* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Nama jalan Malioboro di Yogyakarta, bukanlah nama jalan kuno, tetapi juga bukan nama jalan baru. Nama Jalan Malioboro sudah eksis di era kolonial Belanda. Nama jalan Malioboro tidak hanya terkenal di Yogyakarta tetapi di seluruh Indonesia. Hal ini juga di Bandung, nama jalan yang juga sangat dikenal yakni Jalan Braga. Hanya dua nama jalan ini di Indonesia yang tetap populer sejak era kolonial Belanda hingga masa kini.
Nama jalan Malioboro di Yogyakarta, bukanlah nama jalan kuno, tetapi juga bukan nama jalan baru. Nama Jalan Malioboro sudah eksis di era kolonial Belanda. Nama jalan Malioboro tidak hanya terkenal di Yogyakarta tetapi di seluruh Indonesia. Hal ini juga di Bandung, nama jalan yang juga sangat dikenal yakni Jalan Braga. Hanya dua nama jalan ini di Indonesia yang tetap populer sejak era kolonial Belanda hingga masa kini.
Lantas bagaimana asal
usul nama Malioboro di Yogyakarta? Pertanyaan ini memang penting, tetapi yang
lebih penting adalah mangapa nama jalan tersebut, terusan jalan utara Kraton
Yogyakarta, disebut nama Malioboro? Lalu mengapa kita tetap mengusutnya. Hal
itu karena masih banyak yang bertanya-tanya. Artikel ini mendeskripsikan asal
usul mengapa nama jalan di Yogyakarta disebut Malioboro.
Profesor Dr. Peter
Carey, seorang profesor sejarah dari Oxford diduga pernah menyatakan di dalam bukunya ‘Asal-usul
Nama Yogyakarta dan Malioboro’ yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu, bahwa
nama Malioboro bukan berasal dari nama jenderal (dan benteng) Malborough di
Bengkulu; juga bukan dari nama merek rokok Amerika Marlboro; tetapi Malioboro
berasal dari bahasa Sanskerta yakni malyhabara
yang artinya untaian bunga. Oleh karena itu, jalan Malioboro di Yogyakarta
dapat diartikan sebagai jalan yang bertaburkan untaian bunga. Begitu
kesimpulannya, Menarik memang, namun bagaimana malyhabara
bergeser menjadi malioboro tidak dijelaskan. Juga tidak dijelaskan bagaimana
malioboro menjadi nama jalan. Untuk memperjelas, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
.
.
Sejarah Awal Kota Yogyakarta
Nama Malioboro sebagai
nama jalan di Yogyakarta sejatinya baru diadopsi sekitar tahun 1918. Terminologi
Malioboro itu sendiri diduga kuat bergeser dari sebutan Marbongh. Tidak diketahui apakah pelapalan lidah Eropa/Belanda
menyebut Marbongh dari malyhabara
yang diusulkan Dr. Peter Carey. Jadi terkesan ada pergeseran dari Malyhabara ke
Marbongh lalu menjadi Malioboro. Hal serupa ini juga ditemukan dalam hal nama
tempat di Hindia, termasuk dalam catatan yang dibuat pada era VOC untuk
Semarang yang ditulis Samarangh
Nama Marbongh, area Kraton Mataram (Peta 1700) |
Penulisan Marbongh kali
pertama ditemukan dalam peta yang dibuat antara tahun 1700 dan 1703 (lihat
gambar). Peta ini diduga hasil ekspedisi ke Mataram yang dipimpin oleh Jacob
Couper. Peta ini menggambarkan
lokasi-lokasi strategis di lingkungan kerajaan Mataram. Wujud peta ini dibuat
dari sisi pantai di selatan Jawa. Peta tersebut diberi judul Remvoy van de
Pagger en Campement op Marbongh. Peta ini dibuat setelah suksesnya ekspedisi
yang pertama tahun 1690-an.
Peta Ekspedisi dari Fort Missier di Tegal ke Mataram, 1690 |
Sejak pemetaan Mataram/Cartosoera
pada era VOC nama Marbongh tidak pernah ditemukan lagi. Lantas kapan nama
Malioboro muncul dalam teks VOC atau Pemerintah Hindia Belanda belum diketahui.
Namun yang jelas lingkungan kerajaan Mataram/Cartosoera yang digambarkan (peta)
sejak era VOC/Belanda terus berkembang.
Lukisan Kota Mataram (1676) |
Pemisahan Mataram dan Java (Peta 1706) |
Di Jawa bagian barat
(west) dimulai di Batavia (kini Jakarta) dan Buitenzorg (kini Bogor). Sementara
di Sumatra dimulai di Padangsch Benelanden (Padang) dan Tapanoeli (Padang
Sidempoean). Di wilayah Indonesia Timur sekarang hanya dimulai di Makassar.
Perkembangan kota-kota ini semakin dinamis sejak era Daendels (Pemerintahan
Hindia Belanda). Seperti halnya, Chirebon dan Buitenzorg terhadap awal
pertumbuhan dan perkembangan kota Bandoeng (Bandung) juga berlaku sama dengan awal
pertumbuhan kota Semarang dan Soerabaja sebelum kota Mataram atau Jogjakarta
(Yogyakarta).
.
.
Peta Mataran 1724 |
Kota Djocjocarta, 1771 |
Dalam hal ini, Kota
Yogyakarta, sejatinya bukan kota baru seperti Kota Bandung (yang memang baru,
mulai dari titik nol). Kota Yogyakarta adalah sebuah kota yang bertransformasi
dari kota kuno (Mataram). Kota kuno Mataram hanya dapat dihubungkan (head to
head) dengan kota kuno Pakuan/Padjadjaran. Namun, perbedaannya, kota kuno
Pakuan/Padjadjaran sudah lama ditinggalkan dan hancur setelah serangan Banten
(1523), sementara kota kuno Mataram masih eksis hingga kedatangan VOC/Belanda. Oleh
karena itu sangat sulit membandingkan kota (kuno) Mataram dan kota (kuno)
Pakuan/Padjadjaran. Hanya analisis arkeologi yang bisa melakukan itu. Kita
hanya bisa menganalisis pertumbuhan dan perkembangan Kota Mataram/Kota
Jogjakarta lama secara sendiri berdasarkan waktu (kronologis).
Setelah ekspedisi
VOC/Belanda ke Pakuan pertama tahun 1687, di lokasi eks kota Pakuan
dibangun benteng (fort) Padjadjaran yang lokasinya persis di tempat
Istana Bogor yang sekarang. Dari benteng inilah kota Buitenzorg (Bogor) dimulai
pada era Daendels (1809). Penanda navigasi (Titik Nol) sebagai tirik awal
pertumbuhan kota Buitenzorg adalah pembangunan Witte Paal, pal putih yang
sering diartikan warga sebagai Tugu Putih yang terletak di Persimpangan Air
Mancur Kota Bogor yang sekarang. Hal yang sama kemudian dilakukan di Kerajaan/Kesultanan
Mataram dengan pembangunan Witte Paal yang kini dikenal warga Yogyakarta
sebagai Tugu.
Masjid Kaoeman di aloon-aloon Jogjakarta (Foto 1870) |
Lantas kapan kota kuno
Mataram mulai bertransformasi menjadi kota Yogyakarta yang sekarang. Itu harus
diidentifikasi dimana Pemerintah Hindia Belanda mulai menempatkan pemerintahannya,
apakah setingkat Controleur atau setingkat Residen. Area antara dimana pusat
Belanda dan pusat (pemimpin) pribumi akan terbentuk kota baru (hoofdplaat),
yakni dalam hal ini antara pusat pemerintahan Belanda (di kantor Residen) dengan
pusat (kraton) Mataram. Tipologi ini juga terjadi di Batavia, Semarang,
Soerabaja, Bandoeng dan Buitenzorg.
Pada era VOC/Belanda, apakah karena
faktor politik atau lainnya, hubungan pusat VOC/Belanda di Semarang dengan
Jogjakarta sangat longgar (juga disebabkan faktor geografis yang jauh). Seetelah
1755 pada jalan tradisional didirikan benteng VOC/Belanda di dekat Kraton yakni
fort Vredeburg yang didukung beberapa benteng kecil. Salah satu benteng kecil
itu pada belokan jalan dari Magelamg ke timur ke Soeracarta (sebelum
perpotongan jalan ke kraton Jogjakarta), Di Vredeburg seorang residen
ditempatkan sejak 1786 (lihat Naam Boekje, 1796). Perkebunan-perkebunan di
sekitar kraton Jogjakarta dibuka terutama komoditi indigo.
Pada awal Pemerintah Hindia Belanda,
intensitas antara pantai utara dan Jogjakarta mulai ditingkatkan. Hal yang
pertama dilakukan adalah pemetaan wilayah yang dimaksudkan untuk pembangunan
jaringan jalan (Groote weg). Pemetaan jalan ini adalah mengikuti jalan
tradisional dari Semarang ke Djogjakarta via Magelang (sejak era VOC/Belanda). Di
titik-titik tertentu pada belokan jalan dari Magelamg ke timur ke Soeracarta,
yang mana pada titik tertentu persimpangan jalan ke Kraton Jogjakarta dibuat
patokan navigasi, Witte Paal (Toegoe). Sehubungan dengan itu, pasca pemetaan dilakukan
penempatan pejabat. Residen tidak ditempatkan (lagi) di Vredeburg tetapi di
benteng dekat Witte Paal ke arah Magelang. Namun tidak lama kemudian terjadi
pendudukan Inggris tahun 1811. Di Jogjakarta terjadi perlawanan terhadap
Inggris (lihat Java government gazette, 04-07-1812).
Kraton Jogjakarta dan Fort Vredeburg (Peta 1833) |
Setelah pendudukan Inggris berakhir
(1811-1815), Pemerintah Hindia Belanda kembali menempatkan pejabat (Residen) di
Djogjakarta. Kantor/rumah Residen dibangun baru berada di seberang fort
Vredeburg. Sementara di sekitar fort Vredeburg sudah berkembang kampement
(perkampung Tionghoa) dan pasar di dekat benteng. Namun pada awal tahun 1820an
mulai timbul ketegangan baru dan memuncak menjadi Perang Jawa (Pangeran
Diponegoro: 1825-1830). Pada fase ini penempatan militer sangat banyak di bawah
pimpinan Kolonel Cochius (dimana garnisun dibangun di belakang kantor
Residen). Pasca Perang Jawa, sejak tahun 1830 mulai diterapkan koffiestelsel.
Sementara koffiestelsen berlangsung, juga perkebunan swasta berkembang di
sekitar wilayah kraton Jogjakarta, yang mana lahan-lahan disewakan kraton
kepada swasta sebagai konsesi.
Peta Jogjakarta, 1890 |
Area di sekitar jalan utama
(hoofdweg) inilah muncul pertumbuhan dan perkembangan kota. Kota
Mataram/Jogjakarta mulai tumbuh sejak stuasi dan kondisi kondusif pada pasca
perang. Berdasarkan pada peta-peta sebelumnya, batas-batas persil lahan
perkebunan lambat laun menjadi jalan. Lahan-lahan perkebunan mulai bersaing
dengan kebutuhan lahan untuk pemukiman-pemukiman baru yang menyertai
pertumbuhan dan perkembangan kota. Peta tertua (Peta 1890) kota Yogyakarta yang
berhasil ditemukan diperlihatkan pada gambar di samping. Peta ini meski tidak
terlalu rinci tetapi masih dapat diidentifikasi sebagai hal yang masih
bersesuaian dengan lanskap kota Yogyakarta sekarang. Peta kota ini sudah
mengidikasikan adanya jaringan rel kereta api, dimana stasion kereta api
dibangun di (wilayah) Toegoe.
De locomotief, 17-06-1872 |
Setelah kereta api
Semarang-Ambarawa beroperasi tahun 1869, pada tahun 1870 muncul desakan agar
kereta api dari Tanggoeng dilanjutkan ke Solo dan Djogjakarta (De locomotief:
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-03-1870). Hal ini terutama untuk
mendukung arus garam yang tidak efisien lagi dari Soerabaja ke Solo melalui
transportasi sungai (angkutan balik dengan komodi kopi).
Jalur kereta api Semarang hingga Djogjakarta mulai beroperasi pada tahun 1872 dengan jadwal yang sudah ditentukan untuk berhenti pada sejumlah stasion/halte (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-06-1872). Setelah beberapa tahun kemudian jalur kereta api dari Semarang/Ambarawa dengan Djogjakarta dibangun via Magelang.
Jalur kereta api Semarang hingga Djogjakarta mulai beroperasi pada tahun 1872 dengan jadwal yang sudah ditentukan untuk berhenti pada sejumlah stasion/halte (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-06-1872). Setelah beberapa tahun kemudian jalur kereta api dari Semarang/Ambarawa dengan Djogjakarta dibangun via Magelang.
De locomotief, 08-01-1877 |
Kota baru Yogyakarta bermula
antara area Kraton Mataram/Yogyakarta dengan pusat pemerintahan Belanda. Pada
peta 1890 area ini diidentifikasi sebagai area antara kota kuno Mataram yang
berada di selatan dan pusat (pemerintah)
Belanda di sebelah utara dimana terdapat stasion kereta api. Jalan lurus sejajar
dengan lintasan rel kereta api, diduga kuat adalah Jalan Raya Jogja (Jalan Raya
Ahmad Yani dan Jalan Raya Panembahan Senopati/Jalan Sultan Agoeng). Di selatan
jalan raya ini lokasi dimana Kota Mataram kuno atau Kraton Yogyakarta pada masa
ini. Jalan lurus dari Kraton ke stasion diduga jalan penghubung antara pusat
pemerintah lokal (Yogyakarta) dengan pusat pemerintahan Belanda yang kelak
menjadi jalan utama kota dimana kini terdapat ruas jalan Malioboro. Sedangkan
jalan sejajarnya ke arah rel kereta api diduga menjadi jalan Mataram/Jalan
Katamso yang sekarang.
Jataviasche koloniale courant, 05-01-1810 |
.
Rencana kereta api Semarang-Jogjakarta, 1869 |
Setelah era jalan raya
Trans-Java (Grooteweg) di era Daendels, jaringan transportasi mulai berkembang
pesat. Jaringan transportasi tersebut selalu merujuk ke posisi jalan Trans-Java
(Grooteweg). Dalam perkembangannya jalan Trans-Java dikembangkan dari Semarang
ke selatan (Mataram/Jogjakarta) melalui Salatiga, Soeracarta dan ke
Mataram/Jogjakarta. Pasca Perang Jawa (Pengeran Diponegoro, 1825-1830) jaringan
jalan diperluas melalui Magelang, Demikian juga dari Soerabaja ke Soeracarta. Dalam
perkembangannya, semakin meningkatnya volume barang dan tonase kapal/perahu maka
muncul kesulitan baru dari wilayah Vortslanden (Soeracarta/Jogjacarta) ke
pelabuhan (Semarang/Tandjong Emas) dan Soerabaja/Tandjong Perak). Kesulitan
tersebut baik melalui darat maupun melalui sungai Bengawan Solo (karena dangkal
di musim kemarau), maka mulai dirintis pembangunan transportasi (massal) kereta
api. Lalu muncul rencana jaringan rel kereta api pertama (1864) di Hindia yang
dimulai dari Semarang ke Cartosorea/Soeracarta via Toengtang.
.
.
Namun dalam realisasinya yang
awalnya untuk fungsi pertumbuhan ekonomi, namun dalam perkembangannya rencana yang
sebelumnya Semarang-Soeracarta dibelokkan menjadi Semarang-Tanggoeng-Ambarawa
(untuk prioritas fungsi pertahanan). Kereta api Semarang-Ambarawa ini mulai
beroperasi tahun 1869.
Jalan utama dari Toegoe ke Kraton via Kantor Residen (1888) |
Sebelumnya jalur kereta api
Buitenzorg ke Bandoeng via Soekaboemi dan Tjiandjier mulai beroperasi tahun
1883 dan kemudian dilanjutkan ruas jalur Bandoeng-Chirebon yang bersamaan
dengan pembangunan jalur Bandoeng-Jogjakarta. Peta Rencana Perluasan Kereta Api
ke Jogjakarta (1869)
Kantor Residen Jogjakarta (1900) |
Asal-Usul Nama Jalan Malioboro
Kota
Jogjakarta berkembang, berkembang terus. Suatu kota, termasuk Jogjakarta,
berkembang karena berbagai faktor. Faktor terpenting adalah faktor ekonomi yang
mana sebagai faktor akselerasi (pendukung utama) adalah keberadaan transportasi
kereta api, spesifiknya dimana stasion kereta api ditempatkan. Sebagaimana yang
sudah ada di tempat lain, lebih dulu ada transportasi 3 multi moda (pelayaran
laut, darat dan kereta api) di Batavia, Semarang, Soerabaja dan Padang dan transportasi
2 multi moda di Buitenzorg dan Bandoeng di Kota Jogjakarta dengan 2 multi moda baru
terwujud belakangan. Kota multi moda Jogjakarta relatif bersamaan dengan Kota
Medan.
Faktor lainnya yang terpenting dalam memacu perkembangan kota adalah kota
sebagai pusat pemerintahan kolonial. Berdirinya bangunan-bangunan pemerintah
baik untuk uusan administratif maupun untuk urusan ekonomi (perusahaan
pemerintah). Kota sebagai pusat perdagangan, pust pendidikan dan pusat wisata
memperbanyak bangunan-bangunan usaha seperti toko dan gudang, bangunan-bangunan
sekolah Eropah dan sekolah untuk pribumi, serta bangunan-bangunan akomodasi
(losmen dan hotel). Juga dibangunnya pusat-pusat kemasyarakatan seperti
organisasi (societeit), taman, lapangan (termasuk lapangan balapan kuda dan
sepak bola). Tentu saja munculnya pasar-pasar baru baik yang dikelola oleh
pemerintah maupun oleh masyarakat.
De locomotief, 26-06-1865 |
Selain
Losmen Malioboro dan Losmen Mataram di Jogjakarta pada tahun-tahun setelah
adanya moda kereta api terdeteksi sebuah hotel yang bernama Hotel Centrum.
Hotel ini paling tidak sudah beroperasi pada tahun 1898 (De locomotief :
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 01-11-1898). Hotel Centrum ini
berlokasi di dekat/seberang jalan societeit (dekat Kantor Residen). Jika
mengacu pada kota-kota pedalaman, ada perbedaan sedikit antara losmen
(logement) dengan hotel. Di Buitenzorg, suatu kota pedalaman yang terbilang
pertama memiliki akomodasi, losmen yang ada menyediakan tempat untuk kuda
(istal), sedangkan hotel tidak menyediakannya. Para tamu hotel cenderung
orang-orang yang menyewa kereta kuda (seperti pejabat, investor atau pelancong).
Keberadaan losmen selalu mendahului keberadaan hotel. Pengelola losmen adalah
pemilik dan sekaligus tinggal di losmen tersebut, sedangkan pemilik hotel
adalah investor yang belum tentu tinggal di hotel tersebut. Losmen Malioboro
berada di pangkal kota (sebelum area kampement Tionghoa, tempat dimana
kereta-kereta kuda jarak jauh (semacam bis AKAP) datang dari Soeracarta atau
Semarang. Hotel Centrum berada di dekat ibukota (Kantor Residen). Dari losemen ke
hotel menggunakan kereta kuda lokal (semacam angkot). Losmen dalam hal ini
sering disebut pesanggrahan.
Namun
bagaimana losmen pertama di Jogjakarta ini disebut Losmen Malioboro juga tidak
begitu jelas. Kedua losmen yang berada di Djogjakarta dimiliki orang
Eropa/Belanda. Yang jelas Losmen Malioboro adalah salah satu tempat akomodasi
utama di Kota Jogjakarta. Losmen ini masih dimiliki oleh Vincent (De locomotief
: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 20-04-1872). Losmen Malioboro disebut
losmen yang menyenangkan. Losmen ini juga terletak tidak jauh dari pasar besar
(samping Vredeburg), setelah kampemen Tionghoa. Pasar ini kelak dikenal sebagai
Pasar Beringharjo.
Grand Hotel di Jogjakarta, 1910 |
Selain berfungsi sebagai tempat akomodasi, Losmen
Malioboro juga kerap digunakan untuk pertemuan umum, baik oleh swasta maupun
pemerintah. Organisasi Boedi Oetomo yang didirikan tahun 1908 kali pertama menggunakan losmen Malioboro
sebagai tempat rapat pada tanggal 4 Oktober 1909 (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 04-10-1909).
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 04-10-1909 |
Jalan utama (hoofd weg) Jogjakarta (Foto 1920) |
.
Jalan Malioboro dari waktu ke waktu semakin dikenal dan
terkenal. Dalam berita-berita maupun dalam iklan-iklan Jalan Malioboro
disebutkan. Jalan Malioboro yang sejak lampau hanya disebut jalan utama (hoofdweeg). Jalan utama juga disebut pada ruas jalan lainnya yang terhubung dengan jalan Malioboro. De Indische courant, 09-08-1923 menyebutkan
jalan utama (di) Jogjakarta adalah ruas jalan Toegoe, Malioboro, Patjinan dan Résidentielaan.
De Indische courant, 09-08-1923 |
Lantas
bagaimana dengan Losmen Malioboro?.Meski sudah ada hotel besar (Hotel Grand dan
Hotel Mataram) di Jalan Malioboro, keberadaan Losmen Malioboro masih tetap
eksis, paling tidak hingga tahun 1924 (lihat De Indische courant, 15-08-1924). Disebutkan
bahwa di Loge Malioboro diadakan pertemuan umum. Jalan Malioboro lambat laun menjadi
sangat ramai. Akan tetapi dalam perkembangannya Loge Malioboro tidak pernah
terdeteksi lagi.
Jalan Malioboro (Foro 1931) |
.
Pada Peta 1925 di
sekitar Jalan Malioboro tidak ditemukan lagi nama Losmen Malioboro. Nama-nama
bangunan di seputar Jalan Malioboro yang terkenal adalah Hotel Grand, Hotel
Mataran dan Loge Mataram. Nama loge Malioboro tidak terdeteksi lagi. Lantas bagaimana
akhir sejarah Loge Malioboro?
Hilangnya nama Loge Malioboro sepintas adalah teka-teki.
Tetapi sesungguhnya mudah ditebak. Penjelasannya adalah sebagai berikut: Pada tahun
1909 Loge Malioboro berada di taman kota (stadtuins), Losmen Maliboro dan Losmen
Mataram berdampingan. Lalu pemilik Losmen Mataram membangun Hotel Mataram. Dalam
perkembangannya, pemilik Losmen Mataram tidak hanya membangun hotel, tetapi
juga mengakuisisi Losmen Malioboro. Lalu Hotel Mataram tetap di tempatnya,
sedangkan losmen yang sebelumnya bernama Malioboro diganti dengan nama Loge
Mataram. Lantas bagaimana dengan losmen Mataram? Area losmen ini telah diubah
menjadi perluasan Hotel Mataram. Dengan
demikian di area sisi timur Jalan Malioboro ini hanya eksis Hotel Mataram dan
Loge Mataram. Memang Losmen Malioboro telah tamat, tetapi namanya masih eksis
sebagai nama jalan.
Ada perbedaan Kota
Mataram kuno dengan Kota Yogyakarta modern. Semua kota-kota tua di Indonesia
pada masa kini, cikal bakalnya, seharusnya dilihat dan dimulai sejak kehadiran
Belanda di kota tersebut. Sebab, mereka dengan sadar merancang kota sebagai
pusat pemerintahan dan pusat pertumbuhan ekonomi serta perkembangan sosial.
Pengalaman mereka dari Eropa yang cenderung hidup sebagai warga kota (urban)
memahami betul bagaimana mereka memulai lingkungan baru sebagai kota baru dengan merancang baru atau merperkaya lanskap yang lama.
Secara teoritis VOC/Pemerintah Hindia
Belanda tidak pernah mengakuisisi kota (kampung) lama menjadi kota baru.
Faktanya VOC/Pemerintah Hindia Belanda, karena berbagai faktor, mereka memulai
kota baru di tempat/ruang yang kosong tetapi tidak jauh dari kampung (kota)
lama. Sebab, penduduk pribumi adalah mitra strategis mereka.
Pada era VOC permulaan
kota baru dimulai dari benteng (fort). Sementara pada era Pemerintahan Hindia
Belanda, meski terkesan berbeda tetapi memiliki pola sama, permulaan kota baru
dimulai dari kantor pemerintah (controleur/asisten residen, Residen/Gubernur).
Dari dua titik beda era inilah kota=kota tumbuh dan berkembang. Dalam fase perkembangan awal,
kota Eropa/Belanda mulai terintegrasi area kota modern Eropa/Belanda dengan area kota
tradisional pribumi. Dengan kata lain, kota=kota kita pada masa ini adalah gabungan dari dua area tersebut.
Lalu dalam perkembangan lebih
lanjut, bagian kota tradisional ditingkatkan melalui perbaikan maupun
penggantian atau tata ulang baik karena inisiatif sendiri maupun bagian dari
program pemerintah (hasil keputusan dewan kota). Oleh karenanya permulaan kota
modern dimulai dari area (kota) Eropa/Belanda lalu diintegrasikan dengan
pemukiman (kampement) Tionghoa/Arab dan perkampongan orang pribumi (tempatan).
Kota Mataram/Yogyakarta
lama bermula ketika di dekat Kota Mataram mulai didirikan benteng (fort) Vredeburg.
Sebagaimana Kota Mataram (di dalam pagar), benteng VOC/Pemerintah Hindia Belanda
saat memulai koloni, sejatinya benteng (fort) dan di dalamnya menggambarkan
semacam miniatur kota. Bangunan utama di dalam benteng adalah rumah/kantor
pejabat tertinggi (sebagai komisaris), Bangunan lainnya adalah rumah para
pedagang lainnya dan petinggi militer, barak militer, barak tenaga kerja (kuli),
bangunan gudang komoditi (ekspor), bangunan bahan kebutuhan sehari-hari,
bangunan tempat persenjataan dan bangunan untuk tahanan.
Benteng sebagai fungsi pertahanan,
benteng juga dilengkapi dengan beberapa bastion. Sementara pintu gerbang
benteng dibuat dua. Pintu gerbang utama yang dijaga ketat dan pintu kedua (di
belakang atau di samping sebagai pintu escape). Pintu utama menghadap ke jalur
utama (perdagangan) dan pintu escape ke jalur akses sekunder (yang biasa
sulit/jarang dilewati yang merupakan barier seperti laut, sungai, tebing dan
sebagainya). Benteng di Jogjakarta pintu escape dibuat berlawanan arah dengan kraton.
Benteng Vredeburg
didirikan di era VOC/Belanda sekitar tahun 1760. Oleh karena rezim VOC/Belanda
telah mengubah kebijakannya menjadikan penduduk sebagai subjek sejak 1667 (setelah VOC/Belanda
menaklukkan Kerajaan/Kesultanan Gowa), pemerintahan VOC/Belanda tidak hanya
sekadar berdagang di pantai, tetapi mulai
merintis pengembangan komoditri ekspor melalui koloni (hidup di tengah
penduduk) sambil membangun kekuasaan. Pembangunan benteng Vredeburg di Mataram
adalah wujud misi kolonisasi itu. Pembangunan benteng sejatinya adalah awal mulai
fungsi pemerintahan dimana tempat tinggal dan kantor para pejabat VOC/Belanda berada
di dalam benteng. Benteng sendiri sekaligus menjadi fungsi pertahanan (sekaligus ibu kota baru).
Di Macassar, selain
benteng Rotterdam juga teedapat benteng Vredeburg. Mengapa dibuat dengan nama sama,
boleh jadi karena pembangunannya di masa yang sama, investornya besar
kemungkinan berasal dari Vredeburg. Benteng VOC/Belanda di Cartosoera, 1705 (1=lingkungan
kraton; 2-benteng VOC)
Posisi benteng Vredeburg
mengambil posisi di utara kraton Mataram. Posisi benteng yang berada di luar
area kraton menempati lahan kosong yang tidak produktif. Posisi ini menarik
garis terdekat dengan posisi benteng-benteng lain yang berpusat di benteng
Missier di Tegal (dibangun 1705). Benteng besar VOC/Belanda lainnya di Rembang,
1708, di Demak, 1708 dan Japara, 1708 dan benteng Semarang, 1708 di muara
sungai Semarang. Benteng terdekat dari Mataram adalah benteng kecil VOC/Belanda
di Cartosoera yang keberadaannya sudah ada pada tahun 1705. Benteng-benteng
kecil antara Semarang dan Cartosoera ada sebanyak tujuh buah. Benteng di Tegal,
1706 dan Benteng di Rembang, 1708
Belum pernah ditemukan benteng
ditempatkan di lahan pertanian (sawah dan kebun) dan bahkan tidak jarang
benteng didirikan di lahan marjinal seperti lahan yang lebih rendah atau rawa-rawa.
Pembangunan benteng di Mataram, karena tidak ada laut dan sungai agak jauh,
posisi yang diambil adalah menghadap ke jalan utama (tipikal kota-kota pedalaman seperti Buitenzorg dan Bandoeng). Jalan utama ini adalah
jalan utama menuju pintu gerbang (gate) Kraton Mataram. Perencanaan pembangunan
benteng bukan oleh petinggi militer tetapi para ahli pertahanan (bagian zeni), ahli teknik
sipil dan bahkan menyertakan ahli geografi sosial (landschappen). Benteng
Vredeburg meski berada di darat, benteng diperkuat dengan membuar barier dengan
menggali selokan besar yang mengelilingi benteng. Antara benteng dengan jalan
dibangun jembatan penghubung yang menjadi jalan menuju pintu gerbang benteng.
Benteng menjadi benar-benar terlindung di tengah-tengah wilayah penduduk
Mataram. Besar kecilnya benteng yang dibuat VOC/Belanda sangat tergantung pada
perhitungan prospektif wilayah di sekitarnya secara ekonomi. Dalam hal ini,
benteng yang nilainya ribuan gulden menjadi investasi awal, yang tentunya harus
kembali dalam bentuk manfaat (ekspor, pajak dan kekuasaan yang semakin kuat di
wilayah).
Posisi benteng Vredeburg
dan Kraton Mataram ini masih terlihat jelas hingga sekarang di ruas jalan Margo
Mulyo. Antara letak Kraton dan letak benteng kelak dikembangkan atau berkembang
menjadi aloon-aloon kota baru di era Pemerintahan Hindia Belanda.
Selama VOC/Belanda benteng terus
mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Namun perkembangan area di antara kraton
Mataram dan benteng Vredeburg tidak mengalami banyak perubahan spasial. Pada
masa Pemerintahan Hindia Belanda, terutama era Daendels, perubahan spasial
mulai terjadi. Langkah pertama yang dilakukan adalah mengakuisi lahan-lahan
tertentu untuk digunakan bangunan pemerintah dengan cara membeli baik dari
swasta maupun dengan cara konsesi dengan pemimpin lokal (raja atau sultan).
Pasca perang Jawa
(1825-1830) Pemerintah Hindia Belanda kembali menempatkan orangnya di
Jogjakarta setingkat Asisten Residen yang berkedudukan di Mataram/Jogjakarta.
Seperti di tempat lain, rumah pemerintah (Asisten Residen) tidak lagi di dalam
benteng (fort) tetapi dibangun oleh detasement zeni militer yang lokasinya
tidak jauh dari benteng. Dengan kata lain, para pemimpin pemerintahan (Hindia
Belanda) sudah mulai berada di luar benteng karena tidak memadai lagi (sebagai pengganti fungsi benteng, meski masih tetap sebagai pertahanan terakhir, yang dikembangkan dan diperkuat adalah garnisun militer).
Berdasarkan Almanak 1810 belum ada
pejabat di Jogjakarta. Pejabat Belanda hanya terdapat di district Tagal,
Paccaloengan, Japara dan Rembang. Pada era pendudukan Inggris (1811-1815) konsentrasi
orang Eropa/Inggris hanya terdapat di Batavia, Buitenzorg, Semarang dan
Soerabaja dan kota-kota pantai lainnya. Selain Buitenzorg, satu-satunya kota di pedalaman Jawa yang
cukup banyak orang Eropa/Inggris adalah Soeracarta. Sebaliknya di Jogjakarta
tidak seorang pun ditemukan orang Eropa (lihat Almanak 1815). Pemerintah Hindia
Belanda yang kembali berkuasa mulai memasuki wilayah-wilayah pedalaman (ekspansi)
sekitar tahun 1820. Di Jogjakarta pada tahun 1827 terdapat pejabat setingkat
Asisten Residen (Jhr JB de Salis), post-kommies, guru, pengawas koffiecultuur, Namun pemerintahan ini tidak terlalu efektif karena situasi dan
kondisi keamanan (Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro). Setelah
Perang Jawa terlihat peningkatan garnisun di Djogjakarta, yang setingkat dengan
di Semarang. Disamping itu fungsi/pejabat sipil juga bertambah. Jumlah orang
Eropa/Belanda di Djogjakarta sudah lebih dari 100 orang (lihat Almanak 1831),
kira-kira setengah dari jumlah yang terdapat di Soeracarta. Berdasarkan Almanak
1831 di Soeracarta sudah ada sekolah negeri, sementara di Djogjakarta belum ada
sekolah namun sudah ada seorang dokter. Aktivitas gereja/zending mulai terlihat
di Soeracarta dan Djogjakarta. Residen Djogjakarta adalah Mr ]EW van Nes yang
dibantu oleh pejabat lokal Raden Adipattie Danoe Redjo dan dibantu dua orang
Eropa/Belanda masing-masing sebagai sekretaris dan penerjemah (bahasa
Jawa-Belanda). Koffiestelsen juga mukai diterapkan di Djogjakarta. Struktur pemerintahan tampak lebih gemuk di Soeracarta,
Rumah/kantor Asisten Residen Jogjacarta
ini dibangun persis di depan benteng Vredeburg. Luas lahan peruntukkan
rumah/kantor Asisten Residen ini hampir seluas lahan benteng Vredeburg. Jalan
yang berada di antara bangunan benteng dan bangunan kantor merupakan
jalan utama dari Kraton. Lalu dalam perkembangannya dibangun jalan di sisi dua
bangunan ini ke arah kraton. Jalan baru ini dari barat ke timur sehingga hook
dua bangunan milik pemerintah Hindia Belanda ini menjadi perempatan. Jalan ini
kini dikenal sebagai Jalan Jogja/Panembahan Senopati. Dua bangunan pertama
VOC/Belanda dan Pemerintah Hindia Belanda ini kelak menjadi Gedung Museum
Benteng Vredeburg dan Gedung Agung Yogyakarta. Rumah Residen di Jogjakarta,
1900
Pembangunan jalan baru
ini (kini Jalan Jogja) akhirnya menjadi semacam garis pembatas antara
lingkungan Eropa/Belanda (di sebelah utara) dan lingkungan kraton (di selatan).
Dalam perkembanganya, ruang kosong antara jalan baru dengan pagar/tembok kraton
semacam ruang demarkasi antara Eropa/Belanda (pemerintah) dengan pribumi
(kraton).
Salah satu bangunan pertama yang
dibangun setelah kantor Asisten Residen adalah bangunan untuk mahkamah. Lembaga
peradilan ini dalam perkembangannya menjadi Landraad. Gedung mahkamah/landraad
dibangun di sisi selatan benteng Vredeburg atau sisi kanan jalan utama antara
kraton dan benteng Vredeburg. Dalam perkembangannya di sekitar gedung mahkamah
ini dibangun kantor pos. Kelak kantor pos ini diintegrasikan dengan kantor
telegraaf (menjadi Kantor Pos dan Telegraf).
Sehubungan dengan
meningkatnya aktivitas perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa
yang berasa; dari pantai utara, maka kampement (perkampungan Tionghoa)
ditempatkan di utara benteng Vredeburg. Seperti di kota-kota lain, penempatan
yang berbeda ini selalu dilakukan. Di Mataram/Djokjakarta sudah terbentuk tiga
lingkungan pemukiman: pribumi (sekitar kraton), Eropa/Belanda di sekitar
benteng dan kantor Asisten Residen; serta lingkungan Tionghoa (di utara benteng).
Untuk para pendatang lainnya,
terutama dari golongan Moor dan Arab menempati lingkungan yang dekat dengan
kraton dan penduduk pribumi lainnya. Lingkungan pendatang Atab/Moor ini berada
di sisi selatan Kantor Residen dekat dengan kraton. Persisnya di sisi barat aloon-aloon.
Lingkungan ini kemudian dikenal sebagai Kaoeman dimana terdapat masjid besar.
Dengan demikian warga kota Jogjakarta semakin beragam: pribumi, Eropa/Belanda,
Tionghoa dan Arab/Moor. Di area empat lingkungan inilah bermula kota modern
Djogjakarta. Di area lingkungan orang Tionghoa cepat berkembang sebagai pusat
pedagangan eceran. Lingkungan ini kemudian dikenal sebagai Petjinan.
Oleh karena ujung kota
Djogjakarta berada di lingkungan kraton, maka aktivitas ekonomi lebih
berkembang ke arah utara, di sekitar Petjinan dan sebelah utaranya lagi. Untuk
mengantisipasi para pendatang yang datang dari arah utara (Soeracarta dan
Semarang) seperti petugas pemerintah, wisatawan dan investor maka muncul
penyedia akomodasi yang dalam hal ini didiga yang pertama adalah pendirian
losmen Malioboro. Losmen ini berada di pangkal jalan utama di utara Petjinan.
Demikianlah selanjutnya, kota
Djogjakarta terus berkembang. Di lingkungan Eropa/Belanda semakin banyak bangunan
pemerintah dan juga semakin banyak orang Belanda sebagai pegawai-pegawai yang
memerlukan perumahan; di lingkungan Tionghoa semakin banyak orang-orang Tionghoa
dan di lingungan Kaoeman semakin banyak pendatang yang beragama Islam. Satu
kelompok lagi adalah para militer yang mengambil tempat di dalam benteng atau
belakang benteng. Societeit Vereeniging, 1939
Wilayah (Residentie)
Mataram/Djogjakarta kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Residen.
Rumah/kantor Residen dibangun di dekat kantor/rumah Asisten Residen. Dengan
semakin intensnya pemerintahan (yang terlihat dari peningkatan kepala
pemerintahan dari Asisten Residen menjadi Residen) juga terjadi bertambah banyaknya
orang Eropa/Belanda di Djogjakarta dan juga semakin banyaknya tentara dan pensiunan
militer maka muncul organisasi-organisasi sosial (societeit).
Setelah tiga puluh tahun
kemudian, pemerintah Hindia Belanda semakin berkembang bahkan hingga ke
wilayah-wilayah pedalaman. Jika dibandingkan kondisi tahun 1831, situasi dan
kondisi di Djogjakarta sudah banyak berubah. Sejak tahun 1865 Residentie
Djogjakarta dibagi ke dalam delapan regentsachappen: Bantoel, Kalasan, Sleman, Nanggoelan.
Kalibawang, Sentala, Pegasik dan Goenoeng Kidoel. Total sebanyak 115 distrikten dan 4.381 desa
dengan jumlah penduduk Eropa/Belanda
sebanyak 1.143 jiwa, pribumi 366.553 jiwa dan Tionghoa 1.752 dan lainnya 149
jiwa. Sejak 1865 Residen adalah AJPHD Bosch. Perangkat pemerintahan semakin
lengkap. Residen dibantu asisten residen dan urusan pertanian, djaksa,
penghoelo dan para pemimpin Tionghoa. Di masing-masing regentschappen dipimpin
oleh seorang bupati yang langsung berada di bawah Sultan.
Bagaimana gambaran situasi dan kondisi umum di Jogjakarta dilaporkan seorang pelancong yang dimuat pada surat kabar Delftsche courant, 17-09-1867 yang dapat digarisbawahi sebagai berikut: Jalan dan jembatan menuju Jogjakarta dari Magelang/Ambarawa sangat buruk bahkan hingga mendekati kota Jogjakarta, jauh lebih buruk daripada Soerakarta, sangat berbahaya untuk kendaraan kereta (kuda). Kehidupan sosial di Jogjakarta tampak sangat buruk dibandingkan Soeracarta. Di sepanjang jalan menuju pasar besar dan di sepanjang pasar besar yang kaya adalah para haji. Di sebelah timur pasar itu juga ada makam Panembahan Sénapati. Saya datang ke Kantor Residen untuk menunjukkan paspor saya ditandatangani. Sawah dan padi tidak bagus di Jogjakarta: selama kehadiran saya harga beras per pikol adalah tiga belas gulden, suatu dampak bahwa tanah-tanah hampir seluruhnya disewakan kepada orang Eropa. Bentuk dessa dalam kondisi yang buruk. Laki-laki tampaknya sangat kurus karena kelangkaan makanan dan banyak ditemukan berbagai jenis penjahat. Saya tinggal di Jogja tidak terlalu lama dan tidak dapat mengatakan semuanya sepenuhnya.
Pada tahap berikutnya
mulai bermunculan para investor-investor besar baru. Para investor besar ini
seperti sebelumnya, umumnya orang-orang Eropa/Belanda. Para investor menyewa
lahan-lahan yang lebih luas dari orang kraton (konsesi). Makin lama makin jauh
lahan-lahan konsesi ini. Disamping itu juga mulai masuk perusahaan-perusahan besar
di bidang jasa untuk melayani para investor di bidang keuangan, perdagangan dan
layanan lainnya. Perusahaan jasa ini apakah milik swasta atau milik pemerintah.
Perusahaan-perusahaan itu antara lain Nillmij, Java Bank dan Escompto.
Semakin banyak para
investor masuk ini sehubungan dengan beroperasinya jalur kereta api
Semarang-Djogjakarta via Soeracarta. Stasion kereta api ditempatkan di utara jalan
utama yang kemudian dikenal Toegoe. Adanya stasion kereta api di Toegoe membuat
positioning losmen Malioboro semakin baik.
Sudah sejak lama Djogjakarta
terisolasi, apakah terkait dengan politik atau faktor geografis yang memang
dari sudut pandang kemajuan di pantai-pantai utara Dogjakarta seakan wilayah
terpencil. Namun dengan adanya jalur kereta api membuat Djogjakarta semakin
terbuka dan lebih cepat berkembang. Seperti dilaporkan seorang pelancong tahun
1867 kehidupan sangat sulit di Djogjakarta (relatif terhadap kota-kota lain di
pantai utara termasuk Soeracarta). Keadaan yang mulai membaik sejak adanya
kereta api, tetapi Djogjakarta sangat tertinggal dalam hal bidang pendidikan.
Dalam bidang pendidikan Soeracarta termasuk terawal dalam kemajuan pendidikan,
lebih-lebih setelah dibukanya sekolah guru (kweekschool) negeri yang pertama
pada tahun 1851 di Soeracarta. Sekolah guru kedua dibuka di Fort de Kock tahun
1856. Pada tahun 1857 seorang lulusan sekolah dasar di Mandailing en Angkola
(Afdeeling Padang Sidempoean) Residentie Tapanoeli berangkat studi ke Belanda
untuk mendapatkan akte guru. Orang pribumi pertama studi ke Belanda. Setelah
lulus tahun 1861 kembali ke Mandailing dan membuka sekolah guru di Tanobato
pada tahun 1862. Sekolah guru ini adalah sekolah guru ketiga. Pada tahun 1866 dibuka
sekolah guru di Bandoeng. Pada tahun 1879 sekolah guru Tanobato ditingkatkan
dengan membuka sekolah guru baru di Padang Sidempoean.
Pada tahun 1896 seorang lulusan HBS
(sekolah setingkat SMA Eropa) di Semarang bernama Raden Kartono berangkat studi
ke Belanda untuk meraih gelar sarjana. Raden Kartono adalah abang dari Raden A.
Kartini, pribumi pertama studi di perguruan tinggi (di Belanda). Sementara di
Djogjakarta kebutuhan guru sangat akut. Baru tahun 1897 sekolah guru dibuka di
Djogjakarta. Sangat terlambat, sebab sekolah guru sebelumnya sudah dibuka di
Probolinggo, Tondano, Ambon, Bandjarmasin dan Makassar. Pada saat pembukaan
sekolah guru (kweekschool) Djogjakarta ini sangat banyak peminat. Suatu bukti
bahwa selama ini para siswa di Djogjakarta banyak yang ingin melanjutkan
pendidikan dan menjadi guru. Dari lowongan yang tersedia hanya untuk sembilan
orang yang mendaftar terdapat 220 kandidat. Sekolah guru ini dibuka secara
resmi pada tanggal 7 April (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 05-04-1897). Di Belanda jumlah mahasiswa semakin
banyak. Pada tahun 1905 dari Padang Sidempoean, seorang guru, alumni sekolah
guru (kweekschool) Padang Sidempoean, Radjioen Harahap tiba di Belanda untuk
studi di perguruan tinggi untuk mendapatkan gelar sarjana pendidikan. Radjioen
Harahap gelar Soetan Casajangan adalah mahasiswa kelima yang studi di Belanda.
Pada tahun 1908 pada saat jumlah mahasiswa pribumi di Belanda sebanyak 20 orang,
Soetan Casajangan menggagas didirikan organisasi mahasiswa yang disebut Indische
Vereeniging yang sekaligus menjadi presidennya. Indische Vereeniging kelak
diubah namanya menjadi Perhimpoenan Indonesia.
.
Para tamu lambat laun makin banyak dan pemilik losmen
terus meningkatkan kapasitas. Losmen Maliboro ini sebagai tempat transit dan
akomodasi yang penting menjadi populer sendiri, tidak hanya tamu yang menginap
tetapi juga rekanan bisnis mereka yang sudah berada di Djogjakarta. Losmen
Malioboro muncul sendiri ke permukaan sebagai tempat yang paling dikenal umum..
Dengan semakin banyaknya investor
besar masuk dan para pejabat pemerintah baik dari pusat (di Batavia) atau
pejabat di Residentie lainnya (seperti Semarang dan Soerabaja), maka muncul peluang
mendirikan akomodasi yang lebih baik dan lebih mahal. Penyedia akomodasi yang
melihat ini adalah investor baru yang mendirikan Grand Hotel. Hotel besar ini
menjadi komplemen bagi Losmen Malioboro untuk menampung tamu yang lebih mampu
membayar. Hotel Grand ini cepat berkembang, sedangkan Losmen Maliboro tampaknya
tidak terlalu ekspansif. Losmen Maliboro menjadi akomodasi untuk kelas menengah
ke bawah. Dalam perkembangannya muncul pesaing Losmen Malioboro yakni pemilik
Losmen Mataran. Persaingan head to head antara Losmen Malioboro dan Losmen
Mataram menjadi tantangan sendiri bagi Losmen Malioboro. Dalam perkembangannya,
Losmen Mataram juga ekspansi dengan membangunan Hotel Mataram yang berada di
samping Losmen Mataram yang mana di dekatnya sudah beberapa waktu berdiri Hotel
Grand. Dalam hal ini, seperti sebelumnya Losmen Malioboro tidak sendiri lagi,
demikian juga Hotel Grand sudah ada pesaing baru. Toegoe (Witte Paal), 1939
Losmen Malioboro boleh
jadi mulai tertatih-tatih dengan semakin banyaknya pesaing dan semakin
berkembangnya kota Djogjakarta. Namun nama Malioboro sudah dipatenkan menjadi
nama jalan. Losmen Malioboro yang semakin menua, tetapi namanya tetap lestari.
Losmen Malioboro lalu hilang selamanya tetapi nama Jalan Malioboro lestari
selamanya. Itulah kisah Losmen Malioboro yang namanya menjadi nama jalan dari bagian/ruas
jalan utama di Jogjakarta.
Jalan kuno Mataram yang
sudah ada sebelum datangnya VOC/Belanda telah bertransformasi menjadi jalan
raya besar, jalan utama di jantung kota modern Jogjakarta. Jalan utama ini
kemudian terbagi ke dalam beberapa ruas, yakni: 1. Jalan Kraton (Kraton weg)
yakni jalan yang membelah aloon-aloon dari pintu gerbang Kraton; 2. Jalan
Kadaster (Kadasterweg), jalan antara benteng/Kantor Residen dengan aloon-aloon
di depan gedung Mahkamah/Landraad (yang fungsinya dicatat sebagai nama jalan
(jalan Kadaster); 3. Jalan Resident yang mengambil nama Kantor Residen; 4.
Jalan Petjinan, ruas jalan di sekitar kampement Tionghoa; 5. Jalan Malioboro,
jalan yang dipenuhi berbagai akomodasi seperti losmen, tempat pertemuan dan
hotel. Di jalan Malioboro ini juga muncul tempat-tempat hiburan, pertokoan
menjual barang-barang elit dan sejumlah restoran dan cafe; dan 6. Jalan Toegoe,
sebagai terusan Jalan Malioboro di sekitar stasion kereta api. Di sekitar
stasion ini juga kemudian didirikan Toegoe Hotel. Kelanjutan Jalan Togoe ini
adalah jalan yang melalui lingkungan/area Djetis.
Sejak era Daendels sudah
mulai disusun jalan utama (hoofdweg). Yang pertama kali ditetapkan (sesuai
staatblads) adalah Groote weg (jalan Trans-Java dari Anjer ke Panaroekan vis
Buitenzorg, Tjisaroea, Sumadang, Tjirebon, Semarang, Joana, Sedajoe dan
Soerabaja). Sesuai dengan perkembangan wilayah, ditetapkan kembali perluasan
Groote weg. Salah satu diantaranya dari Semarang ke Djogjakarta via Oengaran, Ambarawa dan Magelang. Sehubungan
dengan adanya panamaan jalan di dalam kota, sesuai staatblads tahun 1933, Groote
weg di Jogjakarta adalah sebagai berikut: (a). Groote weg van Magelang (dari
utara), Toegoe Koeloen, Toegoe Wetan, Gondokoesoema/Gondolajoe, Balapan terus
ke Solo (timur); (b) Toegoe Kidoel, Malioboro, Petjinan, Residentielaan,
Ngabean, Ngadiwinatan, Soerjobrantan,
Gendingen, Soerjowidjaja terus ke Poerworedjo (ke barat). Pada masa ini Groote
weg adalah jalan negara atau jalan nasional).
Malioboro Suatu Heritage: Ibukota Mataram?
Jalan Malioboro adalah
heritage Jogjakarta. Secara teoritis nama Malioboro diduga berasal dari malyhabara sebagaimana (pernah)
diusulkan oleh Dr. Peter Carey. Namun bagaimana malyhabara menjadi malioboro tidak dijelaskan. Hasil penelusuran
ini menunjukkan bahwa sebutan malyhabara
masih eksis hingga kedatangan VOC/Belanda dengan melapalkan dalam teks sebagai
Marbongh untuk menggambarkan lingkungan (area) kraton.
Marbongh: Catatan Ekspedisi Jacob Coeper ke Mataram (1695) |
Dalam hal ini, nama Mataram
adalah jelas nama Kerajaan/Kesultanan. Sementara yang menjadi ibukotanya (pusat
kerajaan) adalah Malioboro itu sendiri. Idem dito, dugaan bahwa Pakuan adalah
ibukota Kerajaan Padjadjaran. Yang jelas bahwa di Kota Jogjakarta, nama
Malioboro dan nama Mataram telah diadopsi oleh orang Eropa/Belanda sebagai nama
cantik untuk losmen dan hotel mereka. Nama Mataram dan nama Malioboro kemudian
dipopulerkan oleh orang-orang Eropa/Belanda. Oleh karena losmen Malioboro lebih
tua dari losmen/hotel Mataram yang lahir kemudian, nama Malioboro yang sudah
familiar maka nama Losmen Malioboro yang diidentifikasi warga sebagai nama
jalan: Jalan Malioboro.
Laporan ekspedisi yang dipimpin
Majoor Jacob Coeper ke Mataram tahun 1695 yang mengindetifikasi Marbongh
(malyhabara) sebagai area pusat Kerajaan/Kesultanan Mataram. Hal yang mirip
juga telah dilakukan oleh Sersan Scipio yan memimpin ekspedisi tahun 1687 ke
muara sungai Tjiliwong yang menemukan eks (reruntuhan) Kerajaan Padjadjaran.
Dalam laporan Scipio mereka menandai lokasi dengan mendirikan benteng yang
ditulis sebagai Fort Padjadjaran. Titik dimana tempat garnisun dibangun yang
disebut Fort Padjadjaran pada tahun 1754 dibangun villa Gubernur Jenderal yang
kelak menjadi Istana Gubernur Jenderal (kini Istana Bogor). Jelas dalam hal ini
ada kemiripan dalam pencatatan di era yang relatif sama (sebelum berakhir abad
ke-17). Jacob Coper mencatat nama ibukota Kerajaan/Kesultanan yang masih eksis yakni
Malbongh atau Malioboro, sedangkan Scipio sebaliknya mencatat nama Kerajaan
yang telah hilang, yakni Padjadjaran (seperti diketahui ibukota Padjadjaran
sendiri adalah Pakwan/Pakuan).
Situs terkenal di ruas jalan antara
Toegoe dan kampemen (perkampungan) orang Tionghoa adalah Losmen Malioboro, Nama
losmen inilah yang kemudian dijadikan sebagai nama jalan ruas tersebut
(Malioboro straat). Ini juga berlaku untuk ruas di kampemen Tionghoa disebut Petjinan
straat; ruas jalan di depan Kantor Residen disebut Residentielaan; ruas jalan
di depan Kantor Landraad disebut Kadaster straat; dan ruas jalan di tengah
alun-alun di depan kraton disebut Kraton weg. Semua ruas jalan tersebut berada
di dalam satu garis lurus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar