Senin, 16 Maret 2020

Sejarah Air Bangis (1): Kota Air Bangis, Kota Tua Terlupakan Perlu Dingat; Air Bangis, Ajer Bangis, Aijer Bangis, ....


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini

Air Bangis adalah suatu kota pelabuhan di pantai barat Sumatra. Sejarah kota Air Bangis sejauh ini kurang terinformasikan dengan baik. Padahal kota Air Bangis terbilang kota tua di pantai barat Sumatra. Selain itu, kota Air Bangis pernah menjadi ibu kota Residentie (sebelum terbentuk Residentie Tapanoeli).

(Kota) Air Bangis (Peta 1835)
Pada era Republik Indonesia, Provinsi Sumatra Tengah terdiri dari tiga Residentie: Sumatra Barat, Riau dan Jambi. Sehubungan dengan munculnya PRRI, pemerintah RI memecah Provinsi Sumatra Tengah menjadi tiga provinsi: Provinsi Sumatra Barat, Provinsi Riau dan Provinsi Jambi. Pada tahun 1958 pasca PRRI, ibu kota Provinsi Sumatra Barat dipindahkan dari Bukittinggi ke Padang. Salah satu kabupaten di Provinsi Sumatra Barat adalah kabupaten Pasaman. Kabupaten ini sangat luas dengan ibu kota di Lubuk Sikaping. Pada tahun 2003 dibentuk kabupaten Pasaman Barat dengan ibu kota Simpang Ampek. Kota Air Bangis berada di kabupaten Pasaman Barat.

Perubahan dan pergeseran administrasi wilayah di Pantai Barat Sumatra pada era kolonial Belanda menyebabkan sejarah Air Bangis redup. Pada era kemerdekaan Indonesia nama kota Air Bangis seakan terlupakan. Namun sejarah tetaplah sejarah. Kota Air Bangis memiliki sejarahnya sendiri. Lantas bagaimana sejarah Air Bangis? Satu hal yang terpenting kota Air Bangis memiliki ciri penduduk melting pot. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kota Air Bangis (Peta 1904)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Nama Air Bangis

Apalah arti nama? N van der Tuuk menganggap nama penting, apalagi nama tempat. Menurut van der Tuuk (1862) Air Bangis, yang mana bangis berasal dari bahasa Jawa (wangi). Namun dalam perkembangannya orang Mandailing en Angkola menyebut Air Bangis sementara orang Agam melapalkannya sebagai Air Bangih.

Sungai Air Bangis (Peta 1695)
Nama Air Bangis adalah nama yang sudah lama dikenal. Tidak dikenal sebagai nama tempat tetapi sebagai nama sungai. Para Peta 1695 sungai Air Bangis berada di dekat sungai Oedjoeng Gading. Di sebelah utara sungai Air Bangis terdapat sungai Batahan dan sungai Natal.

Dalam hal ini bangis dan bangih tidak memiliki makna apa-apa lagi (hanya merujuk pada nama tempat). Namun asal-usul bangis/bangih yang berasal dari bahasa Jawa memiliki arti sebagai wangi (meski tidak ada kaitan dengan Banjoewangi, yang mana banjoewangi artinya adalah air wangi).

Bagaimana asal-usul wangi muncul di pantai barat Sumatra pada tempo doeloe sebaiknya ditelusuri lebih lanjut. Namun yang jelas di dalam dokumen lama nama Air Bangis ditulis dengan berbagai cara: Air Bangis, Air Bangies, Ajer Bangis, Aijer Bangis, Aier Bangis, Aer Bangis. Tidak ditemukan penulisan dalam bentuk Air Bangih. Penulisan dengan pelapalan ajer/ayer, aijer, aier dan aer diduga kuat pengaruh dialek Agam. Peta 1665-1668

Peta 1665-1668
Berdasarkan Peta 1665 nama sungai Air Bangis muncul kemudian menggantikan nama sungai Batang Sikabou. Sementara itu nama sungai Batang kemudian dikenal sebagai sungai Batang [Natal]. Sungai Batang dan sungai Batahan saling tertukar dan adakalanya pembuat peta menganggap dua sungai tersebut adalah sungai sama. Jika merujuk pada peta yang lebih tua (Peta 1595) sungai dan kota yang diidentifikasi adalah Batahan. Ini mengindikasikan bahwa sungai Batang (Natal) belum teridentifikasi oleh pelaut-pelaut Eropa. Dengan demikian ada tiga sungai yang berdekatan satu sama lain: Batang (Natal), (Batang) Batahan dan (Batang Sikabou). Tiga sungai ini berhulu di Mandailing (gunung Malintang). Seperti lazimnya penamaan sungai umumnya dimulai di hulu (dimana populasi lebih awal ada dari pada populasi di muara atau pantai). Para pendatang atau populasi di kota muara menyebut dengan nama baru. Hal ini ditemukan di Jawa seperti sungai Tjisadane di hulu (lalu di hilir disebut sungai Tangerang); sungai Tjiliwong di hulu, sungai Iacatra di hilir; sungai Tjilengsi di hulu, sungai Bekasi di hilir; dan sungai Tjitaroem di hulu, sungai Karawang di hilir. Dengan mengacu pada pola penamaan sungai ini, sungai Batang kemudian disebut menjadi sungai Batang Natal dan sungai Batang Sikabou menjadi sungai Air Bangis.

Nama Air Bangis sebagai suatu tempat paling tidak sudah diketahui tahun 1761 (lihat Leydse courant, 26-06-1761). Disebutkan pada tanggal 4 Februari 1760 kapal Prancis berlabuh di Ayer Bangis dan 7 Februari 1860 Inggris mengambil pelabuhan Natal dari Perancis. Pelabuhan Natal ini diduduki oleh 40 Eropa dan 60 orang pribumi. Nama Air Bangis kemudian diberitakan pada tahun 1764 sebagai post perdangan VOC.

Leydse courant, 04-05-1764: ‘Sumatra Westkust. Untuk Komandan Letnan Gubernur (VOC/Belanda) ditunjuk Merchant Henry van Haveren; Untuk Adminiflrateur pertama Gubernur adalah pedagang (Koopman) Mr. John Anthony Thierens, Sedangkan untuk Fifcaal dan Caffier disini digantikan oleh Merchant Jan Kalkoen van Limburg; Untuk pengawas adalah Pedagang Roeland Palm yang merangkap sebagai Rcsident dari (pulau) Chinco, dan Jan Boudewyns di Ayerbangis; serta Anthony Hend.Siebens untuk Baros. Sementara itu Adminiftreiur kedua di Padang ditunjuk untuk mempekerjakan orang lokal dibawah Koopman Frans Douglss dan yang terakhir untuk Sekretaris yang merangkap kepala Policie adalah di bawah Koopman Jan Fredrik William Nicolay’.

Dari dua berita pertama tersebut menunjukkan bahwa (kota) Air Bangis ini sudah eksis di era VOC/Belanda dan kota Air Bangis terbilang penting di pantai barat Sumatra. Kota (pelabuhan) Air Bangis tidak hanya pusat perdagangan tetapi juga dijadikan sebagai pusat pemerintahan VOC/Belanda.

VOC yang sudah berkoloni di Batavia (sejak 1619) lalu memulai ekspansi ke Pantai Barat Sumatra di Salido dan Poelaoe Chinko. Pada tahun 1666 pemimpin lokal di Padang bekerjasama dengan VOC untuk mengusir kekuasaan Atjeh di Padang (lihat Groninger courant, 14-12-1824). Tahun inilah diduga awal pendudukan Belanda di  Sumatra’s Westkust. Selanjutnya pada tahun 1668 VOC melanjutkan ekspansi ke Baros dan Singkel. Lalu post VOC di Baros ditarik. Di Singkel tahun 1672 VOC membuka pos perdagangan. Pada tahun 1679 kembali VOC (Cooper) ke pantai barat Sumatra dengan fokus eksplorasi tambang batubara di Solok dan tahun 1681 memulai pertambangan emas (di Passaman?). Dalam perkembangannya, Inggris mengirim seorang utusan ke Atjeh dan mendapat persetujuan untuk mendirikan maskapai di Pariaman tahun 1684 untuk perdagangan lada (Oprechte Haerlemsche courant, 11-04-1686). Pada tahun 1685 terjadi pertempuran berdarah antara Inggris dan Belanda, lalu Inggris pindah ke Bengkulu 1686. Pada Peta 1695 post-post VOC berada di Salida, Troesan, Padang, Pariaman dan Baros. Seperti disebut di atas, nama Air Bangis sebagai nama tempat diberitakan tahun 1761. Beberapa tahun sebelumnya Inggris menetap di Natal antara tahun 1755-1760 dengan membangun benteng.

Air Bangis sebagai post perdagangan yang dikuasai oleh VOC dimulai pada tahun 1764. Namun penempatan pejabat baru dimulai pada tahun 1766. Sebagai kedudukan Resident di pantai barat Sumatra berlangsung selama delapan tahun antara tahun 1766 dan 1774 (lihat  Groninger courant, 17-12-1824).

