Tampilkan postingan dengan label Sejarah Jakarta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah Jakarta. Tampilkan semua postingan

Selasa, 15 Juni 2021

Sejarah Jakarta (119): Benteng Onrust dan Kasteel Batavia, Awal Koloni Belanda di Indonesia; Enam Benteng Pengawal Batavia

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Pelaut-pelaut Belanda berdagang di Hindia Timur sudah 20 tahun sejak 1597. Strategi yang digunakan adalah berdagang di pelabuhan-pelabuhan dengan mendirikan pos perdagangan dan ada yang mendirikan benteng atau menguasai benteng atas persetujuan pemimpin lokal (syahbandar atau raja setempat). Pada tahun 1617 mulai diinisiasi sarikat dagang Belanda di Hindia Timur yang disebut VOC dengan 17 anggota dewan (De Heeren Zeventien). Langkah pertama yang dilakukan yang dilaksanakan oleh Jan Pieterszoon Coen membangun benteng besar bagai istana (Kasteel Batavia). Untuk tujuan ini Kerajaan Jacatra diserang dan diduduki 1619 dan segera pembangunan benteng itu direalisasikan. Inilah awal koloni Belanda (VOC).

Sebelum, penyerangan Kerajaan Jacatra yang tidak bersedia kerjasama dan rencana pembangunan benteng, pelaut-pelaut dan pedagang-pedagang Belanda sudah memiliki benteng di Amboina sejak 1605 (setelah Laksamana van Hagen enyerang dan mednduki benteng Portugis). Lalu pada tahun 1610 pedagang-pedagang VOC di pelabuhan Banten mendapat izin dari Kesultanan Banten membangun benteng kecil. Selanjutnya pelaut-pelaut Belanda menyerang dan menduduki benteng Portugis di Solor dan Coepang (Timor) pada tahun 1613. Pos-pos perdagangan Benda sudah ada di pelabuhan lain seperti di Banda, Ternate, Makassar dan Bali. Untuk mengawal para pedagang-pedagang Belanda di seputar teluk Jakarta dibangun benteng di pulau Onsrust. Dala situasi dan kondisi inilah kemudian, untuk mengkonsolidasikan potensi perdagangan ini dibentuk sarikat dagang Belanda yang akan menjadi investor dan membiayai benteng-benteng. Pembangunan benteng Kasteel Batavia direncanakan. Untuk mendapatkan pertapakan (lahan) benteng itu, dari benteng pulau Onrust diserang Kerajaan Jacarta.

Lantas bagaimana sejarah benteng-benteng di Jakarta (baca: Batavia)? Seperti disebut di atas, setelah pelaut-pelaut Belanda memiliki benteng-benteng yang tidak penting, pada tahun 1619 benteng besar (Kasteel Batavia) dibangun. Istana Kasteel Batavia dalam wujud benteng dijadikan sebagai ibu kota (stad) di Hindia Timur. Untuk mengawal ibu kota di Kasteel Batavia benteng-benteng kecil dibanguan untuk mengawal Kasteel Batavia (terutama setelah serangan Mataram pada tahun 1628). Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 27 Mei 2021

Sejarah Jakarta (118): Zaman Kuno Bagian Barat Pulau Jawa, Seberapa Tua? Kerajaan Tarumanagara dan Sebaran Kepurbakalaan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini 

Kota Jakarta (tempo doeloe Jacatra, kemudian Batavia) berada di pulau Jawa bagian barat di muara sungai Ciliwung. Wilayah bagian barat pulau Jawa tidak hanya antara batas sungai Citarum dan sungai Cisadane, juga tidak hanya antara batas sungai Cimanuk dan sungai Cikandi, tetapi antara Banten yang berpusat di Kota Banten dan Cirebon yang berpusat di Kota Cirebun. Permulaan era Islam dimulai di kota Cirebon, Jakatra dan Banten. Lantas dimana era Hindoe Boedha dimulai? Lalu apakah ada era sebelum zaman kuno Hindoe Boedha?

Sebelum era Islam (di Cirebon, Jakarta dan Banten) pada era Hindoe Boedaha diduga kuat Kerajaan Pakwan-Padjadjaran yang masih eksis. Kerajaan Pakwan-Padjadajaran ini berpusat di hulu sungai Ciliwung (Kota Bogor) yang sekarang. Kuto kuno ini hancur dan ditinggalkan setelah serangan dari Banten. Sebelum terbentuk Kerajaan Pakwan-Padjadjaran, pada zaman kuno suda terdapat pusat-pusat peradaban seperri di muara sungai Kali Sunter (prasasti Tugu), di muara sungai Citarum (situs candi Batujaya dan situs Cibuaya, Karawang). Kawasan inilah yang diduga era Kerajaan Tarumanegara. Namun sebaran zaman kuno tidak hanya di seputar Jakarta, juga terdapat di muara sungai Cibanten (Banten), di pantai barat (Pandeglang) dan pantai selatan (Lebak dan Sukabumi) juga ditemukan tanda-tanda zaman kuno. Tentu saja di wilayah Cianjur yang terkenal (situs Gunung Padang). Satu lagi yang tidak bisa diabaikan adalah tanda-tanda zaman di wilayah hulu sungai Cisadane (Bogor Barat).

Sejarah zaman kuno di bagian barat pulau Jawa, tentulah sangat menarik dan memiliki tantangan sendiri jika dibandingkan di wilayah bagian tengah Jawa dan bagian timur pulau Jawa. Sejarah zaman kuno di bagian barat pulau Jawa pada masa kini terkesan kalah populer dibandingkan di tengah (situs Borobudur dan Prambanan) dan di timur (situs Singhasari dan situs Majapahit). Namun sejarah tetaplah sejarah. Sejarah zaman kuno di bagian barat Jawa memiliki sejarah tersendiri. Darimana dimulai memahaminya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 23 Februari 2021

Sejarah Jakarta (117): Banjir Jakarta Tidak Cukup Normalisasi. Rancangan Banjir Sejak Era Belanda, Apakah Perlu Dipertanyakan

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Banjir, banjir, banjir lagi. Ungkapan ini akan terus ada. Rancangan pengendali banjir di Jakarta sudah sejak lama final. Tidak butuh lagi rancangan baru. Rancangan baru di era Presiden Soekarno dengan membangun kanal Kali Malang sejatinya telah menabrak rancangan banjir yang sudah ada (sejak era Hindia Belanda). Alih-alih membangun banjir kanal timur (BKT), kanal Kali Malang justru kini telah menjadi beban dan menjadi satu faktor penyebab banjir masa kini. Pembangunan kanal BKT seakan hanya untuk melayani kanal Kali Malang (membuang anggaran dua kali).

Kanal Kali Malang dibangun pada tahun 1960an. Kanal ini dibangun sejatinya bukan untuk mengatas banjir besar yang terjadi beberapa tahun sebelumnya, tetapi hanya sekadar untuk menyediakan air bersih untuk Jakarta. Celakanya, Kanal Kali Malang telah membebani dalam penanganan banjir di Bekasi dan Jakarta. Kanal Kali Malang ingin menandingi kanal Banjir Kanal Barat (BKB) dari Manggarai ke Pejompongan, tetapi cara berpikirnya salah. Kanal BKB mengalihkan air dari dalam kota ke luar kota (ke Angke); sebaliknya kanal Kali Malang membawa air dari luar kota ke dalam kota. Celakanya lagi, kanal BKB dibangun dengan azas kanal di bawah permukaan air, sebaliknya kanal Kali Malang dibangun di atas permukaan air. Kanal BKB menjadi fungsi drainase, sedangkan kanal Kali Malang telah menghambat arus mata air (sungai) dari hulu ke hilir. Artikel ini adalah artikel lanjutan dari artikel Sejarah Jakarta (76): ‘Naturalisasi ala Anies Baswedan Solusi Banjir Jakarta? Pengendali Banjir Tempo Dulu, Kini Butuh Normalisasi’.

Kanal Kali Malang adalah satu hal. Hal lain soal banjir Jakarta adalah telah terjadi pelanggaran terhadap rancangan (desain) pengendali banjir yang sudah final dibangun di era Hindia Belanda. Pelanggaran yang terjadi sekarang bukan soal pembangunan BKT, tetapi abai terhadap pelestarian sistem pengendalian banjir yang sudah final tersebut. Solusi banjir pada masa kini bukan lagi model pembangunan kanal BKT yang mahal, tetapi dapat dilakukan dengan biaya murah dengan metode normalisasi yakni normalisasi terhadap desain banjir yang sudah ada. Kesimpulan ini sudah diakumulasi pada artikel Sejarah Jakarta (102): Banjir, Banjir, Banjir Lagi; Rancangan Pengendali Banjir Jakarta Sudah Lama Final, Hanya Perlu Normalisasi. Namun hasil analisis data sejarah terbaru, normalisasi tidak cukup tetapi juga perlu mempertanyakan apakah rancangan banjir di Jakarta yang dianggap final selama ini masih valid untuk masa kini. Bagaimana bisa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 15 Maret 2020

Sejarah Jakarta (116): Sejarah Duren Sawit, Pondok Bambu, Pondok Kelapa, Pondok Kopi; Kleinder Orang Malaka, Duren Sawit


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Nama kampong tempo doeloe, kini menjadi nama kelurahan dan kecamatan di Jakarta Timur: Duren Sawit. Kecamatan yang dibentuk tahun 1993 ini terdiri dari tujuh kelurahan, yakni: Pondok Bambu, Pondok Kelapa, Pondok Kopi, Malaka (Jaya dan Sari), Klender dan Duren Sawit. Keluruhan-kelurahan ini sebelumnya ada yang masuk kecamatan Jatinegara, kecamatan Bekasi Barat dan kecamatan Pondok Gede.

Jembatan Toll Kleinder (Peta 1775 dan Peta 1824)
Semua nama kelurahan di Kecamatan Duren Sawit adalah nama-nama kampong lama. Sebagai kampong lama akan berbeda dengan persepsi umum pada masa sekarang. Kampong Duren Sawit bukanlah berasal dari nama tanaman duren dan sawit. Sebelum tanaman sawit diimpor dari Amerika Selatan sudah ada nama kampong Duren Sawit. Nama kampong Duren Sawit merujuk pada perkampongan orang Jawa berasal dari Doeren Sawit. Demikian juga nama kampong Malaka merujuk pada perkmapongan orang yang berasal dari Malaka. Namun untuk tiga nama kmapong Pondok Bambu, Pondiok Kopi dan Pondo Kelapa sesuai namanya untuk mengidentifikasi nama kampong: terdapat pondok di kebun kopi, pondok di kebun kelapa dan pondok di hutan bambu. Lantas bagaimana dengan nama kampong Klender? Nama kampong Klender tidak mengacu pada kalender (penanggalan) tetapi lahan yang kecil (Kleinder Land).

Sebagai nama kampong lama, sejarah tujuh kelurahan di Kecamatan Duren Sawit ini memiliki sejarah sendiri-sendiri yang dapat ditelusuri ke masa lampau. Oleh karena itu, masing-masing nama kampong/kelurahan dibuat terpisah dalam artikel ini. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.