota dewan kota (gemeenteraad) Padang yang juga ketua NIP pantai barat
Sumatra. Partai politik Indonesia pertama NIP (National Indisch Partij)
dibentuk oleh tiga serangkai yang dipimpin Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Dr.
Abdul Hakim Nasution sudah lama mengenal Dr, Tjipto, sama-sama satu kelas di
STOVIA dan sama-sama lulus pada tahun 1905.
Awal kemerdekaan dan awal
kabinet Presidensial (Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta)
banyak hal yang terjadi. Di satu pihak pemerintah harus melayani Sekutu/Inggris untuk proses
pembebasan interniran Eropa/Belanda dan juga untuk pelucutan senjata militer
Jepang dan evakuasinya. Di pihak lain, munculnya banyak badan-badan keamanan
rakyat yang belum teratur dan muncul desakan untuk partisipasi politik dalam
pemerintahan. Satu hal yang tidak terduga, pihak Belanda turut hadir di
Indonesia di belakang pasukan SEkutu/Inggris
yang telah membentuk korpsnya dengan nama NICA. Sulitnya pasukan Sekutu/Inggris
dalam tugasnya karena ada gangguan keamanan dari berbagai pihak Indonesia dan
kehadiran NICA yang menguntit di belakang Inggris membuat situasi dan kondisi dimana-mana
menjadi runyam. Puncak ketegangan terjadinya perang di Soerabaja pada tanggal
10 November 1945.
Rangkaian peristiwa perang sebagai berikut: Terjadi
peristiwa berdarah di Depok pada tanggal 11 Oktober 1945. Sebagai respon
terhadap pasukan sekutu Inggris dan NICA yang tidak peduli terhadap Proklamasi
Kmerdekaan Indonesia, lalu Tentara Rakjat Indonesia mengumumkan Proklamasi
Perang pada tanggal 13 Oktober 1945 dan yang juga hal yang sama dilakukan Oemat
Islam sebagaimana dilaporkan Keesings historisch archief: 14-10-1945. Pasukan
Inggris yang tiba di Buitenzorg tanggal 15 Oktober 1945 untuk pembebasan
interniran, sekaligus mengevakuasi sandera di Depok. Dari hari ke hari,
tanda-tanda suhu perang semakin menguat. Presiden Soekarno dalam dilema.
Sebagian menginginkan dengan jalan tertib dan damai dan sebagian yang lain
(terutama dari kalangan pemuda) menginginkan perang. Radio Bandoeng yang
dilansir surat kabar berbahasa Belanda melaporkan bahwa Markas Barisan Rakjat di
Bandoeng tidak bisa menerima situasi yang terus memburuk apalagi kehadiran
NICA, Soekarno harus disalahkan (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant,
17-10-1945). Dalam permulaan perang ini terindikasi hanya satu saluran
pemberitaan di kalangan nasionalis Indonesia yakni Radio Indonesia Bandoeng
(lihat De patriot, 18-10-1945). Pada tanggal 16 Oktober 1945 pasukan
Belanda/NICA mengambil kendali lapangan terbang Tjililitan. Pada tanggal 17
Oktober 1945 terjadi pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan
Indonesia di sekitar lapangan terbang Tjililitan. Lalu pada tanggal 18 Oktober
1945 pasukan Sekutu-Inggris memasuki Bandoeng. Pasukan Sekutu-Inggris pada
tanggal 20 Oktober 1945 mendarat di Semarang dan pada tanggal 25 Oktober 1945
di Surabaya. Lalu pada tanggal 28 Oktober hingga 31 Oktober 1945 terjadi
pertempuran yang hebat di Sperabaja.
Pasukan Indonesia di
Bandoeng yang dipimpin oleh Abdul Haris Nasution masih mampu mengatasi situasi
dan keadaan ketika pasukan Sekutu-Inggris sejak kedatanggannya di Bandoeng pada
tanggal 18 Oktober 1945. Proses pembebasan para interniran dan pelucutan
senjata militer Jepang masih berjalan normal di bawah pengawalan pasukan
Indonesia. Namun di Soerabaja mencapai puncaknya pada tanggal 10 November 1945.
Situasi membuat Presiden Soekarno membubarkan kabinetnya dan meminta Soetan
Sjahrir untuk memimpin kabinet baru.
Partai yang dipimpin Soetan Sjahrir dan partai yang
dipimpin Mr Amir Sjarifoeddin Harahap mereka gabung karena memiliki platform
yang sama. Lalu munculnya partai fusi terebut dengan nama Partai Sosialis
Indonesia (PSI). Oleh karena menurut pertimbangan Soekarno partai inilah yang
lebih sesuai daripada partai Islam (Masyumi) untuk membuat situasi lebih
kondusif, maka PSI yang ditunjuk untuk menjadi pemimpin kabinet baru. Kabinet
baru yang dipimpin PSI menetapkan Soetan Sjahrir sebagi Perdana Menteri dan Mr
Amir Sjarifoeddin Harahap sebagai Menteri Keamanan Rakjat dengan tetap menjabat
sebagai Menteri Penerangan. Kabinet ini disahkan pada tanggal 14 November 1945.
Dalam susunan kabinet ini juga disertakan orang-orang dari partai Islam Masyumi,
partai Kristen dan non-partai. Salah satu menteri yang ditunjuk untuk jabatan
Menteri Pendidikan adalah adalah Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D (mantan guru
dari Abdul Haris Nasution).
Sebelum kabinet baru
diumumkan, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap yang akan diplot sebagai menteri baru
dalam bidang keamaan yang tetap merangkap sebagai Menteri Penerangan, meminta
Kepala Staf Umum Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo untuk mengadakan konferensi
diantara para komandan tentara untuk menentukan pimpinannya sebagai Panglima
untuk menggantikannya. Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap ingin fokus pada fungsi
manajemen keamanan-pertahanan serta penerangan. Panglima tentara adalah yang
memimpin pertempuran di lapangan.
Konferensi yang diadakan pada tanggal 12 November
1945 di Djogjakarta menghasilkan sejumlah keputusan yang antara lain pembagian
wilayah pertahanan Indonesia (terutama di Jawa) dan penetapan pimpinan militer
tertinggi sebagai Panglima. Yang terpilih adalah salah satu pimpinan TKR/TRI,
Soedirman. Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap juga sebelumnya telah meminta Letnan
Jenderal Oerip Soemohardjo untuk merekrut sejumlah sarjana pintar yang masih
muda-muda untuk difungsikan pada bidang strategis dengan pangkat Overste
(Letnan Kolonel). Jumlahnya ada 17 orang diantaranya Ir, AFP Siregar gelar
Mangaradja Onggang Parlindoengan (sarjana teknik kimia); sejumlah dokter (Dr.
Ibnoe Soetowo, Dr. Irsan Radjamin Nasution, Dr Willer Hoetagaloeng) dan
sejumlah sarjana hukum (Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr Arifin Harahap). Overste
Ir. AFP Siregar ditugaskan ke Bandoeng untuk urusan produksi senjata dan mesiu,
Overste Willer menjadi dokter khusus Jenderal Soedirman, Overste Ibnoe Soetowo
untuk urusan produksi pertambangan minyak di Tjepoe dan Ovesrte Mr Arifin
Harahap (adik Mr Amir Sjarifoeddin Harahap) di Djakarta sebagai urusan dengan
pihak Inggris-Belanda/NICA
(sebagai pejabat militer penghubung).
Dalam fase konsolidasi
organsiasi tentara ini, perang terus berkobar dimana-mana, Menteri Pertahanan
Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap menilai terdapat tiga wilayah TKR yang melakukan
tugasnya dengan rapih seperti dikutip oleh surat kabar Het dagblad: uitgave van
de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia. 21-11-1945: ‘TKR di Tjikampek,
Tangerang dan Depok Jawa Barat (di bawah komando Abdul Haris Nasution yang
berbasis di Poerwakarta). Sjarifoeddin Harahap menyatakan TKR di tiga wilayah
ini lebih rapih (disiplin) jika dibandingkan di Jawa Timur’. Namun situasi
cepat berubah di West Java lebih-lebih setelah tragedi pembantaian pasukan Sekutu-Inggris
di Bekasi pada tanggal 23 November 1945.
