*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini
Air Bangis adalah suatu
kota pelabuhan di pantai barat Sumatra. Sejarah kota Air Bangis sejauh ini
kurang terinformasikan dengan baik. Padahal kota Air Bangis terbilang kota tua
di pantai barat Sumatra. Selain itu, kota Air Bangis pernah menjadi ibu kota Residentie
(sebelum terbentuk Residentie Tapanoeli).
(Kota) Air Bangis (Peta 1835) |
Perubahan dan pergeseran administrasi wilayah di
Pantai Barat Sumatra pada era kolonial Belanda menyebabkan sejarah Air Bangis redup.
Pada era kemerdekaan Indonesia nama kota Air Bangis seakan terlupakan. Namun
sejarah tetaplah sejarah. Kota Air Bangis memiliki sejarahnya sendiri. Lantas bagaimana
sejarah Air Bangis? Satu hal yang terpenting kota Air Bangis
memiliki ciri penduduk melting pot. Untuk menambah pengetahuan, mari kita
telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Kota Air Bangis (Peta 1904) |
Nama Air
Bangis
Apalah arti nama? N van der Tuuk menganggap nama
penting, apalagi nama tempat. Menurut van der Tuuk (1862) Air Bangis, yang mana
bangis berasal dari bahasa Jawa (wangi). Namun dalam perkembangannya orang
Mandailing en Angkola menyebut Air Bangis sementara orang Agam melapalkannya
sebagai Air Bangih.
Sungai Air Bangis (Peta 1695) |
Bagaimana asal-usul wangi muncul di pantai barat
Sumatra pada tempo doeloe sebaiknya ditelusuri lebih lanjut. Namun yang jelas
di dalam dokumen lama nama Air Bangis ditulis dengan berbagai cara: Air Bangis,
Air Bangies, Ajer Bangis, Aijer Bangis, Aier Bangis, Aer Bangis. Tidak
ditemukan penulisan dalam bentuk Air Bangih. Penulisan dengan pelapalan ajer/ayer,
aijer, aier dan aer diduga kuat pengaruh dialek Agam. Peta 1665-1668
Peta 1665-1668 |
Nama Air Bangis sebagai suatu tempat paling tidak
sudah diketahui tahun 1761 (lihat Leydse courant, 26-06-1761). Disebutkan pada
tanggal 4 Februari 1760 kapal Prancis berlabuh di Ayer Bangis dan 7 Februari
1860 Inggris mengambil pelabuhan Natal dari Perancis. Pelabuhan Natal ini
diduduki oleh 40 Eropa dan 60 orang pribumi. Nama Air Bangis kemudian
diberitakan pada tahun 1764 sebagai post perdangan VOC.
Leydse
courant, 04-05-1764: ‘Sumatra Westkust. Untuk Komandan Letnan Gubernur (VOC/Belanda)
ditunjuk Merchant Henry van Haveren; Untuk Adminiflrateur pertama Gubernur
adalah pedagang (Koopman) Mr. John Anthony Thierens, Sedangkan untuk Fifcaal
dan Caffier disini digantikan oleh Merchant Jan Kalkoen van Limburg; Untuk
pengawas adalah Pedagang Roeland Palm yang merangkap sebagai Rcsident dari
(pulau) Chinco, dan Jan Boudewyns di Ayerbangis; serta Anthony Hend.Siebens
untuk Baros. Sementara itu Adminiftreiur kedua di Padang ditunjuk untuk
mempekerjakan orang lokal dibawah Koopman Frans Douglss dan yang terakhir untuk
Sekretaris yang merangkap kepala Policie adalah di bawah Koopman Jan Fredrik
William Nicolay’.
Dari dua berita pertama tersebut menunjukkan
bahwa (kota) Air Bangis ini sudah eksis di era VOC/Belanda dan kota Air Bangis
terbilang penting di pantai barat Sumatra. Kota (pelabuhan) Air Bangis tidak
hanya pusat perdagangan tetapi juga dijadikan sebagai pusat pemerintahan
VOC/Belanda.
VOC
yang sudah berkoloni di Batavia (sejak 1619) lalu memulai ekspansi ke Pantai
Barat Sumatra di Salido dan Poelaoe Chinko. Pada tahun 1666 pemimpin lokal di
Padang bekerjasama dengan VOC untuk mengusir kekuasaan Atjeh di Padang (lihat
Groninger courant, 14-12-1824). Tahun inilah diduga awal pendudukan Belanda
di Sumatra’s Westkust. Selanjutnya pada
tahun 1668 VOC melanjutkan ekspansi ke Baros dan Singkel. Lalu post VOC di
Baros ditarik. Di Singkel tahun 1672 VOC membuka pos perdagangan. Pada tahun
1679 kembali VOC (Cooper) ke pantai barat Sumatra dengan fokus eksplorasi
tambang batubara di Solok dan tahun 1681 memulai pertambangan emas (di
Passaman?). Dalam perkembangannya, Inggris mengirim seorang utusan ke Atjeh dan
mendapat persetujuan untuk mendirikan maskapai di Pariaman tahun 1684 untuk
perdagangan lada (Oprechte Haerlemsche courant, 11-04-1686). Pada tahun 1685
terjadi pertempuran berdarah antara Inggris dan Belanda, lalu Inggris pindah ke
Bengkulu 1686. Pada Peta 1695 post-post VOC berada di Salida, Troesan, Padang,
Pariaman dan Baros. Seperti disebut di atas, nama Air Bangis sebagai nama
tempat diberitakan tahun 1761. Beberapa tahun sebelumnya Inggris menetap di
Natal antara tahun 1755-1760 dengan membangun benteng.
Air Bangis sebagai post perdagangan yang dikuasai
oleh VOC dimulai pada tahun 1764. Namun penempatan pejabat baru dimulai pada
tahun 1766. Sebagai kedudukan Resident di pantai barat Sumatra berlangsung
selama delapan tahun antara tahun 1766 dan 1774 (lihat Groninger courant, 17-12-1824).
Pelabuhan Air Bangis
Berdasarkan peta-peta lama (peta kuno), nama-nama tempat di pantai barat
Sumatra tidaklah banyak. Kota yang sudah terdeteksi sejak lama adalah kota-kota
Baros, Batahan. Tikoe, Pariaman dan Indrapoera (lihat Peta 1597). Kota-kota ini
juga sudah disebut di dalam laporan-laporan di era Portugis. Nama-nama kota
Natal, Air Bangis dan Padang serta Tapanoeli (kemudian relokasi ke Sibolga)
baru muncul kemudian.
Air Bangis berada di antara kota Natal dan kota
Tikoe. Berdasarkan berita tahun 1760 kota Air Bangis sudah dianggap lebih
penting dari kota Tikoe dan kota Natal sudah jauh lebih penting dari kota
Batahan. Kapan kota Air Bangis muncul sulit diketahui (sudah barang tentu jauh
sebelum tahun 1760). Kota Batahan dan kota Air Bangis posisi GPS-nya
masing-masing berada di muara sungai. Dua sungai yang bermuara ke kota Batahan
dan kota Air Bangis bermuara di Hoeta Godang (Mandailing). Puncak gunung
tertinggi di wilayah Hoeta Godang adalah gunung Malintang.
Peta 1850 |
Air Bangis sebagai kota pelabuhan haruslah
dipandang sebagai ‘hub’ yang mempertemukan muara perdagangan dari pedalaman (khususnya
Mandailing) dan pangkal perdagangan ke Eropa (setidaknya ke Belanda, Inggris
dan Prancis). Sangat sulit membayangkan arus perdagangan dari Loeboek Sikaping
(Pasaman) mengalir ke (pelabuhan) Air Bangis, karena Loeboek Sikaping lebih
dekat ke Tikoe (bahkan ke Pariaman). Arus perdagangan ke Air Bangis diduga
telah berkembang ke wilayah Rao.
Kecamatan Air Bangis dan Huta Godang (Now) |
Air Bangis Melting Pot
Suatu kota tidak hanya sekadar nama kota dan
kondisi geografis saja. Sejauh penelusuran, tidak ada keterangan yang memuaskan
yang menggambarkan populasi kota Air Bangis. Karakateristik populasi adalah cara
terbaik untuk memahami dinamika pertumbuhan dan perkembangan suatu kota. Sebagai
proksi gambaran populasi di kota Air Bangis dapat digunakan distribusi populasi
di kota Natal. Dua kota ini pada era VOC/Belanda sudah sangat berkembang jika
dibandingkan dua kota kuno yang menjadi tetangganya (Tikoe dan Batahan).
Inggris
menetap di Natal antara tahun 1755-1760 dengan membangun benteng. Benteng yang
dibangun tahun 1755-1756 ini panjang 212 meter, lebar 150 meter disediakan
dengan empat Bastions yang tinggi 10 meter masing-masing, dan dikelilingi oleh
parit yang dalamnya 10 kaki dan lebar lebar 14 kaki. Benteng ini dibuat untuk
melindungi penduduk di belakangnya dari musuh (baik dari darat maupun dari
laut). Wilayah di sekitarnya di arah utara terdapat Linggabojo, Mandailing
dengan populasi 3.000 jiwa dan di selatan terdapat Batahan, Mandailing dengan
2.500 jiwa. Populasi Natal sendiri terdiri dari berbagai asal-usul. Di dalam
benteng sendiri terdapat satu bangunan tinggal dan empat bangunan untuk gudang
rempah-rempah, tempat persenjataan, tempat tenaga kerja dan lainnya. Benteng
ini mirip Casteel Batavia (di awal kehadiran Belanda). Di luar benteng
yang jaraknya 200 meter di sepanjang
pantai terdapat rumah perjabat dan pegawai, termasuk Asisten Residen dan rumah
sakit. Di sekitar bukit terdapat taman-taman botani dan taman-taman pemerintah.
Di sebelah atas benteng adalah pasar dimana terdapat 200 rumah. Setelah ditinggal Inggris, benteng dan
bangunan ini tidak menjadi perhatian VOC lagi dan hingga kehadiran Belanda
kembali sudah banyak yang rusak berat.
Populasi
kota Natal adalah pendatang yang umumnya berdagang. Menurut Tijdschrift voor
Neerland's Indië jrg 2, 1839, di Natal terdapat enam suku: 1. Soekoe
Menangkabauw. Menangkabausche stam; 2. Soekoe Barat, Westelijke stam; 3. Soekoe
Padang, stam van Padang; 4. Soekoe Bandar Sepoeloe, stam uit de plaatsen
gelegen tusschen Padang en Benkoelen; 5. Soekoe Atje, stam van Atjin; dan 6. Soekoe
Rauw, stam van Rauw. Setiap suku dikepalai oleh seorang Datoe dan para Datoe
dipimpin oleh seorang Radja yang disebut Toeankoe Besar. Lanskap Natal juga
meliputi hulu Kota Natal terdapat Linggabayo, di sebelah utara (kini Batang
Natal, kabupaten Mandailing-Natal), di sebelah selatan Batahan dan Air Bangis. Di
Linggabayo terdapat Radja (dan panglima) yang mana penduduknya Mandailing 3.000
jiwa. Di Batahan terdapat penduduk
Mandailing sebanyak 2.500 jiwa yang dikepalai oleh seorang Radja. Wilayah
Batahan termasuk pulau Tamang. Di selatan Batahan terdapat Air Bangis yang
dikepalai oleh seorang Radja (dan Panghoeloe).
Dari keterangan di atas, kota-kota yang
diidentifikasi adalah kerajaan-kerajaan yang terdapat di pantai (Natal, Batahan
dan Air Bangis) dan belakang pantai di pedalaman (Linggabajo).
Kerajaan-kerajaan satu sama lain bersifat independen. Kerajaan Linggabajo
diduga adalah salah satu kerajaan terluar dari Mandailing (dapat dijangkau dengan
perahu dari pantai/laut). Sedangkan kerajaan Batahan yang didominasi oleh orang
Mandailing diduga adalah sisa kerajaan kuno (seperti diidentifikasi dalam
peta-peta kuno). Apakah nama Batahan berasal dari nama Batah (Batak).
Nama Linggabajo besar dugaan adalah kota kuno di
hulu sungai Batang Natal. Nama Linggabajo diduga sudah ada sejak era Hindu yang
mana ‘lingga’ adalah bahasa Sanskerta. Sebagaimana diketahui tidak jauh di
pedalaman terdapat bukti-bukti Budha-Hindu seperti di Pidoli dan Runding.
Peninggalan Budha-Hindu tertua terdapat di Simangambat (tidak jauh dari Pidoli)
yang diduga sudah eksis sejak abad ke-8 (satu era dengan candi Broboedoer).
