Selasa, 05 Desember 2017

Sejarah Kota Surabaya (14): Inilah Daftar Resident dan Burgemeester Soerabaja; Wali Kota Surabaya Pertama, Radjamin Nasution

*Semua artikel Sejarah Kota Surabaya dalam blog ini Klik Disini.


Pembentukan pemerintahan di Surabaya secara efektif pada dasarnya baru dimulai setelah era pendudukan Inggris (1811-1816). Ini sehubungan dengan berjalannya proses perapihan (wilayah) administrasi pemerintahan di Jawa. Seiring dengan proses mengadministrasikan kembali wilayah-wilayah di Jawa dilakukan pengangkatan Residen, Asisten Residen dan Controleur serta Gouverneur. Reorganisasi pemerintahan Pemerintahn Hindia Belanda tampaknya merujuk pada pembagian wilayah yang telah dilakukan oleh Letnan Gubernur Raffles.

Kantor Residen Surabaya (foto 1865)
Dalam Almanak 1816 wilayah Jawa dibagi ke dalam 17 residentie yang dipimpin oleh Resident: Buitenzorg; Preanger Regencies; Bantam; Chirebon; Tagal; Paccalongan and Cadoe; Samarang; Soeracarta; Djocjacarta; Japara and Joana; Rembang; Soerabaja and Bangcallan; Probolinggi, Besoki and Panaroekan; Grissee; Passoeroeang; Baniowangie; dan Sumanap. Sementara luar Jawa baru terdiri dari: Palembang and Banca; Macassar; Banjermassing. Residen Soerabaja and Bangcallan adalah William Ainslie (yang dibantu oleh dua asisten residen).  

Residen atau asisten Residen adalah pemimpin pertama dan yang bertanggungjawab untuk merencanakan pembangunan wilayah serta memimpin pertumbuhan dan perkembangan kota. Bagaimana kisah para pemimpin di Surabaya ini di dalam mengiringi perencanaan dan pengembangan Kota Surabaya penting untuk diketahui. Sebab, merekalah yang memiliki ide awal dan bertanggungjawab setiap tahapan pembangunan (periode kepemimpinan). Mari kita telusuri berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Kota Surabaya (13): Planologi Kota Surabaya Tempo Doeloe; Kanalisasi dan Pengembangan Pelabuhan Tanjung Perak

*Semua artikel Sejarah Kota Surabaya dalam blog ini Klik Disini.


Pada masa lampau (era VOC), pelabuhan Surabaya awalnya berada di sisi sungai Soerabaya yang kini posisi GPS berada di tengah kota Kota Surabaya yang sekarang. Pada era Pemerintah Hindia Belanda, pelabuhan Surabaya yang berlokasi dekat benteng (casteel) Soerabaya direlokasi ke kanal (sungai buatan) yang baru yang disebut Kali Mas. Sejak dibukanya terusan Suez (1869) pelabuhan-pelabuhan di Nederlandsch Indie (baca: Indonesia) mengalami perubahan drastis dari pelabuhan sungai relokasi menjadi pelabuhan kanal dan pelabuhan kanal bergeser menjadi pelabuhan laut.

Kantor Residen Kota Surabaya, 1830
Pelabuhan Kalimas kategorinya kini dianggap pelabuhan tradisional di Kota Surabaya, namun sesungguhnya pelabuhan tersebut adalah pelabuhan kanal modern Jawa bagian timur pada masa awal Pemerintahan Hindia Belanda. Dalam perkebangannya kemudian Pelabuhan Kalimas bergeser ke Pelabuhan Tanjung Perak. Hal ini juga terjadi di Semarang dari pelabuhan (kanal) Moeara Baroe bergeser ke pelabuhan Tanjung Emas. Pola pergeseran pelabuhan Tanjung Perak Surabaya mirip dengan pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Ini berbeda dengan di Batavia: pelabuhan mengalami relokasi dari pelabuhan Kalibesar ke pelabuhan Tanjung Priok. Pola relokasi pelabuhan Tanjung Priok lebih mirip dengan pelabuhan Teluk Bayur di Padang (namun tetap ada perbedaan: Batavia memanfaatkan tanjung, Padang memanfaatkan teluk). Pelabuhan yang khas adalah kombinasi (pergeseran dan relokasi): dari pelabuhan Deli ke pelabuhan Belawan.
 
Bagaimana proses perubahan (pergeseran dan atau relokasi posisi lokasi) pelabuhan di Kota Surabaya terjadi? Satu hal bahwa perubahan pelabuhan di Surabaya adalah bagian tidak terpisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan Kota Surabaya sendiri. Namun disayangkan sejauh ini sulit menemukan informasi (tulisan) masa kini yang mendeskripsikan kronologis pembangunan dan pengembangan pelabuhan di Kota Surabaya. Hal lain adalah bahwa pelabuhan Tanjung Perak yang sekarang adalah akhir dari proses tersebut. Oleh karenanya sudah barang tentu kronologis tersebut menjadi penting untuk diketahui, sebab pelabuhan adalah faktor penting dalam perjalanan Kota Surabaya—yang berawal dari sebuah kampung di sisi sungai Soerabaya menjadi kota metropolitan yang sekarang. Mari kita telusuri berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Kota Surabaya (12): Surat Kabar Berbahasa Melayu Kali Pertama Terbit di Surabaya, 1856; Sejarah Pers Sebenarnya

*Semua artikel Sejarah Kota Surabaya dalam blog ini Klik Disini.


Surat kabar berbahasa Melayu pertama kali terbit di Kota Surabaya. Surat kabar ini terbit kali pertama tahun 1856 bernama Soerat Kabar Bahasa Melaijoe (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-03-1856). Pada tahun yang sama (1856) juga terbit surat kabar berbahasa Melyu bernama Bintang Oetara (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 18-02-1856). Surat kabar ini diduga diterbitkan di Kota Padang.

Java-bode, 15-03-1856
Bahasa Melayu adalah lingua franca di nusantara sejak lama. Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar tidak hanya intens digunakan di wilayah Melayu tetapi juga di kota-kota non Melayu seperti di Batavia, Semarang, Soerabaya dan Padang. Namun tidak diketahui sejak kapan bahasa Melayu mulai dikoding dalam bentuk aksara Latin tidak diketahui secara jelas. Bahasa Melayu dalam aksara Latin muncul dalam surat kabar pertama kali ditemukan pada surat kabar Java government gazette edisi 30-01-1813. Bahasa Melayu tersebut ditulis oleh seorang bernama Sarah Salamut yang berdomisili di Semarang.    

Bagaimana sejarah bahasa Melayu dalam pers (kolonial) tentu sangat menarik untuk diketahui. Hal ini karena bahasa Melayu adalah cikal bakal bahasa Indonesia. Lalu, kapan bermula pers Melayu. Pertanyaan-pertanyaan ini menarik untuk dijawab mengingat sejarah surat kabar berbahasa Melayu dan pers pribumi masih terkesan simpang siuar. Mari kita telusuri ke masa lampau berdasarkan sumber-sumber tertulis tempo doeloe.

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.