Penduduk Betawi di Batavia sudah sejak lama disebutkan. Penduduk Betawi umumnya berbahasa Melayu. Penduduk Betawi dikelilingi oleh penduduk berbahasa Sunda di area yang lebih tinggi (bovenlanden). Bagaimana penduduk Betawi terbentuk sudah ada yang pernah menelitinya. Oleh karena itu, penduduk Betawi diasumsikan adalah penduduk asli Batavia. Satu hal yang menarik dilihat, ketika Batavia telah berproses dan namanya berganti menjadi Jakarta, muncul pertanyaan baru: dimana pemukiman mereka terkonsentrasi sekarang?.
Sunda Kalapa Hingga Batavia
Secara teoritis, area yang
menjadi Batavia di masa lampau adalah teritori yang berbahasa Sunda—mulai dari
garis pantai di Banten hingga di Chirebon ke pedalaman. Teritori berbahasa
Sunda ini dipertegas ketika Portugis/Belanda menyebut pelabuhan di muara
Ciliwong sebagai Cunda Kalapa (Sunda Kalapa). Sunda berarti terkait dengan
pegunungan di pedalaman (Kerajaan Pakuan Pajajaran), Kalapa berarti tanaman
yang banyak ditemukan di dataran rendah dekat garis pantai. Satu-satunya pintu
(gate) penduduk berbahasa Sunda di pedalaman adalah muara Tjiliwong. Sebaliknya
muara sungai adalah pintu (gate) bagi pihak luar untuk berinteraksi dengan
penduduk dari pedalaman. Oleh karena itu, muara sungai Tjiliwong (Sunda: cai,
ci= air, sungai) adalah titik strategis untuk memulai memahami penduduk Betawi.
Soerabaijasch handelsblad, 28-08-1886 |
Kehadiran orang asing (Asia
seperti India, Tiongkok, Arab, Persia) dan yang kemudian disusul orang Eropa
seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis dan Inggris telah menambah
keramaian pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan Sunda Kelapa sendiri yang sejak
dari doeloe menjadi tempat pertukaran (exchange) yang penting dari luar (garam,
kain, besi dan sebagainya) dan dari dalam di pedalaman (rempah-rempah, dan
hasil-hasil hutan). Moda transportasi awal adalah melalui air (laut dan
sungai). Sungai Ciliwong menjadi moda terpenting dari dan ke pedalaman
(Pakuan/Padjadjaran). Paling tidak hingga beberapa pelabuhan sungai yang
penting di sungai Ciliwung yang bahkan sampai ke Bodjong Gede (Moera Beres).
Hubungan perdagangan antara Banten dan Tjirebon dengan Pakuan yang intens
sejak lampau telah menarik bagi pedagang/pelaut asing utamanya oleh orang-orang
Eropa. Dua kekuatan di barat (Banten) dan di timur (Chirebon), titik lemahnya
ada di muara Tjiliwong (karena Pakuan ada di pedalaman). Pelabuhan Sunda Kelapa
menjadi rebutan pengaruh. Singkat kata: akhirnya orang Eropa yang sepenuhnya
dapat menguasai. Pelabuhan Sunda Kelapa bagi orang Eropa adalah pusat dari
perdagangan di nusantara saat itu (dari Atjeh hingga Maluku dan dari Siam
hingga Pakuan/Mataram). Lalu kemudian oleh orang-orang Belanda (VOC) mengganti
nama Sunda Kelapa/Jayakarta menjadi Batavia (1621).
Nama Betawi
Betawi awalnya adalah ucapan
untuk menunjukkan tempat, Batavia. Nama Betawi digunakan pemerintah sebagai Negeri
yang didasarkan pada pembagian wilayah adat. Pemerintah sendiri dalam mengatur
penduduk tidak langsung tetapi melalui pemimpin adat. Di dalam wilayah adat
dibentuk pemerintahan lokal berdasarkan kesatuan adat, etnik atau teritori. Di
luar Batavia, seperti di Surakarta disebut Kanjeng lalu Jogja, Banten, Cirebon
dan Madura disebut Sultan. Hal serupa ini pada nantinya di dengan sebuatan Nagari
di Minangkabau dan Luhat/Koeria di Mandailing en Ankola serta Negeri di
Siolndoeng dan Toba. Di Deli dibawah pimpinan Sultan (dan kejoeroean).
Di Batavia yang disebut pemimpin
pribumi (non Eropa dan non Tionghoa) sangat beragam seperti pemimpin Moor, pemimpin
Bali, pemimpin Melayu, pemimpin Ambon, Sumbawa, Paranakan (Cina asli Batavia)
dan Jawa. Belum terdeteksi pemimpin Betawi.
Dalam Almanak tahun 1819, pemimpin-pemimpin penduduk asli (native
officer) di Batavia disebutkan sebagai berikut: Mayor dari Moor, Komandan dari
Bali di kampong Krokot, kampong Ankay, kampong Pecojan dan di Guste Ankee. Para
komandan ini dari namanya adalah muslim; Komandan dari Macassarse dan Bugguese
di kampong Patooakon dan kampong Bugis, Jacatra dan Macassar; Komandan dari
Malay di kampong Melajo; Komandan Amboynese dan lainnya di kampong Ambon;
Komandan dari Soembawa di kampong Tambora; Komandan Paranakan (Chinese natives
of Batavia) yang dari namanya muslim; Komandan Javanese di kampong Mangadua.
Selain itu disebutkan Komandan di Patoekon dan Komandan di kampong Looar
Batang; serta pengetua adat (native master of the ceremonies) yang disebut
Major.
Untuk orang-orang Tionghoa
yang umumnya tersebar dan tiap komunitas Tionghoa diangkat pemimpin mereka (chhinese
officer). Orang-orang Tionghoa yang pedagang keliling atau komunitas kecil yang
terdekat meenjadi wilayah para pmimpin Tionghoa. Nama-nama kapiten dan luitenan
dari Tionghoa (meski pernah terjadi pembantaian Tionghoa tahun 1740) adalah
terdiri dari satu kapten (Mie Tieuwko) dan enam luitenan dan dua orang sebagai
anggota dewan. Para pemimpin ini (kap./luit.) membawahi sorang Revenue Farmer
(pedesaan) dan Yong Farmer (perkotaan) yang bertugas untuk mengumpulkan retribusi
(yang sebagain besar disetor ke pemerintah Belanda.
Meski belum ada informasi
yang menyatakan terdapat pemimpin adat Betwai, namun nama Betawi sudah ada.
Nama Betawi tidak hanya digunakan pribumi tetapi juga oleh orang-orang ETI
(Eropa/Belanda). Nama resmi tempat tetap Batavia, walau ada kalanya pemerintah
menggunakannnya untuk kepentingan pribumi dalam hal nomenklatur, misalnya
Kantor Lelang Betawie (De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en
commercieel nieuws- en advertentieblad, 15-01-1857); Resident van Batavia dan
Residen di Betawi (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
14-10-1865).
Eksistensi Orang Betawi
Bagaimana terbentuknya
Betawi masih sulit diformulasikan. Yang jelas terminologi Betawi baru muncul
kemudian jika dibandingkan keberadaan orang-orangnya.
Di daerah Betawi yang disebut Batavia sejak era Sunda Kelapa sudah banyak
penduduk yang bermukim, jika orang-orang Tionghoa sudah ada, apalagi
orang-orang pribumi yang datang dengan perahu atau yang turun gunung. Tentu
saja ada penduduk yang datang dari Asia Selatan dan Asia Barat.
Siapa yang Betawi sangat
samar-samar. Surat kabar Belanda sangat jelas mengidentifikasi orang Batak,
Melayu dan Atjeh di Deli. Pantun yang dicatat surat kabar De Locomotief
(12-12-1881) jelas bukan panting orang Betawi, sebab yang diibaratkan adalah
orang Betawi. Dalam pantun ini laki/pemuda Betawi disebut sinjo dan
perempuan/pemudi disebut nonah. Kosa kata sinyo dan nona adalah bahasa campuran
yang banyak digunakan oleh orang-orang Tionghoa.
De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 13-12-1881: ‘Djangan
mandi kali Betawie, Kalie Betawie banjak lintahna, Djangan kawin nonah Betawie, Nonah Betawie banjak tingkahnja….Djangan
mandi kalie Betawie, Kalie Betawie banjak oedangnja, Djangan kawin sinjo
Betawie, Sinjo Betawie banjak oetangnja…’
Orang Betawi juga disebut suka main komedi (Java-bode: nieuws, handels-
en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-09-1882). Nama Betawi banyak
dimanfaatkan oleh orang-orang ETI (Eropa/Belanda) baik sebagai nama toko, Toko
Betawie (Het nieuws van den dag: kleine courant, 24-05-1882) maupun nama surat
kabar, Pembrita Betawie (Soerabaijasch handelsblad, 08-12-1884). Orang-orang
pribumi di daerah (luar Betavia) nama Batavia juga kerap menggunakan nama
Betawi (Soerabaijasch handelsblad, 03-09-1887).
Pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia tahun 1740 adalah salah satu
tragedi yang memilukan bagi orang Tionghoa. Mereka dicap sebagai pemberontak
sebagai penduduk yang dicurigai dan kerap menimbulkan konspirasi. Diantara
mereka Tionghoa boleh jadi banyak yang membaur dengan penduduk pribumi dan
berafiliasi dengan orang-orang Betawi dan lebih suka disebut orang Betawi.
Kampung-kampung Betawi di
Batavia disebutkan umumnya dihuni oleh orang-orang Banten, Jawa dan Oediker
(lihat Bataviaasch handelsblad, 27-12-1893). Pemuda-pemuda Betawi disebut sebagai
anak Betawi (Bataviaasch nieuwsblad, 01-08-1894). Seorang penulis Belanda
sangat tertarik menggunakan nama Betawi sebagai nama samaran yang dirinya
ditulis sebagai ‘Orang Betawi’.
Penulis yang menyebut dirinya ini ‘Orang Betawi’ adalah seorang
koresponden yang banyak mengkritik pemerintah (antara tahun 1899 hingga tahun
1904). Orang ini tampaknya bukan pribumi tetapi berafiliasi dengan pribumi
dengan memilih identitas Betawi. Kelompok Betawi telah menjadi kelompok yang
ingin disuarakannya. De Tijd:
godsdienstig-staatkundig dagblad, 22-05-1905: ‘… korespondensi saya untuk surat
kabar "De Tijd" ditulis dengan nama samaran "Orang Betawie"
selama enam tahun saya sebagai koresponden untuk surat kabar tersebut…W.H.
Bogaardt’.
Betawi menjadi suatu
identitas diri. Mereka juga memiliki primbon sendiri yang disebut Primbon
Betawi (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 13-05-1901).
Tentu saja orang Betawi memiliki masakan khas yang disebut Masakan Betawi (Nederlandsche
staatscourant, 10-08-1910). Demikian juga orang Betawi memiliki pencak sendiri
yang disebut Pentjak Betawie (het Maleische Jiu-Jitsu) dengan tokoh Soejoedi
dan Abdul Madjid (Haagsche courant, 18-12-1924).
Orang Betawi sebagai suatu
komunitas, warga Betawi di Batavia juga menjadi target surat kabar investasi
asing di Batavia dengan mendirikan surat kabar berbahasa Melayu ‘Pembrita
Betawi’ (1897), Bintang Betawie (1901) dan Sinar Betawie (1906).
Salah satu editor pribumi
yang pertama di Pembrita Betawi adalah Tirto Adhi Soerjo (1903). Tirto adalah
editor pribumi yang tercatat dalam pers berbahasa Melayu. Yang pertama adalah
Dja Endar Moeda pada tahun 1897 di Padang, surat kabar Pertja Barat. Pada tahun
1900 Dja Endar Moeda mengakuisisi surat kabar tersebut. Editor pribumi kedua
adalah Mangaradja Salamboewe pada tahun 1902 di Medan, Pertja Timor. Mangaradja
Salamboewe adalah anak Dr. Asta, alumni Docter Djawa School di Batavia, siswa
pertama yang diterima yang berasal dari laur Jawa tahun 1854. Dja Endar Moeda
dan Mangaradja Salamboewe adalah sama-sama alumni sekolah guru (Kweekschool)
ddi Padang Sidempuan.
Kaoem Betawi adalah Etnik Betawi
Orang-orang Betawi atau
orang-orang yang berafiliasi dengan Betawi sudah sejak lama ada dan dengan
sendirinya telah menjadi suatu kaoem. Kaoem dalam hal ini adalah etnik.
Pengkotakan dengan nama Kaoem Betawi muncul sebagai refleksi diri bahwa mereka mengidentifikasi
diri bukan kaoem dari yang lain, seperti Jong Sumatra, Jong Java, Jong Ambon, Jong
Pasundan.
De Preanger-bode, 28-07-1924: ‘Kaoem Betawie’. Sabtu dilakukan pertemuan
lokal, dalam rangka mencapai penciptaan sebuah divisi dari Kaoem Betawie di
Bandoeng. Sarikat ini didirikan oleh Tolib sebagai Presiden. Markas dari serikat
akan tetap di Batavia. Badan hukum sarikat sudah dikeluarkan tahun lalu sebagai
Surat Keputusan Pemerintah. Sarikat ini bertujuan untuk penciptaan sekolah
khusus untuk Batavia dan pribumi lokal lainnya. Ketua pertemuan--yang diadakan
di rumah Hadji Samidi di Groote Lengkongweg---adalah Mohamad Maseri dari
Batavia, yang sebelumnya bertugas di Koepang dan kini bertugas di Bandung.
Pertemuan ditutup pada pukul dua belas malam’.
Pada tahun 1927 Parada
Harahap menggagas dibentuknya perhimpunan sarikat-sarikat dengan menggandeng
MH. Thamrin. Di dalam pertemuan yang dilakukan di rumah Mr. Husein
Djajadiningrat diputuskan untuk mendirikan supra organisasi yang disebut
Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (disningkat
PPPKI). Ketua adalah MH Thamrin dan sekretaris adalah Parada Harahap. Dalam pembentukan PPPKI di rumah Dr. Hussein (dosen di Rechthoogesschool)
juga turut hadir Mr. Soetan Casajangan
(Direktur sekolah Normaal School di Meester Cornelis/Djatinegara). Soetan
Casajangan adalah penggagas Perhimpunan Indonesia )Indisch Vereeniging) di
Belanda tahun 1908 dan bertindak sebagai Presiden pertama dengan sekretaris
Hussein Djajadiningrat. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah
kelahiran Padang Sidempoean (1865) dan alumni Kweekschool Padang Sidempoean
(1887) dan berangkat studi ke Belanda untuk mendapat akta kepala sekolah tahun
1905. Tokoh lain yang hadir dalam pembentukan PPPKI ini adalah Mangaradja Soangkoepon dari Volksraad (alumni Belanda yang tergabung dalam Indisch Vereeniging)..
Parada Harahap adalah pemilik surat kabar Bintang Timoer (surat kabar
berbahasa Melayu bertiras paling tinggi di Batavia). Parada Harahap adalah
wartawan paling revolusioner. Memulai karir sebagai editor Benih Mardeka di
Medan (1918) dan kemudian mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang
Sidempuan (1919). Selama di Padang Sidempuan (1919-1923) Parada Harahap belasan
kali terkena delik pers dan beberapa kali dibui. Pada tahun 1922 menjadi ketua sarikat
Sumatranen di Sibolga. Pada tahun 1923 Parada Harahap hijrah ke Batavia dengan
mendirikan surat kabar Bintang Hindia (1923). Pada tahun 1925 Parada Harahap
mendirikan kantor berita pribumi pertama, Alpena (bersama WR Supratman sebagai
editor merangkap wartawan). Pada tahun 1925 ini Parada Harahap melakukan
kunjungan jurnalistik ke semua wilayah Sumatra (laporannya kemudian dibukukan
dan diterbitkan tahun 1926). Pada tahun 1926 Parada Harahap mendirikan surat
kabar Bintang Timoer (suksesi Bintang Hindia). Pada tahun 1927 Parada Harahap
mendirikan sarikat pengusaha (semacam KADIN pada masa ini) dan bertindak
sebagai Presiden.
PPPKI yang beranggotakan
semua sarikat pribumi (seperti Jong Java, Kaoem Betawi, Pasundan, Sumatranen
Bond dan Bataksch Bond) mendirikan kantor di Gang Kenari. Di kantor ini Parada
Harahap memampang di dinding tiga foto: Sultan Agoeng, Soekarno dan Mohamad
Hatta. MH Thamrin sangat dekat dengan Parada Harahap. Keduanya juga sama-sama
memiliki visi nasionalis. Ke atas mereka bisa mempersatukan, juga ke bawah
bersedia mempersatukan. Tujuannya sama: memperjuangkan kemerdekaan semua
pribumi dengan cara bersarikat.
De Indische courant, 08-03-1928: ‘Tanggal enam di Weltevreden didirikan
sarikat sopir sado di Batavia. Pendiri adalah MH Thamrin dan Parada Harahap.
Ini tindakan yang sangat berani. Upacara peresmian akan diadakan di gedung Sarikat Kaoem Betawi
di Kebon Djeroek.
Sarikat Kaoem Betawi di
bawah kepemimpinan MH Thamrin adalah termasuk salah satu sarikat pribumi yang
paling awal dalam kesadaran berbangsa. MH Thamrin adalah mewakili anak Betawi
di dalam perjuangan nasional.
MH Thamrin yang lahir 16 Februari 1894 meninggal dunia pada 11 Januari
1941. Saat ke pemakaman Muhamad Husni Thamrin diantar oleh ribuan ‘Anak-Anak
Betawi’ (De nieuwsgier, 11-01-1956).
MH Thamrin dan Parada Harahap adalah dua tokoh paling awal mempersatukan bangsa di Batavia. Saat itu (sebelum terbentuknya PPPKI) MH Thamrin adalah Ketua Sarikat Kaoem Betawi dan Parada Harahap adalah Sekretaris Sumatranen Bond. MH Thamrin juga adalah tokoh pemerintahan kota dan tokoh parlemen. Di Volksraad (Dewan Pusat) MH Thamrin (dari dapil Batavia) dan Alinoedin Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon, alumni sekolah hukum di Leiden (dari dapil Sumatera Timur) adalah dua macan parlemen (paling vokal menyuarakan bangsa). Satu tokoh parlemen yang juga vokal adalah Dr. Abdoel Rasjid (dari dapil Tapanoeli) yang juga merupakan adik kandung Mangaradja Soamgkoepon. Parada Harahap, Abdoel Rasjid dan Mangaradja Soangkoepon sama-sama lahir di Padang Sidempoean. MH Thamrin dan Parada Harahap adalah ketua dan sekretaris PPPKI pertama yang menjadi penghuni Kantor PPPKI di Gang Kenari (kini disebut Gedung Thamrin dan masih eksis hingga ini hari).
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempoean sudah kota |
Kedekatan MH Thamrin dengan Parada Harahap,
sebagai tokoh mempersatukan kebangsaan, sebelumnya hubungan mereka sudah lama
terbentuk. MH Thamrin dan Parada Harahap adalah sama-sama pengusaha di Batavia.
Parada Harahap adalah penggagas perhimpoenan pengusaha (pribumi) di Batavia
(semacam Kadin pada masa ini). Parada Harahap adalah Presiden Kadin Batavia
pertama (dan MH Thamrin sebagai anggota).
Dalam Kongres
Pemuda tahun 1928 beberapa hari sebelumnya dilakukan Kongres PPPKI. Pembina
Kongres Pemuda (junior) dalam hal ini adalah Parada Harahap dari PPPKI
(senior). Pendanaan Kongres Pemuda disokong oleh PPPKI dan Kadin Batavia. Bendahara
Komite Kongres Pemuda adalah Amir Sjarifoeddin (mahasiswa Rechthoogeshool).
Ketua Kadin Batavia, Parada Harahap dan Bendahara Komite Kongres Pemuda Amir
Sjarifoeddin berasal dari kampung yang sama di Padang Sidempoean. Hubungan ini tentu
saja tidak serba kebetulan (tapi by design).
Anak Betawi Asli
Betawi adalah suatu kaum
yang memiliki tradisi. Orang Betawi dapat membedakan diri dengan kaum yang
lainnya. Diantara mereka boleh jadi ada yang merasa asli dan yang lainnya
bukan. Apa yang menjadi penanda asli, kurang diketahui. Tampaknya elemen asli
ini menjadi sangat penting, karena tempat Orang Betawi adalah wilayah melting
pot (terdiri dari berbagai suku bangsa). Pengakuan Betawi asli ini terungkap di
pengadilan, yang mana terdakwa (Jongens=pemuda) menyebut dirinya Betawi toelen
ketika aparat militer (Talang-pati) bertanya terhadap pemuda tersebut (lihat Soerabaijasch
handelsblad, 28-08-1886).
Dalam tanya jawab di pengadilan itu, juga terungkap istilah ‘Anak Betawi’.
Oleh karena itu istilah Anak Betawi Asli paling tindak sudah ada sejak 1886.
Nama Betawi Pernah Dilarang
Nama Betawi tidak ditemukan
sebelumnya, nama Betawi baru muncul setelah VOC mendirikaan ibukota yang disebut
Batavia. Ibukota ini awalnya sebuah benteng (casteel Batavia). Suatu benteng
yang dikelilingi tembok (wal) yang berada di sisi timur muara sungai Ciliwung
dan berseberangan dengan kampong/pelabuhan Sunda Kelapa.
Dua tempat ini (Sunda Kelapa dan Batavia) sesungguhnya sama-sama eksis.
Dulunya, Sunda Kepala diduga sebagai pelabuhan di hilir sungai Ciliwung dari
Pakuan/Pajajaran (Hindu). Nama Jayakarta (Chirebon) pernah muncul menggantikan
peran Sunda Kelapa. Nama tempat yang disebut Iacatra (Portugis: Iacatra) ini
tidak berada di muara sungai Ciliwung, tetapi agak ke dalam di area Mangga Dua
yang sekarang (lihat peta: mungkin di sekitar stasion Jayakarta yang sekarang).
Oleh karena itu tiga tempat yang sering disebut tetap eksis dan popular di
setiap era masing-masing.
Nama Batavia semakin popular,
tumbuh dan berkembang seiring dengan peningkatan eskalasi politik/dagang VOC
dan Pemerintah Kolonial Belanda di seputar muara sungai Ciliwung. Kota Batavia yang
awalnya dibuat berupa benteng, kemudian diperluas menjadi kota (Stad Batavia)
yang dibatasi dengan pembuatan dinding/kanal yang pada nantinya disebut kota
tua Batavia (Oud Batavia). Peristiwa penting saat itu adalah terjadinya pembantaian
orang Cina tahun 1740. Lalu kemudian VOC bubar dan diakuisisi oleh Pemerintah Kerajaan
Belanda dengan membentuk Pemerintah Hindia Belanda tahun 1799. Pemerintah
Hindia Belanda baru efektif berjalan sejak 1816 (setelah sebelumnya terjadi
pendudukan Inggris selama lima tahun, 1811-1816).
Nama Betawi terlaporkan (secara resmi) pertama kali adanya pada tahun
1857 (sudah barang tentu sebelumnya nama Betawi menjadi sebuah nama yang banyak
diucapkan oleh warga). Sejak itu nama Betawi semakin sering ditemukan, bahkan Pemerintah
Kolonial Belanda menulis Batavia dalam dua versi: Batavia (Eropa/Belanda) dan
Betawi (pribumi) sebagaimana dilaporkan pada tahun 1865. Dalam perkembangannya
nama Betawi menjadi suatu identitas dari berbagai hal (kota, orang/anak,
masakan, musik bajkan pentjak dan sebagainya). Lalu kemudian digunakan menjadi
nama sarikat (yang tokoh utamanya MH Thamrin).
Setelah pengakuan kedaulatan
RI oleh Belanda, tak disangka nama Betawi terkena ekses pelarangan. Di awal
penataan RI sempat terjadi nasionalisasi dan menghilangkan jejak-jejak colonial.
Sukarno ingin menghilangkan kesan colonial di Indonesia apapun itu, seperti
nama toko, nama gedung, nama jalan dan sebagainya. Dalam hal ini termasuk nama
kaoem yang dianggap nama Betawi berasal dari nama Batavia. Sebagaimana disebut De
Telegraaf, 15-09-1979 Presiden Sukarno pernah melarang penggunaan nama Betawi. Orang
Betawi meradang.
Penghilangan nama Betawi ini tentu tidak mudah, seharunya dapat
dikecualikan dari nama tempat seperti Buitenzorg (Bogor) dan Fort de Kock
(Bukittinggi). Sebab hal yang sebaliknya tidak semua nama-nama Belanda
dihilangkan oleh sejumlah pihak di berbagai tempat seperti Max Havelaar
(Multatuli) di Medan dan Pasteur di Bandung.
Orang Betawi tentu saja
protes, boleh jadi Sukarno tidak menyadarinya. Surat kabar Nieuwe courant, 27-06-1951
menulis: ‘Orang Betawi menolak sebagai Orang Jakarta’. Akan tetapi protes itu
tidak segera diakomodir, tampaknya perlu waktu. Het nieuwsblad voor Sumatra, 18-11-1953:
‘Batavia, yang dengan sendirinya mengenai nama mereka kembali ke era kolonial,
telah diminta untuk dimasukkan ke dalam tangan kepemimpinan Jakarta….Batavia
(Orang Betawi)’. Namun demikian, rebut-ribut mengenai larangan itu, lambat laun
menghilang. Kenyataannya diperbolehkan.
Identifikasi Betawi sebagai Batavia (dan Batavia adalah Betawi) tidak
hanya oleh Pemerintah Indonesia tetapi juga oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Di
dalam pers Belanda kerap muncul bahwa Betawi muncul dari pelafalan Batavia oleh
pribumi.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar