*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
Kota Jakarta (tempo doeloe Jacatra, kemudian Batavia) berada di pulau Jawa bagian barat di muara sungai Ciliwung. Wilayah bagian barat pulau Jawa tidak hanya antara batas sungai Citarum dan sungai Cisadane, juga tidak hanya antara batas sungai Cimanuk dan sungai Cikandi, tetapi antara Banten yang berpusat di Kota Banten dan Cirebon yang berpusat di Kota Cirebun. Permulaan era Islam dimulai di kota Cirebon, Jakatra dan Banten. Lantas dimana era Hindoe Boedha dimulai? Lalu apakah ada era sebelum zaman kuno Hindoe Boedha?
Sejarah zaman kuno di bagian barat pulau Jawa, tentulah sangat menarik dan memiliki tantangan sendiri jika dibandingkan di wilayah bagian tengah Jawa dan bagian timur pulau Jawa. Sejarah zaman kuno di bagian barat pulau Jawa pada masa kini terkesan kalah populer dibandingkan di tengah (situs Borobudur dan Prambanan) dan di timur (situs Singhasari dan situs Majapahit). Namun sejarah tetaplah sejarah. Sejarah zaman kuno di bagian barat Jawa memiliki sejarah tersendiri. Darimana dimulai memahaminya? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Kerajaan Tarumanegara: Situs Gunung Padang
Tarumanagara atau Kerajaan Taruma disebutkan sebuah kerajaan di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-5 hingga abad ke-7 M. Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindoe (aliran Wisnu). Nama kerajaan ini diduga merujuk pada nama sungai besar sungai Citarum. Di muara sungai ditemukan percandian di Batujaya dan di Cibuaya.
Keberadaan Kerajaan Tarumanegara dapat dikaitkan dengan penemuan sejumlah prasasti di wilayah bagian barat pulau Jawa seperti di Ciaruteun, di Pasir Koleangka (prasasti Jambu), di Kebonkopi, di Cilincing (prasasti Tugu), di Pasir Awi, di Muara Cianten, dan di Cidanghiang. Pada prasasti-prasasti ini menyebut nama (raja) Purnawarman. Prasasti tersebut di tulisa dalam aksara Pallawa bahasa Sanskerta. Prasasti-prasasti tersebut didukung dengan sejumlah temuan artfek-artefak. Keberadaan kerajaan Taruma ini juga dicatat dalam literatur Tiongkok.
Candi di Batujaya (Karawang) merupakan salah satu peninggalan zaman kuno yang penting. Candi tentu saja tidak hanya suatu pusat keagamaan tetapi dapat diartikan sebagai representasi suatu kota zaman kuno. Wilayah percandian ini diperkirakan sekitar lima Km2. Menur berbagai pendapat kota zaman kuno ini berada di suatu area GPS yang masih misteri. Namun tidak diketahui kapan candi-candi Karawang ini dibangun. Situs percandian lain juga ditemukan di Cibuaya (sekitar 15 Km di arah timur laut). Posisi GPS situs ini juga disebut simpang siur.
Tidak seperti di wilayah lain, situs Batujaya belum lama ditemukan atas laporan penduduk yang kemudian diteliti oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun 1984. Temuan ini berupa gundukan-gundukan tanah di tengah-tengah sawah. Sejak dilakukan ekskavasi tahun 1992 sampai dengan tahun 2006 telah ditemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan. Hingga tahun 2000 baru 11 buah candi yang diteliti (ekskavasi). Laporan Balai Penelitian Cagar Budaya (BPCB) Serang pada tahun 2014 menyebutkan ada 40 situs sisa bangunan (candi) yang ada di kawasan Batujaya. Pada tahun 2016 diketahui terdapat 62 gundukan dan 51 di antaranya terkonfirmasi memiliki sisa-sisa bangunan. Disebutkan lokasi candi ini dahulu merupakan danau atau rawa dan candi dibangun di tepian. Candi-candi di situs Batujaya disebutkan tidak utuh sebagaimana layaknya sebagian besar bangunan candi. Bangunan-bangunan candi tersebut ditemukan hanya di bagian kaki atau dasar bangunan, kecuali sisa bangunan di situs Candi Blandongan. Candi-candi yang ada sebagian besar masih berada di dalam tanah berbentuk gundukan bukit, dan wujudnya tidak memperlihatkan ukuran atau ketinggian bangunan yang sama. Berdasarkan analisis karbon artefak-artefak peninggalan di candi Blandongan, diketahui paling tua berasal dari abad ke-2 M dan yang paling muda berasal dari abad ke-12.
Sesungguhnya posisi GPS candi-candi tersebut mudah dijelas. Saya sudah menemukan posisi GPS geografi sekarang berbeda dengan situasi dan kondisi zaman kuno (lihat di berbagai artikel pada blog ini). Sejatinya posisi GPS candi-candi di Batujaya bukanlah di muara sungai Citarum. Lantas dimana? Di sebuah pulau.
Pada awal perdagangan ketika pedagang-pedagang dari India awalnya berlayar hingga Teluk Jambe (kota Karawang yang sekarang). Namun dalam perkembangannya pos perdagangan relokasi ke pulau yang baru (karena masalah kedalaman laut, tonasi kapal yang terus meningkat). Ketika pedagang-pedagang India membentuk koloni di pulau (dan membangun candi), maka era Hindoe-Boedha di mulai di kawasan tersebut. Situs Batujaya dan situs Cibuaya dapat dikatakan sebagai awal peradaban pada era Hindoe Boedha. Jika ada yang berasumsi adanya Kerajaan Taruma Nagara, maka kota candi di pulau inilah diduga pusat kerajaan (Taruma) tersebut bermula.
Diduga motif penyerangan ke Jawa (Taruma Nagara dan Kalingga) adalah untuk penaklukkan untuk mengontrol perdagangan di Jawa agar berorientasi ke timur (Tiongkok) daripada ke barat (India). Upaya ini tampaknya berhasil. Dalam perkembangannya Sriwijaka menjadi pusat perdagangan ke Tiongkok yang mana produk-produk Kerajaan Aru mengalir ke Tiongkok via pelabuhan Sriwijaya. Sebelum itu ibu kota Sriwijaya tidak lagi di Upang (Bangka) tetapi telah relokasi ke muara sungai Batanghari (Jambi). Kerajaan Aru dan Kerajaan Sriwijaya yang kaya menjadi dua diantara kerajaan-kerajaan yang akan diserang dalam invasi Kerajaaj Chola.
Dalam prasasti Tanjore 1030 disebutkan kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan Kerajaan Chola adalah Kadaram (Kedah), Sriwijaya, Panai (Kerajaan Aru) Maliyur (Malaka) dan Lamuri (di Aceh). Para pemimpin Kerajaan Aru yang tidak bersedia kerjasama di bawah pendudukan Kerajaan Chola diduga kuat telah melarikan diri dari sungai Barumun ke hulu sungai Kampar dan hulu sungai Batanghari. Sedangkan para pemimpin Sriwijaya melarikan diri ke hulu sungai Musi (untuk kedua kali ibu kota Sriwijaya relokasi dari Bangka ke Jambi dan ke Palembang). Invasi Chola tidak sampai ke Jawa (mungkin tidak perlu karena hanya vassal dari Sriwijaya).
Pasca pendudukan Chola, Kerajaan Aru dan Kerajaan Sriwijaya bangkit kembali. Satu diantara kerajaan-kerajaan di Jawa yang perkembangannya pesat adalah Kerajaan Singhasari (di bagian timur Jawa). Dalam perkembangan Kerajaan Aru ini, agama Hindoe (warisan pendudukan Chola) ditinggalkan dan kembali ke Boedha tetapi dengan sekte yang berbeda dengan Bodha di Sriwijaya. Sekte Boedha yang berkembang di Kerajaan Aru ini adalah sekte Bhairawa. Salah satu pendukung fanatik agama Boedha Batak sekte Bhairawa ini menurut Schinitger adalah Raja terkenal dari Singhasari, Kertanegara.
Umur Kerajaan Aru (Kerajaan Panai), long-long time, sejak dicatat di literatur Eropa pada abad ke-5 dengan pelabuhan ekspor kamper di Baroes (pantai barat Sumatra). Pelabuhannya di pantai timur Sumatra berada di Binanga (lihat prasasti Kedukan Bukit 682 M). Nama Kerajaan Panai (bersama Kerajaan Sriwijaya) dicatat pada prasasti Tanjore di India selatan 1030 M. Kerajaan Panai dicatat dalam prasasti Batugana di candi Bahal (dekat Binanga). Dalam prasasti Batugana juga dicatat nama (kerajaan) Dharmasraya (yang diduga sebagai vassal di hulu sungai Batanghari). Schnitger yang melakukan ekskavasi di sejumlah candi di Padang Lawas (1937) menyebutkan pendukung fanatik agama Boedha Batak sekte Bhairawa antara lain raja terkenal Singhasasari Kertenegara (meninggal 1298) dan raja Dharmasraya (Kerajaan Mauli) Adityawarman (meninggal 1375). Laporan Ma Huan dalam ekspedisi Cheng Ho (1403-1433) mengunjungi (kerajaan) Bata (Panai). Mendes Pinto (1537) mengunjungi ibu kota Kerajaan Aru Batak Kingdom. Peta-peta VOC (Belanda) mengindentifikasi nama Kerajaan Aroe, bahkan pada peta Pemerintah Hindia Belanda 1818 nama Kerajaan Aru masih diidentifikasi. Kerajaan-kerajaan tua sudah lama berakhir, seperti Singhasari (1292), kerajaan Sriwijaya memudar setelah serangan Majapahit, kerajaan Majapahit menurun sejak 1398 (hingga munculnya Kerajaan Demak). Pada saat kerajaan Demak berkembang, Mendes Pinto mengunjungi Kerajaan Aru (1537).
Pada saat Kerajaan Singhasari jaya-jayanya dengan Radja terkenal Kertanegara, Kerajaan Soenda di bagian barat pulau Jawa berkembang. Kerajaan Soenda pada era Majapahit terlibat perang dengan Kerajaan Majapahit (Perang Bubat). Suksesi Kerajaan Soenda (yang merupakan garis continuum dari era Tarumanagara) dikenal sebagai Kerajaan Pakwan Padjadjaran di hulu sungai Ciliwung. Pelabuhan Pakwan-Padjadjaran ini dicatat orang-orang Portugis sebagai pelabuhan Zunda dan adakalanya ditulis Zunda Calapa. Tome Pires (1511) masih mencatat nama Kerajaan Zunda (Pakwan Padjadjaran), namun Mendes Pinto (1539) mengunjungi Banten, Zunda Calapa (Jacatra) dan Demak. Sebagaimana diketahui Banten menyerang kerajaan Hindoe Pakawan-Padjadjaran (sisa terakhir kerajaan Hindoe di Jawa). Namun nama Zunda kadung sangat dikenal, pada awal era VOC orang-orang Belanda masih mencatat nama pelabuhan Sonda Kalapa dan menaimai selat antara Jawa dan Sumatra dengan nama Straat Soenda.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kerajaan Islam: Sebaran Tanda-Tanda Zaman Kuno Era Hindoe Boedha
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar