Selasa, 23 Februari 2021

Sejarah Ternate (14): Sejarah Benteng Buton di Kerajaan Buton, Cikal Provinsi Sulawesi Tenggara; Hubungan Politik Ternate-Buton

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Ternate dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Buton, tidak dimulai dari Makassar, apalagi dari Kendari (di Pulau Sulawesi). Sejatinya, sejarah Buton dimulai dari Ternate (Kepulauan Maluku). Sejarah tidak selalu mengikuti dinamika di suatu daratan, tetapi sejarah masa lampau mengikuti rute navigasi pelayaran kuno (dalam konteks perdagangan). Setelah itu barulah muncul hubungan politik. Namun hubungan politik Buton tidak dengan Makassar (Gowa) tetapi dengan Ternate. Oleh karena itu sejarah Kerajaan Buton di masa lampau tidak dapat ditelusuri dari Gowa (Makassar) tetapi harus ditelusuri dari Ternate (idem dito dengan sejarah Manado).

Pada masa ini Buton adalah nama pulau yang posisi GPS berada di sebelah tenggara pulau Sulawesi. Menurut berbagai tulisan nama Buton sudah dicatat dalam buku Nagarakertagama yang ditulis Prapanca (1365). Nama Buton awalnya digunakan sebagai nama kabupaten, yakni Kabupaten Buton dengan ibu kota Baubau. Setelah Baubau menjadi Kota (2001), ibu kota Kabupaten Buton direlokasi ke Pasarwajo. Dalam perkembangannya Kabupaten Buton dimekarkan pada tahun  2007 dengan membentuk kabupaten Buton Utara dengan ibu kota Buranga. Lalu pada tahun 2014 kabupaten Buton kembali dimekarkan dengan membentuk kabupaten Buton Selatan dengan ibu kota di Batauga dan kabupaten Buton Tengah dengan ibu kota Labungkari.

Lantas bagaimana sejarah Buton? Jika diduga sudah terbentuk garis sejarah dengan Jawa di masa awal (pada era Majapahit), maka sejarah Buton lebih lanjut membentuk garis ke Ternate yang kemudian sejarah Buton diintegrasikan dengan sejarah Makassar (Sulawesi). Dalam artikel ini sejarah Buton dimulai dari sejarah Ternate. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Jakarta (117): Banjir Jakarta Tidak Cukup Normalisasi. Rancangan Banjir Sejak Era Belanda, Apakah Perlu Dipertanyakan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Banjir, banjir, banjir lagi. Ungkapan ini akan terus ada. Rancangan pengendali banjir di Jakarta sudah sejak lama final. Tidak butuh lagi rancangan baru. Rancangan baru di era Presiden Soekarno dengan membangun kanal Kali Malang sejatinya telah menabrak rancangan banjir yang sudah ada (sejak era Hindia Belanda). Alih-alih membangun banjir kanal timur (BKT), kanal Kali Malang justru kini telah menjadi beban dan menjadi satu faktor penyebab banjir masa kini. Pembangunan kanal BKT seakan hanya untuk melayani kanal Kali Malang (membuang anggaran dua kali).

Kanal Kali Malang dibangun pada tahun 1960an. Kanal ini dibangun sejatinya bukan untuk mengatas banjir besar yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, tetapi hanya sekadar untuk menyediakan air bersih untuk Jakarta. Celakanya, Kanal Kali Malang telah membebani dalam penanganan banjir di Bekasi dan Jakarta. Kanal Kali Malang ingin menandingi kanal Banjir Kanal Barat (BKB) dari Manggarai ke Pejompongan, tetapi cara berpikirnya salah. Kanal BKB mengalihkan air dari dalam kota ke luar kota (ke Angke); sebaliknya kanal Kali Malang membawa air dari luar kota ke dalam kota. Celakanya lagi, kanal BKB dibangun dengan azas kanal di bawah permukaan air, sebaliknya kanal Kali Malang dibangun di atas permukaan air. Kanal BKB menjadi fungsi drainase, sedangkan kanal Kali Malang telah menghambat arus mata air (sungai) dari hulu ke hilir. Artikel ini adalah artikel lanjutan dari artikel Sejarah Jakarta (76): ‘Naturalisasi ala Anies Baswedan Solusi Banjir Jakarta? Pengendali Banjir Tempo Dulu, Kini Butuh Normalisasi’.

Kanal Kali Malang adalah satu hal. Hal lain soal banjir Jakarta adalah telah terjadi pelanggaran terhadap rancangan (desain) pengendali banjir yang sudah final dibangun di era Hindia Belanda. Pelanggaran yang terjadi sekarang bukan soal pembangunan BKT, tetapi abai terhadap pelestarian sistem pengendalian banjir yang sudah final tersebut. Solusi banjir pada masa kini bukan lagi model pembangunan kanal BKT yang mahal, tetapi dapat dilakukan dengan biaya murah dengan metode normalisasi yakni normalisasi terhadap desain banjir yang sudah ada. Kesimpulan ini sudah diakumulasi pada artikel Sejarah Jakarta (102): Banjir, Banjir, Banjir Lagi; Rancangan Pengendali Banjir Jakarta Sudah Lama Final, Hanya Perlu Normalisasi. Namun hasil analisis data sejarah terbaru, normalisasi tidak cukup tetapi juga perlu mempertanyakan apakah rancangan banjir di Jakarta yang dianggap final selama ini masih valid untuk masa kini. Bagaimana bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.