Kamis, 06 Maret 2025

Sejarah Diaspora (14): Orang Indonesia di Asia Tenggara; Filipina Thailand Singapura Vietnam K'boja Laos MalaysiaBurmaBrunai


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Diaspora dalam blog ini Klik Disini

Diaspora Indonesia di wilayah Asia Tenggara (ASEAN), secara budaya sebenarnya kurang tepat. Karena secara historis orang Indonesia sendiri sebagai bagian utama dari Asia Tenggara. Namun diaspora masa kini, yang dihubungkan dengan batas-batas negara, pengertian diaspora Indonesia menjadi mereduksi yang orang Indonesia di Filipina, Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos, Malaysia, Singapura, Burma dan Brunai. Untuk negara Timor Leste dan Papua Nugini dideskripsikan dalam artikel tersendiri.


Pada saat ini populasi wilayah Asia Tenggara (ASEAN) diperkirakan mencapai 680 juta jiwa. Indonesia memiliki jumlah penduduk terbanyak sebanyak 277 juta jiwa. Persentasinya sebesar 41 persen dari semua populasi  ASEAN. Populasi terbanyak kedua adalah Filipina sebanyak 117 juta jiwa. Lengkapnya adalah Vietnam sebanyak 98 juta jiwa; Thailand (71 juta jiwa); Myanmar (54 juta); Malaysia (34 juta); Kamboja (16 juta); Laos (7 juta); Singapura (6 juta); Timor-Leste (1.3 juta); Brunei Darussalam (0,45 juta jiwa). Sementara itu, pegguna Bahasa Indonesia di Indonesia sebanyak 269 juta ditambah sebanyak 5,2 juta di Asia Tenggara, 2,4 juta di wilayah Asia-Pasifik dan Afrika, dan 2 juta orang di wilayah Amerika dan Eropa. Asal usul Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu. Pengguna bahasa Melayu di Asia Tenggara sekitar 30 juta yang meliputi Malaysia, Singapura, Brunai dan Indonesia. Di Filipina pengguna bahasa Filipino sekitar 45 juta. Bahasa Filipino adalah standar dari bahasa Tagalog, dimana pengguna bahasa Tagalog sendiri sebanyak 28 Juta. Pengguna bahasa Thai di Thailand sekitar 55 juta dan pengguna bahasa Vietnam di Vietnam sekitar 70 juta. 

Lantas bagaimana sejarah orang Indonesia di Asia Tenggara? Seperti disebut di atas, dulunya wilayah Asia Tenggara dapat dikelompokkan sebagai wilayah tersendiri yang dibedakan dengan dengan Asia Selatan, Asia Timur, Australia dan Pasifik. Wilayah Asia Tenggara terdiri dari Indonesia,  Filipina, Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos, Malaysia, Singapura, Burma dan Brunai plus Timor Leste dan Papua Nugini. Lalu bagaimana sejarah orang Indonesia di Asia Tenggara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.


Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*. 

Orang Indonesia di Asia Tenggara; Filipina, Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos, Malaysia, Singapura, Burma dan Brunai

Sebelum tahun 1800 di wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia belumlah ada cikal bakal negara (suatu system pemerintahan). Yang ada adalah titik-titik koloni Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Prancis) di berbagai tempat. VOC/Belanda di wilayah Hindia Timur (kira-kira sebatas wilayah Indonesia sekarang) dinyatakan bangkrut pada tahun 1799. Properti VOC/Belanda di wilayah yang dimaksud diakuisisi Pemerintah Kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1800.


Saat Pemerintah Hindia Belanda (yang secara psikologis berada di bawah jajahan Prancis; karena kerajaan Belanda di bawah Prancis) belum sepenuhnya berhasil membentuk pemerintahan, dan baru sebatas di Jawa, Madura, Palembang dan Banjarmasin, dan sebagian Maluku, Inggris yang berpusat di Calcutta (India) menginvasi Jawa pada tahun 1811. Sebaliknya, Inggris belum sepenuhnya mampu menggantikan peran Pemerintah Hindia Belanda, karena eskalasi politik di Eropa dimana Inggris membebaskan Belanda dan dengan perjanjian, Pemerintah Hindia Belanda dipulihkan pada tahun 1816. Inggris yang sudah memiliki koloni di Bengkoloe sejak lama, dan kemudian disusul di Australia serta di pulau Penang, Inggris kemudian mendapatkan tambahan koloni baru di pulau Singapoera.

Wilayah Riau di awal Pemerintah Hindia Belanda menjadi penting karena sejak era VOC sudah terbentuk pos perdagangan yang penting di Rheo (pulau Bintang). Sejak kehadiran Inggris di Singapoera tahun 1819, Pemerintah Hindia Belanda segera menempatkan seorang komandan militer yang difungsikan sebagai Residen ditempatkan di Tandjoengpinang yakni Kapitein der artillerie Koningsdesffer (lihat Bataviasche courant, 17-02-1821).


Nama Rheo sebagai nama tempat sesuai orang Belanda merupakan nama lama Rio yang dirintis oleh pedagang Portugis di era VOC. Rio dalam bahasa Portugis adalah sungai, yang dalam hal ini nama Rheo berada di hilir suatu sungai di bagian dalam teluk pulau Bintan. Sebelumnya pemerintah Hindia Belanda telah membangun benteng di bagian luar teluk yang menjadi kedudukan Residen (area sekitar benteng inilah kemudian terbentuk kota Tanjung Pinang yang sekarang), Benteng ini diduga sebagai properti pertama Belanda di kawasan ini.

Lantas mengapa Pemerintah Hindia Belanda menempatkan residen di pulau Bintang? Boleh jadi hal itu karena sebelumnya Inggris telah membuat perjanjian dengan seorang pangeran di kawasan yang mengklaim pulau Singapoera. Lalu siapa pangeran yang telah membuat kesepakatan dengan Raffles di Bengkulu dan orang-orang Inggris di pulau Penang? Catatan: pulau Pinang sebelumnya di era VOC telah ditempati Inggris di atas kesepakatan dengan kerajaan Kedah (sejak 1785).


Opregte Haarlemsche Courant, 10-08-1819: ‘Dilaporkan dari pulau Prince Wales (baca: pulau Penang) pada tanggal 1 Maret bahwa Gubernur Inggris di Bencoolen, Stamford Raffles, belum menandatangani perjanjian yang telah disepakati dengan raja pribumi dalam pendirian pabrik (logement) Inggris di Singapura, kota pelabuhan lama orang Melayu, di sisi selatan semenanjung Malaka, timur kota dengan nama yang sama, di seberang pulau Sumatra; suatu tempat di mana orang Belanda sejauh ini belum pernah memiliki propertinya. Mereka (orang Inggris) ingin membuatnya disitu penting bagi perdagangan orang-orang China. Sir Raffles telah absen dari Bencoolen selama enam bulan terakhir, untuk melaksanakan negosiasi ini. Raffles sendiri baru saja berangkat lagi untuk mempromosikan perdagangan dan kepentingan politik di Aceh, sebelah utara Sumatra.

Setelah Ingereka.Setelah Inggris semakin menguat di pulau Singapoera, Inggris terus memperkuat kedudukannya dan memperluas wilayahnya. Satu yang ditawarkan Inggris dengan sekit memaksa adalah melakukan tukar guling antara wilayah Inggris di Bengkoeloe dan wilayah Belanda di Malaka.


Sebelum perjanjian Traktat London Mei 1824, beberapa bulan sebelumnya tanggal 27 November 1823 sudah dibentuk cabang pemerintahan sipil di Riau dimana Pemerintah Hindia Belanda yang diwakili Schout Mellvil van Carinbée melantik Sultan Djohor, Pahang, Lingga dan sekitar dan Trenggano sebagai statuta Riau menjadi partner pemerintah (lihat 's Gravenhaagsche courant, 21-06-1824). Tentu saja dengan adanya Traktat London maka wilayah Hindia Belanda hanya bagian Riau saja.

Dengan perjanjian Traktat London 1824, batas-batas wilayah yang dikuasasi Inggris semakin dipertegas dengan wilayah yang dikuasasi Belanda. Orang-orang Belanda sempat memprotes Inggris yang mengakuisisi pulau sungai Singapoera, tetapi nafsu Inggris untuk menguasasi pulau itu tidak terbendung. Orang Belanda mengangap pulau Singapoera adalah bagian wilayah Riau yang berada di bawah kekuasaan Belanda. Sebaliknya orang Inggris menyebut pulau Belitung adalah milik mereka.


Journal de la province de Limbourg, 19-05-1824: ‘Hal ini mengakibatkan pengecualian pada perdagangan grosir, sistem maritim yang sangat liberal telah diadopsi, dan ketentuan dibuat di kedua belah pihak untuk mencegah segala prasangka terhadap hak-hak yang telah ditetapkan; bahwa pada masa lalu, perdagangan linen sangat diminati karena memiliki tanah di Bengal, tetapi cabang industri ini mengalami penurunan di koloni-koloni Inggris sendiri, sehingga Inggris memutuskan untuk mengirim linen ke Hindia kapas yang diproduksi di Eropa untuk dijual, dan para pedagang serta produsen di negara kita yakin mereka harus mengikuti contoh ini; bahwa Malaka telah kehilangan semua kepentingannya bagi kita sejak Inggris memiliki tempat di Poelo-Pinang dan khususnya di Singa-Poera; bahwa protes memang telah dilakukan terhadap pendirian yang terakhir ini (Singa-Poera), tetapi keputusan mengenai pokok hukum ini akan menjadi lebih sulit karena Inggris masih mengumumkan klaim atas Billilon, yang kepemilikannya sangat penting untuk eksploitasi tambang timah Banka. Kita harus yakin, dari pertimbangan-pertimbangan ini, bahwa pengabaian negara-negara ini dikompensasi secara memadai oleh perolehan kepemilikan Inggris di pulau Sumatera, dan oleh konsolidasi eksklusif otoritas dari Belanda di pulau ini, yang pasti memberikan peningkatan nilainya ke Palembang, Padang, dan Lampug. Dalam pertukaran nota menteri, utusan Inggris, Tuan Canning dan Tuan Wynn menyatakan bahwa mereka mematuhi pernyataan bersahabat dari pemerintah Belanda dan pandangan mencerahkan dari Yang Mulia Raja kami, dan siap untuk mengakhiri pertikaian. yang sebagian besar terjadi melalui karyawan yang tidak bijaksana; Mereka menyatakan keyakinannya bahwa dari perjanjian ini tidak akan ada persaingan lain antara kedua bangsa di Hindia Timur, selain dari mempertahankan sistem kebijakan liberal, yang telah mereka anut melalui perjanjian yang sama di seluruh dunia.

Sejak Traktat London 1824, Inggris telah menarik pagar (sabuk pengaman) dengan membentuk administrasi tunggal yang disebut wilayah The Stratsettlement (bagian dari wilayah administrasi Inggris yang berada di Calcutta, India). Pada tahun 1867, The Stratsettlement berada di bawah otoritas langsung Inggris (sebagaimana Ceylon dan Australia) dengan menempatkan seorang Gubernur di Penang. Sejak inilah Inggris, di luar wilayah Malaka plus pulau Pangkor secara bertahap menginvasi wilayah lainnya di Semenanjung Malaya. Perebutan kekuasaan dan penguasaan wilayah antar para pemimpin local di wilayah Semenanjung dan untuk mengukuhkan kedudukan mereka mulai meminta perlindungan kepada Inggris (terbentuknya protektorat). Yang pertama diantaranya adalah wilayah Perak wilayah sungai Oedjoeng dan wilayah Selangor tahun 1874.


Pada bulan September tahun 1872 dilaporkan di Semenanjung bagian barat terjadi peperangan antara dua kubu yang berbeda (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-10-1872). Salah satu pihak meminta bantuan kepada orang Inggris yang dipimpin oleh JG Davidson untuk meredakan. Disebutkan dalam perang ini terlibat orang Mandailing yang dipimpin oleh Sutan Puasa di Kwala Loempor untuk membantu kubu Raja Mahdi melawan pasukan raja muda Selangor.  Kaptein Hagen di Nederlandsch Indie (baca: Indonesia) dikenal sebagai Letnan Hagen. Hagen adalah seorang tentara buronan (desersi) dan telah terdeteksi sebagai kapten kedua dari Raja Muda Selangor yang diberi gaji 100 dollar per bulan yang baru-baru ini memimpin suatu ekspedisi (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 16-05-1872). Hagen terbunuh pada 3 Oktober tahun sebelumnya (1872) oleh O. K. van Malaka, dan bahwa dia membela benting. penjaga yang diberikan kepadanya oleh Raja Selangor (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-05-1873). Dalam perang itu Kampong Kwala Lompoer hangus terbakar (pada saat ini di sekitar Merdeka Square Kuala Lumpur). Kubu Mahdi kalah. Sutan Puasa menyingkir dari Kuala Lumpur. Benteng terakhir Sutan Puasa berada di Bukit Nenas (Bukit Gombak). Catatan: yang pertama menempati wilayah kosong Koeala Loempoer adalah orang-orang Angkola Mandailing sejak 1850an. Dalam hal ini pendiri kota Koeala Loempoer adalah orang-orang Angkola Mandailing dari pantai timur Sumatra (Tapanoeli). Sutan Puasa adalah kakek buyut dari penyanyi legenda Malaysia Sheila Madjid.

Setelah menjadi protektorat, Inggris menempatkan seorang Residen Mr. Birch di Perak di Taiping Namun baru satu tahun bertugas, Mr. Birch terbunuh. Sejak itu kedudukan Residen ditempatkan di Koealaloempoer (Selangor). Jumlah wilayah yang berada di bawah protektorat Inggris semakin banyak seperti Pahang, Kelantan, Trengganu dan Kedah setelah dibebaskan dari cengkraman Siam dan yang terakhir Negeri Sembilan pada tahun 1889. Foto: Rumah/Kantor Residen di Koeala Loempoer (1883)

 

Jamaes Brooke memulai karir di angkatan laut, namun kemudian berhenti dan menjadi pedagang di Tapanoeli pantai barat Sumatra. Oleh karena situasi politik, Brooke gagal dan kemudian tahun 1838 melakukan pelayaran ke Borneo Utara. Saat itu terjadi pemberontakan di Brunai dimana Raja Brunai meminta bantuan James Brooke. Untuk membalas jasa itu Raja Brunai menghibahkan wilayah Serawak bagi Brooke yang kemudian menjadi Radja Serawak. Pada tahun 1847 pemerintah Kerajaan Inggris mengangkat James Brooke sebagai gubernur dan menjadi Konjen Inggris di Labuan. Pada tahun 1863 dibuat perjanjian perbatasan antara Hindia Belanda dan Serawak di Borneo antara Inggris Raya dan Belanda yang diwakili oleh antara Pemerintah Hindia Belanda degan kerajaan Serawak yakni Gubernur Jenderal Baron Sloet tot de Beele dan Raja (putih) Serawak James Brooke. Perjanjian itu dibuat dalam empat bahasa Inggris, Cina, Melayu dan Hindustan (lihat Leydse courant, 06-01-1865). James Brooke meninggal tanggal 11 Juni 1868 dan sebagai Rajah digantikan oleh keponakannya Charles Johnson Brooke. Hubungan penguasa Inggris dan Kerajaan Brunai yang tetap terjaga, dan kehadiran orang-orang Inggris di Serawak menjadi sangat dominan lalu kemudian pada tahun 1875 seorang pedagang Inggris Baron von Overdeck mendapat konsesi dari Raja Brunai untuk menguasai wilayah timur Borneo Utara. Pada tahun 1878 Baron von Overdeck melakukan negosisi dengan Sultan Broenai dan Sultan Sulu untuk memastikan wilayah konsesi di sudut Kalimanan di timur Brunai dan di barat Kepulauan Sulu (lihat De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 05-03-1878). Berhasilnya negosiasi Overdeck dengan Sultan Brunai dan Sultan Sulu yang mana perjanjian ditandatangani dihadapan Gubernur Inggris di Labuan, maka dengan sendirinya orang-orang Inggris akan sepenuhnya mulai mengadministrasikan dua wilayah Maharadja Sabah dan Radja Sandakan di dalam satu unit pemerintahan di bawah Inggris. Orang Inggris menyebut wilayah tersebut Bristish Noord Boerneo (kelak nama ini digantikan nama Sabah). Dalam hal ini tiga wilayah di Kalimantan Utara (Brunai, Serawak dan Sabah/Bristish Noord Borneo) secara tidak langsung berada di bawah protektorat Inggris. Orang-orang Belanda di Kalimantan semakin gigit jari tidak hanya kehilangan pulau Singapoera dan Malaka tempo doeloe, kini wilayah Borneo Utara. Pada tahun 1886, koloni baru Kepulauan Cocos dan pulau Natal di selatan Jawa ditambahkan kepada administrasi di wilayah The Stratsettlement (Wilayah yang langsung di bawah otoritas Inggris—non protektorat).

Pada awal kehadiran Inggris di Semenanjung Malaya, produk yang diusahakan adalah pertambangan timah terutama di Perak (dengan mendatangkan tenaga kerja dari Tiongkok). Seiring dengan kehadiran pejabat-pejabat Inggris di pedalaman dimana Residen berkedudukan di Koealaloempoer yang dibantu pegawai-pegawai dari India dan polisi-polisi kaum Sikh, maka usaha perkebunan mulai ditingkatkan, diperluas dan mendatangkan investor-investor Inggris maupun dari negara lain. Kebutuhan tenaga kerja semakin meningkat didatangkan dari Tiongkok dan India. Pada tahun 1894 polisi Sikh yang bersenjata yang tersebar di wilayah Semenanjunh sudah mencapai 685 orang. Sementara imigran baru dari Cina terus mengalir, populasi orang Cina di Semenajung terus meningkat dan telah mencapai sebanyak 47.000 orang.


Sehubungan dengan sistem pemerintahan yang diterapkan Inggris di Semenanjung Malaka (berbeda dengan di Hindia Belanda), kedudukan kerajaan (kesultanan) tetap dipertahankan, maka kumpulan (federasi) dibentuk. Istilah federasi ini (federated Malaysia) paling tidak sudah teridentifikasi pada tahun 1902 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 06-11-1902). Dalam hal ini nama federasi dari sisi Inggris disebut Malaysia sedangkan dari sisi penduduk tempatan disebut Malaya. Dalam perkembangannya Malaysia sebagai suatu kawasan orang pengguna bahasa Melayu (Maleisch) mereduksi menjadi kawasan yang terbatas yang disebut Maleisch Schiereiland (Semenanjung Malaya). Orang-orang Belanda (di Hindia Belanda) tidak menulisnya Maleisch Schiereiland tetapi Malaka Schiereiland (lihat Soerabaijasch handelsblad, 09-09-1905). Boleh jadi ini karena Pemerintah Hindia Belanda berada di Malaka dan melepaskannya kepada Inggris pada tahun 1824 (tukar guling dengan Bengkoelen di Sumatra).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Filipina, Thailand, Vietnam, Kamboja, Laos, Malaysia, Singapura, Burma dan Brunai: Sejak Keberadaan Eropa (Portugis, Belanda, Spanyol, Inggris dan Prancis)

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar