Senin, 14 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (4): Fakta Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta dan Agresi Militer Belanda 19 Desember 1948


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Ada dua tanggal penting kejadian di Yogyakarta pada era perang kemerdekaan RI: Tanggal 19 Desember 1948 dan tanggal 1 Maret 1949. Kejadian-kejadian di seputar dua tanggal tersebut hingga kini masih menjadi perdebatan. Perdebatan yang muncul bukan di kalangan orang Belanda tetapi justru di kalangan orang Indonesia masa kini. Di kalangan Indonesia, duduk soal kejadian tanggal 1 Maret 1949 bukan pada peristiwa yang terjadi tetapi siapa yang menjadi inisiator serangan tersebut. Pada era Orde Baru, nama Suharto mengemuka dalam hal ini. Akan tetapi tidak semua orang sepakat. Kontroversi muncul di era Reformasi (termasuk reformasi sejarah).

Kontroversi lainnya adalah kejadian-kejadian pada tanggal 19 Desember 1948, tanggal kapan militer Belanda melakukan pendudukan di Yogyakarta. Kontroversi yang terjadi bukan di kalangan Indonesia, tetapi di dunia internasional. Salah satu peristiwa yang terjadi pada tanggal 19 Maret bahkan membuat Dewan Kemanaan PBB marah besar dan meminta Kerajaan Belanda melakukan investigasi sesegera mungkin. Seperti kita lihat nanti, Kerajaan Belanda di Den Haag menggelar segera pengadilan darurat. Lantas kontroversinya dimana? Peristiwa yang dibicarakan dunia internasional ini tidak dimasukkan dalam sejarah Indonesia masa kini.

Dua peristiwa tanggal 19 Maret 1948 (yang disebut Agresi Militer Belanda II) dan tanggal 1 Maret 1949 (Serangan Umum oleh Republiken), faktanya dapat diikuti di dalam pemberitaan surat kabar hari demi hari. Dalam penulisan sejarah Indonesia, berita-berita ini dapat dianggap lebih otentik karena diberitakan apa adanya (belum masuk angin). Lalu seperti apa duduk perkaranya? Mari kita sarikan dari berita-berita di seputar tanggal tersebut: bad news, good news.

Het dagblad, 01-03-1949
Pada tahun 1948 dan 1949 jurnalis Eropa/Belanda sudah terdapat di kota-kota besar Indonesia, termasuk di Yogyakarta. Dengan ketersediaan alat komunikasi yang memadai (telegraf dan telepon) pada hari yang sama, suatu kejadian dapat tersiar beritanya di Eropa dan bahkan hingga di Markas PBB. Perbedaan waktu Indonesia dengan Eropa selama lima jam memungkinkan kejadian yang terjadi pagi di Indonesia, pada hari yang sama sudah muncul dalam koran pagi di Eropa. Dalam dunia jurnalis saat itu: ‘berita kejadian di Indonesia tidak pernah kesiangan di Eropa; sebaliknya berita dari Eropa/Amerika selalu basi tiba di Indonesia’. Karena itu berita dari Indonesia selalu hangat dan karena itu pula kejadian-kejadian di Indonesia menjadi menarik perhatian orang di Eropa. Dalam sudut pandang masa kini, semua kejadian-kejadian yang penting di Indonesia terekam dengan baik dalam surat kabar, yang menjadi sumber terpenting dalam penulisan sejarah (termasuk dalam penulisan artikel ini). Salah satu surat kabar yang terbit di Batavia/Djakarta yang sangat intens dalam berita-berita hangat seputar Indonesia adalah surat kabar ‘Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia’ Artikel ini bersumber dari surat kabar ini tentang kejadian hari demi (plus surat kabar lain sebagai pendukung).

Serangan Umum 1 Maret 1949: Siapa Memimpin Siapa

Pada hari penyerangan Selasa tanggal 1 Maret, kantor berita Aneta melaporkan yang dikutip Het dagblad bahwa tujuh tentara Belanda tewas dan 14 orang terluka ketika pasukan gerilyawan Repoebliken. Para penyerang menyerang dari semua sisi, tetapi mereka terpukul mundur ke belakang dengan kehilangan banyak personil dan peralatan. Komandan garnisun (Jogjakarta) Kolonel D van Langen, mengatakan kepada koresponden Aneta bahwa pasukannya bertanggung jawab atas situasi tersebut.

Berita ini bukanlah berita besar. Beberapa hari terakhir ini, Het dagblad justru berita  tentang Soekarno dan Mohamad Hatta yang berada di pengasingan yang dianggap penting dan usulan konferensi meja bundar di Den Haag. Masalah perang dan penyerangan sudah menjadi keseharian militer Belanda di berbagai daerah. Pertempuran sudah menjadi urusan di belakang. Urusan ke depan yang jauh lebih penting adalah perihal pemimpin politik Indonesia dan konferensi.

Satu hal lagi yang penting sebelum kejadian 1 Maret adalah kesepakatan antara UNCI (Komisi PBB) dengan Kerajaan Belanda bahwa tanggal 1 Maret diadakan pertemuan di Djakarta. Delegasi Belanda mengirim surat ke UNCI bahwa sudah siap tanggal 1 Maret (Trouw, 18-02-1949). Namun UNCI meminta ditunda dulu karena ada surat dari Republiken yang meminta delegasi Belanda agar memulai investigasi atas pembunuhan Mr. Masdulhak Nasution, penasehat Mohamad Hatta, pada tanggal 21 Desember 1948.

Pada hari Rabu pagi situasi di Jogja kembali normal. Jenderal Spoor terbang ke Djogja setelah penyerangan untuk melihat situasi. Pada hari Rabu ini juga Spoor berangkat dari Djogja dengan mobil ke Batavia via Semarang. Dalam kunjungan Spoor ini beberapa pejabat sipil dan militer ikut mengunjungi Jogja. Mereka ini juga mengunjungi ke kediaman Sultan Yogyakarta, yang adalah Menteri Negara (minister voor Buitengewone Zaken) pada kabinet terakhir Repoeblik. Lebih lanjut disebutkan kediaman Sultan, yang disebut Kraton, berada di daerah netral aksi militer terakhir, dimana di tempat itu tidak ada pasukan Belanda yang ditempatkan. Sejauh ini tidak ada kontak resmi antara Pemerintah Belanda dan Sultan.

Sebelum dan sesudah terjadi serangan umum di Yogyakarta 1 Maret 1949, satu-satunya perang yang masih terjadinya di Indonesia adalah di ibukota kabupatan Angkola di Padang Sidempuan (kampung halaman Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap). Mengapa? Militer Belanda sudah berhasil menduduki ibukota Residenti Tapanoeli (Sibolga( dari tiga arah (laut, udara dan darat). Setelah dari Sibolga, militer Belanda merangsek ke Padang Sidempoean untuk dua tujuan: Pertama, untuk mengamankan perkebunan-perkebunan Eropa/Belanda di sekitar  Padang Sidempoean. Kedua, untuk membangun markas di Padang Sidempoean untuk mengepung ibukota (darurat) RI di Bukittinggi. Kota Padang Sidempoean sendiri adalah satu-satunya akses dari utara ke Bukittinggi. Ketiga, wilayah antara Padang Sidempoean dan Bukittinggi adalah Mandailing, kampung halaman Kolonel Abdul Haris Nasution. Militer Belanda secara psikologis akan menekan Abdul Haris yang berada di Jawa dengan cara menduduki Mandailing. Namun Abdul Haris Nasution, Panglima Siliwangi mengirim dua orang kepercayaannya ke Padang Sidempoean Letkol AE Kawilarang dan Mayor Ibrahim Adji.

Misi militer Belanda itu ternyata tidak berhasil. Para pejuang Republiken dari Padang Sidempoean menyongsong Belanda ke Batangtoru lalu memnghacurkan jembatan Batang Toru. Namun pasukan zeni yang berada di belakang cepat memperbaiki dan lalu pasukan infantri Belanda mendesak hingga ke Padang Sidempoean. Pos-pos militer Republik dibombardir oleh pesawat-pesawat tempur dari Pinangsori. Namun penduduk lalu mulai mengungsi ke dan kota dibakar habis (Padang Sidimpoean Lautan Api). Pertempuran beberapa kali di benteng yang dibangun Republiken di Huraba (batas kecamatan Angkola kampung Amir Sjarifoedin dan kecamatan Mandailing kampung Abdul Haris Nasution (kini dikenal Benteng Huraba), Belanda tidak pernah menembus. Selamatlah kampung halaman Abdul Haris Nasution dan ibukota RI di Bukittinggi. Mandailing adalah satu-satunya wilayah penting yang tidak pernah tersentuh oleh Belanda selama perang kemerdekaan.

Sudah barang tentu bagi Republiken serangan ke Djogja ini adalah sesuatu yang besar, tetapi bagi Belanda tampaknya itu adalah hal kecil yang hanya ditangani oleh seorang komandan garnisun di Djogja (Kolonel Langen). Djogja tampaknya hanya sehari (pada hari Selasa) yang tegang tetapi besoknya (Rabu) diberitakan sudah normal kembali. Jenderal Spoor yang datang hari Rabu bahkan tidak lama di Djogja kembali ke Batavia naik mobil via Semarang (melalui Magelang dan Ambarawa?).

Surat kabar yang terbit di Suriname, Het nieuws: algemeen dagblad, 04-03-1949 mengutip berita kantor berita Aneta melaporkan bahwa ‘pada hari serangan (Selasa) seorang sersan Belanda telah memberikan tanda dengan membunyikan sirene untuk awal serangan gerilya yang dilakukan di Jogja sehingga terdengar di sini (kantor Aneta?). Pada bunyi sirene yang pertama, serangan gerilyawan dimulai dari beberapa titik. Para penyerang juga datang dari (arah) kediaman Sultan. Sejauh ini kediaman itu tidak ditempati oleh pasukan Belanda. Tempat tinggal Sultan berada di sebuah desa dimana beberapa ribu orang tinggal di sekitar, yang semuanya terkait dengan layanan Sultan. Karena keadaan yang disebutkan di atas, tempat tinggal sekarang sebagian dihuni mereka. Beberapa orang Tionghoa terbunuh dalam serangan ketika mereka menolak untuk memberikan furnitur kepada para penyerang untuk membangun barikade. Pabrik orang Cina di bagian selatan Jogja diamuk dan beberapa rumah Cina dibakar. Setelah kerusuhan, pemimpin komunis terkenal Mohamed Tjusouf ditangkap. Yusuf telah berpartisipasi dalam pemberontakan komunis melawan Republiken. Dia ditangkap oleh Repoeblikeinen, tetapi kemudian dibebaskan. Dia sekarang masih berada di Jogja’.

Berita serangan di Jogja tidak lama kemudian sepi sendiri. Seperti sebelumnya, terkait Jogja berita politik lebih terasa gaungnya. Soekarno yang berada di pengasingan terus digoda untuk berunding di dalam konferensi meja bundar. Namun Soekarno tetap kukuh dengan pendiriannya. Soekarno menginginkan Jogja.

Het nieuws : algemeen dagblad, 07-03-1949 BATAVIA 7. 3 (AP) - Repoebiikeinen secara resmi menolak undangan Belanda untuk berpartisipasi dalam Konferensi Meja Bundar. Sukarno berpendapat bahwa dia tidak dapat memberikan keputusan resmi selama dia belum pulih di Jogja.

Jelas dalam hal ini serangan di Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949 bukanlah masuk berita dunia. Yang justru berita dunia yang dilansir oleh surat kabar di Eropa adalah keinginan Soekarno kembali ke Jogja daripada sekadar menghadirkannya di meja perundingan yang diwacanakan dalam konferensi meja bundar. Statement Soekarno ini adalah suatu perjuangan herois di mata internasional. Soekarno ingin Jogja, Soekarno tidak ada tawar menawar dengan RI yang beribukota di Djogjakarta.

Untuk sekadar kilas balik Serangan Umum 1 Maret 1949 besar dugaan terkait dengan keinginan Belanda untuk segera merealisasikan pembentukan negara serikat. Dalam hal ini wilayah RI hanya satu bagian di dalam negara serikat bersama-sama dengan negara federal yang sudah dibentuk seperti Negara Sumatra Timur dan Negara Jawa Timur. Penerapan negara serikat ini pada mulanya ditargetkan tercapai pada tanggal 1 Januari 1949. Upaya ini dilakukan dengan datangnya Menteri Stikker ke Jogjakarta dan telah bertemu dengan Perdana Menteri Mohamad Hatta (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 01-11-1948). Namun hasilnya tidak memuaskan bagi Belanda. Yang terjadi adalah kebuntuan. Sementara itu dalam perkembangannya Presiden Soekarno dan rombongan dengan lima menteri di dalamnya diumumkan akan berangkat ke India pada tanggal 18 Desember 1948. Gelagat ini direspon Belanda sebagai upaya RI memindahkan ibukota ke India agar lebih leluasa kontak dengan Dewan Kemanan PBB. Pesawat yang akan menjemput Presiden dan rombongan yang sudah berada di Singapora tidak mendapat via dan izin dari kedubes Belanda di Singapoera. Ini tentu terkait dengan rencana Belanda untuk menyerang Jongjakarta tepat pada tanggal 19 Desember 1948. Penyerangan ini di satu sisi telah menghalangi Presiden Soekarno ke India dan di sisi lain serangan ini telah menunda rencana Belanda untuk pembentukan negara serikat pada tanggal 1 Januari 1949.

Trouw, 18-02-1949
Setelah pendudukan Belanda ke wilayah RI di berbagai tempat, kembali mengemuka untuk penerapan pembentukan negara serikat yang akan diresmikan pada tanggal 1 Maret 1949. Namun Dewan Keamanan PBB meminta ditunda karena surat dari delegasi RI ke PBB belum sepenuhnya direalisasikan Belanda untuk penyelidikan terhadap pembunuhan terhadap intelektual muda Indonesia di Jogjakarta Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D pada tanggal 21 Desember 1948 (lihat Trouw, 18-02-1949).    

Agresi Militer Belanda 19 Desember 1948: Dewan Keamanan PBB Marah Besar, Minta Kerajaan Belanda Lakukan Investigasi

Belanda secara de facto sejak pendudukan Jogja yang dimulai pada tanggal 19 Desember 1948 hingga serangan umum 1 Maret 1949 sudah berlangsung selama dua bulan lebih. Telah banyak peristiwa yang berlalu sejak pemimpin RI terusir dari Jogjakarta. Suatu peristiwa yang membawa konsekunsi tidak berjalannya pemerintahan RI yang dipimpin oleh Soekarno dan Mohamad Hatta. Pada pendudukan Belanda di Jogjakarta tanggal 19 Desember 1948 orang yang pertama ditangkap adalah Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D.

Agresi militer Belanda kedua tidak hanya di Jogjakarta tetapi juga di kota-kota strategis lainnya seperti di Padang Sidempoean. De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-01-1949 melaporkan: ‘Dari sumber-sumber resmi bertanggal 1 ini dikomunikasikan: Di pulau Sumatera berlangsung pembersihan (oleh militer Belanda). Daerah Sawahloentoh dan Teloekbetoeng pasukan Belanda telah menduduki tempat ini. Sumber resmi yang lain melaporkan bahwa di Padang Sidempoean (tenggara dari Sibolga), Pagar-Alam (barat daya Lahat) dan Loeboek Linggau (barat laut Lahat) TNI telah dimurnikan (didesak keluar kota oleh militer Belanda). Di Jogja sebanyak 169 mantan perwira TNI telah melaporkan diri (kepada militer Belanda)’.

Apa yang dilakukan oleh sebanyak 169 mantan perwira TNI ini di Jogjakarta adalah suatu penghianatan ketika para pemimpin RI seperti Soekarno dan Mohamad Hatta ditahan (dan akan diasingkan) serta Sultan (menteri) dirumahkan alias tidak dibolehkan keluar rumah di kraton. Di Padang Sidempoean, kampung halaman Amir Sjarifoeddin dan Abdul Haris Nasution para pejuang Republiken melakukan tindakan heroik seperti yang pernah dilakukan di Bandoeng. Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 07-01-1949: ‘Di Padang Sidempoean kantor-kantor pemerintah dan juga markas dari TNI dibakar. Kondisi penduduk di bagian selatan Tapanoeli tampaknya kurang menguntungkan (sulit dikalahkan) daripada di bagian utara’. Dari sumber lain disebutkan pembakaran ini tidak hanya gedung pemerintah dan markas TNI tetapi juga rumah-rumah penduduk yang bagus yang khawatir digunakan oleh militer Belanda jika berhasil menduduki kota.

Untuk sekadar catatan: Pada jelang agresi militer Belanda kedua (yang dimulai 19 Desember 1949)  hanya tinggal beberapa wilayah Republiken yang masih eksis, terutama di Jawa Tengah khususnya di Jogjakarta, Tapanoeli khususnya di Padang Sidempoean dan kota-kota pedalaman seperti yang dilaporkan De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-01-1949. Wilayah-wilayah pendudukan Belanda seperti Batavia, Semarang, Soerabaja, Medan dan Bandoeng sudah tidak ada lagi perang. Yang ada justru kolabora pemimpin lokal dengan Belanda dalam pembentukan negara-negara boneka Belanda seperti Negara Sumatra Timur di Medan. Negara Jawa Timur di Soerabaja dan Negara Pasundan di Bandoeng.

Pemerintah (kabupaten) Tapanuli Selatan yang telah mengungsi ke gunung dan hutan jauh dari kota di Padang Sidempoean lalu pada tanggal 1 Februari 1949 pemerintahan ini berangkat ke Angkola Jae (benteng Huraba) untuk melanjutkan perjalanan ke Mandailing untuk membentuk ibokota kabupaten yang baru. Dari benteng Huraba semua kekuatan TNI dan laskar melakukan gerilya beberapa kali ke kota Padang Sidempoean. Pada tanggal 5 Mei 1949 pasukan Belanda melakukan serangan umum ke benteng Huraba dan berhasil diduduki, tetapi beberapa hari kemudian pasukan TNI yang dibantu laskar dan penduduk berhasil mengusir militer Belanda kembali ke Padang Sidempoean. Baru terjadi gencatan senjata di Padang Sidempeoan pada tanggal 3 Agustus 1949 karena adanya kesepakatan oleh pemimpin politik Indonesia untuk berunding ke konferensi meja bundar di Den Haag. Benteng Huraba tidak pernah tertembus oleh militer Belanda, selamatlah kampung Abdul Haris Nasution di Mandailing (yang menjadi ibukota baru  kabupaten Tapanuli Selatan) dan terhalang pula militer Belanda dari utara untuk membantu rekan mereka dalam mengganyang ibukot RI di Bukittinggi (yang telah merangsek dari Padang). Benteng Huraba adalah salah simbol perjuangan terakhir para Republiken dalam melawan agresi militer Belanda pada era perang kemerdekaan.   

Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D ditangkap di rumahnya di Kaliurang pada tanggal 19 Desember 1949 dan membawanya ke Pakem di sebuah ladang jagung. Masdoelhak di rantai dengan penjagaan ketat dengan todongan senjata. Selama menunggu, Masdoelhak hanya bisa berdoa dan makan apa adanya dari jagung mentah.Akhirnya setelah beberapa waktu, beberapa tahanan lainnya berhasil dikumpulkan, total berjumlah enam orang. Lalu keenam orang ini dilepas di tengah ladang lalu diburu, dor..dor..dor. Masdoelhak tewas ditempat. Seorang diantara mereka (Mr. Santoso, Sekjen Kemendagri) terluka sempat berhasil melarikan diri, tetapi ketika di dalam mobil dalam perjalanan ke Jogja dapat dicegat tentara lalu disuruh berjongkok di tepi jalan lalu ditembak dan tewas ditempat. Peristiwa ini dilaporkan surat kabar De waarheid, 25-02-1949.

Berita pembunuhan keji ini kali pertama beredar dan dilansir di London sebagaimana diberitakan De Heerenveensche koerier : onafhankelijk dagblad voor Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel, 01-02-1949. Koran ini mengutip pernyataan pers dari kepala kantor Republik Indonesia di London yang pernyataannya sebagai berikut: ‘sejumlah intelektual terkemuka di Indonesia, diantaranya Masdulhak, seorang penasihat pemerintah dibunuh hingga tewas tanpa diadili.

Berita yang beredar di London menarik perhatian di Eropa dan mengundang perhatian Dewan Keamanan PBB dan marah besar. Pimpinan organisasi bangsa-bangsa meminta sebuah tim netral di Belanda untuk melakukan penyelidikan segera atas kematian Dr. Mr. Masdoelhak Nasoetion di Yogyakarta 21 Desember 1948. Reaksi cepat badan PBB ini untuk menanggapi berita yang beredar dan dilansir sejumlah surat kabar di Eropa.

Mengapa Dewan Keamanan PBB demikian marahnya atas kasus ini? Masdoelhak adalah seorang intelektual paling terkemuka di jajaran inti pemerintahan Republik Indonesia. Masdoelhak adalah akademisi muda bergelar doktor di bidang hukum lulusan Eropa. Masdoelhak juga menjadi adviseur der regering (penasehat pemerintah), penasehat pimpinan republik (Soekarno dan Hatta). Masdoelhak adalah satu-satunya sarjana bergelar doktor di lingkaran satu pemerintahan Republik Indonesia di Jogjakarta. Inilah alasan mengapa petinggi Belanda (van Moek dan Spoor)  menaruh nama Masdoelhak pada baris pertama dalam list orang yang paling dicari dalam serangan hari pertama di Jogjakarta sesegera mungkin (wanted): dead or alive.

Desakan Dewan Keamanan PBB tersebut ditanggapi oleh Kerajaan Belanda dengan menggelar segera sidang pengadilan luar biasa. Hasil persidangan pembunuhan Mr. Masdoelhak Nasution ini dilaporkan oleh De waarheid, 25-02-1949.

De waarheid, 25-02-1949: ‘Kejadian bermula ketika Belanda mulai menyerang Jogja pukul lima pagi, 19 Desember 1948, tentara Belanda bergerak dan intelijen bekerja. Akhirnya pasukan Belanda menemukan dimana Masdoelhak. Lalu tentara menciduk Masdoelhak di rumahnya di Kaliurang dan membawanya ke Pakem di sebuah ladang jagung. Masdoelhak di rantai dengan penjagaan ketat dengan todongan senjata. Selama menunggu, Masdoelhak hanya bisa berdoa dan makan apa adanya dari jagung mentah.Akhirnya setelah beberapa waktu, beberapa tahanan berhasil dikumpulkan, total berjumlah enam orang. Lalu keenam orang ini dilepas di tengah ladang lalu diburu, dor..dor..dor. Masdoelhak tewas ditempat. Seorang diantara mereka (Mr. Santoso, Sekjen Kemendagri) terluka sempat berhasil melarikan diri, tetapi ketika di dalam mobil dalam perjalanan ke Yogya dapat dicegat tentara lalu disuruh berjongkok di tepi jalan lalu ditembak dan tewas ditempat’.

Di pengadilan, menurut De waarheid jaksa penuntut umum menganggap pembunuhan ini sebagai ‘pembunuhan pengecut’. Koran ‘De waarheid’ (waarheid=truth=‘kebenaran’) melihat kasus ini selama ini sengaja ditutup-tutupi. Awalnya resolusi Dewan Keamanan hanya menuntut Belanda bahwa semua tahanan politik harus dibebaskan, malahan membunuh dengan cara keji begini. Koran ini memberi judul beritanya sebagai metode teror fasis (Fascistische terreur-methoden). Desas-desus yang sebelumnya diterima Dewan Keamaman PBB yang membuat mereka marah dan meminta dilakukan penyelidikan secara tuntas akhirnya terungkap di pengadilan. Hasilnya penyelidikan yang diungkapkan oleh koran ‘kebenaran’ ini sebagai: pembunuhan keji para intelektual, pembunuhan secara pengecut dan penggunaan metode fasis.

Siapa Masdoelhak? Masdoelhak adalah anak Padang Sidempoean kelahiran Siboga. Nama lengkapnya Masdoelhak Nasoetion gelar Soetan Oloan. Ayah Masdoelhak bernama Nazar Samad Nasoetion gelar Mangaradja Hamonangan (lahir di Padang Sidempoean) dan ibunya bernama Namora Siti Aboer br Siregar (lahir di Padang Sidempoean). Masdoelhak, anak keenam dari tujuh bersaudara ini setelah menyelesaikan pendidikan dasar Belanda (ELS) di Siboga berangkat sekolah MULO di Medan dan kemudian dilanjutkan ke AMS di Jawa dan tinggal bersama abangnya Makmoen Al Rasjid (dokter lulusan STOVIA). Pada tahun 1930, Masdoelhak anak seorang pengusaha di Residentie Tapanoeli ini lulus ujian AMS. Dari 55 kandidat lulus 42 orang dan Masdoelhak salah satu dari lima siswa terbaik yang direkomendasikan langsung melanjutkan ke pendidikan tinggi di Negeri Belanda (lihat, Soerabaijasch handelsblad, 19-05-1930). Masdoelhak berangkat dari Batavia dengan menumpang kapal s.s. Prins der Nederland’ menuju Amsterdam tanggal 4 Oktober 1930  (lihat De Telegraaf, 01-10-1930). Di Universiteit Leiden, Masdoelhak mengambil bidang hukum. Selama kuliah Masdoelhak yang terbilang cerdas ini juga aktif dalam organisasi ekstrakurikulir. Masdoelhak dan kawan-kawan di Universitas Leiden menggagas didirikannya himpunan mahasiswa untuk mempromosikan Indonesia dengan nama  Studentenvereniging ter bevordering van de Indonesische Kunst (SVIK). Organisasi mahasiswa yang diresmikan tanggal 1 November 1935 ini sebagai ketua disebut Masdoelhak Hamonangan gelar Soetan Oloan (lihat De tribune: soc. dem. Weekblad, 23-11-1935). Setelah lulus tingkat sarjana di Universiteit Leiden, Masdoelhak tidak pulang melainkan melanjutkan pendidikan ke tingkat doktoral di Utrecht (Rijksuniversiteit). Pada tahun 1943 Masdoelhak lulus ujian doctoral sebagaimana dilaporkan Friesche courant, 27-03-1943. Masdoelhak berhasil mempertahankan desertasinya dengan predikat cum laude yang berjudul ‘De plaats van de vrouw in de Bataksche Maatschappij’. Setelah berhasil menjadi doktor hukum, Masdoelhak pulang kampung. Pada saat pulang ke tanah air, Indonesia di bawah pendudukan Jepang, Namun tidak lama kemudian, Jepang menyerah kepada sekutu lalu Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945. Pada tanggal 22 Agustus ditunjuk Mr. M. Hasan sebagai gubernur Sumatra, mewakili pemerintah pusat berkedudukan di Medan. Lalu kemudian Sumatra dibagi tiga wilayah: Sumatra Utara, Sumatra Tengah dan Sumatra Selatan. Yang ditunjuk untuk gubernur muda di Sumatra Tengah yang beribukota di Bukittinggi adalah Masdoelhak Nasution. Selag agresi militer Belanda yang pertama (1847) Masdoelhak dipanggil ke Jogjakarta untuk membantu pemerintahan pusat (menjadi penasehat hukum internasional).

Respon cepat dari pihak Belanda atas permintaan badan keamana PBB itu karena pada tanggal 1 Maret 1949 komisi PBB direncanakan akan datang ke Indonesia. Karena itu delegasi Belanda secepat mungkin pula datang ke Batavia untuk melakukan penyelidikan atas kasus kematian Masdoelhak. Pihak Belanda coba menutup-nutupi kasus ini dan bocoran sidang pengadilan itu dapat diketahui wartawan sebagaimana dilaporkan De waarheid, 25-02-1949 tersebut. Dalam berita itu, wartawannya bertanya: Seberapa lama warga Belanda akan mentolerir cara-cara serupa ini?

Reformasi Sejarah di Indonesia

Agresi militer Belanda kedua yang dimulai di Jogjakarta pada tanggal 19 Desember 1948 dan serangan umum tanggal 1 Maret 1949 adalah dua tanggal penting di Jogjakarta pada era perang kemerdekan. Dua kejadian pada tanggal ini yang sejatinya sangat khusus bagi kota Jogjakarta tetapi dalam (penulisan) sejarah nasional justru mengundang banyak perdebatan dan dalam berbagai sisi peristiwa memunculkan kontroversi.

Sejarah di Indonesia harus dibedakan sejarah lokal dan sejarah nasional. Sejarah nasional adalah sejarah yang bernuansa dan berskala internasional. Perjuangan Soekarno untuk kukuh kembali ke Jogjakarta haruslah dicatat sebagai sejarah nasional Indonesia. Demikian juga dibunuhnya intelektual muda Indonesia juga harus dicatat sebagai sejarah nasional yang terjadi di Jogjakarta. Serangan umum di Jogjakarta yang dilakukan pada tanggal 1 Maret 1949 daya gaungnya singkat dan terbatas dan kurang mendapat perhatian internasional seyogianya dicatat sebagai sejarah lokal yang heroik. Ke dalam daftar ini, sejarah lokal herois lainnya antara lain: Bandoeng Lautan Api (lihat Limburgsch dagblad, 26-03-1946), Perang Medan Area, dan tentu saja Padang Sidempoean Lautan Api. Kejadian lokal serupa yang bersifat nasional dalam hal ini adalah Peristiwa Perang 10 November 1945 di Soerabaja.

Penempatan suatu kejadian di masa lampau di dalam sejarah nasional Indonesia masa kini haruslah mempertimbangkan fakta yang sebenarnya, fakta apa adanya. Dengan dasar itu maka berbagai peristiwa itu dikelompokkan yang mana yang bersifat nasional dan mana yang bersifat lokal. Jika dasarnya keliru (apalagi dibuat keliru) penempatan kejadian tidak tertib, apalagi ada unsur pemaksaan, maka suatu kejadian yang harusnya dianggap bersifat nasional malah ditempatkan sebagai sejarah lokal, sebaliknya yang lainnya suatu sejarah berkategori lokal ditempatkan pada level sejarah nasional.

Kini, Indonesia semakin demokratis, semakin reformis, maka ketika rakyat Indonesia semakin maju dan terpelajar maka sejarah Indonesia yang ditulis sembarangan akan tidak menarik buat generasi muda masa kini lebih-lebih generasi yang akan datang. Pengetahuan masa kini sudah jauh lebih berkembang jika dibandingkan dua atau tiga dasawarsa yang lalu. Kini di era digital, semua data dan fakta kejadian masa lalu di Indonesia dapat diakses dalam bentuk digital oleh semua orang. Sumber-sumber sejarah yang tersaji dalan bentuk digital jauh lebih lengkap dan otentik jika hanya memungit informasi ‘katanya’ atau mengkreasi data dan informasi yang peristiwanya sesungguhnya tidak pernah terjadi.

Jika diperhatikan lebih cermat pada peristiwa serangan 1 Maret 1949 satu hal yang mungkin terlewatkan adalah serangan dari arah selatan, dari arah sekitar kraton Jogjakarta. Ada tiga informasi penting serangan dari selatan ini, pertama bahwa Sultan (masih) berada di Jogjakarta sebagai pemimpin lokal yang sebelumnya adalah menjabat sebagai menteri dalam kabinet terakhir. Kedua, koridor dari selatan ini dalam konfigurasi pertahanan Belanda tidak menempatkan tentara Belanda yang tentu saja untuk menghindari ketersinggungan kraton. Sebaliknya dari pihak Belanda menyadari itu karena berharap, sebagaimana di kota-kota lain seperti di Medan dan Bandoeng, pemimpin lokal diproyeksikan sebagai partner. Ketiga, lingkungan di sekitar kraton di arah selatan datangnya serangan ke kota (Jogjakarta) adalah lingkungan pemukiman setia Sultan. Jika tiga fakta ini disimpulkan maka serangan dari selatan adalah suatu bentuk serangan heroik:

Kraton yang sejak dari dulu dikucilkan Belanda dan Sultan yang dimandulkan secara psikologis Sultan, paling tidak mengizinkan serangan dari selatan, dari aloon-aloon yang berada persis di depan kraton. Tidak ada siapapun yang bisa berbuat, paling tidak seizin dari Sultan. Wilayah pemukiman di selatan kota, di sekitar kraton adalah orang setia sultan, sudah barang tentu pasukan yang ikut menyerang dalam serangan 1 Maret adalah pasukan kraton, paling tidak pasukan yang terbentuk dari orang-orang setia kraton. Sultan dan kraton yang menjadi bagian penting dalam pemerintahan RI di Jongja (pengungsian) dan Sultan sebagai anggota kabinet sebelum ‘dibubarkan’ Belanda bukan tidak disadari oleh Sultan risikonya. Risiko itu diambil oleh Sultan. Disinilah bentuk heroisme Sultan dalam serangan 1 Maret 1949. Akan tetapi peristiwa serangan 1 Maret ini meski berskala lokal, tetapi tidak dicatat dalam sejarah nasional, sebab nuansa dan fakta keberadaan Sultan saat serangan adalah figur pemimpin nasional, paling tidak sebagai menteri.  

Dalam konteks sejarah nasional di Jogjakarta apakah pada agresi militer Belanda kedua 19 Desember 1948 dan serangan umum oleh Republiken pada tanggal 1 Maret 1949 tidak banyak nama yang disebut. Nama-nama yang disebut dalam surat kabar pada dua tanggal penting di Jogjakarta ini diantara yang sedikit beberapa diantaranya adalah Soekarno, Mohamad Hatta, Sultan (Hamengkoeboewono IX) dan Masdoelhak Nasution. Keempat nama ini terungkap dalam dunia internasional.

Kiprah tiga nama pertama sudah banyak ditulis dalam sejarah nasional Indonesia. Namun nama Masdoelhak Nasution sepi sendiri. Masdoelhak Nasution baru ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2006. Namun sangat disayangkan hingga ini hari nama Masdoelhak Nasution tidak pernah diwujudkan sebagai bagian dari Jogjakarta, paling tidak hanya sekadar nama jalan.

Sejarah adalah peristiwa penting yang terjadi apa adanya di masa lampau. Sudah waktunya sejarah Indonesia ditulis secara proporsional. Politisisasi (dalam penulisan) sejarah nasional hanya akan menimbulkan kontroversi. Generasi Indonesia yang semakin cerdas akan sendirinya mengetahuai sejarah yang sebenarnya, sejarah yang benar-benar pernah terjadi (yang data dan informasinya) yang dapat diverifikasi. Kredibel dan tidak berdasarkan 'katanya'.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar