Kamis, 10 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (3): Nama Jalan Tempo Dulu di Yogyakarta, Malioboro Paling Tua; Kini Ada Nama Pajajaran dan Siliwangi


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Pada masa kini, di Yogyakarta terdapat nama jalan hampir 500 buah. Itu semua bermula dari tiga nama jalan: Residentie, Petjinan dan Malioboro. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kota, nama-nama jalan baru terus bertambah. Namun nama-nama jalan itu diubah sejak pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Hanya satu nama jalan yang tetap abadi, yakni Jalan Malioboro.
.
Peta Yogyakarta (1903)
Sementara nama jalan terus bertambah, soal penggantian nama jalan di Yogyakarta tidak hanya berhenti pada tahun 1950. Baru-baru ini terdapat enam nama jalan yang diganti dengan nama jalan yang baru, yakni: Majapahit, Pajajaran, Siliwangi, Brawijaya, Ahmad Yani dan Wirjono Prodjodikoro. Lantas mengapa nama-nama jalan Majapahit, Pajajaran, Siliwangi dan Brawijaya baru sekarang? Jawabnya: Karena di Kota Bandung dan Kota Surabaya juga ada pergantian nama jalan,

Mengapa tidak ada daftar nama jalan tempo dulu di Yogyakarta yang dapat dibaca pada masa ini? Tentu saja bukan karena tidak tersedia data. Masalahnya adalah tidak ada yang tertarik untuk menulisnya. Padahal nama-nama jalan tempo dulu adalah suksesi nama jalan masa kini. Nama jalan tempo dulu lahir berproses secara alamiah. Sifat alamiah ini adalah filosofi (karakter) awal tumbuhnya sebuah kota. Untuk itu mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Mungkin anda berpikir ‘apalah arti sebuah nama jalan?’ Itu bukan pertanyaan sepintas dan sepele. Nama jalan adalah sebuah pertarungan. Ceritanya bukan hanya pada masa ini, bahkan sudah sejak lama terjadi di era kolonial Belanda. Pada tahun 1912 di Medan perebutan nama jalan antara orang-orang Inggris dengan orang-orang Belanda dan antara orang-orang Belanda dengan orang-orang Tionghoa. Lalu bagaimana dengan Jogjakarta pada tempo dulu. Pada tahun 1884 orang di Semarang ingin mengganti nama Jalan Ngajogjakarta menjadi Jalan Djogjakarta, lantas apa reaksi orang Jogjakarta. Singkat kata: nama jalan atau perubahan nama jalan ternyata bukan hal sepele. Ikuti hasil penelusurannya.    

Nama Jalan Pertama di Jogjakarta

Ketika di Batavia, Buitenzorg, Semarang, Soerabaja, Padang, Bandoeng dan Medan sudah teridentifikasi nama jalan, di Jogjakarta belumlah ada nama jalan. Nama jalan di Jogjakarta baru teridentifikasi pada Peta 1903. Ada beberapa nama yang mengindikasikan nama jalan, yakni: Residentie laan, Kampemen straat, Patjinan, Malioboro, Toegoe, Spoorlaan, Gemb laan dan Ngabean.

Peta Jogjakarta (1890)
Ketika di kota-kota lain masih membentuk nama-nama jalan, di Kota Medan muncul kebijakan baru dari wali kota (Burgemeester) akan mengubah nama beberapa jalan dan menetapkan nama-nama (berbau) Belanda seperti Prins Hendrik straat, Juliana straat, Emma sraat dan Oranje Nassau straat (lihat De Sumatra post, 17-10-1911). Selain nama Belanda, juga nama berbau Tionghoa seperti Peking straat (sebelumnya Djalan Pematang), Hongkong straat, Canton straat (Djalan Tengah), Shanghai straat (Djalan Club), Swatow straat (Djalan Kossong), Tjoug Yong Hian straat (Djalan Majoor), Amoy straat, Toetsja straat dan Hainan straat.

Setelah perubahan dan penetapan nama jalan tersebut, seorang pembaca menulis sebagai berikut (lihat De Sumatra post, 05-06-1912): ‘Terloops. De Hollandsche namen! Hore, nama-nama Belanda ada dimana-mana sekarang! Plang biru dengan huruf-huruf putih yang jelas, sekarang menghiasi semua sudut dan lekuk jalan kota! Tidak ada lagi nama asing sekarang, hanya nama Belanda, nama Belanda yang kuat! Inlander sekarang harus terbiasa dengan nama-nama baru. Kita tahu setidaknya tidak ada lagi Djalan Astana, Djalan Bahroe dan Djalan Hettenbach lagi! Kami orang Belanda di Medan, akan menunjukkan kepada Inggris sekali, bahwa kami adalah orang Belanda, bahwa kami merasakan bahasa kami dan kami bangga akan hal itu, menjadi sangat tinggi..’.

Nama-nama jalan yang sudah diidentifikasi di Jogjakarta ini hampir semuanya berada di jalan utama (hoofdweeg). Jalan utama di Jogjakarta sesuai peraturan perundang-undangan (stadsblad) jalan utama adalah Groote weg yakni jalan nasional mulai (jalan dari arah Magelang) Toegoe, Malioboro, Pantjinan, Residentie dan Ngabean (ke arah Tjilatjap). Nama hanya nama-nama Belanda yang secara eksplisit ditabalkan sebagai nama jalan yang diakhiri dengan strata jalan (weg, straat, laan plus boulevard). Weg adalah hoofdweg (nasional, residentie atau district), Laan adalah jalan yang bagus dan ramai. Sementara nama-nama jalan lainnya seperti Malioboro dan Patjinan mengindikasikan sekadar nama area.

Peta Jogjakarta (1925)
Sejak 1903 hingga dua puluh tahun berikutnya jumlah nama jalan di Jogjakarta telah bertambah banyak sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan kota. Pada tahun 1923 nama-nama jalan di rute Groote weg diupadate lagi dalam stadsblad (lihat De Indische courant, 09-08-1923). Berdasarkan Peta Kota Jogjakarta terbaru tahun 1925 jumlah sudah mencapai 145 buah. Seperti kota-kota lain terus berkembang, Kota Jogjakarta dalam dua dasawarsa terakhir (1908-1925) terbilang berkembang sangat pesat. Perkembangan kota Jogjakarta sebelum dua dasawarsa ini terbilang sangat lambat. Perkembangan Kota Jogjakarta yang pesat diduga karena faktor Boedi Oetomo. Sejak 1908 kantor pusat Boedi Oetomo hampir selalu di Jogjakarta. Boedi Oetomo yang cukup cooperative dengan Pemerintah Hindia Belanda membuat situasi dan kondisi di Kota Jogjakarta sangat kondusif.

Setelah beberapa nama jalan yang pertama, nama-nama jalan baru di luar jalan utama bertambah dari waktu ke waktu. Di sekitar area Kraton (aloon-aloon), nama jalan yang membelah aloon-aloon dari pintu gerbang Kraton disebut Kraton weg. Jalan diagonal dari Kaoeman ke ujun jalan Kraton weg disebut Kaoeman weg. Jalan yang menghubungkan Kraton weg dengan Residentie straat disebut Kadaster straat (diambil dari adanya Landraad di sisi jalan). Sementara di area Eropa/Belanda di sekitar Residetie straat muncul nama Groote Pasar weg (jalan antara benteng dengan pasar). Nama jalan lainnya adalah Kantoor laan, Pandhuis laan dan Lodji Ketjil. Sedangkan di area Petjinan muncul nama jalan Soerjaatmadja, Padjeksan, Majoor laan dan Beska laan.

Tidak seperti di kota-kota lain, di Kota Jogjakarta hampir semua nama jalan berbau lokal. Hanya sedikit yang berbau Belanda dan Tionghoa. Nama-nama jalan Belanda, selain Residentie straat, Kampement straat, Kantoor straat adalah Shonsmaker straat, Prinses Juliana laan, Petronellla weg, Langen laan, Kroonprins laan, Hospital weg, Boelevard dan Apotheek weg. Sedangkan nama Tionghoa hanya terhitung Patjinan weg dan Majoor weg.

Permasalahan Nama Jalan di Era Kolonial Belanda

Kota Jogjakarta dalam hal urusan nama jalan boleh dikatakan adalah tuan rumah di kota sendiri. Hal ini berbeda dengan di Kota Medan, yang mana  nama-nama lokal telah digantikan dengan nama Belanda dan nama Tionghoa. Bahkan nama yang terkait kesultanan, seperti jalan Astana (Istana) tak kuasa dan  diganti. Tentu saja nama jalan berbau Inggris juga telah diganti dengan nama Belanda. Kota Jogjakarta dan Kota Medan adalah dua kota dengan nama-nama jalan yang ekstrim.

Satu hal, jika di Medan, Depok, Buitenzorg ditemukan nama Jalan Kartini, di Jogjakarta tidak teridentifikasi. Orang-orang (Belanda) di Semarang keberatan dengan nama jalan Ngajogjakarta dan bersikukuh harus diganti dengan Jalan Djogjakarta (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad,           26-08-1884). Orang-orang Jogjakarta yang ada di Semarang tampk keberatan. Namun tidak jelas bagaimana akhirnya.  

Penamaan nama jalan Belanda yang cukup dominan tidak hanya di Medan, tetapi juga di Semarang, Bandoeng dan Soerabaja. Perbedaannya, di Medan nama Tionghoa sangat banyak yang jauh lebih banyak dibandingkan kota-kota lain. Di Jogjakarta hanya terhitung dua buah.

Satu nama Belanda yang terbilang kontroversi adalah nama Jalan Max Havelaar. Jelas bahwa di Jogjakarta tidak ada nama Jalan Max Havelaar, tetapi ditemukan di Medan dan Bandoeng. Max Havelaar adalah nama buku Edward Douwes Dekker alias Multatuli, seorang Belanda pembela pribumi terutama di Mandailing en Angkola (Afd. Padang Sidempoean) serta di Banten. Di Medan, tidak hanya nama Max Havelaar yang dijadikan nama jalan, tetapi juga nama tokoh-tokoh dalam buku tersebut juga ditabalkan nama jalan.

Era Kolonial Belanda Berakhir

Pada era pendudukan Jepang, nama-nama jalan berbau Belanda, terutama di Batavia/Djakarta diganti dengan nama berbau Jepang. Nama-nama penggantinya dngan berbau pribumi tidak terpikirkan. Demikian juga pada saat kemerdekaan Indonesia (1945) perubahan nama jalan juga belum sempat terpikirkan sudah datang kembali Belanda (di belakang pasukan sekutu/Inggris). NICA mengembalikan nama Jepang ke nama Belanda (ekembali ke nama-nama jalan di era Belanda sebelum pendudukan Jepang). Namun segera setelah pengakuan kedaulatan RI terjadi perubahan nama Belanda dan nama Tionghoa secara radikal terutama di kota-kota Batavia, Medan, Soerabaya, Bandoeng, Semarang dan Malang. Heboh di negeri Belanda.

Nama jalan tempo dulu di Jogjakarta
Di Jogjakarta perubahan nama-nama tidak menjadi heboh. Hal ini diduga karena jumlah nama Belanda dan nama Tionghoa hanya sedikit dan karena itu pemberitaannya tidak masif. Di Jogjakarta perubahan nama jalan tidak mendesak dan tidak bombastis. Meski demikian tetap dilakukan perubahan dalam situasi sunyi senyap sebab hanya beberapa nama jalan. Namun nama Petjinan straat hingga tahun 1953 masih eksis di Jogjakarta, sesuatu yang berbeda jika dibandingkan di Medan yang langsung sapu bersih.  

Sebelum perubahan nama jalan diumumkan oleh pemerintah daerah, pemerintah pusat melalui Menteri Informasi mengumumkan segera perubahan nama Batavia menjadi Djakarta dan nama Buitenzorg menjadi Bogor (lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 21-01-1950). Dua nama ini sangat penting karena dua kota dimana terdapat istana yang mana kedua kota di era kolonial Belanda sama-sama pernah menjadi ibukota negara (Istana Negara dan Istana Bogor).

Dalam fase transisi perubahan nama masih tampak keraguan, seperti nama Oranje Boulevard menjadi Djalan Raja Oranje (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant, 08-04-1950). Namun dalam perkembangannya, Oranje Boulevard diubah sepenuhnya menjadi Djalan Diponegoro (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-10-1950). Bersamaan dengan perubahan nama menjadi Djalan Diponegoro ini juga berubah nama jalan dan nama taman. Nassau Boulevard menjadi Djalan Imam Bondjol; Burgemeester Bisschopplein menjadi Taman Surapati dan Van Heutzboulevard menjadi Djalan Teuku Umar. Total ada perubahan nama jalan sebanyak 30 buah. Besoknya kemudian diumumkan perubahan nama-nama jalan yang baru sebanyak 30 buah lagi (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-10-1950). Dengan demikian nama jalan yang telah diubah menjadi 60 buah. Nam-nama jalan yang baru diubah tersebut antara lain: Molenvliet West menjadi Djalan Gadjah Mada; Molenvhet Oost menjadi Djalan Hajam Wuruk; Schoolweg menjadi Djalan Dokter Sutomo; Sipayersweg menjadi Djalan Dokter Wahidin; Nieuwe weg van Gambir Selatan (Kebonsirih) menjadi Djalan Thamrin; Rijswrjkstraat menjadi Djalan Modjopahit; Nieuwe Vliegveldlaan menjadi Djalan Angkasa; Djalan Kemajoran menjadi Djalan Garuda;  Eyckmanlaan menjadi Djalan Kimia; Boxlaan menjadi Djalan Borobudur; Bontiusweg menjadi Djalan Mendut; dan Duracusweg menjadi Djalan Prambanan. Beberapa hari kemudian diumumkan kembali perubahan nama jalan sebanyak 30 buah (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-10-1950). Jumlah nama jalan/taman yang berubah telah mencapai sebanyak 90 buah. Nama-nama jalan yang berubah tersebut antara lain: Drukkerijweg menjadi Djalan Percetakan Negara dan Landhuisweg menjadi Djalan Tambak.

Selain di Djakarta, perubahan nama jalan juga dilakukan di Bandoeng, Semarang, Soerabaja dan Malang. Tentu saja di kota-kota lainnya dilakukan perubahan termasuk Jogjakarta. Hanya saja tidak terlaporkan. Hanya perubahan nama jalan di kota besar yang menjadi good news, bad news. Perubahan nama ini menjadi heboh di Belanda, Semua surat kabar di Belanda melaporkannnya.

Nama-nama jalan di Bandung juga sebagian besar diubah. Perubahan nama jalan ini sesuai dengan petunjuk pemerintah pusat, efektif baru berlangsung pada tahun 1950. Groote weg menjadi Jl. Raya Barat, Jalan Raya dan Jl. Raya Timur. Dalam perkembangannya Jl. Raya Timur menjadi Jl. Asia Afrika. Nama-nama tokoh Belanda semuanya diubah. Tokoh lokal yakni walikota Bandung pertama ditabalkan namanya sebagai Burgemeester Coops menjadi Jl. Padjadjaran, Burgemeester Kuhr weg menjadi Jl. Purnawarman. Sejumlah tokoh nasional seperti Idenburg weg (Jl. Sukabumi), Daendels weg (Jl. Jakarta), Heutz weg (Jl. Serang), De Stuers weg, Both weg (Jl. Teratai), Rochussen weg (Jl. Kacapiring). Ruyterlaan (Jl. Martadinata). Jika mundur ke belakang ada nama-nama tokoh penting lainnya, seperti Riebbeek weg (menjadi Jl. Pacar), Houtman (Jl. Tjioedjoeng) dan Tasman weg (Jl. Cilaki). Hollandia straat (nama kapal ekspedisi Cornelis de Houtman). Bragaweg tetap dipertahankan. Nama jalan lain yang tetap dipertahankan adalah Boscha dan Pasteur.

Di Soerabaja, nama-nama jalan juga telah diubah.  Berg/Societeit straat diubah menjadi Jalan Veteran, Heereen Straat menjadi Jalan Rajawali; dan Chinese voorstraat menjadi Jalan Karet. Sedangkan Jalan Handelstraat yang sering dipertukarkan dengan Jalan Kembang Jepoon tetap dipertahankan sebagai Jalan Kembang Jepun (lihat De vrije pers : ochtendbulletin, 25-03-1950). Dalam penamaan baru nama jalan di Soerabaja ini, di wilayah Sawahan nama-nama jalan diberi berdasarkan nama-nama gunung. Di wilayah Udjung diberi nama yang terkait lautan, di wilayaj Pesapen terkait dengan kapal; di wilayah Kebalen nama-nama jalan berdasarkan nama-nama negara bagian di Semenanjung; di wilayaj Jembatan Merah terkait dengan nama-nama burung; di wilayah Kembangan demgan nama-nama rempah; di Patjarkoening dengan nama-nama candi. Di Kembang Koening dengan nama-nama tokoh seperti Mangkoenegoro dan Chairil Anwar; di wilayah Darmo dengan nama-nama pahlawan nasional seperti Dr. Soetomo, MH Thamrin dan WR Supratman

Perubahan nama jalan di Medan yang paling dramatis. Sudah pasti nama Belanda diganti semua. Diantaranya adalah Wilhelmina straat dipecah dan namanya diubah menjadi jalan Sutomo dan jalan Karimun. Prons Hendrik straat menjadi jalan Bintang, Juliana straat menjadi jalan Asia, Louise straat menjadi jalan Gandhi, Emma straat menjadi jalan Jose Rizal, Frederik Hendrik straat menjadi jalan Tilax, Mauri straat menjadi jalan Peladju, Adolf straat menjadi jalan China Town, Amalia straat menjadi jalan Sun Yat Sen.

Pergantian juga terjadi pada nama-nama Tionghoa dan nama-nama Kling. Di kawasan Pecinan, jalan Tapekong menjadi jalan Suwarna. Nama yang sebelumnya jalan Markt menjadi jalan Perdagangan.dan jalan Kerk menjadi jalan Gereja (alih bahasa saja), jalan Tjong A Fie menjadi jalan Tjakrawati, jalan Peking menjadi jalan Palangkaraya, jalan Luitenant menjadi jalan Bandung, jalan Tjong Jong Hian menjadi jalan Bogor, jalan Kapitent menjadi jalan Pandu, jalan Hong Kong menjadi jalan Cirebon, jalan Hakka menjadi jalan Nusantara, jalan Canton menjadi jalan Surabaya, jalan Shang Hai menjadi jalan Surakarta dan sebagainya. Di kawasan Kling, jalan Calcutta diubah menjadi jalan Palang Merah, jalan Madras menjadi jalan Djenggala, jalan Negapatam menjadi jalan Kediri, jalan Ceylon menjadi jalan Muaratakus, jalan Colombo menjadi jalan Taruna, jalan Bombai menjadi jalan Pagaruyung. Masih di kawasan Kling, jalan Kroesen menjadi jalan Teuku Umar, jalan Poedpad menjadi jalan Candi Biara. Jalan Hindu tetap dipertahankan. Moskee straat hanya diterjemahkan saja menjadi jalan Masjid.

Nama-nama yang terkait kesultanan juga diubah. Sultans weg menjadi jalan Slamet Riyadi, jalan Radja menjadi jalan Sisingamangaradja, Soesman weg menjadi jalan Lubuk Raya, Tamiroe weg menjadi jalan Martimbang, Ottoman weg menjadi jalan Singgalang, Sultans weg menjadi jalan Masjid Raya, S. Mahmoed weg menjadi jalan Sorik Marapi. Untuk jalan Mahkamah tetap dipertahankan tetapi Paleis weg diganti menjadi jalan Pemuda.

Dalam perubahan ini tokoh-tokoh nasional muncul. Saat itu baru beberapa yang dikategorikan sebagai pahlawan nasional, seperti Sisingamangaradja, Teuku Umar, Tjokro Aminoto, Sudirman, Imam Bondjol dan sebagainya. Tokoh-tokoh nasional yang sudah meninggal seperti Slamet Ryadi, Sutomo, A. Rivai, Tjut Nya’ Dien. Amir Hamzah, A. Dahlan, Chairil Anwar, Madong Lubis, Saman Hudi, Suryo, Tjipto, Masdulhak. Juga tokoh-tokoh masa lampau seperti Hayam Wuruk, Gajah Mada, Hang Lekir, Hang Jebat, Hang Tuah dan Hang Kesturi. Tokoh-tokoh negara sahabat juga diabadikan seperti jalan Gandhi, jalan Jose Rizal, jalan Sun Yat Sen.

Last but not least. Max Havelaar laan tidak diganti tetapi digeser namanya dengan jalan Multatuli. Para tokoh dalam buku Edward Doewes Dekker tersebut juga tetap dipertahankan: Saidjah, Badoer dan Adinda. Masih di seputar kawasan ini nama-nama jalan yang diambil dari nama bunga tetap dipertahankan: Kenanga, Melati, Melur, Teratai. Kedalam kategori ini juga termasuk jalan Listrik (Electriciteit laan).

Mungkin kedengarannya aneh, Edward Doewes Dekker alias Max Havelaar alias Multatuli yang jelas-jelas berkebangsaan Belanda namanya tetap ditabalkan bahkan namanya berada diantara kawasan nama-nama pahlawan dan tokoh nasional. Edward Doewes Dekker meski dibenci orang Belanda tetapi bagi penduduk di Mandailing dan Angkola (kini Tapanuli Bagian Selatan) adalah seorang pahlawan. Edward Doewes Dekker adalah orang yang mengadvokasi dalam perjuangan penduduk untuk bebas dari tanam paksa pada awal kolonialisme Belanda. Akibat advokasi tersebut Dekker dipecat dan dibuat terlunta-lunta di Padang tahun 1844.

Selain itu, juga terdapat nama-nama kayu dan nama gunung tetap dipertahankan. Beberapa nama jalan yang tetap dipertahankan adalah jalan Djaparis, jalan Antara, jalan Amaliun, jalan Utama dan jalan Puri.

Perubahan Nama Jalan Masa Kini

Pada masa ini perubahan nama jalan tentu saja masih terjadi. Namun perubahan nama tidak selalu mulus seperti di Jakarta dan Medan. Yang agak sedikit mulus adalah perubahan nama jalan di Yogyakarta, seperti Jalan Ahmad Yani menjadi Jalan Margo Mulyo dan Jalan AM Sangaji menjadi Jalan Mangkubumi. Di Bogor juga terkesan mulus ketika nama jalan baru diperkenalkan, yakni: Jalan Andi Hakim Nasution.

Beberapa waktu yang lalu di Jakarta ada wacana untuk mengganti nama-nama Jalan Medan Merdeka Utara, Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan Medan Merdeka Selatan dan Jalan Medan Merdeka Timur. Namun wacana ini redup. Lalu ada usulan perubahan nama Jalan Buncit menjadi nama jalan Abdul Haris Nasution, tetapi itu sejauh ini belum terealisasikan. Di Medan muncul penabalan kembali nama Jalan Tjong Jong Hian, namun itu tidak dapat direalisasikan.