Dalam situasi pergerakan pasukan apakah Inggris,
Belanda-NICA dan TRI, pasukan Sekutu/Inggris dari Djakarta yang dikirim ke
Semarang pada tanggal 23 November 1945 tiba-tiba mendarat darurat di Tjakoeng,
Bekasi. Major Madmuin Hasiboean yang berbasis di Tjilintjing dapat mengatasinya
dan menjebloskannya ke penjara Bekasi. Ternyata beberapa waktu kemudian pasukan
laskar di Bekasi (di luar komando Kolonel Abdul Haris Nasution) membunuh
semuanya. Menteri TKR Mr Amir Sjarifoeddin Harahap menyesalkan tindakan ini dan
kemudian dilaporkan ke Inggris. Tindakan yang tidak bertanggungjawab ini
menjadi gaduh. Setelah seminggu, setelah cukup informasi (dan dianggap memiliki
waktu dan sumber daya), pada hari Kamis [29-11-1945] batalion Punjabi dikirim
ke Bekasi yang didukung satu pasukan 9 buah tank dan pasukan kaveleri serta
satu skuadron empat pesawat pembom (lihat Het dagblad: uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 30-11-1945). Berita ini dikirim
koresponden yang ikut serta dalam ekspedisi ini pada Kamis sore dari Bekasi.
Pasukan Inggris melakuan balas dendam dengan membakar habis semua rumah di
Bekasi. Di satu sisi pasukan-pasukan yang tidak terkendali semakin liar dan
pasukan Sekutu-Inggris yang telah banyak menjadi korban apakah di Soerabaja dan
Bekasi membuat mental pasukan Sekutu-Inggris juga menjadi buas. Para komandan militer
TRI semakin sulit menetralisir situasi dan kondisi lapangan, termasuk di West
Java yang berada di bawah komando Kolonel Abdul Haris Nasution. Perdana Menteri
Sjahrir menjadi sangat sibuk untuk menangkis tuduhan-tuduhan asing dan dan
Menteri TKR dan Penerangan Mr Amir Sjarifoeddin Harahap menjadi sibuk untuk
mengorganisir keamanan dan penerangan kepada masyarakat. Algemeen Handelsblad,
04-12-1945
Situasi di West Java dan
khususnya di Bandoeng secara perlahan-lahan mulai memanas sehubungan dengan
tindakan pasukan Sekutu-Inggris melakukan pembakaran rumah-rumah di Bekasi.
Alamsjah yang bisnisnya mulai menggeliat kembali mulai was-was. Situasi dan
kondisi di Bandoeng bisa jadi menjadi tidak menentu. Friksi-friksi yang terjadi
di Bandoeng antara pasukan Sekutu-Inggris dengan para laskar mungkin
dirasakannnya. Tugas pasukan Sekutu-Inggris jelas tidak meudah untuk dua urusan
pembebasan para interniran Eropa-Belanda dan pelucutan senjata militer Belanda.
Para militer Jepang juga masih memegang senjata. Para pasukan rakyat yang ingin
mendapatkan senjata dari gudang-gudang persenjataan Jepang juga menambah
situasi dari hari ke hari menajadi lebih tegang.
Pada tanggal 13 Desember 1945 dibentuk Komando
Tentara dan Teritorium di Jawa (Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Panglima).
Lalu beberapa hari kemudian Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri
Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin akhirnya menetapkan dan mengangkat Kolonel
Soedirman menjadi Panglima pada tanggal 18 Desember 1945 (dengan tetap
berpangkat Kolonel). Dengan demikian fungsi perencanan dan pengaturan (anggaran
dan personel) ditangani oleh Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin dan pelaksana tugas
di medan perang dikomandokan oleh Panglima Soedirman.
Untuk meningkatkan kualifikasi TRI dan menjaga korps
keamanan, ruang pertempuran di wilayah luar Batavia (yang meliputi seluruh West
Java) berada di bawah komando Siliwangi yang berpusat di Bandoeng dan kemudian
di relokasi ke Poerwakarta. Peristiwa pembunuhan terhadap korps militer
Sekutu/Inggris di Bekasi (oleh pasukan Banteng Hitam) menjadi alasan untuk
memindahkan markas dari Bandoeng ke Poerwakarta. Boleh jadi untuk
mengantisipasi kemungkinan tentara Sekutu/Inggris melakukan balas dendam
Dalam perkembangannya,
perhatian Sekutu/Inggris segera bergeser dari Bekasi ke Bandoeng, demikian juga
fokus Kolonel Abdul Haris Nasution terkonsentrasi di Priangan. Ini sehubungan
dengan semakin memuncaknya perseteruan TKR/TRI plus pejuang rakyat (laskar)
menghadapi Inggris di Bandoeng. Ini juga terkait dengan rencana pemerintah
memindahkan ibukota dari Djakarta ke Jogjakarta. Komandan Sekutu/Inggris di
Bandoeng saat ini adalah Brigadir Jenderal MacDonald.
Ibukota RI akhirnya dipindahkan dari Djakarta ke
Djogjakarta tanggal 4 Januari 1946. Lalu di Jogjakarta TKR diubah menjadi TRI
(Tentara Republik Indonesia) pada tanggal 25 Januari 1946. Penyesuaian ini
dimaksudkan untuk menjadikan TRI sebagai satu-satunya organisasi militer yang
mempunyai tugas khusus dalam bidang pertahanan darat, laut, dan udara. TRI ini
kemudian dibiayai oleh negara atas pertimbangan banyaknya perkumpulan atau
organisasi laskar pada masa itu yang mengakibatkan perlawanan tidak dapat
dilakukan dengan efektif dan efisien. Sementara itu pasukan Sekutu-Inggris
tidak lagi sekadar untuk dua tugas utama, tetapi sudah ada tugas tambahan untuk
menyiapkan kebutuhan Belanda-NICA.
Pada tanggal 12 Maret 1946 Menteri Pertahanan Mr.
Amir Sjarifoeddin Harahap bersama Kolonel Zulkifli Lubis membentuk Departemen
Pertahanan RI di Djogja (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 20-07-1948). Disebutkan satu cabang utama Departemen
Pertahanan ini berada di Poerwakarta-Tjikampek. Salah satu divisi (divisi ke-5)
Departemen Pertahanan ini adalah agitasi dan propaganda (Agitprop).
Dalam perkembangan
selanjutnya, di Bandoeng, Sekutu/Inggris sudah nekad. Komandan Sekutu/Inggris
di Bandoeng telah memberi ultimatum agar TRI (Tentara Rakyat Indonesia)
mengosongkan kota sejauh 11 Km dari pusat kota paling lambat pukul 24.00
tanggal 24 Maret 1946. Maklumat ini diumumkan sehari sebelumnya. Menteri
Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap lantas bergegas dari Jogjakarta dengan
menggunakan kereta api ke Bandung dan mendiskusikannya dengan Panglima Divisi
III/Siliwangi, Kolonel Abdul Haris Nasution.
Kolonel Abdul Haris Nasution, Panglima Divisi III
Siliwangi, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, lantas menyampaikan
pengumuman agar TRI dan penduduk untuk meninggalkan kota. Ultimatim tanggal 24
Maret 1946 merupakan rangkaian ultimatum pertama tentara sekutu pada tanggal 21
November 1945 yang mana tentara Sekutu/Inggris meminta Bandung Utara dikosongkan
selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945. Tentu saja ultimatum ini tidak
diindahkan oleh para pejuang yang menyebabkan terjadinya sejumlah insiden.
Pasukan Sekutu/Inggris sendiri mendarat di Bandoeng sejak 17 Oktober 1945.
Saat pejuang dan penduduk
Kota Bandung mengungsi disana sini terjadi pembakaran. Terjadinya kobaran api
yang besar ini yang kelak dikenal sebagai ‘Bandung Lautan Api’. Politik bumi
hangus di Bandung terjadi di Bandung Selatan. Tindakan bumi hangus ini
bersamaan dengan serangkan mortir yang dilancarkan oleh republic ke Bandung Utara
tempat dimana pasukan Sekutu/Inggris berada. Tindakan ini telah memicu
kemarahan Sekutu/ Inggris. Ini bukan provokasi tetapi tindakan patriot antara
TRI dan penduduk di Bandung.
Limburgsch dagblad, 26-03-1946: ‘Dilaporkan dari
Bandung, Minggu malam di Bandung Selatan telah terjadi kebakaran hebat
berdasarkan pemantaun yang dilakukan patroli pesawat. Ini mengingatkan tempat
kejadian menunjukkan banyak kesamaan dengan kebakaran pertama yang disebabkan
oleh serangan udara di London pada tahun 1940. Beberapa menit sebelum tengah
malam terjadi kebakaran di Onion saat yang bersamaan saat dilakukan tembakan
mortir yang ditujukan ke Bandung Utara dalam melawan posisi Inggris. Meskipun
tidak mungkin untuk melakukan estimasi kerusakan di malam hari, adalah, tanpa diragukan
lagi, lebih dari sepertiga dari Zuid Bandung dibakar. Ini adalah politik bumi
hangus yang digunakan oleh pejuang dengan maksud untuk menunda ultimatum
Inggris. Kebakaran Minggu itu yang disebabkan sebagian besar oleh lingkaran
Republik berakibat permohonan TRI penundaan operasi Inggris ditolak’
Aksi bumi hangus yang
dilakukan oleh republik karena sebelumnya Inggris menolak penundaan ultimatum.
TRI coba memuinta ultimatum ditunda tetapi atas penolakan itu penduduk gerah
dan melakukan tindakan bumi hangus. TRI tidak bisa menenangkan penduduk.
Terjadilah pembakaran dimana-mana. Republik dituduh dibantu tentara Jepang
sehingga cukup tersedia bahan bakar yang menjadi api mudah berkobar.
Politik bumi hangus di Bandung telah menyebabkan
lautan api. Area yang kebakaran meliputi sepertiga dari Bandung Selatan. Jumlah
bangunan yang terbakar ditaksir sebanyak 150 bangunan (Algemeen Handelsblad,
30-03-1946).
Dalam aksi bumi hangus
ini sejumlah properti eks Belanda dibakar, juga sejumlah bangunan warga rela
dikorban untuk dibakar karena akan digunakan oleh Belanda-NICA. Aksi pembakaran
ini di satu sisi suatu pengorbanan di sisi lain suatu tindakan untuk mencegah
Belanda-NICA menggunakannya. Dalam hal ini sejumlah properti Alamsjah juga
ikhlas dikorbankan. Alamsjah akan merapat ke Jogjakarta, ibu kota RI yang baru.
Untuk mengefektifkan fungsi pertahanan, setelah
secata nyata Belanda-NICA telah bercokol di sejumlah kota, Menteri Pertahanan
Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, Komandan Intelijen RI Kolonel Zulkifli Lubis dan
Soeltan Djogja mendesain organisasi pertahanan. Mereka bertiga inilah founder
father Kementerian Pertahanan RI (dihilangkan atau hilang dari sejarah
Kementerian Pertahanan). Sehubungan dengan posisi baru Kolonel Soedirman
sebagai Panglima, Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap menyediakan
secara khusus dokter pribadi, seorang dokter muda berbakat (Dr. Willer
Hoetagaloeng). Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap juga menyediakan ajudan pribadi
Soeltan Djogja yakni Kapten M Karim Loebis (yang menguasai bahasa Belanda dan
Inggris).
Sehubungan dengan semakin
menguatnya Belanda/NICA yang telah menggantikan Sekutu/Inggris, wilayah pertahanan
Indonesia kembali dibagi ke dalam beberapa Divisi dengan mengangkat
panglimanya. Pemerintah RI membentuk panita organisasi tentara yang dipimpin
oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Hasil kerja panitia diumumkan pada
tanggal 17 Mei 1946 yang terdiri dari struktur pertahanan (yang dipimpin oleh
Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap) dan struktur kemiliteran yang
akan dipimpin Soedirman. Dalam pengumuman ini Soedirman telah dipromosikan
menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal, sementara personil militer
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi (lihat Nieuwe courant,
29-05-1946). Nama-nama para pimpinan TRI ditetapkan untuk mengisi
jabatan-jabatan strategis.
Nieuwe courant, 29-05-1946: ‘Perubahan dan
penunjukan pada posisi baru TRI telah diterbitkan. Dalam penunjukkan ini
terlihat keterlibatan orang-orang muda dan perwakilan dari tentara rakyat di
Jawa. Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat
Jenderal. Ketua Pengadilan Tinggi Militer ditunjuk Mr. Kasman Singodimedjo.
Kepala staf diangkat Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Kolonel Soetjipto
diangkat menjadi Kepala Dinas Rahasia; Kolonel TB Simatoepang sebagai Kepala
Organisasi; Kolonel Hadji Iskandar sebagai Kepala Departemen Politik; Kolonel
Soetirto sebagai Kepala Urusan Sipil; Kolonel Soemardjono sebagai Kepala
Hubungan dan Kolonel Soerjo sebagai Kepala Sekretariat. Sudibijo diangkat
menjadi Direktur Jenderal Departemen Perang yang mana Didi Kartasasmita adalah
Kepala Infantri. Di dalam Departemen Perang juga diangkat: Kepala Departemen
Artileri Letnan Kolonel Soerjo Soermano; Kepala Departemen Topografi Soetomo
(bukan penyiar radio); Kepala Geni Kolonel Soedirio; Kepala Persenjataan Mayor
Jenderal Soetomo (juga bukan penyiar radio) dan Kepala Polisi Militer Mayor
Jenderal Santoso (bukan penasihat Dr. Van Mook). Mayor Jenderal Abdoel Haris
Nasution ditunjuk sebagai Panglima Divisi-1 dengan Letnan Kolonel Sakari
sebagai Kepala Staf. Panglima Divisi-2 Mayor Jenderal Abdulkadir (bukan
penasihat Dr. Van Mook) dengan Letnan Kolonel Bamboengkoedo sebagai Kepala
Staf; Panglima Divisi-3 Mayor Jenderal Soedarsono (bukan menteri) dan Letnan
Kolonel Pari sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-4 Mayor Jenderal Sudiro
dengan Letnan Kolonel Fadjar sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-5 Mayor
Jenderal Koesoemo dengan Letnan Kolonel Bagiono sebagai Kepala Staf; Panglima
Divisi-6 Mayor Jenderal Songkono dengan Letnan Kolonel Marhadi sebagai Kepala
Staf, dan Panglima Divisi-7 Mayor Jenderal Ramansoedjadi dengan Letnan Kolonel
Iskandar Soeleiman sebagai Kepala Staf.
Dalam struktur organisasi tentara yang baru ini kali
pertama diperkenalkan pangkat tertinggi yang disebut Jenderal (Soedirman,
sebagai Panglima). Pangkat dibawahnya Letnan Jenderal (Oerip Soemohardjo,
sebagai Kepala Staf). Lalu kemudian pangkat Mayor Jenderal disematkan kepada
tujuh Panglima Divisi plus Kepala Persenjataan dan Kepala PM. Pangkat di
bawahnya sejumlah Kolonel dan sejumlah Letnan Kolonel (belum digunakan pangkat
Brigadir Jenderal). Satu fungsi strategis adalah Kolonel Zulkifli Loebis sebagai
kepala intelijen negara.
Setelah reorganisasi
ketentaraan ini, struktur TRI/TNI semakin rapih dan solid dalam menghadapi
pasukan Belanda/NICA. Pertempuran yang tidak berkesudahan lalu kemudian terjadi
proses diplomatik yang ditindaklanjuti dengan gencatan senjata (sejak 14
Oktober) dan dilanjutkan dengan suatu perundingan antara pemerintah Indonesia
(PM Soetan Sjahrir) dengan pajabat Belanda/NICA di Linggarjati, Jawa Barat pada
tanggal 11 November 1946. Namun hasil perjanjian ini tidak diterima semua
pihak, Perdana Menteri Soetan Sjahrir dalam dilema. Pada tanggal 3 Juli Menteri
Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dilantik menjadi Perdana Menteri untuk
menggantikan Soetan Sjahrir.
Meski sudah menjabat posisi Perdana Menteri, Mr.
Amir Sjarifoeddin Harahap masih merangkap sebagai Menteri Pertahanan. Soeltan
Hamengkoeboewon tetap menjadi Menteri Negara urusan Pertahanan. Itu berarti
Kolonel Zulkifli Loebis tetap di posisinya sebagai kepala intelijen negara.
Namun baru dua minggu Mr.
Amir Sjarifoeddin Harahap memimpin kabinet, Belanda/NICA pada tanggal 20 Juli
1947 melancarkan serangan militer yang kemudian disebut Agresi Militer Belanda.
Belanda/NICA berdalih bahwa TNI dan pejuang (laskar dan rakayat) melakukan
gangguan dan kemudian melakukan serangan dan pendudukan di wilayah-wilayah yang
dikuasi oleh Republik. Padahal agresi ini jelas-jelas untuk merebut
wilayah-wilayah yang potensial dimana banyak perkebunan-perkebunan besar
seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Timur dan Jawa Barat dan tentu saja
perkebunan-perkebunan di Tapanoeli dan Sumatera Barat (khususnya di Air Bangis
dan Ophir).
Tunggu deskripsi
lengkapnya
Alamsjah di Jogjakarta
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog
ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi
warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan
utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat
tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton
sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan
sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam
memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini
hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish).
Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar