Rabu, 30 Januari 2019

Sejarah Kota Depok (55): PA van der Parra, Gubernur Jenderal dan Riwayat Hidup yang Sebenarnya; Rumah Cimanggis di Depok


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini

Banyak tokoh penting VOC/Belanda yang dihubungkan dengan Kota Depok yang sekarang. Salah satu yang terpenting adalah Petrus Albertus van der Parra, karena pernah menjadi Gubenur Jenderal (1761-1775). Pada masa kini, Rumah Tua Cimanggis diduga sebagai warisan dari Petrus Albertus van der Parra.  

Para Pionir di Depok
Tokoh-tokoh penting lainnya adalah Majoor Saint Martin pemilik pertama lahan (land) Tjinere dan land Tjitajam (dua lahan tersubur di sisi barat sungai Tjiliwong). Setelah itu muncul tokoh berikutya yakni Cornelis Cahstelein yang awalnya membuka lahan di Seringsing (1695) dan kemudian di Depok dan Mampang (1704). Selanjutnya Scipio Isebrandus Helvetius van Riemsdijk pemilik land Tjilodong dan sekitarnya (cucu dari Gubernur Jenderal Jeremias van Riemsdijk). Majoor Saint Martin sebelumnya pemilik land di Batavia yang kemudian land tersebut Land Kemajooran (kini Kemayoran). Saint Martin seorang tentara profesional asal Prancis yang menguasai bahasa Melayu adalah asisten dan penerus ahli botani Georg Eberhard Rumphius yang bekerja di Ambon. Land Tjinere dan land Tjitajam adalah hadiah dari pemerintah VOC/Belanda karena berhasil mengamankan Kapitein Jonker yang membuat kerusuhan di Banten. Setelah Saint Martin meninggal (1686) tugas penyusunan buku botani tersebut diteruskan oleh Cornelis Chastelein. Karena itulah Saint Martin dan Cornelis Chastelein tertarik mengusahakan lahan. Mereka berdualah orang Eropa pertama yang membuka lahan di hulu sungai Tjiliwong. Rumphius, Martin dan Chastelein adalah koneksi (berdarah) Prancis.   

Lantas bagaimana riwayat Petrus Albertus van der Parra? Sejauh ini hanya sedikit informasi yang diketahui. Data tentang Petrus Albertus van der Parra bukan tidak tersedia. Hanya saja nyaris tidak ada yang menulis riwayatnya. Untuk itu mari kita telusuri ke masa lampau.

Selasa, 29 Januari 2019

Sejarah Kota Depok (54): RSUI di Depok Rumah Sakit Universitas Indonesia; Sejarah Rumah Sakit di Depok dari Klinik Bersalin


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini
**Untuk melihat semua Sejarah UI dalam blog ini Klik Disini

Universitas memiliki rumah sakit bukanlah hal baru. Yang baru adalah Universitas Indonesia memiliki rumah sakit. Selama ini Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo (RSCM) hanya bekerjasama dengan Universitas Indonesia. RSCM sendiri berada di bawah Kementerian Kesehatan. Sementara Universitas Indonesia berada di bawah Kementerian Pendidikan. Oleh karena Kementerian Pendidikan tidak mengurusi rumah sakit, maka RSUI menjadi urusan Universitas Indonesia. Ini berarti RSUI adalah Rumah Sakit PTN pertama di Indonesia.

RSUI (foto Tempo)
Namun masih ada satu hal lain lagi. Universitas Indonesia secara defacto berada di Depok. Ini dapat dilihat dari izin mendirikan bangunan IMB Depok, Akan tetapi secara derujre berada di DKI Jakarta. Hal ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan bahwa Universitas Indonesia berada di ibukota Republik Indonesia. Sebab itu dapat menimbulkan permasalahan tersedniri bagi pasien. Misalnya di DKI Jakarta ada kebijakan libur pada hari tertentu sementara di Kota Depok hari kerja, maka dosen dan pegawai Universitas Indonesia yang menjadi dokter dan pegawai di RSUI menjadi akan turut libur. Oleh karena itu ada kemungkinan RSUI di Depok tutup (shutdown) selama hari libur di DKI Jakarta sementara di wilayah Depok adalah hari kerja.

Kehadiran RSUI di Depok akan sendirinya menguntungkan warga Kota Depok. Paling tidak telah menambah daftar rumah sakit yang ada di Depok dan menambah pilihan warga Kota Depok untuk berobat (rawat jalan dan rawat inap). Itulah keutamaan RSUI di Depok yang secara defacto benar-benar dibutuhkan warga Kota Depok. Keutamaan lainnya adalah RSUI adalah rumah sakit pendidikan dan rumah sakit kesehatan masyarakat. Itu dimaksudkan bahwa RSUI bukan rumah sakit komersil (swasta) tetapi lebih berorientasi untuk dunia pendidikan (termasuk penelitian dan pengabdian masyarakat), Semoga saja dapat mempercepat peningkatan status ksehatan masyarakat warga Kota Depok.