Satu hal yang menarik perhatian baru-baru ini adalah perubahan nama jalan di Bandung, di Surabaya dan di Yogyakarta karena saling terkait. Di Yogyakarta diperkenalkan nama jalan baru: Jalan Pajajaran dan Jalan Siliwangi. Juga di Yogyakarta diperkenalkan nama jalan Brawijaya dan Majapahit. Sehubungan dengan itu di Bandung diperkenalkan nama jalan baru: Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk. Sementara di Surabaya diperknalkan nama jalan baru: Jalan Siliwangi dan Jalan Sunda.

Namun yang tetap menjadi pertanyaan mengapa nama-nama jalan di jalan utama (hoofdplaat) Jogjakarta sering gonta-ganti. Kini jalan utama tersebut urutannya menjadi: Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, Jalan Margo Mulyo dan Jalan Pangurakan. Semntara pada masa lampau (saat awal penamaan jalan)  cara pandangnya dengan urutan sebagai berikut: Jalan Kraton, Jalan Kadaster, Jalan Residentie, Jalan Patjinan, Jalan Malioboro dan Jalan Toegoe.

Satu hal lagi, di Jogjakarta tidak ditemukan nama Jalan Masdulhak Nasution dan Jalan Lafran Pane, padahal dua tokoh ini adalah pahlawan nasional yang justru diusulkan karena berjuang di Provinsi DI Yogyakarta. Jalan Lafran Pane hanya ada di Kota Depok dan Jalan Masdulhak Nasution hanya ada di Medan. Lafran Pane adalah pendiri organisasi mahasis Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI). Masdulhkan Nasution adalah penasehat hukum Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta saat perang kemerdekaan. Ketika Jogjakarta diduduki Belanda tahun 1948 Dr, Masdoelhak Nasution, Ph.D yang pertama diculik Belanda di tumahnya di Kaliurang dan lalu ditembak mati di Pakem. Atas penembakan ini, PBB marah besar dan meminta Kerajaan Belanda untuk melakukan penyelidikan karena telah membunuh intelektual muda Indonesia. Masdulhak Nasution, lahir di Sibolga, mendapat gelar doktor (Ph.D) pada bidang hukum internasional di Universiteit Amsterdam dengan predikat Cum Laude. Masdulhak Nasution adalah aset dunia, karena itu PBB marah besar dan terbukti Kerajaan Belanda segera (dalam satu bulan) melakukan investigasi dan pengadilan tentang pembunuhan yang keji tersebut.   

Demikianlah sejarah nama jalan di Yogyakarta. Anda mau berkunjung ke Djogja? Jangan lupa Jalan Malioboro, Bro.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

4 komentar:

  1. artikel yang bagus, boleh tau untuk sumber-sumber data sejarah Yogyakartanya gan? seperti peta-peta pada tempo dulu,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebutkan sumber data yang dimaksud secara spesifik misalnya surat kabar tanggal berapa, peta tahun berapa. Silahkan dialamatkan ke alamat email di atas. Terimakasih

      Hapus
  2. Mohon informasi dimana letak nama Jalan Tjode di Jogjakarta pada tahun 1948, dan sekarang nama Jalan Tjode tersebut berubah menjadi jalan apa ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nama djalan Tjode tempo doeloe kini menjadi jalan Ahmad Jazuli yang sekarang (paralel dengan kali Code). Saat itu nama jalan Tjode sangat terkenal karena pada tahun 1950 mulai dibangun masjid Syuhada (lahan eks museum). Nama jalan Tjode sendiri sudak eksis sejak tahun 1924 (sehubungan dengan pembangunan perumahan elit di kawasan itu) dan pembukaan jalan akses (jembatan di atas kali Tjode (jalan Abu Bakar Ali).
      Demikian

      Hapus