Minggu, 19 September 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (121):Data Salah dan Data Palsu, Pemalsuan Data Kesalahan Data; Peneliti Sejarah Ekstra Lebih Teliti

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Peneliti harus teliti. Itu pasti. Ketelitian tinggi dilakukan pada semua bidang, lebih-lebih pada bidang masa lampau seperti sejarah, arkeologi dan lainnya. Mengapa? Satu hal yang melekat pada bidang masa lampau adalah old en new. Bidang sejarah merujuk pada masa kini dengan menarik waktu jauh ke belakang (bahkan hingga zaman kuno, yang menjadi bidang arkeologi). Timeleg yang semakin lebar di masa lampau, ketersediaan data semakin sedikit dan semakin samar (aus). Seperti peneliti di bidang-bidang lainnya, penelitian di bidang sejarah sangat diperlukan ketelitian bahkan ketelitian ekstra. Mengapa? Ternyata data sejarah tidak semuanya murni, ada data salah dan bahkan data palsu.

Sejarah adalah narasi fakta dan data. Artinya sejarah dibangun pada basis data dan data itu bercermin pada fakta. Dalam hal ini fakta adalah syarat perlu (necessery condition) dan data adalah syarat cukup (sufficient condition). Dalam menarasikan sejarah, data hanya satu bagian. Bagian lainnya adalah analysis data dan interpretasi yang hasilnya berupa informasi di sajikan dalam berbagai publikasi. Publikasi adalah bagian yang lain lagi dalam penulisan sejarah. Singkatnya: ada tiga bagian dalam penulisan sejarah yang satu dengan yang lain berkesinambungan (in-line). Namun yang menjadi masalah dalam penulisan sejarah adalah tiga bagian itu masing-masing berdiri sendiri. Ibarat lempar baru ke utara, jatuhnya ke selatan, meledaknya di timur. Kasus serupa ini seakan tiga misi dengan tiga tujuan. Sejarah sebagai narasi fakta dan data hanya satu misi satu tujuan dengan tiga tahapan yang dilalui. Dalam kasus masa ini ditemukan banyak narasi sajarah (termasuk konten Youtube) dengan judul dan isi yang berbeda (judul tidak mencerminkan isi; judul bombastis tetapi narasi di dalamnya biasa-biasa saja).

Lantas bagaimana sejarah data salah dan data palsu dalam penulisan sejarah? Seperti disebut di atas, dalam penulisan sejarah harus merujuk pada narasi fakta dan data. Artinya bahwa fakta mengindikasikan kejadian nyata yang pernah terjadi, tetapi karena timeleg yang sudah lama harus didukung dengan (ketersediaan) data. Namun perlu disadari bahwa terdapat banyak data salah dan bahkan data palsu. Lalu bagaimana menyikapinya. Pertama bahwa harus ada kesadaran arti penting data dan kemudian menyikapinya dengan sangat teliti. Itulah penelitian sejarah. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (120): Frank dan Sumber Data Hoax; Strategi Metode Taktik dalam Pengumpulan Data Penulisan Sejarah

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Apa itu frank? Masyarakat milenial sekarang kerap mendengar kata itu. Dalam pembuatan konten di video (Youtube) sejumlah youtuber melakukan tindakan skenario seorang-olah itu benar-benar secara alamiah terjadi. Ini tentu saja akan masuk ranah delik dat dan informasi dan dapat dikenal sanksi sesuai dengan undang-undang ITE (informasi dan transaksi elektronik). Dalam dunia akademik masalah serupa ini sudah lama dibicarakan yang disebut etik (etik penelitian, etik pers, etik seni dan sebagainya). Hukuman terhadap mereka yang secara sengaja dan sadar melakukan pelanggaran etik (termasuk plagiat) akan terkena hukum adat dunia akademik (jika di lingkuangan kampis, dosen yang melakukan akan diturunkan pangkatnya atau dikeluarkan, mahasiswa dianulir tulisannya dan dapat dikeluarkan).

Frank adalah soal etik tentang soal salah atau benar. Dalam dunia akademik salah adalah bersifat alamiah (tidak sengaja) tetapi dapat diperbaiki. Namu jika frank (sengaja menipu) dalam dunia transaksi elektronik tidak hanya dianjurkan untuk diperbaiki (dihapus dan dimaafkan) tetapi pengenaan hukum terus berjalan. Dalam dunia akademik penekanannya pada kebenaran, kejujuran dan keadilan (veritas, probitas, iustitia) sebagaimana motto yang diusung Universitas Indonesia yang sekarang. Karya-karya seni (sastra) seperti Karl May kita dapat terkecoh bagaimana dia bercerita seakan-akan kita percata dia pernah ke Amerika (Wild West). demikian juga Asmaraman Kho Ping Ho seakan-akan dia pernah ke Tiongkok. Nyatanyas kedua penulis itu tidak pernah sekalipun. Itu sah-sah saja, dan karena bersifat seni (sastra) mereka tidak menyebut sumbernya. Berbeda dengan artikel-artikel pada blog ini yang bersifat sains (akademik) banyak pembaca saya (termasuk diantara mereka wartawan) menyangka saya rajin ke perpustakaan (dalam arti teknis) padahal nyatanya saya tidak pernah ke perpustakaan, apalagi perpustakaan di Belanda. Saya hanya mengumpulkan data melalui internet (baik dalam bentuk peta, teks, foto maupun data digital video termasuk video drone, googlemap. Googleearth). Jadi, intinya dalam dunia informasi bukan terletak pada metode yang diterapkan tetapi pada norma akademik (kode etik). Frank adalah pelanggaran norma dalam pengumpulan data, dan hoax adalah pelanggaran norma dalam penyajian informasi. Dalam dunia penulisan sejarah, harus tetap waspada pada data yang bersumber dari frank dan hoax.

Lantas bagaimana sejarah frank dan hoax? Seperti disebut di atas, dalam membangun informasi sangat tergantung data. Dalam hal ini untuk mencapai kebenaran, kejujuran dan keadilan harus selalu dikedapankan. Data harus diteliti dan diverifikasi. Mengapa begitu? Karena data juga ada yang masuk kategori frank dan kategori hoax. Ketelitian yang dilandasi prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan dalam dunia informasi (termasuk dunia penelitian) harus tetap dijalankan, jika tidak ingin di bully, dianulir dan dihukum. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.