Sejarah Menjadi Indonesia (15): Sejarah Serindo dan Srimulat, Zulkaidah Harahap, dan Djujuk Djuariah; Tilhang dan Teguh


Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Ada dua grup hiburan tua di Indonesia: Srimulat dan Serindo. Srimulat yang mengusung seni lawak dan musik didirikan di Solo tahun 1950 dan setelah eksis selama 39 tahun kemudian bubar di Jakarta tahun 1989. Serindo yang mengusung opera dan musik didirikan di Djakarta tahun 1956 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-06-1957). Setelah berkiprah selama 29 tahun, Serindo kemudian dibubarkan di Padang Sidempuan tahun 1985. Grup Srimulat melahirkan pelawak-pelawak terkenal; Grup Serindo meninggalkan lagu-lagu legendaris seperti Sinanggartullo dan mempopulerkan lagu Butet.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-06-1957
Dua tokoh penting Srimulat adalah Teguh Slamet Rahardjo dan RA Srimulat. Dua seniman ini menikah tahun 1950 dan kemudian mendirikan grup Srimulat. Nama grup Srimulat diadopsi dari nama RA Srimulat (anak seorang wedana). Salah satu tokoh penting dalam grup Srimulat adalah Djudjuk Djuariah. Sementara tokoh penting Serindo adalah Tilhang Gultom, seorang mantan camat (wedana) Salah satu dan satunya perempuan (ratu) di grup Serindo adalah Zulkaidah Harahap yang piawai dalam bermain suling. Setelah Tilhang Gultom meninggal kepempimpinan diteruskan oleh Zulkaidah Harahap. Djudjuk Djuariah lahir di Surakarta 1947 dan meninggal di Yogyakarta 2015. Zulkaidah Harahap lahir di Sipirok tahun 1947 dan meninggal dunia di Pematang Siantara 2013.

Bagaimana perjalanan sejarah dua grup Serindo dan Srimulat dalam panggung hiburan Indonesia sudah banyak ditulis. Namun demikian masih perlu diluruskan dan diperkaya dengan data-data baru. Keutamaan dua grup hiburan rakyat ini karena keduanya telah turut dalam memberikan kontribusi seni pada fase awal panggung hiburan Indonesia. Srimulat memberi hiburan dalam seni pertunjukan seni Jawa, Serindo dalam seni pertunjukkan seni Batak. Untuk itu, mari kita telusuri.   

Minggu, 27 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (12): Diponegoro 1825, Pangeran Kraton Ngajogjakarta Adiningrat; Luit.Col. HG Nahuijs, Residen di Soeracarta


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Dua tokoh penting dalam Perang Jawa (1825-1830) adalah Pangeran Diponegoro dan Residen Nahuijs. Dalam hal ini, Diponegoro adalah pangeran Kraton Ngajogjakarta Adiningrat, sementara Luitenant Colonel HG Nahuijs adalah mantan Residen Soeracarta. Keduanya adalah sama-sama pahlawan. Pangeran Diponegoro menjadi pahlawan (nasional) Indonesia dan Residen Nahuijs menjadi pahlawan (lokal) Belanda.

Dalam penulisan sejarah di berbagai tempat di Indonesia, setiap tokoh lokal digambarkan melawan (keseluruhan orang) Belanda dan sebaliknya orang Belanda hanya menyebut pejabat tertentu menghadapi perlawanan pemimpin lokal tertentu. Karena itu terkesan pemimpin lokal tertentu muncul sendiri sebagai pahlawan dalam menghadapi Belanda, sementara nama pejabat tertentu tenggelam sendiri sebagai pahlawan dalam menghadapi pemimpin lokal. Faktanya Hindia (baca: Indonesia) itu sangat luas dan orang-orang Belanda menyebar di berbagai tempat sebagai pejabat. Oleh karena itu dalam sejarah Indonesia hanya muncul nama-nama sebelum dan sesudah Pangeran Diponegoro seperti Sultan Hasanoedin dan Radja Sisingamangaradja. Sementara siapa itu Admiral Spelman dan siapa itu para Gubernur Sumatra’s Weskust kurang dikenal. Setali tiga uang, bagaimana pemimpin lokal (pahlawan nasional) menghadapi musuh lokal (penghianat bangsa) juga kurang terinformasikan. Akibatnya pahala para pahlawan nasional dicatat dengan rinci (bahkan ada yang ditambahkan) sementara seberapa besar dosa para penghianat bangsa dilupakan begitu saja, seakan tidak memiliki kesalahan apa-apa.  

Bagaimana Pangeran Diponegoro berhadapan (head to head) dengan Residen Nahuijs jarang atau nyaris tidak terinformasikan. Padahal kedua tokoh ini berada di waktu dan tempat yang sama. Residen Nahuijs adalah satu-satunya pejabat tertinggi di wilayah Djocjocarta sementara Pangeran Diponegoro adalah satu-satunya pemimpin lokal terkenal yang terang-terangan melakukan perlawanan terhadap kehadiran orang asing. Dalam penulisan sejarah, detail peristiwa kurang tergambarkan dengan jelas akibatnya kita kurang mendapatkan landasan (domain) sejarah. Untuk itu mari kita telusuri ke TKP berdasarkan sumber-sumber yang ada pada masa lampau.

Jumat, 25 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (11): 1001 Teks Nama Yogyakarta; Jogja, Djogja, Djokja Jogdja, Jocja, Jogya, Djokjo, Jugya dan Lainnya


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Nama Yogyakarta sudah lama diproklamirkan, tetapi tidak semua orang munuruti. Masih banyak yang menuliskannya dengan nama Jogjakarta. Tahun 1884 warga Semarang sudah mengusulkan agar nama Jogjakarta ditulis dengan Djokjakarta (lihat De locomotief, 26-08-1884). Namun usul itu nyatanya tidak dituruti. Akibatnya hingga kini nama Yogyakarta dan Jogjakarta, keduanya masih eksis.

De locomotief, 26-08-1884
Ketika kota-kota lain sudah beres soal penulisan nama, Yogyakarta nyatanya belum selesai. Padang, Medan, Bogor dan Depok sejak doeloe tidak ada masalah. Jacatra menjadi Djakarta lalu Jakarta. Samarang menjadi Semarang. Sourabaja, Soerabaija berakhir dengan Surabaya. Soeracarta, Soerakarta berakhir dengan Surakarta. Bandong, Bandoeng menjadi Bandung. Tidak ada lagi orang Bandung menulis Bandoeng. Yogyakarta dan Jogjakarta hingga kini masih eksis. Penulisan nama Yogyakarta dan Jogjakarta di satu sisi dan di sisi lain Djokjakarta (versi Semarang) tidak hanya itu tetapi juga persoalan apakah perlu disingkat: Yogya, Jogja, Djokja. Yang sudah lama beres adalah penulisan karta, kerta dan carta akhirnya mengerucut menjadi karta. Sesungguhnya, orang Yogyakarta sendiri belum sepenuhnya tuntas menulis nama kotanya. Jogja Istimewa, Jogja Never Ending.

Pada masa lampau, penulisan nama Yogyakarta tidak hanya dua tiga macam, tetapi sangat banyak ragamnya. Boleh dikatakan 1001 macam penulisan. Itu semua bersumber dari apa yang dipikirkan, diucapkan dan ditulis tidak sejalan dengan apa yang diinginkan, didengar dan dibaca. Bagaimana itu semua terjadi? Mari kita telusuri.

Rabu, 23 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (10): Cartasoera dan Soeracarta 1745, Mataram dan Jogjacarta 1755; Vastenburg Solo, Vredeburg Yogya


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta adalah dua kraton yang berpangkal dari satu: Kerajaan Mataram. Dua kraton menjadi terpisah karena perbedaan-perbedaan di sisi internal. Pada sisi eksternal VOC/Belanda ingin menjalankan kebijakan baru yang menjadikan penduduk (pribumi) sebagai subjek. Sebelumnya VOC hanya menjalankan kontak perdagangan yang longgar terutama di kota-kota pantai hingga tahun 1666.

Cartasoera dan benteng VOC/Belanda (1724)
Kerajaan Mataram lahir terkait dengan Kerajaan Majapahit. Kerajaan Mataram ini bermula di Padjang. Lalu dalam perkembangannya, pusat kerajaan dipindahkan ke Kota Gede yang sekarang berada di Yogyakarta. Pada era Sultan Agung kebijakan ekspansi dimulai (untuk menguasai seluruh Jawa dan Madura). VOC/Belanda yang telah memindahkan pusat perdagangannya dari Ambon ke muara sungai Tjiliwong (Batavia) tahun 1619 menjadi batu sandungan. Lalu pada tahun 1628 Sultan Agung (bersama Chirebon dan Banten) menyerang Batavia. Serangan ini gagal. Pada tahun 1666 kebijakan VOC/Belanda diubah (untuk seterusnya) bahwa penduduk dijadikan sebagai subjek. Satu yang pertama dimulai dengan menaklukkan Kerajaan/Kesultanan Gowa-Tallo di Somba Opoe (Macassar) tahun 1667 di bawah pimpinan Admiral Spelmann yang turut dibantu Aroe Palaka. Peta 1724

Lantas bagaimana selanjutnya dengan Mataram? Babak baru VOC/Belanda dimulai. Setelah melakukan ekspedisi-ekspedisi ke pedalaman di Sulawesi dan Sumatra, VOC/Belanda mulai melakukan beberapa ekspedisi ke pedalaman di wilayah Jawa. Ekspedisi dilakukan ke hulu sungai Tjiliwong (eks Kerajaan Padjadjaran) pada tahun tahun 1687. Ekspedisi ini dimulai dari muara sungai Tjimandiri (Pelabuhan Ratu yang sekarang). Sebelumnya telah dilakukan ekspedisi ke ke Kerajaan Mataram melalui benteng Missier di Tegal pada tahun 1681.

Sejarah Yogyakarta (9): Yogyakarta Jelang Pendudukan Jepang; Belanda Takut Sekali, Rangkul Madjelis Rakjat Indonesia di Jogja


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Indonesia dan sejarah kota-kota di Indonesia cenderung memisahkan peristiwa sejarah menjadi dua: era kolonial Belanda dan masa pendudukan Jepang. Padahal ada satu sepotong masa sejarah yang kerap terlupakan yakni pada masa transisi antara era kolonial Belanda dan masa pendudukan Jepang. Pada masa transisi ini kedudukan Madjelis Rakjat Indonesia (MRI) menjadi penting bagi Belanda. Dalam suasana ketakutan Belanda meminta bantuan kepada MRI di Jogjakarta, suatu bentuk organisasi yang sejak dari awal dimusuhinya. Belanda telah merendahkan dirinya.  

Panama Maru, 1933
Belanda menelan ludah sendiri. Sejak dari awal Belanda sangat sadar kebangkitan Indonesia dan berusaha keras menghambat pergerakan politik para revolusioner Indonesia. Polisis rahasia Belanda dibentuk untuk mematai-matai setiap aktivitas oraganisasi kebangsaan dan organisasi politik serta individu yang bersifat revolusioner dan radikal. Namun organisasi kebangsaan dan organisasi politik tidak pernah berhenti. Mati satu tumbuh sepuluh. Untuk memperkuat persatuan dan kesatuan lalu pada tahun 1927 dibentuk supra organisasi yang disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia  (PPPKI). Organisasi ini menaungi organisasi kebangsaan dan organisasi politik. Dalam perkembangannya PPPKI bertransformasi menjadi supra organisasi yang baru yang disebut: Madjelis Rakjat Indonesia. Saat Belanda berada di ujung tanduk, sehubungan dengan invasi Jepang ke Hindia Belanda, Belanda coba merangkul Madjelis Rakjat Indonesia di Jogjakarta.

Bagaimana bisa Belanda merangkul MRI? Itu semua karena ketakutan Belanda yang hanya menunggu waktu untuk invasi ke Hindia Belanda. Ketakutan Belanda yang sesungguhnya adalah kehilangan Hindia Belanda (baca: Indonesia) yang telah lebih dari tiga abad menjadi rumah bagi mereka. Belanda berpikir hanya MRI yang mampu melawan Jepang untuk menjaga kepentingan mereka. Lantas apakah Belanda berhasil merangkul MRI? Bagaimana selanjutnya dan apa sikap kraton/Sultan Jogjakarta? Mari kita telusuri.

Selasa, 22 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (8): Madjelis Rakjat Indonesia Didirikan di Jogjakarta, 1941; Parada Harahap dan MH Thamrin 1927


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Ada satu hal yang besar terjadi di Jogjakarta, tidak hanya Boedi Oetomo melebur (merger) dengan Partai Bangsa Indonesia (PBI) yang kemudian menjadi Partai Indonesia Raja (Parindra) pada tahun 1935, tetapi adalah dibentuknya Madjelis Rakjat Indonesia tahun 1941. Kepemimpinan Madjelis Rakjat Indonesia yang disingkat MRI ini disebut Dewan Pimpinan yang didirikan pada tanggal 13 September 1941 di Jogjakarta. Madjelis Rakjat Indonesia, dasarnya demokratis, saat itu dianggap sebagai Badan Perwakilan Rakyat Indonesia.

Bataviaasch nieuwsblad, 18-09-1941
Pada era reformasi masa ini pernah dideklarasikan Majelis Rakyat Indonesia (MARI) pada tanggal 12 November 2013 di Jakarta. Namun ada perbedaan yang besar antara Madjelis Rakjat Indonesia (MRI) tempoe doeloe di Jogjakarta dengan Majelis Rakyat Indonesia (MARI) pada masa kini di Jakarta. Suasananya juga berbeda: pada masa itu para pemimpin politik Indonesia berada di pengasingan seperti Soekarno dan Mohamad Hatta, sementara yang pada masa ini pemimpin Orde Baru, Soeharto telah dilengserkan

Madjelis Rakjat Indonesia adalah ujung perjalanan dari proses persatuan dan kesatuan bangsa dalam menghadapi penjajah Belanda. Hanya dengan persatuan dan kesatuan energi besar penduduk Indonesia dapat digabung untuk melawan kekuatan Belanda. Persatuan dan kesatuan yang berakhir pada Madjelis Rakjat Indonesia ini bermula pada saat pembentukan Permofakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada tahun 1927 di Batavia. Bagaimana kronologisnya hingga terbentuk Madjelis Rakjat Indonesia? Mari kita telusuri.

Senin, 21 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (7): Sejarah Pendidikan di Yogyakarta; Doeloe Sangat Terbelakang, Tetapi Sangat Populer Pada Era Masa Kini


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Kota Yogyakarta adalah salah satu kota pendidikan di Indonesia. Predikat itu semakin kuat karena di Kota Yogyakarta terdapat universitas besar, universitas negeri UGM (Universitas Gadjah Mada). Sebagaimana diketahui, UGM adalah universitas negeri pertama di Indonesia yang diresmikan pada tahun 1949.

Sekolah guru (kweekschool) di Jogjakarta (1915)
Pada masa kini ada anggapan umum bahwa kota pendidikan hanya beberapa kota: Jogjakarta, Bandoeng, Jakarta, Malang, Solo, Padang dan Makassar. Boleh jadi itu karena adanya universitas terkenal dan atau karena kedudukannya sebagai pusat regional. Namun sebuah kota tidak hanya diukur dari keberadaan universitas, tetapi juga ukuran kuantitas dan kualitas sekolah-sekolah menengah dan sekolah-sekolah dasar. Singkat kata: jumlah angka partisipasi sekolah pada berbagai golongan umur.

Sejatinya, Kota Yogyakarta mulai dikenal sebagai kota pendidikan baru setelah kemerdekaan. Tepatnya ketika ibukota RI pindah dari Jakarta ko Jogjakarta pada tahun 1946. Lantas bagaimana dengan sebelumnya. Itu satu pertanyaan. Pertanyaan berikutnya: bagaimana perkembangan pendidikan di Yogyakarta setelah menjadi ibukota RI. Intinya adalah pada era kolonial Belanda pendidikan di Yogyakarta terbilang sangat terbelakang. Perpindahan ibukota RI dari Djakarta ke Jogjakarta pada tahun 1946 menjadi berkah dalam perkembangan pendidikan di Yogyakarta. Mari kita telusuri.

Jumat, 18 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (6): Sejarah Ibukota RI di Yogyakarta, Jogja Istimewa dan Apa Istimewanya Djokjakarta; Inilah Faktanya


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Ibukota Republik Indonesia pernah di Yogyakarta yang secara de facto dimulai tanggal 4 Januari 1946. Hal ini menyusul tidak amannya ibukota RI di Djakarta. Sebelum ibukota RI dipindahkan dari Djakarta ke Jogjakarta, wilayah Jogjakarta sudah ditabalkan sebagai salah satu provinsi di Indonesia dengan gelar Istimewa. Gelar yang diberikan Pemerintah Republik Indonesia ini sedikitnya dalam tiga hal: sejarah, bentuk dan kepala pemeritahan

Pada masa kini keistimewaan Yogyakarta paling tidak masih eksis nama provinsi sebagai Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Satu provinsi lagi yang kini masih mendapat gelar Istimewa adalah Provinsi Aceh, Tentu saja daerah Istimewa dibedakan dengan daerah Khusus (Jakarta). Daerah Istimewa dan Daerah Khusus sudah dipatenkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pertanyaannya: Apa istimewanya Djogjakarta? Satu hal Jogjakarta pernah menjadi ibukota Republik Indonesia dan keistimewaannya dapat dilihat dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Namun bukan itu inti pertanyaannya, tetapi mengapa Jogjakarta harus diberi gelar Istimewa dan mengapa ibukota RI dipindahkan ke Jogjakarta. Dua pertanyaan ini saling terkait. Mari kita telusuri.