Keterangan tersebut juga mengindikasikan bahwa populasi Natal adalah
populasi pendatang, bahkan dari Atjeh. Keragaman populasi memperkuat indikasi
tersebut. Namun dari distribusi populasi Natal tersebut tidak terdapat elemen
Batak (Mandailing). Elemen Batak hanya ditemukan di Linggabajo dan Batahan
(dominan). Jika diasumsikan bahwa kota Linggabajo dan kota Batahan adalah kota
kuno, maka kota Natal dapat dianggap sebagai kota baru (yang terbentuk oleh
para pendatang/pedagang). Kota Natal adalah kota baru yang berkembang sebagai
‘hub’ dari kota Linggabajo dan kota Batahan. Kota Natal kemudian menjadi kota
utama. Tipologi ini juga menggambarkan terbentuknya kota Air Bangis.
Secara teoritis kota yang berada di pantai atau
muara sungai adalah kota baru. Kota-kota pantai atau muara umumnya dibangun
diatas kondisi geografis yang marjinal yang cenderung bersifat basah
(rawa-rawa). Hanya untuk tempat perdagangan (pelabuhan) yang sesuai dengan
kondisi serupa ini. Sebagaimana di berbagai tempat, pusat-tempat perdagangan
inilah yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi kota baru seperti Padang,
Jakarta, Semarang dan Surabaja.
Kota Air Bangis diduga kuat muncul/berkembang pesat
sebagai adanya pergeseran spasial. Sebagaimana kota Natal menggantikan peran
kota Batahan, lalu kota Air Bangis mulai berkembang. Pergeseran spasial ini (dari
Batahan ke Air Bangis) diduga sebagai dampak pergeseran pelabuhan utama dari
Batahan ke Natal. Arus perdagangan sumber produksi dari populasi di gunung
Malintang dan gunung Kulabu yang awalnya ke Batahan, karena terlalu jauh ke
pusat perdagangan yang baru di Natal, lalu mulai merintis jalan yang lebih
dekat ke selatan di muara sungai Air Bangis. Catatan: sungai Batahan dan sungai
Air Bangis bermuara di gunung Malintang dan gunung Kulabu. Pergeseran pelabuhan
perdagangan populasi di gunung Malintang dan gunung Kulabu ke Air Bangis diduga
menjadi faktor penyebab kota Air Bangis berkembang. Kota Air Bangis lebih dekat
(satu regional) dengan wilayah produksi di Mandailing dibanding wilayah-wilayah
lainnya.
Pemerintahan Hindia Belanda
Pada tahun 1826 Pemerintah Hindia Belanda mulai
menata pemerintahan di berbagai wilayah yurisdiksinya termasuk di pantai Barat
Sumatra yang dalam hal ini kerajaan-kerajaan di Natal, Linggabajo dan Air
Bangis (lihat Bataviasche courant, 29-11-1826). Struktur pemerintahan yang
dibentuk ini kurang lebih sama dengan pada era VOC. Kedudukan Raja Natal (dari
sudut tanggungjawab kolonial) lebih tinggi dari Raja Linggabajo dan Radja Air
Bangis. Kedudukan sosial mereka yang berbeda tersebut dapat diperhatikan dari
gaji yang mereka terima dari Pemerintah Hindia Belanda. Kelak hal serupa
ditemukan di pantai timur Sumatra dimana kerajaan/kesultanan Deli diposisikan
lebih tinggi dari yang lainnya.
Tuanku Besar di Natal mendapat gaji f600 per
tahun sedangkan gaji Tuanku Sambali di Linggabajoe sebesar f350. Masing-masing
kepada para penghulu di dua kerajaan itu diberikan gaji sebesar f120. Para
penghulu itu adalah: Datu Sinaro, Datu Poeti, Magomaharaja, Moeda, Makoeta Alam,
Soetan. Soetan Larangan, Kabidin, Sakidi dan Salem. Di Air Bangis kepada Tuaku
Moeda diberikan gaji sebesar f400 per tahun dan Radja Poetoe yang mengepalai
semua penghoeloe di Air Bangis diberi gaji sebesar f120 serta masing-masing
f100 untuk penghoeloe datoe Simpona, datoe Bilangan, datoe Ammah dan datoe
Todoeng.
Kerajaan dalam hal ini bukanlah dalam pengertian
genealogis (seperti di Yogyakarta atau kerajaan-kerajaan di Eropa) tetapi lebih
pada hubungan sosio-politis, seperti halnya Tuanku di Bondjol dan Tuanku di Rao
serta Tuanku di Tambusai. Kerajaan adalah kumpulan dari huta-huta (di wilayah
Batak) atau kota-kota (di wilayah Minangkabau) yang mana huta atau kota idem
dito berasal dari era Hindu (lihat Javasche courant, 14-01-1830). Kerajaan
dalam hal di Minangkabau kemudian disebut laras dan di wilayah Mandailing en
Angkola disebut koeria. Koeria sebagai kesatuan teritorial adalah kumpulan
huta-huta yang semarga (genealogis) sedangkan laras adalah kumpulan kota-kota
berdasarkan kelompok sosial (suku) di dalam satu wilayah yang berdekatan. Jadi,
kerajaan-kerajaan di wilayah pantai ini (Natal, Linggabajo dan Batahan serta
Airbangis) lebih mengikuti Melayu (kesultanan). Di satu pihak kerajaan-kerajaan
di pedalaman Mandailing en Angkola yang disebut koeria lebih pada primus
interpares (huta utama kahanggi yang ditambah huta para mora dan huta para anak
boru) dalam hukum adat, sedangkan laras lebih pada sistem pengambilan keputusan
secara konsensuas dari kota-kota yang bersarikat (V Kotta, XII Kotta, XX Kota
dan sebagainya).
Radja, Soeltan, kepala Koeria atau pemimpin Kota/Laras
adalah gelar yang diambil oleh kepala kesatuan wilayah. Misalnya, seseorang
akan menggambarkan sebuah lanskap dengan mengatakan: Indrapoera memiliki
seorang Radja/Sulthan yang menjalankan kerajaan dengan 20 mantri. Kotta misalnya
memiliki seorang Raja, seorang Pamoentjak (kepala para penghoeloe) dan 8
Panghoeloe. Kepada para pemimpin-pemimpin lokal inilah VOC/Belanda atau
Pemerintah Hindia Belanda membuat kesepakatan-kesepakatan atau kontrak yang
disepakati bersama. Kesepakatandan kontrak inilah yang kemudian menjadi dasar
legitimasi tentang kehadirannya di suatu wilayah. Dalam hal ini sebagai
kerjasama dan untuk melindungi kesepakatan dan kontrak para pedagang VOC atau
pemimpin Pemerintah Hindia Belanda dapat melawan musuh dengan menggunakan
militer.
Seperti para pemimpin lokal lainnya di tempat
lain, Kerajaan Air Bangis telah melakukan kesepakatan-kesepakatan dengan
perwakilan Pemerintah Hindia Belanda dalam membangun kerjasama yang saling
menguntungkan. Oleh karena Pemerintah Hindia Belanda memberikan insentif dalam
bentuk gaji kepada para pemimpin lokal dan sejumlah bawahannya maka relasinya
tidak lagi sepenuhnya timbal balik tetapi kedudukan para pemimpin lokal menjadi
lebih rendah (dalam hal ini dapat dikatakan sebagai pegawai Pemerintah Hindia
Belanda).
Dalam
struktur Pemerintahan Hindia Belanda, kerajaan-kerajaan menjadi partner atau
pegawai pemerintah di satu sisi kedudukan para Radja mendapat perlindungan
sementara di sisi lain Radja dapat berperilaku lalim. Kerjasama pemimpin lokal
ini dengan Pemerintah Hindia Belanda menjadi kontraproduktif di mata para
pemimpin Padri yang cenderung berkuasa di pedalaman. Padri menganggap
Pemerintah Hindia Belanda adalah musuhnya dan para pemimpin lokal yang selama
ini terbebani oleh para pemimpin Padri seakan kehadiran Pemerintah Hindia
Belanda sebagai jalan keluar untuk bebas
dari penindasan atau paling tidak bebas untuk menjalankan adat istiadat yang
mereka lakukan.
mohon bahas tentang Nagari Tikoe yang sekarang dalam wilayah Kec. Tanjung Mutiara
BalasHapusSejarah Tikoe ada dalam serial sejarah Bukittinggi (belum semua artikel diupload,mungkin suatu waktu nanti). Nama Tikoe saya kira adalah nama kuno yang diduga sudat tercatat pada abad ke-6 (lihat serial sejarah Padang Lawas nomor terakhir).
HapusAssalamu'alaikum.
BalasHapusSalam kenal pak Akhir. Boleh share nomor WA nya kah pak? Kami tertarik bertanya2 tentang sejarah Batahan, Mandailing Natal. Terimakasih
Waalaikumsalam
HapusTolong nomornya diemail biar saya saja yang menelponnya
Selamat belajar sejarah
Sallam... luar biasa pak.. trrimakasih
BalasHapus