Keberadaan pabrik kapur di Land Tjitajam terdeteksi pada tahun 1875. Kapur dari Tjitajam ini sebagai bagian dari komoditas yang diangkut kereta api untuk dikirim ke Batavia dan Buitenzorg (Nederlandsche staatscourant, 23-07-1875).
Bataviaasch nieuwsblad, 15-06-1895 |
Pengusahaan dan perdagangan kapur di Tjitajam ini
dilakukan oleh Ouw Tiang Hoat. Disebutkan kapur dari Tjitajam terbilang
berkualitas karena bersumber dari tebing gunung (berklippen), halus berwarna
putih, tidak tercampur (dengan tanah) dan daya lekat sekuat semen (Bataviaasch
nieuwsblad, 15-06-1895).
Adanya pabrik kapur di Tjitajam telah melahirkan industri batu bata di (Kampong
Lio) di Tjitajam dan (Kampong Lio) di Depok. Di Depok tidak hanya industri batu
bata tetapi juga berkembang industri keramik seperti produk pot bunga. Pot
bunga dari Depok cukup terkenal di Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 09-04-1904).
Produk kapur dari Tjitajam ini diberi merek “Tjitajam’
dan cukup terkenal. Pada tahun 1924, harga per meter kubik di halte (stasion)
Tjitajam adalah f7.56. Pembelian dua truk (lori) dikorting lima persen (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-08-1924).
Kalkbranderij
Tjitajam
Pengusahaan pembuatan kapur di Land Tjitajam diduga sudah
muncul sejak lama dan berkembang pesat setelah adanya angkutan kereta api
Batavia-Buitenzorg yang salah satu halte (stasion) terdapat di Land Tjitajam. Pabrik
kapur (kalkbranderij) Tjitajam berada di Kampong Boelak Koelon, area yang dibatasi
sungai Pesanggrahan dan berseberangan dengan Kampong Pasir Poetih di Land
Sawangan.
Peta Tjitajam, 1926 |
Pabrik pembuatan kapur Tjitajam diduga beroperasi cukup lama hingga
akhirnya berhenti berproduksi karena kehabisan bahan baku. Pabrik kapur
berikutnya yang kemudian dikenal terdapat di Land Tapos. Namun, kini situs
pabrik kapur yang beroperasi hampir satu abad hanya tinggal kenangan.
Tragisnya, di tempat dimana pabrik itu berada kini menjadi tempat pembuangan
sampah (TPA Cipayung).
*Dikompilasi oleh Akhir Matua
Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan
lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta.
Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap
buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah
disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan
atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di
artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar