Kamis, 08 Agustus 2013

Tanah Partikelir dan Landhuis di Depok ‘Tempo Doeloe’

*Artikel Sejarah Perkebunan di Depok dan sekitarnya dalam blog ini Klik Disini

Tanah Partikelir

Monumen Cornelis Chastelein Pemilik Tanah Partikelir di Depok, 1930
Tanah partikelir ialah tanah eigendom di atas mana pemiliknya mempunyai hak-hak pertuanan. Tanah partikelir adalah tanah yang dimiliki orang-orang swasta Belanda dan orang-orang pribumi yang mendapat hadiah tanah karena dianggap berjasa kepada Belanda. Tanah eigendom yang luasnya lebih dari 10 bau, yang menjadi milik seseorang atau suatu badan hukum atau milik bersama dari beberapa orang atau beberapa badan hukum, diperlakukan sebagai tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom, yang mempunyai sifat dan corak yang istimewa. Tanah-tanah partikelir ini luasnya sampai sejumlah 1.150.000 Ha, terutama terletak di Batavia dan di Jawa Barat seperti  Banten, Karawang, Cirebon dan  Bogor (termasuk Depok).

Tanah-tanah partikelir ini ada pada era Daendles. Namun kemudian pemerintah Belanda menyadari bahwa adanya tanah-tanah partikelir dengan hak pertuanan seolah-olah ada negara-negara kecil di dalam negara. Karena itu Pemerintah Belanda mengadakan pengambilan tanah-tanah itu kepada Negara. Sekalipun sejak 1810 telah terjadi pembelian kembali tetapi kemudian mengendor, baru kemudian pada tahun 1855 dilakukan kembali. Regering reglement (S. 1855-2) larangan bagi para Gubernur Jenderal untuk menjual tanah-tanah yang luas kepada perseorangan. Akan tetapi barulah sejak 1910, atas desakan baik dari kalangan-kalangan di luar maupun di dalam Parlemen Belanda, dilaksanakan usaha pengembalian itu secara teratur.

Berangsur-angsur telah banyak tanah-tanah partikelir yang dapat dibeli kembali; diantara tahun 1912 dan 1931 saja ada seluas 456.709 Hektar. Berhubung dengan adanya penghematan, di antara 1931 dan 1936 tidak diadakan pembelian lagi. Pada tahun 1935 didirikanlah sebagai usaha darurat: N.V. Javansche Particuliere Landerijen Maatschappij, yang semua saham-sahamnya ada ditangan Pemerintah Maatschappij tersebut mendapat tugas untuk mengusahakan pembelian kembali dan menguasai serta mengurus tanah-tanah partikelir yang telah dibelinya itu, selama Pemerintah belum dapat mengopernya sendiri.

Diantara tahun 1936 - 1941 sudah dibeli dan diurus oleh Maatschappij itu: 13 tanah-tanah partikelir seluas 80.713 hektare. Tetapi oleh karena tanah-tanah itu selama belum dibeli oleh Pemerintah masih tetap berstatus tanah partikelir, maka bagi penduduk tidaklah terasa adanya perubahan yang berarti. Selama pemerintah pendudukan Jepang tidak terjadi pembelian kembali. Adapun tanah-tanah partikelir itu diurus oleh Kantor yang dinamakan "Siriyocti Kanrikoosya. Sesudah pendudukan Jepang maka oleh Pemerintah Hindia Belanda usaha pembelian itu dimulai lagi. Terutama terdorong oleh keadaan politik dan perkembangan masyarakat pada waktu itu, usaha diselenggarakan secara besar-besaran.

Dalam tahun 1948 dibentuklah sebuah Panitia yang diberi tugas untuk di dalam waktu yang singkat, mengajukan usul-usul kepada Pemerintah tentang cara yang sebaik-baiknya untuk menglikuidasi tanah-tanah partikelir yang masih ada. Berdasar atas usul Panitia itu oleh Pemerintah dengan keputusannya tanggal 8 April 1949 No. 1 ditetapkan suatu peraturan likuidasi, atas dasar mana dengan secara damai dapat dikembalikan kepada Negara 48 tanah partikelir seluas 469.506 ha, semuanya terletak di sebelah Barat Cimanuk. Dalam tahun 1949 tanah-tanah N.V. itu dibeli oleh Pemerintah RI dan pada tanggal 13 Desember 1951 N.V. Javasche Particuliere Landerijen Maatschappij itu dibubarkan.

***

Dalam perjalanannya, tanah partikelir kemudian banyak yang dijual kepada orang-orang cina, arab, india, atau kepada orang-orang belanda lainnya. Latar belakang penjualan tanah itu karena pemilik tanah kekurangan uang atau sedang membutuhkan uang dalam waktu yang cepat. Setelah berpindah tangan, para pemilik tanah partikelir lebih dikenal dengan sebutan tuan tanah.

Ternyata kekuasaan para tuan tanah di tanah partikelir sangat besar dan berbeda dengan kepemilikan tanah di tempat-tempat yang lain. Para tuan tanah tidak saja berhak atas tanahnya, melainkan juga dianggap menguasai orang-orang yang berada di wilayah tanahnya. Oleh karena itu, penduduk pribumi menjadi menderita berada di tanah partikelir. Mereka dikenakan bermacam kewajiban, seperti pajak hasil panen, uang sewa rumah, juga penduduk diwajibkan bekerja rodi pada tanah partikelir. Dengan demikian, tinggal di tanah partikelir seperti berada di tanah asing yang harus disewanya. Padahal mereka sebagai pemilik tanah sebenarnya dan tidak mengetahui adanya perpindahan tangan dalam hal kepemilikan tanah. Penduduk pribumi akhirnya menjadi budak-budak para tuan tanah dan sebaliknya para tuan tanah dengan leluasa mengeksploitasi kekayaan alam di Indonesia.

Dalam hal tersebut, Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan kemudian Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan saja melanjutkan pembelian kembali tanah-tanah partikelir, akan tetapi sebagai Pemerintah nasional lebih-lebih merasakan hal itu sebagai kewajiban yang pokok dan utama. Hingga akhir tahun 1956 dapat dibeli kembali 25 tanah partikelir yang luasnya berjumlah 11.759 ha. Pada tahun 1958 diundangkan mengenai penghapusan tanah-tanah partikel yakni UU No 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir. Dalam pasal 3 undang-undang tersebut ditentukan, bahwa sejak mulai berlakunya Undang-undang ini hak-hak pemilik beserta hak-hak pertuanannya atas semua tanah-tanah partikelir dinyatakan hapus dan tanah-tanah bekas tanah partikelir itu seluruhnya serentak menjadi tanah Negara.

Landhuis 

Depok adalah tanah partikelir. Selain di Depok, tanah partikelir lainnya terdapat di Citayam, Cimanggis, Tapos, Pondok Cina, Mampang, Cinere dan Cilangkap. Pusat tanah partikelir ini ditandai dengan adanya landhuis (rumah pemilik tanah / tuan tanah). Lokasi landhuis in biasanya berada di tempat strategis yang umumnya berada di tengah area tanah partikelir. Di sekitar landhuis ini biasanya terdapat gudang, pabrik pengolahan/penggilingan, bangunan yang digunakan untuk pekerja dan bangunan-bangunan lain yang digunakan untuk pengelolaan usaha tanah partikelir.

Depok

Depok, 1899
Tanah partikelir di awal era Belanda termasuk diantaranya di Depok. Luasnya 1.244 Ha. Bagi warga Depok lokasi ini kira kira sebatas antara Balai Kota di sebelah utara hingga tanjakan Ratu Jaya di selatan serta antara bioskop Sandra di barat dan sungai Ciliwung di timur. Ini berarti area tanah partikelir itu pada waktu itu berbatasan dengan Kampung Manggis di utara, Kampung Ratu Jaya di selatan, Kampung Sengon dan Kampung Pitara di barat, dan Kampung Poncol dan Kampung Cikumpa di timur. Tanah ini dibeli oleh Cornelis Chastelein di era VOC (1602-1811) pada tanggal 18 Mei 1696. Sebelum di Depok, Chastelein sudah memiliki tanah di daerah Senen, dan di daerah Serengseng. Untuk mengolah lahan Depok ini, Chastelein mempekerjakan 150-an tenaga kerja. Cornelis Chastelein meninggal 28 Juni 1714 dan ia mewariskan tanahnya itu untuk para pekerjanya yang dapat dilihat dari suart wasiat yang dibuat sebelum meninggal.

Para mantan pekerja Cornelis Chastelein ini beranak pinak sehingga jumlahnya cukup banyak. Oleh karena mereka berada di dalam tanah partikelir yang diakui oleh Pemerintahan Hindia Belanda, maka pada tahun 1871 tanah partikelir ini menjalankan organisasi pemerintahan sendiri yang kemudian dijadikan Gementee Bestuur. Pimpinan pemerintahan dipilih setiap tiga tahun (semacam pemerintahan mirip republic mini). Pemerintahan ini menjalankan roda organisasi bersumber dari pendapatan pajak yang dikutip dari hasil pertanian. Pembagian itu didasarka pada perbandingan berikut: 2.5 untuk tuan tanah, 2 untuk petani penggarap, 1 untuk tukang panen dan setengah untuk pajak pemerintah. Pajak pemerintahan ini digunakan untuk keperluaan pemerintahan, pembangunan sarana prasarana umum dan pengairan.

Pada masa pendudukan Jepang, Gementee Bestuur seakan hilang landasan. Secara konstitusional tidak diakui juga secara defakto pengutipan pajak diambilalih oleh Jepang. Lantas pada era kemerdekaan desa model pemerintahan republik ini benar-benar mulai redup dan akhirnya runtuh dalam suatu kerusuhan di Depok. Pasca kerusuhan (1949) para pewaris Chastelein diberi pilihan ikut RI atau Belanda. Ada yang memilih Belanda dan sebagian yang lain RI. Kepada mereka yang memilih RI dapat pulang ke rumah masing-masing di Depok. Pada tanggal 8 April 1949 pemrintah RI mengeluarkan keputusan  tentang penghapusan tanah partikelir di seluruh Indonesia. Pada tanggal 5 Februari 1950 dilakukan perundingan antara pimpinan Depok denga perwakilan RI yang mana keputusan bahwa warga Depok bersedia mengembalikan hak eigendom atas tanah partikelir Depok kepada pemerintah. Pada tanggal 15 Oktober 1951 diadakan pertemuan antara Residen Bogor dengan pimpinan Depok yang menghasilkan persetujuan tanah partikelir Depok diserahkan ke pemerintah RI. Selanjutrnya penyerahan tanah partikelir didasarkan pada Akta Notaris tahun 1952 tentang perjanjian pelepasan hak dan penyerahan tanah-tanah kongsi. Sebagai imbalannya pemerintah memberikan uang sebesar Rp 229.261 serta beberapa gedung dan tanah-tanah yang ada hubungannya dengan agama dan pendidikan. Lantas sejak 4 Agustus 1952 tanah partikelir Depok menjadi desa Pancoran Mas dengan luas 837 Ha.

Landhuis Tjimanggis













Landhuis Tjilodong












Landhuis Tapos












Landhuis Tjilangkap












Landhuis Tjitajam












Landhuis Pondoktjina












Landhuis Sawangan












---------------
Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber berikut:
  • Penjelasan UU No 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir.
  • Peta topografi bersumber dari kitlv.nl
  • Penjualan tanah partikelir
  • Gedoran Depok oleh Wenri Wanhar



9 komentar:

  1. kalo boleh tau nama penulis artikel ini siapa ya? untuk keperluan mengutip isinya.

    BalasHapus
  2. Setiap kampoong biasanya Belanda meninggalkan Bangunan berarsitek Belanda, termasuk Landhuis Tjilangkap.Kurang lebih 30 tahun yg lalu tepatnya didepan Kantor Kelurahan Cilangkap berdiri bangunan Belanda tapi sayang sekarang sudah tidak ada, yg tersisa tinggal sumur tua. Semuanya menjadi Perumahan POLRI.

    BalasHapus
  3. Info yang bagus.. Terimakasih penulis.. Dapatkah saya meminta kontak penulis?

    BalasHapus
  4. Mba Hardiyanti dan Mba Sukmawati silahkan langsung korespondensinya ditujukan ke alamat email saya yang terdapat di laman Read Me di atas.
    Terimakasih
    Akhir MH @ Depok

    BalasHapus
  5. Saya sangat tertarik dengan tulisannya.rasanya saya tidak bosan baca tentang tanah"kita jaman dulu.sayangnya mata saya cepat lelah.Terima-kasih

    BalasHapus
  6. Permisi mas saya mau Tanya ? Kalau untuk arsip tanah partikelir belanda NYa Ada tidal yah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Arsipnya dalam berbagai bentuk seperti surat kabar, majalah, peta-peta dan tabel-tabel sejak era VOC. Pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda selain membeli/megakuisisi tanah-tanah partikel juga masih menjual lahan dengan status tanah partikelir seperti sdi sisi barat sungai Tangerang dan sisi timur sungai Tjitaroem. Pada era Inggris juga ada penjalan lahan dalam sttus partikelir seperi di Pekalongan, Tjipoetri/Tjipanas dan Soekaboemu tetap pada era Pemerintah Hindia Belanda land (tanah partikelir)dibeli lagi oleh pemerintah. Semua lanf dari sungai Tjimanoek/Indramajoe hingga sungai Tjinade pernah menjadi tanah partikelir. Tentang sejarah masing-masing sudah saya elaborasi pada artikel-artikel terdahulu dalam blog ini pada tajuk serialsejarah Depok, Jakarta, Bogor, Sukabumi, Tangerang dan Bekasi. Demikian, Terimakasih. Selamat meneliti,

      Hapus
    2. ada penjelasan di majalah jadul kotapraja

      Hapus