Sejarah Pondok Cina dimulai sejak adanya Land Pondok Tjina. Itu bermula sejak era VOC (Belanda). Nama Pondok Tjina tidak hanya terkenal dari masa ke masa, tetapi juga Landerien Pondok Tjina pada masa ini lokasi dimana berada Universitas Indonesia, Detos, Margo City dan Tol Cijago. Keutamaan Land Pondok Tjina di masa lampau adalah land pertama setelah batas Afdeeling Batavia/Meester Cornelis dengan Afdeeling Buitenzorg. Ibarat kata: Land Pondok Tjina di masa lampau adalah Pintu Gerbang Kota Depok pada masa kini.
Area UI, bagian dari Land Pondok Tjina tempo doeloe |
Dalam serial Sejarah Kota Depok ini, Sejarah Landerien Depok sudah cukup
banyak disajikan. Kali ini, Sejarah Landerien Pondok Tjina yang dihadirkan
secara khusus. Sejarah landerien yang lainnya akan disusul kemudian, seperti: Sejarah
Cinere, Sejarah Sawangan, Sejarah Cilodong dan landerien lainnya.
Di Kota Depok yang
sekarang di masa lampau terdapat sejumlah land yang dimiliki orang tertentu
yang disebut Landerien atau Particulier Land (Tanah Partikelir). Pusat kegiatan
di Landerien tersebut berada di Landhuis, suatu area yang terdiri dari bangunan
utama (landhuis) yang menjadi tempat tinggal pemilik dan lokasi bangunan lain
seperti gudang, pabrik dan barak tempat tenaga kerja. Landerien yang terdapat
di Kota Depok yang sekarang antara lain: Land Pondok Tjina, Land Depok, Land
Pondok Terong, Land Ratoe Djaja, Land Sawangan, Land Tjinere, Land Tjimanggis,
Land Tjilodong, Land Tapos.
Peta Landerien Pondok Tjina
Dalam Peta 1901, di ujung jalan Karet yang sekarang adalah lokasi Landhuis
(Gedung Tuan Tanah). Beberapa bangunan dekat Landhuis ini yang besar
kemungkinan adalah gudang komoditi, pabrik pengolahan, gudang/bengkel peralatan
dan perlengkapan dan rumah pembantu. Juga terlihat beberapa barak tenaga kerja
yang lokasinya berdekatan dengan perkampungan penduduk asli.
Landhuis Pondok Tjina, 1901 |
Landerien yang berpusat di Landhuis ini secara teknis sejak doeloe
mengusahakan komoditi ekspor yang bernilai tinggi dalam skala besar. Sejak era
VOC tanaman ekspor seperti tebu, indigo, kapulaga, kopi, kelapa dan sebagainya.
Landhuis adakalanya memiliki pabrik pengolahan sendiri apakah produk akhir atau
produk setengah jadi. Pada saat peta tersebut dibuat (1901) terlihat beberapa
persil yang mengindikasikan lahan perkebunan (plantation). Persil perkebunan
terlihat di area yang menjadi lahan Universitas Indonesia hingga ke Pasar
Kemiri yang sekarang.
Peta Land Pondok Tjina, 1901 |
Bataviaasch handelsblad, 29-01-1873 |
Adanya halte kereta api di Pondok
Tjina, di satu sisi Land Pondok Tjina semakin berkembang dan di sisi lain akan
membuat Land Sawangan lebih berkembang. Di masa lampau (era VOC) jalan dari dan
ke Land Sawangan melalui Land Depok dan melalui Sringsing (Land Tandong West). Lalu
kemudian (sebelum adanya halte Pondok Tjina) sudah terbentuk jalan akses dari
Land Sawangan ke Land Pondok Tjina melalui Tanah Baroe. Posisi Pondok Tjina
juga sangat strategis sebab sejak VOC Pondok Tjina adalah satu-satunya jalan
akses ke sisi timur sungai Tjiliwong (Oosterweg) melalui (pelabuhan) sungai
dengan menggunakan getek/rakit. Oleh karenanya di halte Pondok Tjina yang sudah
lama menjadi simpul (interchage) akan bertambah ramai lagi dan diuga menjadi
faktor penting yang menyebabkan munculnya pemukiman baru di sekitar stasion
(lihat Peta 1901). Jika Landhuis Pondok Tjina selama ini sebagai hoofdplaats (ibukota)
maka area sekitar stasion Pondok Tjina seakan menjadi pusat keramaian baru
(pusat perdagangan/bisnis).
Untuk sekadar pembanding, seorang pembaca menulis (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-04-1866) mengatakan
bahwa ‘...30 tahun yang lalu (sekitar 1836) jalan sisi barat sungai Tjiliwong
disebut Westerweg (jalan barat) yang melalui Land Menting en Matraman, Tandjong
West, Pondok Tjina, Depok, Tjitajam, Bodjong Gedeh, Tjiliboet, Gedoeng Badak.
Namun kini lebih populer disebut Middenwerg (jalan tengah) karena di sisi barat
(Westerweg) sudah muncul Pasar Baroe Doeri melalui Land Tanabang en Djati terus
ke Tjinere. Gerobak atau pedati dari Tjiliboet dan Bodjong Gedeh sudah lebih
sering melalui Westerweg ke Pasar Baroe Doeri...’. Meski jalur barat sudah
berkembang, jalur tengah tetap ramai karena dari Buitenzorg, Tjiliboet, Bodjong
Gede via Depok dan Pondok Tjina terus ke Land Menting en Djati terus ke Meester
Cornelis (kini Jatinegara). Sedang dari jalur Oosterweg dari Buitenzorg melalui
Tjimanggis juga menuju Meester Cornelis.
Oleh karenanya, sebelum adanya jalur
(halte) kereta api, Land Pondok Tjina secara ekonomi (perdagangan) lebih penting
dari Land Depok. Orang-orang dari Land Tjitajam, Land Depok dan bahkan Land
Tandjong West yang bepergian ke Tjimanggis harus melalui Land Pondok Tjina. Hal
ini karena ada (pelabuhan) sungai untuk penyeberangan. Sedangkan Land Depok
sendiri hanya terkenal secara sosial karena telah lama (sejak VOC) menjadi pusat
komunitas (gemeente) Kristen, sejak era Cornelis Chastelein. Setelah adanya
kereta api, Land Depok baru berkembang yang berpusat di sekitar halte (stasion)
Depok.
Lauw Tjeng Siang
Lauw Tek Lok adalah seorang yang
terkenal. Lauw Tek Lok terungkap sebagai pemilik Land Tjimanggis ketika Pemerintah
(militer Hindia Belanda) pada tahun 1876 bernegosiasi dengan Lauw Tek Lok, sebagai pemilik
Land Tjimanggis untuk dibangun barak sementara untuk artileri negara (land een
temporaire kazerne voor de artillerie op te richten) yakni semacam garnisun (lihat
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-08-1876).
Pembangunan garnisun ini untuk menambah kekuatan militer di wilayah tengah (diantara Weltevreden
dan Buitenzorg). Penempatan sebuah garnisun di Tjimanggis dipicu karena sebelumnya (1860an) telah terjadi
kerusuhan (semacam pemberontakan) di Land Pondok Terong (Ratoe Djaja).
Kerusuhan di Ratoe Djaja berawal dari kerusuhan
sebelumnya di Bekasi (tidak jauh dari gemeente Toegoe). Setelah kerusahan di
Bekasi dapat diatasi, eskalasi politik meningkat di Ratoe Djaja. Tokoh-tokoh
kerusuhan di Bekasi merangsek ke Ratoe Djaja (tidak jauh dari gemeente Depok).
Land Tjimanggis kemudian sebagian beralih
kepemilikan dari swasta (partikelir) ke pemerintah (militer). Hal ini dapat
diketahui karena garnisun militer akhirnya terealisasi di Land Tjimanggis.
Kasus yang sama sebelumnya (1873) pemerintah melalui Pengadilan Tinggi di Batavia
memutuskan pembebasan lahan untuk keperluan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg
para pemiliki lahan mendapat konpensasi.
Land Tjimanggis adalah salah satu land penting di sisi
timur sungai Tjiliwong. Salah satu pos jalan trans-Java sejak Daendles antara
Batavia dan Buitenzorg berada di Tjimanggis. Pos Tjimanggis adalah pos yang
berada di tengah antara Pos Bidara Tjina di Meester Cornelis dan Pos Tjilioer
di Buitenzorg. Sebagai pos yang berada di tengah, Pos Tjimanggis oleh para crew
pedati/caravan dijadikan tempat bermalam baik yang dari Bidara Tjina maupun
yang dari Tjiloear. Dari aspek bisnis (perdagangan) Land Tjimanggis terpenting
di sisi timur Tjiliwong dan Land Pondok Tjina yang terpenting di sisi barat
sungai Tjiliwong.
Bataviaasch nieuwsblad, 28-06-1898 |
Tidak diketahui jelas apakah pemilik Land Tjimanggis dan
pemilik Land Pondok Tjina dari keluarga yang sama (dilihat dari marganya yang
sama: Lauw). Kepemilikan kedua lahaan besar kemungkinan berkaitan satu sama
lain karena selain kedua land bertetangga, juga satu-satunya interchage di
sungai Tjiliwong hanya terdapat di kedua sisi land ini (Land Tjimanggis di sisi
timur sungai Tjilwong dan Land Pondok Tjina di sisi barat sungai Tjiliwong’.
Lauw Tjeng Siang sebelumnya terkenal
sebagai pedagang besar dan pelaku bisnis keuangan di Tanabang en Pasar Senen (Bataviaasch
handelsblad, 04-10-1886). Lauw Tjeng Siang juga adalah salah satu pemiliki properti
di Pasar Senen (Weltevreden). Bisnisnya yang paling terkenal di Pasar Senen
adalah rumah pegadaian (pandhuis). Lauw Tjeng Siang juga kerap memasang iklan
untuk pelelangan barang-barang tertentu, seperti poselin, rumah dan bahkan
(bangunan dan lahan) pertanian.
Lauw Tjeng Siang dan Lauw Tjeng Hoeij melakukan bisnis
serupa di Buitenzorg (Bataviaasch handelsblad, 30-04-1887). Lauw Tjeng Hoeij
sendiri sebelumnya dikenal sebagai pelaku pegadaian di Tanabang dan Lauw Tjeng
Siang sebagai pelaku bisnis pegadaian di Patjenongan (Java-bode: nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 15-03-1875). Lauw Tjeng Hoeij
Lauw Tjeng Hoeij memiliki saudara bernama Lauw Kim Fong (Bataviaasch
handelsblad, 20-04-1880).
Ini mengindikasikan bahwa Lauw Tjeng
Siang sudah sejak lama berkiprah pada bisnis keuangan di berbagai tempat. Oleh
karenanya Lauw Tjeng Siang sebagai pemilik Land (tanah partikeli) bukanlah hal yang luar
biasa. Yang tetap menjadi pertanyaan adalah mengapa Lauw Tjeng Siang memiliki
lahan di Pondok Tjina (Land Pondok Tjina). Sebab lahan di Pondok Tjina bukanlah
lahan yang subur seperti di Land Depok.
Bataviaasch handelsblad, 04-10-1884 |
Pada tahun 1902 di Land Pondok Tjina
yang merupakan lahan milik Kapiten Cina, Lauw Tjeng Siang ditemukan suatu rumah
untuk pencetakan uang palsu. Di dalam kasus ini tidak disebutkan apakah Lauw
Tjeng Siang terlibat. Namun dengan memperhatikan rumah itu berada di lahan
properti Lauw Tjeng Siang apalagi Lauw Tjeng Siang diketahui sudah sejak lama
berprofesi di bidang keuangan, maka besar kemungkinan pelaku utama dalam hal
ini adalah Lauw Tjeng Siang.
Haagsche courant, 04-06-1902 |
Namun demikian, nama Lauw Tjeng
Siang tetap eksis. Apakah Lauw Tjeng Siang terlibat kasus pemalsuan uang menjadi
tidak diketahui secara pasti. Yang jelas, Lauw Tjeng Siang tetaplah sebagai seorang
pengusaha besar di bidang keuangan.
Lauw Tjeng Siang, pemilik land Pondok Tjina yang
beralamat di Kampong Bali dan secara hukum memiliki jabatan sebagai Kapiten
Cina dengan mendapat gaji dari pemerintah (suatu gelar atau jabatan pemimpin
komunitas Tinghoa di wilayah tertentu setingkat di bawah Majoor Cina dan
setingkat di atas Luitenant Cina).
Akan tetapi, Bataviaasch
nieuwsblad, 18-06-1904
melaporkan bahwa Lauw Tjeng Siang telah melelang properti kantor pegadaian di
Meester Cornelis senilai f 12.128. Sejak berita penjualan (pelelangan) ini nama
Lauw Tjeng Siang menghilang, dan menghilang selamanya.
Bataviaasch nieuwsblad, 20-09-1926 |
Asal Usul Land Pondok Tjina
Pondok Tjina, seperti halnya
Sringsing, Depok dan Ratoe Djaja adalah nama-nama tempat yang sudah dicatat
sejak awal. Adanya kepemilikan lahan (land) di area terjauh di hulu sungai
Tjiliwong adalah Land Depok yang dimiliki oleh Cornelis Chastelein (sejak
1696). Kapan muncul lahan kepemilikan di Pondok Tjina tidak diketahui secara
pasti. Adanya kepemilikan lahan di Pondok Tjina paling telat sudah diketahui
pada tahun 1816.
Bataviasche courant, 14-12-1816 |
Dari informasi ini sudah terdeteksi nama
Land Pondok Tjina. Land ini menunjukkan suatu lahan di tempat dimana disebut
Pondok Tjina, Pondok Kemirie dan Bedji. Nama-nama ini mengindikasikan nama
kampong yang terdapat di lahan tersebut. Ketiga nama ini kemudian disatukan
dengan satu penyebutan sebagai Land Pondok Tjina. Oleh karena Land Pondok Tjina
dan Land Tanah Baroe merupakan satu kepemilikan (oleh Jansen), maka semuanya
kelak di sebut dengan nama tunggal: Land Pondok Tjina.
Bataviasche courant, 08-09-1821 |
Situs rumah tua Pondok Cina |
Satu hal yang menyisakan pertanyaan adalah apakah Kapiten Lauw Cheng Siang
berkaitan dengan sebuah rumah tua yang berada di Pondok Cina yang kini menjadi
bagian dari halaman Margo City. Ini tentu sulit diketahui secara pasti karena sejauh
ini tidak ada data dan informasi yang dapat menjelaskannya. Tentu saja untuk
menjawab itu memerlukan penelusuran tersediri dengan menggunakan
dokumen-dokumen pribadi yang dimiliki oleh keluarga Lauw Cheng Siang.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Halo Admin Poestaha Depok
BalasHapusPerkenalkan nama saya Fasya Mahasiswa dari UIN Syarif Hiddayatullah Jakarta Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam. Saya Izin mengutip beberapa artikel dan sumber dari tulisan ini untuk dijadikan sebagai bukti di skripsi saya. Dan saya juga ingin menayakan juga apa ada ya arsip atau photo bukti bahwa tanah partikeli yang ada di daerah Pondok Cina, Kukusan, Beji, Kemiri Muka, dan Tanah Baru apa masih bisa ditemukan ya?. Sekian dari saya kurang lebih mohon maaf atas kekurangan. Terimakasih atas ilmunya Bapak atau Ibu Admin Blog ini
Silahkan saja Bung Fzylbr. Pengetahuan seharusnya disebarluaskan.Saya tidak punya foro lagi, semuanya sudah saya insert dalam artikel-artikel. Soal arsip sebenarnya hanya sebatas peta wilayah land Pondok Tjina yang pada peta-peta lama diidentifikasi batas-batasnya. Land Pondok Tjina termasuk nam-nama kampong yang disebut seperti Bedji dan Koekoesan. Batas-batas ini dibuat pada era VOC yang kemudian dijual kepada perorangan atau perusahaan sebagai tanah swasta/partikelir. Semuan lahan yang dibatasi termasuk yang berada di atasnya (termasuk penduduknya) yang sebelumnya di bawah otoritas pemerintah (termasuk pajak) dialihkan kepada swasta (penduduk bayar pajak kepada swasta dan juga memberikan tenaga dalam bentuk rodi sejumlah hari tertentu setiap bulannya, semacam negara dalam negara. Pada era Pemerintah Hindia Belanda tanah-tanah partikelir ini dibeli oleh pemerintah (penduduk kemudian bayar pajaknya kepada pemerintah)Tanah-tanah yang diusahakan penduduk itu dari turun temurun mungkin sejak masa lampau sebelum VOC diteruskan keturunannya hingga sekarang (tentu saja sudah diperjual belikan sedikit demi sekit (girik)hingga menjadi situasi dan kondisi kota yang sekarang (SHM). Sebagian sisa tanah-tanah partikelir ini dibeli pemerintah RI. Bukti pengalihan inilah yang ada sejak era Hindia Belanda hingga era RI dalam bentuk arsip negara. Saya menduga sulit menemukannya kembali di arsip-arsip lama BPN.
BalasHapusDemikian Bung
Terimakasih Admin Poestaha Depok. Baik saya akan kroscek kembali di Arsip Nasional dan BPN jika masih bisa memungkinkan untuk ditelusuri jika ada. Terimakasih juga atas Info dan bantuannya Admin, Sehat dan bahagian selalu menyertai ya
Hapus