Wilayah Tjimanggis yang sekarang sebagai wilayah yang subur sudah dikenal sejak era VOC tetapi tidak dengan nama Tjimanggis tetapi disebut dengan nama Yemans. Besar dugaan pemilik lahan yang subur itu adalah keluarga Yemans (sebagaimana keluarga Chastelein di Land Depok). Nama Land Yemans berganti menjadi Land Tjimanggis di era Pemerintah Hindia Belanda.
Land Yemans menjadi Land Tjimanggis (lukisan 1770-1777) |
Jalan Pos Trans-Java
Pada saat Gubernur Jenderal Baron van Imhoff (1745) mulai membangun villa
di Buitenzorg (Istana Buitenzorg) kawasan dari Batavia dan Buitenzorg sudah dipetakan
ke dalam sejumlah land, yang dalam hal ini termasuk Land Yemans.
Bataviasche kol.courant, 05-01-1810 |
Dalam perkembangannya, ruas jalan pos Batavia-Buitenzorg diperinci ke dalam
beberapa pos pada tahun 1842. Dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1842
antara Batavia dengan Buitenzorg tedapat enam pos: Pos I: Bidara Tjina, Pos II
Tandjoeng (15 paal dari Batavia), Pos III Tjimanggis, Pos IV Tjibinong (28
paal), Pos V Tjiloear (34 paal) dan Pos VI Buitenzorg (39 paal). Pos Tjimanggis
terkenal karena posisinya strategis antara Batavia dan Buitenzorg.
Ekspedisi pertama
ke hulu sungai Tjiliwong kali pertama dilakukan pada tahun 1687. Rute ekspedisi
ini kemudian menjadi jalan pos Trans-Java (1810) dan penetapan pos-pos pada
tahun 1842. Dengan kata lain, Land Tjimanggis atau nama sebelumnya Land Yemans sudah
dikenal sebagai daerah yang subur sejak 1687
Pos-pos yang ditetapkan pada tahun 1842 semakin diperkuat. Asisten Residen
Buitenzorg pada tahun 1847 pos-pos itu dijadikan sebagai stasion kereta kuda
dan pedati (lihat Javasche courant, 15-09-1847). Sebagaimana keterangan yang
dibuat Johs Rach (1770-1777), Landhuis Yemans sudah menjadi tempat pemberhetian
kereta kuda dan pedati. Dengan kata tempat pemberhentian yang sudah ada sejak
era VOC ditingkatkan menjadi pos dengan nama Pos Tjimanggis. Yang dimaksud pos
dalam hal ini adalah pusat bongkar muat barang-barang pos yang mana di setiap
pos disediakan dan dibangun rumah pos (semacam kantor pos).
Berdasarkan
penetapan beberapa pos di ruas jalan pos Batavia-Buitenzorg, diduga nama
Tjimanggis kali pertama dilaporkan (ke publik) pada tahun 1842. Dengan mengacu
pada keterangan Johs Rach (dalam lukisannya 1770-1777) dengan penetapan pos
tahun 1842 berselang hampir 70 tahun. Banyak hal yang mungkin terjadi di dalam periode
tersebut. Apakah Land Yemans masih eksis atau apakah namanya telah berubah nama
menjadi Land Tjimanggis.
Land Tjimanggis.
Landhuis Pondik Tjina dan Landhuis Tjimanggis (Peta 1901) |
Ini mengindikasikan
bahwa Land Tjimanggis tidak hanya sekadar adanya pos, tetapi juga tempat yang
dijadikan sebagai tempat menginap dari Batavia ke Buitenzorg atau sebaliknya. Dari
aspek bisnis (perdagangan) Land Tjimanggis adalah pos terpenting di sisi timur
Tjiliwong (sedangkan area terpenting di sisi barat sungai Tjiliwong adalah Land
Pondok Tjina. Kedua land ini terhubung melalui pelabuhan sungai di Pondok Tjina.
Lauw Tek Lok
Lauw
Tek Lok adalah seorang yang terkenal. Lauw Tek Lok adalah seorang Luitenant Chineese di Meester
Cornelis yang memiliki banyak properti. Lauw Tek Lok memiliki rumah di Batoe
Toelis, Buitenzorg (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 27-03-1869). Juga memiliki rumah di Tanah Abang dan Pasar
Baroe (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 30-08-1873).
Lauw Tek Lok terungkap sebagai
pemilik Land Tjimanggis ketika Pemerintah (Hindia Belanda) pada tahun 1876
bernegosiasi dengan Lauw Tek Lok, sebagai pemilik Land Tjimanggis untuk
dibangun barak sementara untuk artileri negara (land een temporaire kazerne
voor de artillerie op te richten) yakni semacam garnisun (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-08-1876).
Landhuis Tjimanggis (Peta 1901) |
Pembangunan
garnisun ini untuk menambah kekuatan militer di tengah (diantara Weltevreden
dan Buitenzorg). Hal ini dipicu karena sebelumnya (1860an) telah terjadi
kerusuhan (semacam pemberontakan) di Land Pondok Terong (Ratoe Djaja). Kerusuhan
di Ratoe Djaja berawal dari kerusuhan sebelumnya di Bekasi (tidak jauh dari
gemeente Toegoe). Setelah kerusahan di Bekasi dapat diatasi, eskalasi politik
meningkat di Ratoe Djaja. Tokoh-tokoh kerusuhan di Bekasi merangsek ke Ratoe
Djaja (tidak jauh dari gemeente Depok).
Land Tjimanggis kemudian sebagian beralih kepemilikan dari swasta
(partikelir) ke pemerintah (militer). Hal ini dapat diketahui karena garnisun
militer akhirnya terealisasi di Land Tjimanggis.
Kasus yang sama
sebelumnya (1873) pemerintah melalui Pengadilan Tinggi di Batavia memutuskan
pembebasan lahan untuk keperluan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg para
pemilik lahan mendapat konpensasi. Land-land yang mendapat konpensasi tersebut
adalah Land Pondok Tjina, Land Depok dan Land Pondok Terong/Ratoe Djaja.
NV. Maatschappij tot
Exploitatie vaa het Land Tjimanggies
Lauw Tek Lok, pemilik Land
Tjimanggis, posisinya sebagai pemimpin Tionghoa (masih berpangkat letnan) di
Chineesch Bestuur sulit digantikan oleh yang lain. Menurut orang-orang di Chineesch
Bestuur, Lauw Tek Lok dan Tan Kan Ie sulit mencarikan penggantinya yang cocok (Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-04-1879), Lauw
Tek Lok selain memiliki properti sendiri juga memiliki saham di lahan yang
terletak di Tjipanang (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 04-06-1879). Juga Lauw Tek Lok dilaporkan memiliki rumah di
Glodok (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
03-08-1880).
Bataviaasch handelsblad, 20-07-1881 |
Java-bode, 27-05-1882 |
Land Pondok Tjina yang
merupakan tetangga Land Tjimanggis diketahui pemiliknya adalah seorang Tionghoa
bernama Lauw Tjeng Siang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-06-1898). Tidak
diketahui jelas apakah pemilik Land Tjimanggis dan pemilik Land Pondok Tjina
dari keluarga yang sama (dilihat dari marganya yang sama: Lauw). Kepemilikan
kedua lahan kemungkinan berkaitan satu sama lain karena selain kedua land
bertetangga, juga satu-satunya interchage di sungai Tjiliwong hanya terdapat di
antara kedua sisi land ini (Land Tjimanggis di sisi timur sungai Tjiliwong dan
Land Pondok Tjina di sisi barat sungai Tjiliwong
Dalam perkembangannya, di area eks land milik Lauw Tek Lok (Land
Tjimanggis) sudah didirikan suatu maskapai yang diberi nama NV. Maatschappij
tot Exploitatie vaa het Land Tjimanggies. Adanya maskapai ini didasarkan pada
suatu iklan pemberitahuan yang dimuat surat kabar Bataviaasch nieuwsblad, 05-04-1909.
Bataviaasch nieuwsblad, 05-04-1909: ‘NV. Maatschappij tot
Exploitatie vaa het Land Tjimanggies. Majelis Umum Pemegang Saham pada tanggal
18 April 1909, pagi hari pukul 10 di rumah Direktur yang berada di Buitenzorg. Agenda
acara: Perkembangan usaha sekitar tahun 1897 hingga pada tahun 1908 dan penentuan
dan pemberian dividen setelah bertahun-tahun. Acara rapat pemegang saham
dilakukan di rumah direktur. Tertanda Direktur’.
Dari iklan pengumuman ini terindikasi bahwa NV. Maatschappij tot
Exploitatie vaa het Land Tjimanggies didirikan pada tahun 1897. Dalam iklan tersebut tidak disebutkan siapa nama direktur NV.
Maatschappij tot Exploitatie vaa het Land Tjimanggies.
Bataviaasch nieuwsblad, 14-04-1925 |
Riwayat Rumah Tua Cimanggis
Keutamaan lainnya Pos Tjimanggis
karena di tempat ini pada tempo doeloe, mantan Gubernur Jenderal Petrus
Albertus Van der Parra mendirikan rumah tinggal (huis). Di lokasi tempat
tinggal van der Parra tersebut, pada saat ini masih ditemukan rumah tua yang
disebut Rumah Tua Cimanggis.
Tidak jauh dari huis ini dulunya muncul bazaar lalu
berkembang menjadi pasar (yang kini
menjadi cikal bakal Pasar Cimanggis). Pada era Pemerintahan Hindia Belanda,
sejak penataan lahan-lahan perkebunan ditertibkan (yang dimulai pada era
Daendels) intensifikasi lahan-lahan ditingkatkan sebagai usaha pertanian untuk
komoditi ekspor dengan skema verponding. Hal ini juga terkait dengan
pembangunan selokkan (kanal irigasi) yang airnya disodet dari sungai Tjiliwong
di Katoelampa. Lahan-lahan (land) di sekitar, selain Land Tjimanggies antara
lain Land Pondok Tjina, Land Tjibinong, Land Tjilodong, Land Tjimpoen en
Patingie (kemudian disebut lnad Tapos) dan Land Tjiboeboer. Pusat land ini
berada di landhuis. Rumah Tua Cimanggis yang jejaknya masih terlihat sekarang
adalah salah satu landhuis yang pernah ada.
Untuk jelasnya Rumah Tua Cimanggis
dapat dilihat artikel yang ditulis lima tahun lalu dimuat dalam blog ini dengan
judul: ‘Rumah Tua Cimanggis di Depok: Pesanggrahan Janda Gubernur Jenderal Belanda’
*Dikompilasi oleh Akhir Matua
Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan
lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta.
Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap
buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah
disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan
atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di
artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Saya ingin bertanya kepada penulis, apakah mempunyai sumber-sumber atau catatan terkait dengan sumur-sumur yang ada di kota Depok? Seperti sumur 7 beji, sumur bandung dan khususnya sumur Gondang?
BalasHapusSaya tidak mempunyai sumber Bagus. Tetapi saya memiliki catatan sendiri. Sumur-sumur itu haruslah diperhatikan dari dua era berbeda. Pada era VOC (1500an) wilayah Hindoe Pakwan Padjadjaran ditaklukkan Islam Banten. Sejak itu wilayah Bogor yang sekarang termasuk Depok dimana terdapat kraton Pakuwan Pajajaran di Bogor menjadi sepi karena ditinggalkan. Meski wilayah eks Hindoe ini sepi tetapi tetap berada di dalam otoritas Banten. Lalu sejak 1619 VOC membangun pos perdagangan di Batavia (hilir sungai Tjiliwong). Jalan sisi barat sungai Tjiliwong antara hulu (kraton) dengan hilir di juara di Soenda Kalapa juga tetap sepi lalulintas. Situasi dan kondisi berubah pada tahun 1628 Mataram menyerang Batavia yang dibantu Banten. Serangan ke Batavia ini dari arah hulu sungai Tjiliwong yang diduga dimulai dari Depok dan sekitar. Sejak serangan ke Batavia itu wilayah hulu ini tetap menjadi DOM Mataram. Saat menjadi daerah operasi militer ini wilayah eks Hindoe ini muncul kampong-kampong baru seperti Depok, Beji, Gondang, Mampang, Ratujaya dan sebagainya. Harus diingant nama-nama ini adalah nama yang sudah eksis di wilayah Mataram yang diduga menjadi asal dari para prajurit Mataram yang tidak kembali tetapi menetap. Di kampong-kampong baru inilah berkembang peradaban baru (Islam) antara Mataram dan Banten. Sumur-sumur tersebut dibangun seiring dengan perkembangan pemukiman dari kampong-kampong itu sebagai sumber air minum. Hal ini karena dimana sumur-sumur itu dibangun berada di daerah yang kering di musim kemarau, aliran sungai (sungai Tjiliwong) berada jauh di bawah. Sementara sunga-sungai yang dibangun berupa kanal baru dimulai pada era Cornelis Chastelein 1694-1714 yang kemudian membentuk danau Pitara. Lalu pada tahun 1850 situ Rawabesar dan situ Kladen dibangun sebagai eks lio (pabrik pembuatan batu bata). Area eks lio ini kemudian dialirkan air dari danau Pitara ke eks lio yang menjadi danau situ Rawabesar dan limpahan airnya diarahkan ke sungai Kalibata (yang menjadi sumber air Situ Babakan (di Lenteng Agung yang dibangun 1830) yang kemudian dibangun irigasi di wilayah Tanjung Barat. Dalam perkembangan air danau Situ Pitara dialirkan dengan membangun kanal melalui Tanah Baru dan kemudian sebagian diarahkan ke Situ Babakan. Jadi, dalam sejarah sumur-sumur itu terbentuk karena tempat penampungan air (mata air) sejak kehadiran (prajurit) Mataram-Banten di wilayah eks Hindoe tersebut. Kanal irigasi yang melalui Kemiri Muka (wilayah Beji) dan Pondok Tjina (lalu dialihkan ke situ Babakan melalui kampus UI yang sekarang, itu baru dibangun pada tahun 1870an. Selama ini kawasan tersebut area lahan kering
HapusDemikian, semoga sedikit membantu.