Selasa, 20 Juni 2023

Sejarah Dewan di Indonesia (11): Guru dan Dokter Anggota Dewan Gemeente; Berjuang Tidak Hanya di Kelas, Juga di Ruang Sidang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Dewan di Indonesia di blog ini Klik Disini

Pada tahun 1898, pensiunan guru yang kemudian menjadi pemimpn surat kabar berbahasa Melayu, Pertja Barat, Hadji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda menyatakan bahwa Pendidikan dan jurnalistik sama pentingnya: sama-sama mencerdaskan bangsa. Nah, kini guru tidak hanya guru dan jurnalis, juga ada yang terpilih menjadi anggota dewan kota (gemeenteraad). Guru berjuang tidak hanya di kelas, juga di ruang sidang. Bagaimana dengan dokter? Juga ikut berjuang di ruang sidang.


Pada awal pemberlakukan desentralisasi, terutama pada era dimana anggota dipilih warga banyak guru dan dokter yang menjadi nominasi. Mengapa? Guru dan dokter berpendidikan dan memiliki pengetahuan yang luas. Warga pribuni khususnya sangat membutuhkan para guru dan dokter di dewan. Boleh jadi warga pribumi sangat menginginkan peningkatan pendidikan dan peningkatan status kesehatan. Tampaknya para guru dan dokter menyadarinya dan bersedia untuk dipilih melalui mekanismer pemilihan. Dalam daftar anggota dewan, khususnya dewan kota di seluruh Hindia Belanda banyak yang berlatar guru dan dokter. Mereka itu antara lain Kajamoedin Harahap gelar Radja Goenoeng, Dr Mohamad Sjaaf di Medan dokter Abdoel Hakim di Padang, RA Atmadinata guru di Bandoeng, Dr Sardjito dan guru Dahlan Abdoelah di Batavia serta dokter Semeroe di Buitenzorg.

Lantas bagaimana sejarah guru dan dokter menjadi anggota Gemeenteraad? Seperti disebut di atas, warga mengusulkan dan memilih kanadidat untuk dewan kota, terbuka kesempatan bagi semua pihak, terutama guru dan dokter. Mengapa? Guru berjuang tidak hanya di kelas, juga di ruang sidang. Idem dito dengan dokter. Lalu bagaimana sejarah guru dan dokter menjadi anggota Gemeenteraad? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Dewan di Indonesia (10): Mengapa Kota Jogjakarta dan Soerakarta Tak Pernah Berstatus Gemeente? Desentralisasi di Jawa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Dewan di Indonesia di blog ini Klik Disini

Kota Jogjakarta di era kolonial Belanda pantas jadi Kota (Gemeente), tetapi itu tidak pernah terjadi. Seperti halnya Jogjakarta, Kota Soerakarta juga tidak pernah menjadi Kota (Gemeente). Kedua kota di vorstenlanden ini hanya dibina oleh masing-masing seorang Asisten Residen. Setali tiga uang, kedua kota ini juga tidak memiliki dewan kota (gemeenteraad) sendiri. Lantas mengapa kota Jogjakarta tidak pernah berstatus gemeente? Padahal pantas berstatus gemeente. Lalu mengapa kota Padang Sidempoean memiliki dewan sendiri tetapi tidak pernah berstatus gemeente?

 

Kota Yogyakarta adalah ibu kota Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta. Berdirinya kota Yogyakarta tidak lepas dari Perjanjian Giyanti 1755. Era Pemerintah Belanda wilayah Kesultanan Yogyakarta dijadikan keresidenan. Kasultanan Yogyakarta diakui sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri diatur kontrak politik dilakukan tahun 1877, 1921, dan 1940. Yogyakarta menjadi ibu kota Indonesia tahun 1946, UU No 17 Tahun 1947 pasal I yang menyatakan status Kota Praja Yogyakarta. Tanggal ini diperingati hari jadi pemerintahan Kota Yogyakarta. M. Enoch sebagai wali kota pertama. Wali kota mengalami kesulitan karena masih bagian dari DI Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana DI Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian dari DI Yogyakarta. Di era wali kota Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, Yogyakarta memiliki Badan Pemerintah Harian dan Badan Legislatif yang bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang, di mana badan tersebut dipimpin pula oleh wali kota. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang hasil Pemilu 1955. Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekret Presiden 5 Juli 1959, maka UU No 1 Tahun 1957 diganti dengan UU No 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. UU tersebut mengatur pemisahan tugas Kepala Daerah dan DPRD, serta pembentukan Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian. sebutan Kota Praja Yogyakarta diganti dengan Kotamadya Yogyakarta. UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab. (Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah mengapa kota Jogjakarta dan Soerakarta tidak pernah berstatus gemeente? Seperti disebut di atas, perihal tersebut selalu menjadi pertanyaan. Fakta bahwa pemberlakukan desentralisasi sangat meluas di Jawa. Lalu bagaimana sejarah mengapa kota Jogjakarta dan Soerakarta tidak pernah berstatus gemeente? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.