*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini
Lenteng Agung adalah suatu nama terkenal di selatan Jakarta berbatasan dengan Depok. Nama Lenteng Agung sendiri sudah terkenal sejak dulu. Namun namanya baru populer setelah tahun 1873. Ini sehubungan dengan selesainya pembangunan jalur rel kereta api Batavia-Buitenzorg, yang mana salah satu halte/stasion disebut Lenteng Agung.
Lenteng Agung adalah suatu nama terkenal di selatan Jakarta berbatasan dengan Depok. Nama Lenteng Agung sendiri sudah terkenal sejak dulu. Namun namanya baru populer setelah tahun 1873. Ini sehubungan dengan selesainya pembangunan jalur rel kereta api Batavia-Buitenzorg, yang mana salah satu halte/stasion disebut Lenteng Agung.
Peta Lenteng Agung, 1901 |
Nama Lenteng Agung bukanlah
berasal dari suatu klenteng (lenteng) yang besar (agung). Namun nama Lenteng
Agung berasal dari suatu proses (transfomasi) ‘klenteng di Tanah Agong’.
Klenteng yang dimaksud terdapat di Tanah Agong. Dengan kata lain wilayah Lenteng Agung
dulu namanya Tanah Agong. Yang sering menjadi pertanyaan pada masa ini dimana
posisi GPS klenteng yang dulu pernah ada di Tanah Agong (kini Lenteng Agung).
Tentu saja, kita tidak bisa melacaknya pada masa kini. Situsnya pada masa ini
sudah tidak berbekas. Untuk keperluan pengetahuan masa kini, mari kita lacak dimana
posisi ‘gps’ klenteng tersebut di masa lampau.
Perlu diketahui bahwa sebelum muncul nama
Lenteng Agoeng, jauh sebelumnya sudah eksis nama wilayah dengan nama Klenteng
Agong. Wilayah tersebut berada di Bidara Tjina. Wilayah Klenteng Agong ini berada
diantara sisi barat sungai Tjiliwong di timur dan kampong Pantjoran di sisi
barat. Wilayah Klenteng Agong dalam perkembangannya berubah nama menjadi
Tjawang.
Popularitas Lenteng Agung baru muncul tahun 1873, saat
dimulainya pengoperasian kereta api Batavia-Buitenzorg dimana para penumpang
bisa turun dan naik di halte/stasion Lenteng Agung. Hari pertama operasi
dimulai tanggal 31 Januari 1873 (lihat Bataviaasch handelsblad, 29-01-1873).
Jalur kereta api
Batavia-Buitenzorg terbagi dalam dua tahap. Tahap pertama ruas Batavia-Meester
Cornelis sudah beroperasi sejak tahun 1869. Tahap kedua ruas Meester
Cornelis-Buitenzorg yang operasi dimulai tahun 1873. Jarak Meester Cornelis ke
halte/stasion Pasar Minggoe sejauh 8.9 Km; kemudian ke Lenteng Agong 5.4 Km; ke
Pondok Tjina 4.4. Km, ke Depok 4.3 Km; ke Tjitajam 5.1 Km; ke Bodjong Gede 5.3
Km; ke Tjiliboet 4.3 Km; dan terakhir ke Buitenzorg 7.7 Km (lihat ‘De Eerste
Javasche Spoorwegen’, Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 2, 1873).
Jalur kereta api ruas Meester Cornelis-Buitenzorg ini
sejatinya mengikuti jalur jalan kuno Pakuan-Sunda Kelapa. Jalur jalan kuno ini
dapat dibandingkan dengan jalur kereta api yang baru di sekitar Serengseng
Sawah dan Lenteng Agung yang sekarang.
Bayangkan jalan kuno ini
pada masa lampau dari Depok. Gerobak dan kereta kuda melaju kencang dari Depok
melewati Pondok Tjina dan kampong Bodjong (kira-kira Gang Kober sekarang).
Setelah itu mengikuti jalan sisi kiri di bawah fly-over UI yang sekarang dan
kemudian memotong rel hingga menujui halte UI, turunan.tanjakan lalu belok kiri
sampai ketemu persimpangan Jalan Serengseng Sawah. Lalu lurus memotong rel
kembali. Jika lurus menuju Jalan Gardu dan belok kiri ke arah markas militer
dan lanjut ke stasion Lenteng Agoeng. Selepas stasion Lenteng Agong kembali
memotong rel menuju IISIP dan kemudian lewat sisi kiri (Simpang Jalan Joe) dan
terus ke stasion Tandjong Barat dan kemudian memotong rel lagi di bawah
fly-over menuju Poltangan. Lalu kemudian memotong rel kembali sebelum stasion
Pasar Minggo (dst).
Jalur menuju Jalan Gardu di Serengseng terus ke arah
sungai Tjiliwong adalah lokasi Landhuis dari Land Serengseng (tempat dimana baheula
Cornelis Chastelein memulai pertanian). Jalur jalan kuno yang menuju stasion
Lenteng Agoeng, pada sisi kanan sebelum memotong rel menuju IISIP adalah pusat (landhuis)
dari Land Lenteng Agoeng. Antara halte/stasion Lenteng Agong dan persimpangan
(jalan kuno vs rel kereta api sekitar IISIP) inilah batas-batas di selatan dan
di utara Land Lenteng Agong. Sementara di sisi timur langsung berbatasan sungai
Tjiliwong. Sedangkan di sisi barat sekitar Pasar Lenteng Agung yang sekarang.
Land Lenteng Agung
sangat kecil dan dapat dikatakan land terkecil yang pernah ada di era Hindia Belanda.
Lantas kapan land Lenteng Agong terbentuk? Itu yang menjadi pertanyaan
utamanya.
Dalam Statistik 1867 nama Lenteng Agong belum
teridentifikasi. Dalam Statistik 1867 Batavia terdiri dari empat Afdeeling:
Batavia (Stad); Meester Cornelis, Buitenzorg dan Tangerang. Afdeeling Meester
Cornelis terdiri dari empat district: Meester Cornelis, Kebajoran, Bekasi dan
Tjabangboengin. District Meester Cornelis terdiri dari 65 Landerien, salah satu
diantaranya Land Tandjong West. Land Tandjong West ini terdiri dari 13 kampong
yang dihuni oleh satu orang Eropa, 3.345 jiwa pribumi dan sebanyak 70 jiwa
Tionghoa dan Arab tiga jiwa.
Land Tandjong West sendiri
sudah terbentuk sejak era VOC. Landhuis berada di ujung Jalan Poltangan dekat
dengan sungai Tjiliwong. Tidak ada akses antara Tandjong Oost (Pasar Rebo yang
sekarang) dengan Tandjong West. Landhuis Tandjong West diakses dari jalan kuno
sisi barat sungai Tiliwong, jalan dari Pakuan ke Sunda Kelapa. Land Tandjong
West pada era VOC adalah land yang mengusahakan peternakan. Hingga tahun 1863
Tandjong West masih menjadi penghasil susu (Java-bode : nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-07-1863).
Pada era Pemerintahan Hindia Belanda, Land Tandjong West ditingkatkan
menjadi lahan pertanian yang dikaitkan dengan pembangunan irigasi. Pada tahun 1830
dibangun setu Babakan di kampong Kalibata dan airnya dialirkan dengan membuat
kanal dari setu menuju Land Tadjong West. Kanal ini melewati sisi barat (di
bawah) stasion Lenteng Agong yang sekarang.
Pembangunan setu dan
kanal irigasi telah mengubah wajah Land Tandjong West secara drastis, dari
lahan-lahan yang kering (sulit air) menjadi lahan-lahan yang subur
(berpengairan sepanjang tahun). Dampaknya, satu hal yang penting terbentuknya
pasar di suatu tempat yang kemudian disebut Pasar Minggo. Pada Almanak tahun
1838 pasar ini masih disebut Pasar Tandjong West
Sejak adanya kanal, lahan antara Land Serengseng
dan Land Tandjong West semakin produktif. Lahan tersebut terdiri dari dua
bidang lahan yang topografinya berbeda. Sisi barat jalan kuno adalah lahan
miring yang subur. Dengan adanya kanal, lahan miring tersebut lahan memiliki
pengairan yang teratur (irigasi dari kanal). Kanal ini diteruskan ke utara di
Tandjong West. Sisi timur jalan kuno, lahan datar yang sebelumnya lahan kering
yang sulit air karena air berada di bawah (sungai Tjiliwong), dengan adanya
kanal lahan ditingkatkan menjadi lahan subur yang berpengairan irigasi tetap.
Irigasi ini dibangun dengan membuat kanal ke arah selatan dari kanal yang
berada di sekitar IISIP yang sekarang. Kanal ini dialirkan terus ke
halte/stasion yang sekarang dan terus dialirkan ke lahan di Serengseng. Kanal
ini pada prinsipnya adalah kanal mundur dimana titik baliknya berada di depan
IISIP yang sekarang. Hal serupa ini juga pernah dilakukan sebelumnya di Depok. Inilah
salah satu bentuk revolusi kanal.
Land Sereng Seng lebih
tua dari Land Tandjong West. Land Sereng Seng (Sering Sing) sudah diusahakan
sejak 1690an oleh Cornelis Chastelein. Land Tandjong West baru terbentuk pada
1750an, suatu land baru yang diusahakan sebagai lahan peternakan oleh Jan
Andries Duurkoop. Dengan dibangunnya bendungan setu Babakan pada tahun 1830 dan
pembuatan kanal melalui Lenteng Agoeng, maka lahan (Land) Sereng Seng tempat
dimana doeloe Cornelis Chastelein membangun pertanian baru memiliki pengairan
yang tetap (irigasi), Di era Cornelis Chastelein, land Sereng Seng sisi timur
jalan kuno ke arah sungai Tjiliwong adalah lahan tadah hujan (lahan basah di
musim hujan, lahan kering di musim kemarau).
Land Tanah Agong No. 329 dan No. 241 Verp. No.5774 |
Lahan yang diusahakan ini berada di Residentie Batavia, Afdeeling
Meester-Cornelis, blok M, deel 3, No. 239 dan No 241, area wijk Tanah Agong,
verponding No. 5774. Lahan ini terbagi dua bagian. Bagian A: di sebelah utara
land Tandjong West, di sebelah selatan satu persil lahan verponding, di sebelah
timur Grooten Heerenweg (jalan kuno), dan sebelah barat lahan Kalibata. Bagian
B: sebelah utara persil lahan, selatan persil lahan, sebelah timur sungai Tjiliwong, dan sebelah barat jalan
besar Grooten Heerenweg. Informasi ini menunjukkan lahan berada di Tanah Agong yang
kelak disebut Land Lenteng Agoeng,
Javasche courant, 16-04-1836 |
Dalam berita kepemilikan lahan di Tanah Agong ini juga
terindikasi adanya klenting dimana alamat lahan wanita pribumi Naisa di Gang
Klenteng. Klenting ini diduga kuat berada di sisi jalan raya (yang menjadi pananda
navigasi untuk Gang Klenteng). Klenteng yang
berada di lahan (land) Tanah Agong ini jelas pemiliknya adalah orang Tionghoa atau klenteng
yang dibangun oleh komunitas Tionghoa. Kapan klenteng dibangun di Tanah Agong
tidak diketahui secara pasti. Bagaimana klenteng dibangun di Tanah Agong juga
tidak diketahui secara jelas. Sebab, faktanya, land Tanah Agong bukanlah
dimiliki oleh seorang Tionghoa. Land kepemilikan Tionghoa adalah Land Pondok
Tjina, Land Tjimanggis dan Land Tjiniere.
Kita kembali ke masa
sebelumnya. Keberadaan jalan kuno (jauh sebelum adanya rel kereta api). Kampong
Sereng Seng (Land Sering Sing) dan kampong Pondok Tjina adalah dua titik lokasi
strategis antara Depok dan Tandjong West yang menjadi jalur penyeberangan
sungai Tjiliwong. Penyeberangan sungai di Pondok Tjina dengan menggunakan getek
menghubungkan Land Pondok Tjina dan Land Tjimanggis (yang berada di Gtooteweg
Trans-Java Daendels Batavia-Buitenzorg). Penyeberangan sungai di Sereng Seng
adalah penyeberangan dengan jembatan gantung yang terbuat dari kabel telegraf.
Jembatan ini menghubungkan sisi dari Tjiniere dan Parong menuju pasar besar di
Tandjong Oost (kini Pasar Rebo). Karena Land Tanah Agong adalah titik simpul
dari segala arah, maka komunitas Tionghoa memilih Tanah Agong sebagai lokasi
klenteng. Klenteng di Tanah Agong
boleh jadi sudah ada sejak era VOC.
Pada tahun 1860, Pemerintah Meester Cornelis akan
meningkatkan budidaya padi (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 18-02-1860). Hal ini karena pemerintah Buitenzorg telah
berhasil di Kedong Badak, Tjileboet, Bodjong Gede, Tjitajam, Depok dan Pondok
Tjina. Pemerintah Meester Cornelis juga akan berencana meningkatkan budidaya
padi di Tandjong West, Kalibata, Kemang, Klenteng Agong dan Kampong Melayoe
Nama Land Klenteng Agong
bukanlah pemekaran dari Land Tandjong West. Pemekaran Land Tandjong West adalah
Land Tanah Agong. Meski demikian, Land Tanah Agong tidak begitu dikenal, karena
secara umum nama Land Tandjong West lebih mengemuka. Nama Land Klenteng Agong sejatinya
adalah nama land dari pemekaran Land Bidara Tjina. Sebagaimana diketahui dua
klenteng yang sudah ada sejak lama (sejak era VOC) adalah klenteng di Tangerang
dan klenteng di Bidara Tjina. Klenteng di Bidara Tjina tersebut kini berada di
land pemekaran di Land Klenteng Agoeng. Land Klenteng Agong berada antara
sungai Tjiliwong dan Pantjoran. Land Klenteng Agong diduga situs kuno. Di Land
Klenteng Agong tidak ditemukan orang Tionghoa lagi meski pemilik land tersebut
adalah seorang Tionghoa. Land Klenteng Agong hanya terdiri dari satu
desa/kampong yang dihuni orang pribumi sebanyak 633 jiwa (lihat Bijdragen tot
de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1869 deel 4, vol. 2, 01-01-1869).
Land Klenteng Agong juga ditulis Kalibata Klenteng Agong. Lokasi Klenteng Agong
ini tepat berada di Pantjoran (lihat Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-01-1889).
Sementara itu, klenteng yang
dibangun di Land Tandjong West, tepatnya di Land Tanah Agong umurnya relatif lebih
tua jika dibandingkan dengan pembangunan klenteng di Buitenzorg. Klenteng di
Land Tandjong West (Land Tanah Agong) diduga merupakan satu-satunya klenteng yang
berada di wilayah tengah. Klenteng lainnya yang dibangun lebih awal adalah
klenteng di Tangerang dan klenteng di Bidra Tjina.
Agong) diduga merupakan satu-satunya klenteng besar yang berada di wilayah
tengah.
Klenteng yang terdapat
di Land Tandjong West menjadi simpul tempat peribadatan bagi Tionghoa yang
terfapat di arah selatan (Pondok Tjina, Depok, Tjitajam), barat (Parong,
Sawangan dan Tjinere), di arah timur (Tjimanggis, Tandjong Oost), dan utara
(Djagakarsa, Tandjong West dan Pasarminggo).
Pada tahun 1869 jalur kereta api Batavia-Meester Cornelis
mulai beroperasi. Setelah itu perencanaan pembangunan jalur kereta api
Batavia-Buitenzorg ruas Meester Coenelis-Buitenzorg mulai dilakukan. Saat
inilah diduga lahan-lahan baru verponding di Land Tandjong West diformalkan dengan
membentuk nama land baru, yakni: Land Tandjong West sendiri; Land Djati Padang
(Kali Bata Poelo), Land Ragoenan dan Land Lenteng Agoeng. Meski demikian, aaat
itu, Land Lenteng Agong tetap disebut Tanah Agong.
Pada tahun 1869 telah
terjadi alih milik lahan di Tanah Agong. Dua persil lahan Ling Ing Lie atau Lie
Eng Lie telah dibeli oleh pedagang Said Mohamad bin Aboe Bakar Aijdiet
masing-masing verponding No.5531 seharga
f575 dan verponding No 5774 seharga f175 (lihat
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
03-11-1869).
Popularitas klenteng di Land Tanah Agong diduga menjadi
sebab munculnya nama baru Land Lenteng Agong (terjadi proses reduksi dari
penanda navigasi ‘klenteng di Tanah Agong’.
Keutamaan lainnya lahan
baru di Lenteng Agung (Tanah Agong) adalah terbentuknya pasar. Pasar ini menjadi
pasar sekunder dimana jauh sebelumnya sudah terbentuk pasar yang telah menjadi
pasar besar, yakni di Tandjong Oost (woensdag, hari Raboe), Parong (vrijdag,
hari Jumat), Tjimanggis dan Pasar Minggo (Tandjong West). Pasar Lenteng Agoeng sendiri
dapat diakses dari berbagai arah: selain berada di jalur jalan kuno, juga bisa
diakses dari Tjinirie/Sawangan melalui sisi setu Babakan/kanal yang merupakan
Jalan Kahfi yang sekarang; dan dari Tandjong Oost (Pasar Rebo) melalui jembatan
gantung di atas sungai Tjiliwong di Serengseng. Pasar di Land Lenteng Agoeng
relatif bersamaan dengan terbentuknya Pasar Tjitajam dan Pasar Kemiri. Untuk
sekadar perbandingan: Pada tahun 1862 pasar-pasar besar dikenakan, seperti
Pasar Senin (Weltevreden) dengan verponding sebesar f24.000 per tahun; Pasar
Tanah Abang f 15.000; Pasar Meester Cornelis f8.000; Pasar Tandjong West (Pasar
Minggo) f1.400; Pasar Tandjong Oost (Pasar Rebo) f700; Pasar Simplicitas (Pasar
Jumat) f1.000 (lihat Nieuw Amsterdamsch handels- en effectenblad, 08-01-1862).
Pasar Lenteng Agong adalah pasar kecil yang dibebaskan dari verponding.
Apa yang mendasari pembentukan
halte/stasion dalam pembangunan rel kereta api ruas Meester Cornelis-Buitenzorg
adalah karena adanya pusat konsentrasi orang Eropa dan pasar. Depok dan Pondok
Tjina karena terdapat orang Eropa, sedangkan Tjitajam dan Lenteng Agoeng karena
adanya pasar. Pasar Lenteng Agoeng ini diduga telah muncul sejak lama oleh
adanya aktivitas orang Tionghoa di Tana Agong.
Land Tanah Agong pada
dasar dapat dikatakan pemekaran Tandjong West, tetapi juga dapat dikatakan
sebagai land tersendiri antara land Tandjong west dan land Sereng Seng. Oleh
karena itu adakalanya Land Tanah Agong dan Land Serengseng disatukan ke dalam
satu wilayah adnministratif yang disebut Land Tandjong West (lihat Bijdragen
tot de taal- land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1869 deel 4, vol. 2, 01-01-1869).
Namun lahan-lahan yang termasuk Land Tanah Agong juga berdampingan dengan Land
Mampang. Lahan-lahan yang berdampingan tersebut disatukan dalam satu
administratif yang disebut Land Mampang dan Tana Agong yang terdiri dari enam
kampong yang dihuni seluruhnya orang pribumi sebanyak 477 jiwa. Dulu secara
administratif Land Tanah Agong disebut Tandjong West en Tana Agong (lihat Javasche courant, 07-09-1836), selanjutnya
disebut Mampang en Tana Agong. Lalu dalam perkembangannya hanya disebut Land
Lenteng Agoeng.
Dalam perencanaan jalur
kereta api secara teknis mempertimbangkan jarak tempuh yang dibagi ke dalam
beberapa halte/stasion. Pertimbangan menentukan posisi halte.stasion tentu saja
didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Faktor ekonomi yang kuat adalah adanya
pasar yang menjadi simpul perekonomian di sekitar. Hal inilah yang menyebabkan
di Pasar Lenteng Agoeng di Tanah Agong dibangun halte/stasion. Dalam
pembangunan halte/stasion di Land Tanah Agong, nama halte/stasion bukan Tanah
Agong, tetapi halte/stasion Lenteng Agong. Mengapa demikian? Sulit dipahami.
Namun diduga hanya karena faktor popularitas, seperti halte/stasion Pasar
Minggo, Pondok Tjina, Depok dan Tjitajam adalah nama-nama yang kadung sudah
dikenal luas. Pondok Tjina, Depok dan Tjitajam adalah nama-nama land, sedangkan
Lenteng Agong dan Pasar Minggo adalah nama-nama pasar. Namun tidak lama setelah
jalur kereta api beroperasi dan nama halte di Tanah Agong disebut halte/stasion
Lenteng Agoeng muncul perkara diantara para pewaris Land Tanah Agong.
Pada tahun 1881 terjadi
sengketa atas kepemilikan sahan Land Tanah Agong yang mengusahakan pertanian.
Yang bersengketa ini adalah para anak-anak pendiri: Said Hoessin bin Mohamad bin
Aboe Bakar Aydiet din Pecojan, Batavia dan saudara-saudaranya; Conrad Herman
Metger di Duitschland (Jerman); Ralph Edwin Smith di Batavia; dan Carel
Martinus Wilhelmus Kruymel di Semarang. Setelah melalui proses pengadilan, atas
nama Konings (Radja), Raad van Justitie te Batavia (Eerste Kamer) memutuskan
bahwa usaha di Land Tanah Agong dinyatakan pailit (lihat Nederlandsche
staatscourant, 08-12-1881).
Bataviaasch handelsblad, 19-07-1884 |
Yang membeli lahan Tanah
Agong (land Lenteng Agoeng) adalah seorang Tionghoa kaya, Tidak diketahui siapa
namanya. Sebelumnya pemilik lahan-lahan di Land Pondok Tjina, Land Tjimanggis
dan Land Tjiniere adalah pengusaha-pengusaha Tionghoa.
Pada tahun 1891 terjadi peristiwa besar di Lenteng
Agoeng. Pemilik Land Lenteng Agoeng, seorang Tionghoa meninggal karena
pembunuhan (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 08-09-1891). Landheer terbunuh oleh mandornya sendiri karena
sebab diberhentikan (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 28-09-1891).
Landhuis dan barak pekerja di Land Lenteng Agoeng (1902) |
Peta Lenteng Agoeng baru terbit setelah adanya
pembangunan rel kereta api. Peta tertua Land Lenteng Agoeng adalah peta yang
terbit tahun 1902. Peta Land Lenteng Agong mengindikasikan luasnya hanya
sebatas stasion Lenteng Agoeng di selatan dan IISIP di utara, Di sebelah timur
berbatasan sungai Tjiliwong. Di sebelah barat hanya beberapa ratus meter di
sisi barat stasion Lenteng Agong. Batas-batas dalam Peta 1902 persis sama dengan
keterangan yang terdapat dalam dokumen Afdeeling Meester-Cornelis, blok M, deel
3, No. 239 dan No 241, area wijk Tanah Agong, verponding No. 5774 sebagaimana
yang juga telah disengketakan di pengadilan oleh para pewaris.
Pasar dan Klenteng di Land Lenteng Agoeng (1902) |
Dengan demikian, nama Lenteng Agong bukanlah nama kuno
seperti Pondok Tjina dan Bidara Tjina. Nama Lenteng Agong di Land Tandjong West
adalah nama baru, Sebelumnya nama Land Klenteng Agong sudah eksis di Bidara
Tjina. Namun pembangunan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg menyebabkan nama
lahan di Land Tandjong West menjadi populer sebagai Land Lenteng Agoeng untuk
menggantikan Land Tanah Agong. Sejak itu, nama Land Klenteng Agong di Bidara
Tjina mulai meredup hingga menghilang dan kemudian muncul nama baru yang
disebut Land Tjawang.
Peta 1896 |
Pergeseran nama Klenteng Agong menjadi Lenteng Agong di
Land Tandjong West diduga karena proses pelafalan. Semakin memudarnya nama Land
Klenteng Agoeng di Bidara Tjina dan semakin populernyanya Land Lenteng Agoeng
diduga telah diratifikasi sendiri oleh Pemerintah Meester Cornelis untuk
membedakan satu dengan yang lainnya.
Nama Pondok Tjina sejatimya
sudah ada sejak era Cornelis Chastelein yang memulai usaha pertanian tahun
1690an di Sering Sing. Sedangkan nama Bidara Tjina baru muncul setelah
terjadinya pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia tahun 1740. Land Bidara
Tjina berada di selatan Kampong Melayu di sisi timur sungai Tjiliwong. Dalam
perkembangannya Land Bidara Tjina dimekarkan dengan membentuk Land Klenteng Agong
di sisi barat sungai Tjiliwong. Land Klenteng Agong berbatas sungai Tjiliwong
hingga ke Tugu Pancoran yang sekarang.
MANTAP SEKALI INFORMASINYA
BalasHapusTerima kasih
BalasHapussaya juga di lenteng Agung, mau liat tempat saya at: https://youtu.be/kZGpatCt_3A
BalasHapusKampung halamanku tercinta, yang kini telah berubah, nyaris tak menyisakan apapun dari masa lalu, kecuali kenangan yang terus hadir dalam mimpiku.
BalasHapus