Sabtu, 19 Desember 2020

Sejarah Aceh (10): Sejarah Tanah Gayo di Pedalaman Pulau Sumatra; Penduduk Tanah Gayo Niaga ke Oleleh via Sungai Tamiang

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Aceh dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Tanah Gayo relatif sama dengan sejarah Tanah Alas dan sejarah Tanah Karo dalam dimensi waktu (histrical) dan spasial (geografis). Perbedaan diantara ketiganya tempo doeloe lebih pada interaksi penduduknya dengan dunia luar (tetangga). Namun secara ekonomi sosial budaya kurang lebih sama. Itulah sejarah awalnya.

Tanah Gayo (Gajoelanden) terletak di antara pegunungan pertama dan kedua yang membelah Sumatera. Wilayah ini didiami oleh orang pegunungan yang mandiri dengan bahasa, adat istiadat, dan moral yang berbeda (dengan Atjeh) yang paling terkait dengan orang Batak dan mereka beragama Islam, yang merupakan agama yang berlaku, tentu saja telah membawa perubahan besar di dalamnya. Penduduk ini adalah suku Gajoes atau Gajou. Di utara berbatasan dengan Aceh Timur (Edi) dan Tamiang, selatan Tanah Orang Alas dan barat ke tanah Batak dan ke barat pantai barat Atjeh. Betapa padatnya penduduk Gajoeland. Penduduk terbagi menjadi empat Pogis atau Soekoe yang dipimpin oleh kepala yang terpisah dan berdiri sendiri, masing-masing menyandang gelar Kajoeroean. Pogi tersebut disebut Putie Ambaag, Lingga, Boekit dan Laut Tawar; yang pertama adalah kepala dan yang paling banyak penduduknya (lihat Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 14-12-1878).

Lantas bagaimana sejarah awal Tanah Gayo dan perkembangan selanjutnya? Yang jelas Pemerintah Hindia Belanda telah memisahkan Tanah Gayo dan Tanah Alas dimasukkan ke Residentie Atjeh dan Tanah Karo dimasukkan ke Residentie Oostkust van Sumatra. Namun sejarah tetaplah sejarah. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.