Pelabuhan Air Bangis

Berdasarkan peta-peta lama (peta kuno), nama-nama tempat di pantai barat Sumatra tidaklah banyak. Kota yang sudah terdeteksi sejak lama adalah kota-kota Baros, Batahan. Tikoe, Pariaman dan Indrapoera (lihat Peta 1597). Kota-kota ini juga sudah disebut di dalam laporan-laporan di era Portugis. Nama-nama kota Natal, Air Bangis dan Padang serta Tapanoeli (kemudian relokasi ke Sibolga) baru muncul kemudian.

Air Bangis berada di antara kota Natal dan kota Tikoe. Berdasarkan berita tahun 1760 kota Air Bangis sudah dianggap lebih penting dari kota Tikoe dan kota Natal sudah jauh lebih penting dari kota Batahan. Kapan kota Air Bangis muncul sulit diketahui (sudah barang tentu jauh sebelum tahun 1760). Kota Batahan dan kota Air Bangis posisi GPS-nya masing-masing berada di muara sungai. Dua sungai yang bermuara ke kota Batahan dan kota Air Bangis bermuara di Hoeta Godang (Mandailing). Puncak gunung tertinggi di wilayah Hoeta Godang adalah gunung Malintang.

Peta 1850
Sungai Batahan dari hulu (gunung) ke hilir (muara) sejak jaman kuno disebut sungai Batahan dan sebutannya tidak berubah hingga ini hari. Lain halnya dengan sungai Air Bangis. Pada Peta yang lebih tua sungai Air Bangis disebut di hilir, sedangkan di hulu disebut sungai Batang Sikarbou. Dualisme penyebutan ini juga ditemukan di tempat lain. Di hilir adakanya sungai Tjiliwong disebut sungai Jacatra. Demikian juga sungai Tangerang di hilir di wilayah hulu disebut sungai Tjisadane. Idem dito dengan sungai Bekasi di hilir dan sungai Tjilengsi di hulu; sungai Karawang di hilir dan sungai Tjitaroem di hulu. Hal yang sedikit berbeda soal penyebutan sungai Batang Natal yang dari hulu ke hilir disebut sungai Batang Natal, tetapi di hulu terdapat kota Batang Natal dan di hilir terdapat kota Natal. Kota yang terbentuk lebih dahulu adalah kota Batang Natal, namun nama lamanya bukan Batang Natal tetapi Linggabajoe. Dalam hal ini, sebagai pusat perdagangan, kota Natal muncul sebagai pengganti kota Batahan dan kota Air Bangis sebagai pengganti kota Tikoe.

Air Bangis sebagai kota pelabuhan haruslah dipandang sebagai ‘hub’ yang mempertemukan muara perdagangan dari pedalaman (khususnya Mandailing) dan pangkal perdagangan ke Eropa (setidaknya ke Belanda, Inggris dan Prancis). Sangat sulit membayangkan arus perdagangan dari Loeboek Sikaping (Pasaman) mengalir ke (pelabuhan) Air Bangis, karena Loeboek Sikaping lebih dekat ke Tikoe (bahkan ke Pariaman). Arus perdagangan ke Air Bangis diduga telah berkembang ke wilayah Rao.

Kecamatan Air Bangis dan Huta Godang (Now)
Secara spasial lanskap Kota Air Bangis berada di sebelah utara Sungai Air Bangis. Ini mengindikasikan bahwa kota ini terbentuk dan berkembang ke arah utara. Dalam hal ini sungai menjadi barier (untuk perkembangan kota muncul dari selatan). Selain itu jalan poros yang terbentuk di kota Air Bangis mengikuti garis searah sungai dari pedalaman. Selain jalan yang terbentuk mengikuti arah sungai ke pedalaman, juga terbentuk jalan menuju ke arah utara sepanjang pantai. Ini mengindikasikan bahwa kota Air Bangis secara spasial terintegrasi ke timur (pedalaman) dan ke utara (katakanlah wilayah yang berdekatan dengan wilayah ekonomi Batahan). Wilayah spasial antara kota Air Bangis dan kota Batahan adalah wilayah ekonomi yang merujuk ke padalaman di sekitar gunung Malintang.

Air Bangis Melting Pot

Suatu kota tidak hanya sekadar nama kota dan kondisi geografis saja. Sejauh penelusuran, tidak ada keterangan yang memuaskan yang menggambarkan populasi kota Air Bangis. Karakateristik populasi adalah cara terbaik untuk memahami dinamika pertumbuhan dan perkembangan suatu kota. Sebagai proksi gambaran populasi di kota Air Bangis dapat digunakan distribusi populasi di kota Natal. Dua kota ini pada era VOC/Belanda sudah sangat berkembang jika dibandingkan dua kota kuno yang menjadi tetangganya (Tikoe dan Batahan).

Inggris menetap di Natal antara tahun 1755-1760 dengan membangun benteng. Benteng yang dibangun tahun 1755-1756 ini panjang 212 meter, lebar 150 meter disediakan dengan empat Bastions yang tinggi 10 meter masing-masing, dan dikelilingi oleh parit yang dalamnya 10 kaki dan lebar lebar 14 kaki. Benteng ini dibuat untuk melindungi penduduk di belakangnya dari musuh (baik dari darat maupun dari laut). Wilayah di sekitarnya di arah utara terdapat Linggabojo, Mandailing dengan populasi 3.000 jiwa dan di selatan terdapat Batahan, Mandailing dengan 2.500 jiwa. Populasi Natal sendiri terdiri dari berbagai asal-usul. Di dalam benteng sendiri terdapat satu bangunan tinggal dan empat bangunan untuk gudang rempah-rempah, tempat persenjataan, tempat tenaga kerja dan lainnya. Benteng ini mirip Casteel Batavia (di awal kehadiran Belanda). Di luar benteng yang  jaraknya 200 meter di sepanjang pantai terdapat rumah perjabat dan pegawai, termasuk Asisten Residen dan rumah sakit. Di sekitar bukit terdapat taman-taman botani dan taman-taman pemerintah. Di sebelah atas benteng adalah pasar dimana terdapat 200 rumah.  Setelah ditinggal Inggris, benteng dan bangunan ini tidak menjadi perhatian VOC lagi dan hingga kehadiran Belanda kembali sudah banyak yang rusak berat.

Populasi kota Natal adalah pendatang yang umumnya berdagang. Menurut Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1839, di Natal terdapat enam suku: 1. Soekoe Menangkabauw. Menangkabausche stam; 2. Soekoe Barat, Westelijke stam; 3. Soekoe Padang, stam van Padang; 4. Soekoe Bandar Sepoeloe, stam uit de plaatsen gelegen tusschen Padang en Benkoelen; 5. Soekoe Atje, stam van Atjin; dan 6. Soekoe Rauw, stam van Rauw. Setiap suku dikepalai oleh seorang Datoe dan para Datoe dipimpin oleh seorang Radja yang disebut Toeankoe Besar. Lanskap Natal juga meliputi hulu Kota Natal terdapat Linggabayo, di sebelah utara (kini Batang Natal, kabupaten Mandailing-Natal), di sebelah selatan Batahan dan Air Bangis. Di Linggabayo terdapat Radja (dan panglima) yang mana penduduknya Mandailing 3.000 jiwa. Di Batahan  terdapat penduduk Mandailing sebanyak 2.500 jiwa yang dikepalai oleh seorang Radja. Wilayah Batahan termasuk pulau Tamang. Di selatan Batahan terdapat Air Bangis yang dikepalai oleh seorang Radja (dan Panghoeloe).

Dari keterangan di atas, kota-kota yang diidentifikasi adalah kerajaan-kerajaan yang terdapat di pantai (Natal, Batahan dan Air Bangis) dan belakang pantai di pedalaman (Linggabajo). Kerajaan-kerajaan satu sama lain bersifat independen. Kerajaan Linggabajo diduga adalah salah satu kerajaan terluar dari Mandailing (dapat dijangkau dengan perahu dari pantai/laut). Sedangkan kerajaan Batahan yang didominasi oleh orang Mandailing diduga adalah sisa kerajaan kuno (seperti diidentifikasi dalam peta-peta kuno). Apakah nama Batahan berasal dari nama Batah (Batak).

Nama Linggabajo besar dugaan adalah kota kuno di hulu sungai Batang Natal. Nama Linggabajo diduga sudah ada sejak era Hindu yang mana ‘lingga’ adalah bahasa Sanskerta. Sebagaimana diketahui tidak jauh di pedalaman terdapat bukti-bukti Budha-Hindu seperti di Pidoli dan Runding. Peninggalan Budha-Hindu tertua terdapat di Simangambat (tidak jauh dari Pidoli) yang diduga sudah eksis sejak abad ke-8 (satu era dengan candi Broboedoer).

Keterangan tersebut juga mengindikasikan bahwa populasi Natal adalah populasi pendatang, bahkan dari Atjeh. Keragaman populasi memperkuat indikasi tersebut. Namun dari distribusi populasi Natal tersebut tidak terdapat elemen Batak (Mandailing). Elemen Batak hanya ditemukan di Linggabajo dan Batahan (dominan). Jika diasumsikan bahwa kota Linggabajo dan kota Batahan adalah kota kuno, maka kota Natal dapat dianggap sebagai kota baru (yang terbentuk oleh para pendatang/pedagang). Kota Natal adalah kota baru yang berkembang sebagai ‘hub’ dari kota Linggabajo dan kota Batahan. Kota Natal kemudian menjadi kota utama. Tipologi ini juga menggambarkan terbentuknya kota Air Bangis.

Secara teoritis kota yang berada di pantai atau muara sungai adalah kota baru. Kota-kota pantai atau muara umumnya dibangun diatas kondisi geografis yang marjinal yang cenderung bersifat basah (rawa-rawa). Hanya untuk tempat perdagangan (pelabuhan) yang sesuai dengan kondisi serupa ini. Sebagaimana di berbagai tempat, pusat-tempat perdagangan inilah yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi kota baru seperti Padang, Jakarta, Semarang dan Surabaja.

Kota Air Bangis diduga kuat muncul/berkembang pesat sebagai adanya pergeseran spasial. Sebagaimana kota Natal menggantikan peran kota Batahan, lalu kota Air Bangis mulai berkembang. Pergeseran spasial ini (dari Batahan ke Air Bangis) diduga sebagai dampak pergeseran pelabuhan utama dari Batahan ke Natal. Arus perdagangan sumber produksi dari populasi di gunung Malintang dan gunung Kulabu yang awalnya ke Batahan, karena terlalu jauh ke pusat perdagangan yang baru di Natal, lalu mulai merintis jalan yang lebih dekat ke selatan di muara sungai Air Bangis. Catatan: sungai Batahan dan sungai Air Bangis bermuara di gunung Malintang dan gunung Kulabu. Pergeseran pelabuhan perdagangan populasi di gunung Malintang dan gunung Kulabu ke Air Bangis diduga menjadi faktor penyebab kota Air Bangis berkembang. Kota Air Bangis lebih dekat (satu regional) dengan wilayah produksi di Mandailing dibanding wilayah-wilayah lainnya.

Pemerintahan Hindia Belanda

Pada tahun 1826 Pemerintah Hindia Belanda mulai menata pemerintahan di berbagai wilayah yurisdiksinya termasuk di pantai Barat Sumatra yang dalam hal ini kerajaan-kerajaan di Natal, Linggabajo dan Air Bangis (lihat Bataviasche courant, 29-11-1826). Struktur pemerintahan yang dibentuk ini kurang lebih sama dengan pada era VOC. Kedudukan Raja Natal (dari sudut tanggungjawab kolonial) lebih tinggi dari Raja Linggabajo dan Radja Air Bangis. Kedudukan sosial mereka yang berbeda tersebut dapat diperhatikan dari gaji yang mereka terima dari Pemerintah Hindia Belanda. Kelak hal serupa ditemukan di pantai timur Sumatra dimana kerajaan/kesultanan Deli diposisikan lebih tinggi dari yang lainnya.

Tuanku Besar di Natal mendapat gaji f600 per tahun sedangkan gaji Tuanku Sambali di Linggabajoe sebesar f350. Masing-masing kepada para penghulu di dua kerajaan itu diberikan gaji sebesar f120. Para penghulu itu adalah: Datu Sinaro, Datu Poeti, Magomaharaja, Moeda, Makoeta Alam, Soetan. Soetan Larangan, Kabidin, Sakidi dan Salem. Di Air Bangis kepada Tuaku Moeda diberikan gaji sebesar f400 per tahun dan Radja Poetoe yang mengepalai semua penghoeloe di Air Bangis diberi gaji sebesar f120 serta masing-masing f100 untuk penghoeloe datoe Simpona, datoe Bilangan, datoe Ammah dan datoe Todoeng.

Kerajaan dalam hal ini bukanlah dalam pengertian genealogis (seperti di Yogyakarta atau kerajaan-kerajaan di Eropa) tetapi lebih pada hubungan sosio-politis, seperti halnya Tuanku di Bondjol dan Tuanku di Rao serta Tuanku di Tambusai. Kerajaan adalah kumpulan dari huta-huta (di wilayah Batak) atau kota-kota (di wilayah Minangkabau) yang mana huta atau kota idem dito berasal dari era Hindu (lihat Javasche courant, 14-01-1830). Kerajaan dalam hal di Minangkabau kemudian disebut laras dan di wilayah Mandailing en Angkola disebut koeria. Koeria sebagai kesatuan teritorial adalah kumpulan huta-huta yang semarga (genealogis) sedangkan laras adalah kumpulan kota-kota berdasarkan kelompok sosial (suku) di dalam satu wilayah yang berdekatan. Jadi, kerajaan-kerajaan di wilayah pantai ini (Natal, Linggabajo dan Batahan serta Airbangis) lebih mengikuti Melayu (kesultanan). Di satu pihak kerajaan-kerajaan di pedalaman Mandailing en Angkola yang disebut koeria lebih pada primus interpares (huta utama kahanggi yang ditambah huta para mora dan huta para anak boru) dalam hukum adat, sedangkan laras lebih pada sistem pengambilan keputusan secara konsensuas dari kota-kota yang bersarikat (V Kotta, XII Kotta, XX Kota dan sebagainya).

Radja, Soeltan, kepala Koeria atau pemimpin Kota/Laras adalah gelar yang diambil oleh kepala kesatuan wilayah. Misalnya, seseorang akan menggambarkan sebuah lanskap dengan mengatakan: Indrapoera memiliki seorang Radja/Sulthan yang menjalankan kerajaan dengan 20 mantri. Kotta misalnya memiliki seorang Raja, seorang Pamoentjak (kepala para penghoeloe) dan 8 Panghoeloe. Kepada para pemimpin-pemimpin lokal inilah VOC/Belanda atau Pemerintah Hindia Belanda membuat kesepakatan-kesepakatan atau kontrak yang disepakati bersama. Kesepakatandan kontrak inilah yang kemudian menjadi dasar legitimasi tentang kehadirannya di suatu wilayah. Dalam hal ini sebagai kerjasama dan untuk melindungi kesepakatan dan kontrak para pedagang VOC atau pemimpin Pemerintah Hindia Belanda dapat melawan musuh dengan menggunakan militer.

Seperti para pemimpin lokal lainnya di tempat lain, Kerajaan Air Bangis telah melakukan kesepakatan-kesepakatan dengan perwakilan Pemerintah Hindia Belanda dalam membangun kerjasama yang saling menguntungkan. Oleh karena Pemerintah Hindia Belanda memberikan insentif dalam bentuk gaji kepada para pemimpin lokal dan sejumlah bawahannya maka relasinya tidak lagi sepenuhnya timbal balik tetapi kedudukan para pemimpin lokal menjadi lebih rendah (dalam hal ini dapat dikatakan sebagai pegawai Pemerintah Hindia Belanda).

Dalam struktur Pemerintahan Hindia Belanda, kerajaan-kerajaan menjadi partner atau pegawai pemerintah di satu sisi kedudukan para Radja mendapat perlindungan sementara di sisi lain Radja dapat berperilaku lalim. Kerjasama pemimpin lokal ini dengan Pemerintah Hindia Belanda menjadi kontraproduktif di mata para pemimpin Padri yang cenderung berkuasa di pedalaman. Padri menganggap Pemerintah Hindia Belanda adalah musuhnya dan para pemimpin lokal yang selama ini terbebani oleh para pemimpin Padri seakan kehadiran Pemerintah Hindia Belanda sebagai  jalan keluar untuk bebas dari penindasan atau paling tidak bebas untuk menjalankan adat istiadat yang mereka lakukan.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

5 komentar:

  1. mohon bahas tentang Nagari Tikoe yang sekarang dalam wilayah Kec. Tanjung Mutiara

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sejarah Tikoe ada dalam serial sejarah Bukittinggi (belum semua artikel diupload,mungkin suatu waktu nanti). Nama Tikoe saya kira adalah nama kuno yang diduga sudat tercatat pada abad ke-6 (lihat serial sejarah Padang Lawas nomor terakhir).

      Hapus
  2. Assalamu'alaikum.
    Salam kenal pak Akhir. Boleh share nomor WA nya kah pak? Kami tertarik bertanya2 tentang sejarah Batahan, Mandailing Natal. Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumsalam
      Tolong nomornya diemail biar saya saja yang menelponnya
      Selamat belajar sejarah

      Hapus
  3. Sallam... luar biasa pak.. trrimakasih

    BalasHapus