Sejarah Jakarta (34): Perpindahan Ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta, 1946 Tidak Seperti Diceritakan; Ini Fakta Sebenarnya


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Semarang dalam blog ini Klik Disin

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia (RI) 17 Agustus 1945 ibukota negara ditetapkan di Djakarta. Namun dalam perkembangannya, karena alasan situasi ibukota Djakarta tidak aman lalu ibukota RI dipindahkan ke Djogjakarta pada awal Januari 1946. Ibukota RI di Djogjakarta berlangsung selama era perang hingga hingga terjadinya agresi militer Belanda kedua. Djogjakarta yang diduduki oleh militer Belanda sejak 19 Desember 1948 menyebabkan ibukota RI berakhir.

Het dagblad, 07-01-1946
Dalam berbagai media disebutkan bahwa pada tanggal 3 Januari 1946, diadakan rapat pemindahan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta. Disebutkan bahwa Soekarno mengatakan: ‘Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda. Aku juga tidak’. Juga disebutkan dalam berbagai media bahwa perpindahan dari Jakarta ke Yogyakarta tanpa diketahui NICA karena takut Soekarno dan seluruh pejabat RI akan dibunuh. Setelah gelap, sebuah gerbong kereta dan lokomotif yang dimatikan lampunya berhenti di belakang rumah Soekarno yang terletak di pinggir rel. ‘Dengan diam-diam, tanpa bernapas sedikit pun, kami menyusup ke gerbong. Orang-orang NICA menyangka gerbong itu kosong," kata Soekarno menggambarkan ketegangan saat itu. Lebih lanjut disebutkan Soekarno mengatakan bahwa ‘Seandainya kami ketahuan, seluruh negara dapat dihancurkan dengan satu granat. Dan kami sesungguhnya tidak berhenti berpikir apakah pekerjaan itu akan berlangsung dengan aman. Sudah tentu tidak. Tetapi republik dilahirkan dengan risiko. Setiap gerakan revolusioner menghendaki keberanian’. Masih dalam berbagai media disebutkan bahwa pada tanggal 4 Januari 1946, kereta api yang membawa Soekarno dan rombongan ke Yogyakarta di malam buta. Semua penumpang diliputi ketegangan. Tapi rupanya Tuhan memberikan kekuatan pada rombongan kecil itu mencapai Yogyakarta.  

Lantas apakah cerita tersebut sepenuhnya benar? Itu yang ingin diklarifikasi dengan membuka sumber-sumber lama. Pada saat itu sudah terdapat sejumlah media (surat kabar dan majalah Indonesia) tetapi baru ada satu surat kabar asing. Surat kabar asing tersebut terbit di Batavia yakni Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia. Oleh karena akses data artikel ini menelusuri berita hari demi hari di dalam surat kabar Het dagblad ditambah surat kabar lainnya. Mari kita telusuri.

Selasa, 15 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (5): Gunung Merapi dan Daftar Panjang Letusan; Ekspedisi Pertama 1820 oleh Nahuijs dan Merkus (Jung Huhn)


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Gunung Merapi di Yogyakarta (juga terlihat dari Solo) adalah salah satu gunung di Jawa yang terbilang aktif dari dulu hingga kini. Di era VOC/Belanda, letusan gunung Merapi kali pertama dicatat pada tahun 1760. Gunung Merapi yang berada di sekitar penduduk yang padat ini selalu menjadi menarik perhatian. Tidak hanya penduduk di sekitar gunung, juga orang-orang Eropa/Belanda.

Bataviasche courant, 14-10-1820
Pada tahun 1820 Residen Soeracarta HG Nahuijs penasaran dengan indahnya gunung Merapi tetapi selalu membuatnya was-was. HG Nahuijs lalu berkekuatan hati untuk ‘memanjat’ gunung Merapi. HG Nahuis yang berpangkat kolonel tersebut tidak sendiri tetapi juga mengajak tiga temannya untuk melihat langsung kawah gunung Merapi. Tiga temannya itu adalah S van de Graaf, P. Merkus en  H. Mac Gillavry. Pada pagi tanggal 9 September 1820 HG Nuhuijs bersama tiga temannya plus 76 orang Jawa untuk membantu memulai ekspedisi ke gunung tersebut. Mereka berhasil hingga ke puncak gunung.. Pieter Merkus kelak menjadi Gubernur Jenderal (1841–1844). Pieter Merkus pada tahun 1840 merekrut FW Jung Huhn untuk meneliti dan memetakan geologi dan botani di Tanah Batak. Setelah menyelesaikan bukunya berjudul Die Battaländer auf Sumatra, Jung Huhn melakukan pemetaan gunung-gunung di Jawa, termasuk gunung Merapi. Satu tanaman asli Indonesia pinus ditemukan Jung Huhn di Sipirok (Tapanuli Selatan). Nama tanaman ini lalu diabadikan namanya dengan Pinus merkusii Jungh, yang mengambil nama Pieter Merkus dan Jung Huhn. Pieter Merkus meninggal di Soerabaja (1844) yang diduga disebabkan malaria. FW Jung Huhn membawa pohon kina dari Brasil dan mengembangkannya di Preanger. Jung Huhn meninggal di Lembang (1864).

Lantas bagaimana sejarah gunung Merapi selanjutnya? Gunung Merapi nyaris tidak ada matinya. Gunung Merapi telah banyak menimbulkan korban, tetapi juga gunung Merapi telah memberi manfaat. Untuk melengkapi sejarah gunung Merapi, ada baiknya disusun daftar panjang letusan yang pernah terjadi. Mari kita telusuri sumber-sumber tempo dulu.

Senin, 14 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (4): Fakta Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta dan Agresi Militer Belanda 19 Desember 1948


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Ada dua tanggal penting kejadian di Yogyakarta pada era perang kemerdekaan RI: Tanggal 19 Desember 1948 dan tanggal 1 Maret 1949. Kejadian-kejadian di seputar dua tanggal tersebut hingga kini masih menjadi perdebatan. Perdebatan yang muncul bukan di kalangan orang Belanda tetapi justru di kalangan orang Indonesia masa kini. Di kalangan Indonesia, duduk soal kejadian tanggal 1 Maret 1949 bukan pada peristiwa yang terjadi tetapi siapa yang menjadi inisiator serangan tersebut. Pada era Orde Baru, nama Suharto mengemuka dalam hal ini. Akan tetapi tidak semua orang sepakat. Kontroversi muncul di era Reformasi (termasuk reformasi sejarah).

Kontroversi lainnya adalah kejadian-kejadian pada tanggal 19 Desember 1948, tanggal kapan militer Belanda melakukan pendudukan di Yogyakarta. Kontroversi yang terjadi bukan di kalangan Indonesia, tetapi di dunia internasional. Salah satu peristiwa yang terjadi pada tanggal 19 Maret bahkan membuat Dewan Kemanaan PBB marah besar dan meminta Kerajaan Belanda melakukan investigasi sesegera mungkin. Seperti kita lihat nanti, Kerajaan Belanda di Den Haag menggelar segera pengadilan darurat. Lantas kontroversinya dimana? Peristiwa yang dibicarakan dunia internasional ini tidak dimasukkan dalam sejarah Indonesia masa kini.

Dua peristiwa tanggal 19 Maret 1948 (yang disebut Agresi Militer Belanda II) dan tanggal 1 Maret 1949 (Serangan Umum oleh Republiken), faktanya dapat diikuti di dalam pemberitaan surat kabar hari demi hari. Dalam penulisan sejarah Indonesia, berita-berita ini dapat dianggap lebih otentik karena diberitakan apa adanya (belum masuk angin). Lalu seperti apa duduk perkaranya? Mari kita sarikan dari berita-berita di seputar tanggal tersebut: bad news, good news.

Kamis, 10 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (3): Nama Jalan Tempo Dulu di Yogyakarta, Malioboro Paling Tua; Kini Ada Nama Pajajaran dan Siliwangi


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Pada masa kini, di Yogyakarta terdapat nama jalan hampir 500 buah. Itu semua bermula dari tiga nama jalan: Residentie, Petjinan dan Malioboro. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kota, nama-nama jalan baru terus bertambah. Namun nama-nama jalan itu diubah sejak pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Hanya satu nama jalan yang tetap abadi, yakni Jalan Malioboro.
.
Peta Yogyakarta (1903)
Sementara nama jalan terus bertambah, soal penggantian nama jalan di Yogyakarta tidak hanya berhenti pada tahun 1950. Baru-baru ini terdapat enam nama jalan yang diganti dengan nama jalan yang baru, yakni: Majapahit, Pajajaran, Siliwangi, Brawijaya, Ahmad Yani dan Wirjono Prodjodikoro. Lantas mengapa nama-nama jalan Majapahit, Pajajaran, Siliwangi dan Brawijaya baru sekarang? Jawabnya: Karena di Kota Bandung dan Kota Surabaya juga ada pergantian nama jalan,

Mengapa tidak ada daftar nama jalan tempo dulu di Yogyakarta yang dapat dibaca pada masa ini? Tentu saja bukan karena tidak tersedia data. Masalahnya adalah tidak ada yang tertarik untuk menulisnya. Padahal nama-nama jalan tempo dulu adalah suksesi nama jalan masa kini. Nama jalan tempo dulu lahir berproses secara alamiah. Sifat alamiah ini adalah filosofi (karakter) awal tumbuhnya sebuah kota. Untuk itu mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 05 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (2): Sejarah Asal Usul Nama Jalan Malioboro di Yogyakarta; Nama Gedung, Penamaan Jalan Braga Bandung


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Nama jalan Malioboro di Yogyakarta, bukanlah nama jalan kuno, tetapi juga bukan nama jalan baru. Nama Jalan Malioboro sudah eksis di era kolonial Belanda. Nama jalan Malioboro tidak hanya terkenal di Yogyakarta tetapi di seluruh Indonesia. Hal ini juga di Bandung, nama jalan yang juga sangat dikenal yakni Jalan Braga. Hanya dua nama jalan ini di Indonesia yang tetap populer sejak era kolonial Belanda hingga masa kini.

Nama jalan adalah penanda navigasi di dalam kota. Nama jalan terkenal selalu menjadi starting point. Nama jalan terkenal yang sudah eksis sejak tempo doeloe kerap dijadikan sebagai heritage. Sebagaimana jalan Braga di Bandung, nama jalan Maliboro di Yogyakarta juga suatu heritage. Memang ada nama jalan di sejumlah tempat yang menjadi heritage, seperti Jembatan Merah di Surabaya, jalan Multatuli di Medan dan jalan  Kramat dan jalan Salemba di Jakarta. Namun nama jalan Braga dan nama jalan Malioboro memiliki daya tarik sendiri. Karena itu, sebagaimana jalan Braga di Bandung, nama jalan Malioboro selalu lebih populer dibanding nama-nama jalan lainnya.

Lantas bagaimana asal usul nama Malioboro di Yogyakarta? Pertanyaan ini memang penting, tetapi yang lebih penting adalah mangapa nama jalan tersebut, terusan jalan utara Kraton Yogyakarta, disebut nama Malioboro? Lalu mengapa kita tetap mengusutnya. Hal itu karena masih banyak yang bertanya-tanya. Artikel ini mendeskripsikan asal usul mengapa nama jalan di Yogyakarta disebut Malioboro.

Jumat, 04 Januari 2019

Sejarah Menjadi Indonesia (14): Sejarah Hoax, Hoaks Indonesia; Dari Era Kolonial Tempo Dulu Hingga Merdeka Masa Kini


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disin
 

Akhir-akhir ini, di era ‘medsos’ zaman now teknologi komunikasi dan informasi, hoax atau hoals (kabar bohong)  menjadi hal yang banyak dibicarakan tetapi mengandung potensi laten perdebatan dan bahkan perseteruan. Isu hoax di zaman now sudah bersifat global. Namun hoax bukanlah hal baru, bahkan sudah menjadi perilaku kuno, tetapi di era teknologi digital zaman bow, hoax menjadi menguntungkan di satu pihak tetapi menghancurkan di pihak lain. Sebab hoax masa kini, daya gelindingnya sangat luas mulai dari ibukota hingga desa-desa terpencil dan penetrasinya juga sangat lebar mulai dari pejabat publik hingga ke orang yang bersahaja buta huruf.

Kamus Belanda, 1863
Ada perbedaan mendasar hoax di era kolonial Belanda dengan era masa kini. Pada era masa kini, zaman now, ada kecenderungan hoax sebagai sesuatu yang tidak ada atau sesuatu yang belum terjadi, lalu diada-adakan atau dijadi-jadikan. Pada era kolonial Belanda, hal seperti itu jarang dikomunikasikan, Hoax pada era itu, kecenderungannya adalah sesuatu yang ada atau yang terjadi lalu dibesar-besar. Perbedaan skala dalam hal membesar-besarkan dari hal yang kecil mengindikasikan luasnya permasalahan yang ingin dicapai si pembuat hoax. Si pembuat hoax dalam hal ini bisa seorang pejabat Belanda, maupun seorang pemimpin lokal yang berseberangan. Perbedaan mendasar lainnya, pada era tempo doeloe, zaman old dengan era masa kini, zaman now adalah bahwa tempo doeloe si pembuat hoax dapat diidentifikasi siapa, paling tidak menyebut nama samaran yang dapat dilacak, sedangkan pada zaman now si pembuat hoax menyembunyikan diri (alibi).    

Lantas bagaimana hoax disikapi oleh semua penduduk Indonesia yang semakin metropolitan. Itu satu hal. Hal lain yang juga penting diperhatikan adalah bagaimana hoax tempo doeloe di Indonesia telah bertransformasi sedemikian rupa menjadi hoax jenis baru yang menakutkan seluruh ummat, Lalu bagaimana perbedaan hoax pada masa doeloe zaman old dengan hoax pada masa kini zaman now. Hoaks pada tempo doeloe era kolonial Belanda cenderung searah antara orang Belanda/Eropa dengan pribumi, antara penjajah dengan penduduk yang terjajah. Tentu saja ada hoaks dari para oknum zending.