Minggu, 25 Desember 2016

Sejarah Jakarta (15): Buitenzorg Ibukotanya Blubur, Sejarah Kota Bogor yang Sebenarnya



*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Jika kita datang ke Bogor, kini kita disambut dengan satu monumen ‘pintu gerbang’ yang menempel pada latar belakang Kebun Raya Bogor. Monumen ini terdiri dari sembilan pilar ‘paku alam’ yang sejajar, yang menopang satu batang besar sebgai plakat yang bertuliskan ‘Dinu Kiwari Ngancik Nu Bihari, Seja Ayeuna Sampeureun Jaga’. Arti harfiahnya adalah yang ada sekarang adalah hasil masa lampau dan yang dilakukan sekarang buat masa datang.

Semboyan ini saya paham betul artinya dari sudut sejarah, dan saya juga paham betul geografi Kota Bogor secara rinci. sebagai sebuuah lanskap dimana semboyan itu melekat. Saya pernah menjadi warga kota yang indah ini dengan KTP Kota Bogor selama sepuluh tahun. Ketika saya datang ke Kota Bogor baru-baru ini, saya tidak kaget melihat semboyan ini tetapi justru saya menggugatnya: Mengapa monumen semacam itu tidak sejak dulu dibuat?.

Titik singgung sungai Ciliwung dan Cisadane
Kota Bogor masa kini adalah kota yang di masa lampau yang dipilih oleh para pendahulu sesuai dengan anugerah alam untuk kebutuhan pertahanan, panorama dan religi. Pilihan lanskap kota alam ini sejauh yang saya tahu terbaik di nusantara. Titik origin kota Bogor (sebelumnya bernama Buitenzorg) yang sekarang adalah titik persinggungan antara sungai Ciliwung dan sungai Cisadane.

Bayangkan kita berada di tengah kota (titik origin) di masa lampau. Kita berada diantara dua sungai besar yang sejajar yang merupakan jarak terdekat dua sungai ini (titik singgung) yakni sungai Ciliwung dan sungai Cisadane. Diantara dua sungai besar ini terdapat sungai kecil bernama Cipakancilan. Ke arah selatan (sisi sungai Cisadane) terdapat panorama gunung Salak, ke arah utara panorama melandai menuju ke laut. Ke hulu arah timur menuju pusat ibukota kerajaan Pakuan dan ke hilir arah barat persawahan dan berbelok ke utara mengikuti aliran sungai Ciliwung menuju laut. Titik singgung inilah pusat kota Bogor yang sekarang (Bazaar/Pasar Bogor).  Dari titik origin ini ke arah hulu adalah kota lama (Pakuan Pajajaran) dan ke arah hilir terbentuk kota Buitenzorg. Batas itu kini berada di Pasar Bogor dimana di pangkal jalan Suryakencana kini dibuat gapura dengan bertuliskan ‘Lawang Suryakancana’ (lawang=pintu gerbang). 

Untuk mudahnya kita dapat membagi periode kota ini: masa kini (Kiwari), masa lalu (Bihari) dan masa datang. Kita mulai dari nama Buitenzorg sebagai hasil kearifan lokal masa lampau dan memproyeksi ke masa datang.

Sabtu, 24 Desember 2016

Sejarah Jakarta (14): Jalan Pos, Cikal Jalan Raya; Titik Nol Casteel Batavia. Pos Pertama di Bidara Tjina

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Jalan pos (postweg) adalah jalan utama yang menghubungkan satu tempat utama (hoofdplaats) dengan tempat utama lain untuk keperluan pos. Jalan pos juga menjadi jalur moda transportasi darat untuk arus barang dan orang. Jalan pos dalam perkembangannya menjadi jalan raya utama pada masa kini. Jalan pos sudah ada sejak era VOC. Jalan pos kemudian dirancang ulang oleh Daendles dengan kebijakannya yang terkenal, yakni pembangunan jalan pos trans-Jawa dari Anyer-Panaroekan.

Bataviasche koloniale courant, 05-01-1810
Daendles membuat keputusan yang dimuat dalam surat kabar, Bataviasche koloniale courant edisi pertama (lihat Bataviasche koloniale courant, 05-01-1810). Di dalam keputusan ini (General Reglement) terdapat aturan umum (general reglement) yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Daendles (setelah dua tahun menjabat untuk) menetapkan beberapa nama tempat yang dijadikan sebagai patokan (check poin) jaringan jalan pos yang menghubungkan semua wilayah di Jawa (dimana orang-orang Eropa tinggal).

Satu hal yang menarik dalam pembagian wilayah (distrik) ini hanya disebutkan nama tempat Bantam, Batavia, Semarang dan Surabaya. Hal ini terkait dengan penarikan garis dari satu tempat ke tempat lain sebagai jalan pos. Ini berarti belum ada pembagian wilayah administrasi sebagaimana nanti Jawa dibagi tiga (lima) wilayah: West Java, Midden Java dan Oost Java (Djocjakarta dan Soerakarta). Sementara dalam General Reglement, 1810, rute antar tempat-tempat utama yang disebut tidak diperinci seperti rute Batavia-Buitenzorg.

Jalan Pos Batavia-Buitenzorg

Jalan pos Batavia-Buitenzorg adalah salah satu ruas jalan pos utama di Jawa. Jalan pos ini bermula ketika istana Buitenzorg dibangun sebagai tempat peristirahatan Gubernur Jenderal (dalam perkembangannya menjadi kantor Gubernur Jenderal). Jalan pos Batavia-Buitenzorg menjadi bagian dari jalan pos trans-Jawa (Daendles).

Jumat, 23 Desember 2016

Sejarah Jakarta (13): Nama-Nama Kampong Tempo Doeloe di Batavia (Jakarta)

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Nama-nama kampong di Jakarta (Batavia) sudah ada sejak doeloe, era VOC. Kemudian Era Hindia Timur (VOC) berganti menjadi era Hindia Belanda (Pemerintah Kerajaan Belanda) pada tahun 1799. Antara tahun 1799  hingga tahun 1811 dapat dianggap era transisi yang juga diantaranya terjadi pendudukan Inggris (1811-1816). Era transisi ini membedakan era lama (sarikat dagang) dan era baru (pemerintahan colonial). Pada era VOC ibukota berada di Batavia  lama (sekitar casteel) sedangkan pada era pemerintah Hindia Belanda sudah bergeser ke Batavia baru (yang sekarang).

Era VOC

Nama-nama situs penting di era Batavia lama yang masih eksis di era Batavia baru, antara lain (Almanak 1819): Kasteel (Kota Intan), Vierkant (pabean), Groot River (Kali Besar), Diestpoort (Pintu Kecil), Nieuwpoort (Pintu Besar), Buiten de Boom (Luar Jembatan) dan Molenvlier. Pada era VOC ini sudah teridentifikasi nama-nama kampong di Batavia. Nama-nama kampong terawal dicatat di Batavia seperti Kampong Bandan dan Kampong Heemraden, Kampong Pisang, Kampong Borrong (Loear Batang) dan kemudian semakin bertambah.

Beberapa tahun sebelumnya sudah dicatat nama-nama kampong di Batavia dan sekitar (berdasaekan Almanak 1815). Di Batavia dimana terkonsentrasi orang-orang Cina dikepalai oleh seorang Majoor (Lie Tieuwko) dan dibantu oleh enam luitenant. Untuk pemimpin pribumi adalah Majoor orang Moor (Haied Lebe Ibnoo Candoo), Komanadan orang Bali di Kampong Krokot (Mohamad Japar Jenal Babandam), di Kampong Ankay (Mohamad Jedar Ismael Soojara), di Kampong Pakojan (Bojeng Abdoel Majeed), di Gustee Ankay (Mohaad Ching). Tampaknya orang-orang Bali yang sudah ada sejak awal era VOC sudah beragama Islam. Komandan orang Makassar  dan orang Busgis di kampong Patooakan dan kampang Bugis (Kamalodin), di kampong Jacatra dan kampong Macassar (Abdoel Manap).Komandan orang Malajoe di kampong Malajoe (Jaman Andoella). Komandan orang Ambon di kampong Ambon (Mohamad AbdoelKadeer), Komandan orang Sumbawa di kampong Tambora (Baharan). Komandan orang Paranakan (Chinese Natives of Batavia) adalah Alimoedin. Komandan orang Jawa di kampong Manggadoea (Abdoel Somad), di kampong Patoeakan (Mohamad Sahedan) dan di kampong Loear Batang (Hauwas Kertjaya). Dari daftar ini jelas bahwa penduduk pribumi di Batavia dan sekitar dominan orang-orang yang berasal dari Jawa, Bali, Makassar, Bugis, Sumbawa, Melayu dan Ambon. Mereka ini umumnya adalah pasukan pribumi pendukung militer VOC yang tidak kembali ke kampong asal dan menetap di Batavia dan sekitar dengan membuka lahan pertanian (yang menjadi cikal bakal munculnya nama-nama kampong tersebut). Mereka inilah bersama orang Moor dan orang Paranakan (Cina) plus orang Soenda yang datang dari pedalaman yang mendukung terbentuknya komunitas pribumi awal di Batavia (yang boleh dikatakan sebagai orang Betawi yang sekarang).

Dalam perkembangannya nama-nama kampong yang teridentifikasi di Batavia dan sekitar semakin banyak (lihat Peta 1825):

Bagian Barat Batavia: Djacatra, Djambattan Doea, Djambattan Lima, Goesti, Sawa, Doerie, Boegis, Kapoelian, Soekaboemi, Pisang, Baroe/Baroo, Rawa, Tandjong, Pamanggisan, Tommang, Silipie, Koabamboe, Kebon Dalam, Baroe, Gallong, Rawa, Tamboeran, Pedjompongan, Bendoengan, Boekoenang, Doekoe, Boeloe, Bingan, Dapos, Rontakan, Tjidodol, Goenong, Snahan, Jaman, Batoechepper, Anke, Jacatra.

Bagian Selatan Batavia: Peljote (Petojo?), Diemet, Tjidang, Menting, Slemba, Tjikenie, Kramat, Doekoe, Bazaar Baroe, Kare, Koenang Tiga, Panggilingan, Kwitang, Menting Pisang, Pagansang, Doerin, Panjoran, Dalam, Matraman, Kebon Manggis, Oetang Kaijoe, Tanarenda, Balie, Magran, Jawa, Malajo, Lalen, Pangadegan, Lengkong, Tandjong, Baroe, Bedara Tjina, Pataroeman (Petamburan?), Tanabang.

Bagian Timur Batavia: Kampong Malajo (Melayu), Bidara Tjina, Meester Cornelis, Djacatra, Kebon Nanas, Tjipinang Lobang Boaja, Tjipinang, Rawa Bankee, Pisangan, Rawa Mangoon, Kedong Ratoe, Tana Baroe, Pedongkelan, Kandang Sampi, Lembo, Stot, Bandan, Poelo Nanka, Malajoe, Pagansan, Padoerenan. Toekangan, Pakoeboerang, Tjakong, Kajotingi, Rawa Ratee, Jatti Nagara, Tano Koja, Baroe, Pondok Gede, Peesing, Gonong Sahare, Tandong Poora, Pacojan dan Sonthar (Sunter).

Era Pemerintah Hindia Belanda

Era pemerintahan Belanda yang efektif mulai tahun 1810 baru sekadar mengidentifikasi nama-nama daerah di seluruh Hindia Belanda.  Awalnya dibentuk Residentie (Province), seperti: Bantam, Batavia, Preanger, Tjeribon dan sebagainya. Pada masa ini (1865) Residentie Batavia terdiri dari tujuh afdeeling (semacam kabupaten): Tangerang, Batavia, Weltevreden, Meester Cornelis, Tandjong, Tjibinoeng dan Buitenzorg.

Senin, 19 Desember 2016

Willem Iskander (3): ‘Iskander Effect’, Mengubah Pandangan Pemerintah tentang Pendidikan Pribumi di Jawa

*Untuk melihat semua artikel Willem Iskander dalam blog ini Klik Disini

Pro-kontra tentang pendidikan pribumi di Hindia Belanda telah mencapai puncaknya. Untuk pengembangan pendidikan pribumi, orang Belanda banyak yang setuju tetapi juga banyak yang tidak setuju karena alasan yang berbeda-beda.

Willem Iskander
Dikotomi pendidikan di Hindia Belanda umumnya dialamatkan pada pengembangan pendidikan ETI (Eropa/Belanda) di satu pihak dan pendidikan pribumi di pihak lain. Pendidikan orang-orang Tionghoa dan timur asing lainnya kurang disorot.

Pandangan orang Belanda terhadap pendidikan pribumi di Jawa semakin mendapat tempat setelah adanya laporan Chijs tentang kemajuan pendidikan di Mandailing dan Angkola. Kebijakan pemerintah selama ini telah mendapat perhatian dewan. Argumennya dimulai dari alokasi anggaran yang ada selama ini:

Arnhemsche courant, 13-11-1869: ‘…Hanya ada 7.000 siswa dari jumlah populasi pribumi yang banyaknya 15 juta jiwa. Anggaran yang dialokasikan untuk itu kurang dari tiga ton emas. Hal ini sangat kontras alokasi yang digunakan sebanyak 6 ton emas hanya dikhususkan untuk pendidikan 28.000 orang Eropa… lalu stadblad diamandemen untuk mengadopsi perubahan yang dimenangkan oleh 38 melawan 26 orang yang tidak setuju’.

Setelah adanya perubahan dan kemenangan di parlemen (dewan) oleh yang pro, diantara yang pro ada yang mengungkapkan kekecewaannya selama ini sebagaimana dilaporkan oleh Algemeen Handelsblad, 26-11-1869: ‘…kondisi pendidikan pribumi di Java adalah rasa malu untuk bangsa kita (Belanda). Dua atau tiga abad mengisap bangsa ini, berjuta-juta sumber daya penghasilan telah ditransfer ke ibu pertiwi (Kerajan Belanda), tapi hampir tidak ada hubungannya untuk peradaban pribumi di sini (Hindia Belanda)…’.

Willem Iskander (2): Mendirikan Kweekschool Tanobato (1862), Sekolah Guru Terbaik di Hindia Belanda

*Untuk melihat semua artikel Willem Iskander dalam blog ini Klik Disini

Ketika Willem Iskander berangkat ke Belanda bersama AP Godon, namanya hanya disebut di dalam manifest kapal sebagai juru tulis (bediende). Setelah selesai studi, Willem Iskander telah mengganti namanya menjadi Willem Iskander. Di dalam manifest kapal Petronella Catharina yang membawanya pulang dari Amsterdam disebut W. Iskander (Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 27-07-1861).

Nieuwe Rotterdamsche courant:, 27-07-1861
Kapal yang ditumpangi Willem Iskander langsung ke Batavia. Besar kemungkinan Willem Iskander ingin bertemu dengan pejabat pemerintah di Batavia sebelum pulang kampong di Mandailing en Angkola.

Willem Iskander di Batavia terbilang cukup lama sejak tiba pada bulan Juli 1861. Willem Iskander baru kembali ke Mandailing en Angkola dan tiba dengan kapal Batavia di Padang pada akhir Desember 1861. Dalam manifest kapal namanya hanya disebut Iskander (Bataviaasch handelsblad, 24-12-1861).

Minggu, 18 Desember 2016

Willem Iskander (1): Pionir Pendidikan Indonesia; Pribumi Pertama Studi ke Belanda (1857)

*Untuk melihat semua artikel Willem Iskander dalam blog ini Klik Disini

Willem Iskander adalah pionir pendidikan Indonesia. Willem Iskander tidak hanya orang Indonesia satu-satunya yang memiliki guru berlisensi Eropa tetapi juga mampu mendirikan sekolah guru (kweekschool) terbaik pada era Hindia Belanda di kampungnya di Tanobato, afdeeling Mandailing en Angkola. Willem Iskander meminta perhatian pemerintah untuk mengirim guru studi ke Belanda agar pendidikan di Jawa yang jauh tertinggal dapat lebih berkembang.

Pemerintah mengabulkannya. Namun pemerintah hanya mampu memberi beasiswa kepada tiga guru: Adi Sasminta dari Majalengka, Raden Soerono dari Solo dan Barnas dari Tapanoeli. Namun sebaliknya pemerintah meminta dan memberikan beasiswa kepada Willem Iskander untuk menjadi mentor mereka sambil melanjutkan studi untuk mendapatkan akte kepala sekolah (berlisensi Eropa/Belanda). Selama Willem Iskander di Belanda, Kweekschool Tanobato ditutup dan sebagai gantinya akan didirikan sekolah guru yang lebih besar di Padang Sidempuan yang mana Willem Iskander akan menjadi direkturnya.

Siapa dan bagaimana Willem Iskander sudah pernah ditulis Basyral Hamidy Harahap. Kita sudah cukup puas apa yang kita baca selama ini. Dan kita juga percaya apa yang ditulis tentang Willem Iskander sudah cukup lengkap dan akurat. Akan tetapi, saya baru menyadari ketika seorang kawan mengharapkan saya untuk mendalami kembali dengan lebih cermat dan komprehensif tentang Willem Iskander. Saya juga tergoda untuk membuka kembali data dan informasi yang telah saya miliki tentang Willem Iskander sejak awal hingga akhir.

Serial artikel ini adalah sejumlah artikel yang akan memperkuat tulisan Basyral Hamidy Harahap berdasarkan hasil penelusuran yang telah saya lakukan lima tahun yang lalu. Dalam artikel-artikel berikut, saya melengkapai data dan informasi secara detail dan juga saya pandang perlu untuk menambahkan situasi dan kondisi setiap tahapan perjalanan Willem Iskander. Dengan menyusun urutan waktu pelaporannya dibuat secara kronologis maka secara kontekstual akan lebih jelas. Semua data dan informasi disebut sumbernya agar pihak lain dapat menelusuri kembali. Beberapa temuan di dalam tulisan Basyral Hamidy Harahap akan terkoreksi dan sejumlah fakta (baru) yang terabaikan akan ditampilkan.   

Mari kita mulai dengan artikel pertama. Pembaca harap bersabar, sebab serial artikel Willem Iskander ini saya tulis diantara dua serial artikel yang lain, yakni: Sejarah Kota Medan (baru 54 artikel) dan Sejarah Jakarta (baru 12 artikel).

Rabu, 14 Desember 2016

Sejarah Jakarta (12): Surat Kabar Pembrita Betawi (1885) Hingga Pers Berbahasa Melayu; Tata Bahasa van Ophuijsen Hingga Balai Poestaka (1920)



Setelah pers Belanda di Hindia Belanda berkembang, kemudian menyusul surat kabar berbahasa Melayu diterbitkan tahun 1858. Tentu saja surat kabar berbahasa Melayu menggunakan bahasa Melayu. Namun bahasa Melayu yang digunakan entah versi siapa. Memang bahasa Melayu sudah sejak dahulu menjadi lingua franca dari Andaman hingga Maluku, namun belum pernah diperhatikan sebagai tatabahasa. Dan belum ada yang menyusun tata bahasa Melayu. Ketika bahasa Melayu dijadikan bahasa surat kabar maka apa yang dipikirkan oleh si penulis dengan si pembaca bisa berbeda. Ini berbeda dengan bahasa Belanda yang sudah memiliki tata bahasa baku.

Bahasa Melayu banyak ragamnya tergantung siapa yang menggunakan. Ada versi Belanda, versi Tionghoa dan ada versi pribumi. Disamping bahasa Melayu juga terdapat dialek Melayu yang berbeda satu sama lain misalnya Minangkabau, Ambon dan Betawi. Hal-hal serupa ini akan menyulitkan penerbitan surat kabar berbahasa Melayu. 

Surat Kabar Berbahasa Melayu

Surat kabar berbahasa Melayu pertama diterbitkan di Surakarta tahun 1856 (lihat Soerabaijasch handelsblad, 25-01-1889). Di Batavia menyusul surat kabar Bintang Oetara (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-03-1856). Lalu kemudian dua tahun berikutnya (cf. 1858) sebagaimana disebut koran Soerabaijasch handelsblad, 25-01-1889, di Surabaya terbit surat kabar bernama Bintang Timor. Setelah sekian lama, kemudian di Batavia terbit lagi surat kabar baru, Bintang Barat yang diterbitkan oleh De Lange & Co (Bataviaasch handelsblad, 19-04-1869)

Senin, 12 Desember 2016

Sejarah Jakarta (11): Surat Kabar Pertama Bataviaasche Nouvelles (1744); Bataviaasch Genootschap dan Pers Belanda



Bataviaasch Genootschap didirikan. Lembaga pengetahuan VOC ini didirikan tahun 1778 di Batavia (Tanggal 24 April). Pada saat ini kantor semacam institusi VOC yang disebut Dagh-Register masih aktif melakukan pencatatan tentang Hindia Timur, khususnya dinamika di Batavia.

Hollandsche historische courant, 11-01-1785
Satu catatan Dagh Register yang berhasil ditemukan adalah catatan tentang kedatangan seorang Tionghoa di Batavia dari Angkola tahun 1701. Catatan-catatan lainnya belum pernah ada yang dilaporakan. Namun semua catatan Dagh Register sejak 1624 sudah diekstrak di dalam berbagai volume (volume 1624 hingga volume 1782). Oleh karena itu, catatan parsial (dalam bentuk asli) tentang satu hal hanya catatan tentang Tionghoa tersebut.

Lembaga pengetahuan baru telah muncul. Yang kemudian disebut Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Lembaga ini tentu di awal pendiriannya belum efektif bekerja. Hasil pertama mereka adalah sebuah prosiding yang dipublikasikan dan dijual secara komersol (lihat Hollandsche historische courant, 11-01-1785) Lembaga ini diduga baru efektif bekerja di era pemerintahan colonial Belanda (VOC bangkrut lalu diakuisisi Kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintah Hindia Belanda tahun 1799).

Pada era Inggris (1811-1816) nama Batavian Literary Society muncul, Gubernur Jenderal Inggris, Raffles termasuk salah satu anggota (kehormatan) dan duduk sebagai Presiden Kehormatan (di atas Vice President). Raffles adalah penulis handal, bukunya yang terkenal adalah Th History of Java. Salah satu anggota kehormatan adalah William Marsden, penulis buku The History of Sumatra yang diterbitkan pertama kali tahun 1811. Meski demikian nama Bataviaasch Genootschap tetap eksis (lihat ava government gazette, 03-04-1813). Dengan kata lain ada dua lembaga yang berbeda anggota dan bahasa.

Pada masa selanjutnya, sumber-sumber yang dapat dijadikan rujukan selain Dagh Register adalah beberapa surat kabar yang terbit di Belanda (Amsterdam, Haarlem, Rotterdam dan Leyden). Surat kabar semasa VOC tidak ditemukan di Batavia. Dua sumber tersebut (dagh register dan surat kabar di Belanda) menjadi sumber data terpenting.

Sejarah Jakarta (10): Penduduk Betawi di Batavia; Istilah Anak Betawi Asli (1886), Nama Betawi Pernah Dilarang (1951)

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini


Penduduk Betawi di Batavia sudah sejak lama disebutkan. Penduduk Betawi umumnya berbahasa Melayu. Penduduk Betawi dikelilingi oleh penduduk berbahasa Sunda di area yang lebih tinggi (bovenlanden). Bagaimana penduduk Betawi terbentuk sudah ada yang pernah menelitinya. Oleh karena itu, penduduk Betawi diasumsikan adalah penduduk asli Batavia. Satu hal yang menarik dilihat, ketika Batavia telah berproses dan namanya berganti menjadi Jakarta, muncul pertanyaan baru: dimana pemukiman mereka terkonsentrasi sekarang?.

Sunda Kalapa Hingga Batavia

Secara teoritis, area yang menjadi Batavia di masa lampau adalah teritori yang berbahasa Sunda—mulai dari garis pantai di Banten hingga di Chirebon ke pedalaman. Teritori berbahasa Sunda ini dipertegas ketika Portugis/Belanda menyebut pelabuhan di muara Ciliwong sebagai Cunda Kalapa (Sunda Kalapa). Sunda berarti terkait dengan pegunungan di pedalaman (Kerajaan Pakuan Pajajaran), Kalapa berarti tanaman yang banyak ditemukan di dataran rendah dekat garis pantai. Satu-satunya pintu (gate) penduduk berbahasa Sunda di pedalaman adalah muara Tjiliwong. Sebaliknya muara sungai adalah pintu (gate) bagi pihak luar untuk berinteraksi dengan penduduk dari pedalaman. Oleh karena itu, muara sungai Tjiliwong (Sunda: cai, ci= air, sungai) adalah titik strategis untuk memulai memahami penduduk Betawi.

Soerabaijasch handelsblad, 28-08-1886
Kalapa diyakini berasal dari bahasa Melayu. Penduduk berbahasa Sunda berhadapan langsung dengan penduduk pengguna bahasa Melayu (pantai timur Sumatra, semenanjung Malaya, kepulauan dan pantai barat/selatan Kalimantan). Interaksi antara dua penduduk yang menggunakan bahasa Melayu tersebut dengan penduduk yang menggunakan bahasa Sunda terjadi sangat intens. Bahasa Melayu yang muncul sebagai lingua franca dalam perdagangan/pelayaran menyebabkan teritori penduduk berbahasa Sunda menjadi lebih Melayu daripada lebih Sunda (dari sudut penggunaan bahasa). Nama-nama tempat (yang kemudian menjadi nama kampong) dan nama sungai di Batavia adalah kombinasi penggunaan bahasa Melayu dan bahasa Sunda.  

Kehadiran orang asing (Asia seperti India, Tiongkok, Arab, Persia) dan yang kemudian disusul orang Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis dan Inggris telah menambah keramaian pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan Sunda Kelapa sendiri yang sejak dari doeloe menjadi tempat pertukaran (exchange) yang penting dari luar (garam, kain, besi dan sebagainya) dan dari dalam di pedalaman (rempah-rempah, dan hasil-hasil hutan). Moda transportasi awal adalah melalui air (laut dan sungai). Sungai Ciliwong menjadi moda terpenting dari dan ke pedalaman (Pakuan/Padjadjaran). Paling tidak hingga beberapa pelabuhan sungai yang penting di sungai Ciliwung yang bahkan sampai ke Bodjong Gede (Moera Beres).

Sabtu, 10 Desember 2016

Sejarah Jakarta (9): Kereta Api Batavia-Buitenzorg Dioperasikan 31 Januari 1873; Tanah Partikelir Berkembang; Trem Listrik Batavia, 1899

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Pembukaan jalur kereta api Batavia dan Buitenzorg sangat berdampak luas: menghubungkan istana di Bogor dan istana di Batavia; memudahkan transportasi penduduk maupun wisatawan yang ke Buitenzorg. Manfaat lainnya adalah menjadi angkutan utama barang dan komoditi dari hulu sungai Ciliwung. Jalur kereta api Batavia-Buitenzorg mulai dioperasikan tanggal 31 Januari 1873 (lihat Bataviaasch handelsblad, 29-01-1873). Jalur ini diklola swasta (NIS).

Bataviaasch handelsblad, 29-01-1873
Jalur kereta api pertama di Hindia Belanda dibangun tahun 1867 yang menghubungkan jalur Semarang dengan luar kota (26 Km). Jalur ini dibuka untuk umum pada tahun 1867. Pada tahun 1970 dibuka jalur Semarang-Surakarta. Jalur antara Batavia dan Buitenzorg yang dibuka tahun 1873 merupakan kelanjutan jalur kereta api barang dari Jakarta kota yang sekarang dari dan ke pelabuhan baru di Tandjong Priok.

Pembukaan jalur Batavia-Bogor telah mengoptimalkan perkebunan-perkebunan di Buitenzorg dan wilayah pertanian penduduk. Sebagaimana diketahui sudah sejak lama antara Batavia dan Buitenzorg terjadi komersiaisasi lahan (land) dan terbentuknya perkebunan-perkebunan.

Kereta Api Batavia (Jakarta Kota)-Buitenzorg (Bogor)

Jadwal Buitenzorg-Batavia (Bataviaasch handelsblad, 29-01-1873)
Jalur kereta api Batavia-Buitenzorg melayani penumpang diantara dua kota ini yang mana kereta api berhenti pada setiap halte yang telah ditentukan. Jalur kereta api Batavia-Buitenzorg ini terdiri dari satsion utama (hoofdstatsion), stasion (stasion kecil), halte (halte besar) dan overweg (halte kecil). Stasion utama berada di Batavia lama (Stadhuis/NIS) dan Buitenzorg. Stasion antara berada di Meester Cornelis (stasion Jatinegara yang sekarang). Untuk halte dan overweg terdapat di: Cileboet, Bodjong Gede, Tjitajam, Depok, Pondok Tjina, Lenteng Agoeng, Pasar Minggoe. Halte lainnya terdapat di Pegangsaan (kini Cikini), Koningsplein (kini Gambir), Noordwijck (kini Juanda) dan Sawah Besar. Satu lagi halte yang terpisah adalah halte Kleine Boom (Pasar Ikan?).

Sejarah Jakarta (8): Pusat Pemerintahan dan Tata Kota di Batavia 1860; Kopi Mandailing-Angkola dan Tembakau Deli



Pusat pemerintahan Hindia Belanda di Batavia semakin berkembang pesat sejak tahun 1860. Rencana tatakota sudah beberapa tahun sebelumnya dibangun. Sementara itu, berbagai ekspedisi (membuka wilayah mulai intensif dilakukan ke luar Jawa sejak ekonomi di Jawa sudah mulai jenuh. Ekspedisi ini berhasil dan dengan cepat memberi kontribusi dalam pembiayaan pembangunan, utamanya pembangunan infrastruktur ekonomi dan pengembangan sosial (kesehatan dan pendidikan).

Peta Batavia, 1825
Ibukota Batavia awalnya di Batavia lama (Oud Batavia) tempat dimana awalnya benteng (casteel) dibangun semasa Hindia Timur (VOC), Kemudian sejak pemerintahan Hindia Belanda, 1799 ibukota dipindahkan ke sekitar Weltevreden. Lalu pada era pendudukan Inggris (semasa Rapffles) ibukota Batavia dipindahkan ke Buitenzorg. Setelah Hindia Belanda menggantikan Inggris kembali, ibukota dipindahkan lagi ke Batavia (tempat yang istana negara yang sekarang).

Tata Kota-1: Istana Arah ke Utara

Batas-batas Batavia baru (Peta 1860)
Sejak Inggris hengkang dari Hindia Belanda, 1811, Pemerintah mulai menata ibukota Batavia yang baru. Ibukota Batavia lama (Oud Batavia) sudah tidak layak lagi untuk tempat pemerintahan. Selain sudah padat, sulit menata ulang (meski Gubernur Jenderal de Farra pernah membuat revitalisasi kota 1774), juga karena alasan tidak sehat dan kurang nyaman.

Hasil penataan kota yang baru, tampak dalam Peta 1860. Di dalam peta ini bangunan-bangunan di sekitar Koningsplein semakin padat (jika dibandingkan dengan Peta 1825). Dalam peta baru ini lokasi pusat pemerintahan yang berpusat di Koningsplein, di empat sisi lokasi terdapat pembatas: Ooster wal, Wester wal, Zuider wal dan Noorder wal (diagonal antara Tanah Abang dan Gunung Sahari). Boleh jadi wal (tembok) ini dibuat untuk memisahkan dengan kota lama dan juga karena alasan keamanan (ingat kembali Pembantaian Tinghoa pada tahun 1740).

Jumat, 09 Desember 2016

Sejarah Jakarta (7): Gempa Bumi 1834, Istana Buitenzorg Hancur; Sungai Ciliwung di Batavia Makin Dangkal, Kanal Barat Dibangun 1918

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disin


Istana Buitenzorg, 1834 (sebelum hancur oleh gempa bumi)
Gempa bumi adalah kejadian alam yang menakutkan dan dapat menimbulkan bencana besar. Gempa bumi di Batavia sudah kerap terjadi dan pencatatannya dimulai sejak kehadiran VOC tahun 1619 di Batavia. Dua hal yang pokok yang dapat menimbulkan bencana besar di Batavia adalah runtuhnya berbagai bangunan dan semakin dangkalnya Sungai Ciliwung.

Gempa bumi besar di Batavia telah terjadi beberapa kali sebelumnya. Gempa bumi pertama dicatat tanggal 13 Februari 1684. Selanjutnya, terjadi gempa bumi pada 4 Januari 1699, 25 Januari 1769, 10 Mei 1772 dan disusul pada tanggal 22 Januari 1775. Gempa bumi berikutnya pada tanggal 19 Maret 1805 (lihat Almanak 1816).

Pada masa transisi dari Inggris ke Belanda tahun 1815 terjadi kembali gempa bumi beruntun, yakni: tanggal 10 April 1815 lalu keesokan harinya tanggal 11 April dan empat hari kemudian terjadi lagi tepatmya tanggal 15 April 1815. Ini mengindikasikan wilayah sekitar Batavia sejak dari dulu rawan terhadap gempa bumi.

Istana Buitenzorg Hancur

Gempa bumi tahun 1834 terbilang gempa bumi terbesar yang pernah terjadi di Batavia. Gempa bumi ini tercatat telah menghancurkan Istana Buitenzorg. Padahal istana ini merupakan salah satu bangunan yang dibuat kokoh dan tahan lama karena tempat kediaman Gubernur Jenderal. Yang dimaksud Residentie Batavia saat itu adalah wilayah sepanjang pengaliran sungai Tjiliwong (Afdeeling Batavia, Afdeeling Meester Cornelis dan Afdeeling Buitenzorg).

Sejarah Jakarta (6): VOC Diakuisisi Kerajaan Belanda, Pemerintah Hindia Belanda Dimulai 1799; Ibukota Batavia



VOC dibubarkan. Kerajaan Belanda mengambilalih dan membentuk pemerintahan. Nama Hindia Timur (Oost Indisch) diubah menjadi Hindia Belanda (Nederlandch Indie). Ibukota yang dipilih tetap Batavia. Namun lokasinya tidak lagi di pantai (Kastil Batavia) tetapi dipilih di suatu lokasi yang lebih sehat agak ked alam yang kemudian dikenal sebagai Weltevrede.

Hindia Belanda adalah wilayah yang sangat luas, Batavia hanyalah wilayah kecil dimana ibukota berada. Namun demikian, apa saja nama-nama kampong di ibukota ini belum ada daftar yang lengkap.

Pada era VOC (1619-1799) nama-nama kampong yang sudah terdeteksi antara lain: Pasar Borrong/Loear Batang, Kampong Bandan, Doeri, Moeara…Nama-nama kampong yang terdeteksi terus bertambah, baik yang sudah ada sejak awal (dan belum dilaporkan) maupun kampong-kampong yang terbentuk kemudian karena adanya migrasi.

Dengan adanya campur tangan kerajaan (terbentuknya pemerintahan) di Hindia Belanda, nama-nama tempat menjadi penting. Setiap tempat awalnya diberi nama sebagai penanda untuk jalan pos. Meski nama-nama tempat itu baru sekadar sebagai check point tetapi nama tersebut tetap diregister secara resmi (cikal bakal peraturan perundang-undangan tentang wilayah/daerah). Di antara nama-nama tempat check point tersebut kepemilikan lahan mulai diperkenalkan, pengakuan kepemilikan lahan diformalkan dan perpindahan kepemilikan harus terdaftar. Wilayah hulu Tjiliwong akan dibagi-bagi ke dalam kepemilikan landhuis (lahan partikelir yang dimiliki oleh para planter).

Senin, 05 Desember 2016

Sejarah Jakarta (5): Simpang Siur Tragedi Pembantaian Tionghoa di Batavia, 1740; Ini Faktanya!



Tragedi Cina Batavia 1740 adalah sebuah peristiwa memilikukan yang pernah diceritakan. Puncak tragedi terjadi pada tanggal 11 Oktober 1740. Namun anehnya, adanya pembantaian Cina (Chinezenmoord) di Batavia tidak pernah sebelumnya diberitakan. Terminologi Chinezenmoord bahkan tidak pernah ditemukan sesudahnya. Baru pada tahun 1972 terminologi Chinezenmoord muncul (NRC Handelsblad, 29-09-1972). Lantas sesungguhnya apa yang terjadi pada tahun 1740 terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia. Apakah ceritanya lebih menyeramkan daripada kenyataannya atau sebaliknya kenyataannya lebih mengerikan dibanding ceritanya. Semua itu bersifat misteri hingga tahun 1972.

Oprechte Haerlemsche courant, 18-07-1741
Artikel ini berhasil menelusuri semua koran-koran yang terbit di Belanda pada tahun 1740 dan 1741. Surat kabar yang pernah melaporkan adalah koran Oprechte Haerlemsche courant edisi 15-07-1741 dan edisi 18-07-1741. Dua edisi ini cukup lengkap menggambarkan situasi dan kondisi yang ada tentang orang-orang Tionghoa di Batavia.

Chinezenmoord Terkuak 1972

NRC Handelsblad edisi 29-09-1972 secara terbuka melaporkan Tragedi Cina di Batavia tahun 1740 dengan judul: ‘Lijken gevonden van massamoord op Chinezen in Nederlands-Indië in 1740 (Mayat ditemukan dalam pembunuhan massal Tionghoa di Hindia Belanda pada tahun 1740). Berita itu pada intinya melaporkan ketika adanya pembangunan sebuah pusat perbelanjaan baru di Jakarta telah menemukan kerangka ratusan Cina yang dieksekusi paling mungkin tahun 1740 atau hanya dibunuh oleh tentara Belanda. Orang Cina diborgol pada saat kematian mereka. Kerangka ditemukan di sebuah lubang yang dalamnya lima meter. Pembangunan pusat perbelanjaan untuk sementara dihentikan untuk memberikan kesempatan untuk dilakukan penyelidikan.