Senin, 03 Maret 2025

Sejarah Diaspora (12): Orang Indonesia Ada di Tiongkok? Hubungan Tradisional Antara Pantai Timur Tiongkok dan Bumi Nusantara


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Diaspora dalam blog ini Klik Disini

Tiongkok terhubung dengan Indonesia (baca: nusantara) sejak masa lampau di zaman kuno. Catatan Tiongkok dinasti Han pada abad ke-2 menunjukkan kehadiran utusan (duta besar) dari Laut Selatan (yang diduga dari Sumatra) ke Peking. Nama-nama tempat di Sumatra dicatat dalam kronik Tiongkok pada abad ke-6. Besar dugaan orang nusantara lebih dulu ke Tiongkok daripada orang Tiongkok ke nusantara. Mengapa?


Intip Kampung Indonesia di China, Penghuninya Setia Lestarikan Budaya Nusantara. Annastasya Rizqa. Okezone. Travel. 10 Agustus 2023. Di China ada Kampung Indonesia dan penghuninya orang-orang dari Nusantara. Letaknya di Kota Yingde, Donghua, Provinsi Guangdong. Penduduknya rata-rata masyarakat Indonesia berdarah Tionghoa yang "kembali" ke China setelah peristiwa berdarah yang disponsori Badan Intelijen Amerika Serikat atau CIA pada 1965 di Indonesia. Mereka ke China dan melanjutkan hidup dengan membentuk permukiman bernama Kampung Indonesia. “Jadi mereka orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia, kemudian kembali ke sini karena berbagai alasan,” kata Rudy Chen. Dalam video yang diunggah Rudy Chen, mnereka sudah menetap di China sejak tahun 60-an. Mereka semua masih fasih berbahasa Indonesia. Mereka memperkenalkan diri menggunakan bahasa Indonesia ada yang berasal dari Malang, Cianjur hingga Aceh. Wu Jiannan dari Aceh masih hapal menyanyikan lagu Indonesia Raya. Wu Jiannan dari Indonesia ke China menempuh perjalanan jalur laut selama 7 hari 7 malam tahun 1967. Mereka juga masih membudayakan kuliner seperi kue dadar, klepon hingga kue lapis (https://travel.okezone.com). 

Lantas bagaimana sejarah orang Indonesia di Tiongkok? Seperti disebut di atas, dalam hubungan migrasi timbal balik modern, hubungan tradisional antara pantai timur Tiongkok dan Indonesia di Nusantara sudah terbentuk sejak zaman kuno. Lalu bagaimana sejarah orang Indonesia di Tiongkok? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Orang Indonesia di Tiongkok; Hubungan Tradisional Antara Pantai Timur Tiongkok dan Indonesia di Nusantara

Motivasi orang Indonesia ke negara-negara Asia Timur awalnya berbeda-beda. Ke Taiwan karena alasan navigasi pelayaran perdagangan di masa lampau; ke Jepang karena alasan kebutuhan guru-guru bahasa Melayu/Bahasa Indonesia di masa Pemerintah Hindia Belanda. Bagaimana dengan tujuan negara Tiongkok? Pada masa modern, awalnya karena tempat transit ke Rusia (via Shanghai), tetapi dalam perkembangannya karena alasan nasib yang sama: sama-sama dalam perjuangan mengentaskan rezim berkuasa dengan mengusung ideologi baru (komunis).


Pada masa lampau di zaman kuno, orang Indonesia di era nusantar, dari Sumatra ke pantai timur Tiongkok dalam navigasi pelayaran perdagangan. Sumatra kaya dengan sumber daya alam (emas, kamper, kemenyan. Puli, gading dsb) yang dipertukarkan dengan produk industry Tiongkok seperti kerajian bahan logam, keramik dan kain. Demikianlah yang tercatat dalam kronik Tiongkok abad ke-2 dinasti Han dimana utusan raja Yah-teio (Sumatra) menghadap kaisar Tiongkok di Peking dalam maksud untuk membuka pos perdagangan di (laut) selatan. Pada abad ke-6 dalam kronik Tiongkok dicatat nama-nama tempat di Sumatra seperti Pa-lus-se (Barus?), Ti-kui (Tiku?), Pan-tiu (Panti/), Pe-song (Hapesong atau Sipisang?) dan lainnya. Nama-nama tersebut diduga merupakan sentra/pelabuhan emas, kamper dan kemenyan. Pada abad ke-7 dalam kronik Tiongkok dicatat nama I’tsing yang singgah di Sumatra dalam pelayarannya ke Nalanda (di India) untuk mempelajari (ajaran) Boedha. Sejak ini diduga orang-orang Tiongkok semakin intens berlayar dari Canton di pantai timur Tiongkok ke pulau-pulau selatan (Nusantara). Ekepedisi Mongol (Kubilai-khan) ke Jawa pada akhir abad ke-14 dan kemudian disusul kehadiran orang Tiongkok di nusantara yang dicatat oleh Ma Huan dalam ekspedisi Chengho pada awal abad ke-15. Beberapa tempat yang dicatat Ma Huan berada di Sumatra seperti Pa-lim-pang (Palembang), A-lu (Aroe Batak Kingdom), dan Su-men-ta-la (Sungai Karang atau Samudra), serta Man-la-ka (Malaka di Semenanjung?). Pada awal kehadiran pelaut-pelaut Eropa di Hindia Timur (nusantara) tahun 1509-1511 dalam catatan-catatan pelaut Portugis menemukan pedagang-pedagang Cina di Malaka. Dalam laporan seorang Portugis (Mendes Pinto) pada tahun 1537 Aroe Batak Kingdom menjadikan pedagang-pedagang Cina sebagai penjaga maritim di sepanjang pantai timur Sumatra. Dalam hal ini, konon nama Cina diberikan orang Sumatra sebagai Sina (S-ina), Sinai (S-ina-i) yang kemudian dicatat pelaut-pelaut Portugis sebagai Kina (K-ina) sebagaimana Tainan (Taiwan) dan Hainan. Orang-orang Tiongkok memiliki nama sendiri yakni Tiongkok. Lalu terakhir pelaut-pelaut Inggris mengeja Sina atau Kina menjadi China (dan orang Indonesia kemudian mengejanya dengan nama Cina). Dalam hal ini juga, boleh jadi nama Thursina (tor sina?) di Mesir (Sinai) diberikan oleh orang-orang nusantara. Ina dalam bahasa Austronesia (nusantara) adalah ibu. Seperti kita lihat nanti. pada era era VOC/Belanda hingga era Pemerintah Hindia Belanda semakin masif orang Cina ke Indonesia. 

Pada tahun 1921 seorang Indonesia, bernama Samaoen tiba di Shanghai Shanghai (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 10-11-1921). Kehadiran Samaoen di Shanghai karena sudah ada temannya seorang Belanda, Henk Sneevliet di Shanghai (propagandis komunis Internasional/Moskow di Timur Jauh). Tujuan utama Samoen singgah di Shanghai dalam perjalanan ke Vladivostok menuju Moskou (Rusia). Setelah tujuh bulan di Moskou, Samaoen kembali ke tanah air (di Soerabaja) melalui Shanghai (lihat De standaard, 31-05-1922).


Shanghai adalah kota utama di pantai timur Tiongkok bagian selatan (dekat dengan nusantara). Pada zaman kuno, kota utama berada di Canton. Dalam kronik Tiongkok pada abad ke-7 (628) selain ada perkampongan orang-orang selatan (nusantara) di Canton juga terdapat tiga kampong yang didirikan oleh para pelaut/pedagang Arab. Pada tahun 1516 pelaut-pelaut Portugis mendirikan pos perdagangan (benteng) di suatu pulau kecil di muara sungai Canton. Nama Shanghai sendiri masih terbilang baru, paling tidak baru terinformasikan pada tahun 1842 (lihat Javasche courant, 01-10-1842). Pada masa ini tiga nama penting adalah Canton, Shanghai dan Amoy. Pengganti nama kota utama Canton kelak adalah Guangzhou. Shanghai berada di pantai timur Tiongkok antara Canton di selatan dan Peking di utara (nama Peking pada masa ini lebih dikenal sebagai Beijing). 

Pada tahun 1923 ini Semaoen ditangkap dan ditahan di dalam penjara. Sementara Tan Malaka, yang diasingkan ke Belanda kemudian diketahui sudah berada di Moskow. Selepas dari penjara, kemudian diketahui Semaoen berangkat ke Shanghai. Dalam “kongres buruh angkutan di kawasan Pasifik” yang pertama di Canton pada bulan Juni 1924 turut dihadiri delegasi dari Jawa (Samaoen?


Konferensi Pan-Pasifik yang diadakan di Canton, atas inisiatif Serikat Buruh Merah Internasional (Profintern), mempertemukan perwakilan pekerja transportasi dari Cina Utara dan Selatan, Jawa, dan Filipina. Dalam kongres ini diputuskan untuk mendirikan kantor di Canton, yang akan menaungi sekretariat untuk Tiongkok, Indonesia, Filipina, Jepang, dan India.

Pada bulan Desember 1924, diadakan Kongres di Koetagédé (Jogjakarta) yang diselenggarakan oleh Partai Komunis Hindia Belanda. Lalu, pada tahun 1925 sejumlah orang Indonesia berangkat ke Shanghai yakni Tan Malaka, Sanoesi, dan Mandojono. Besar dugaan Tan Malaka ke Shanghai berangkat dari Canton (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 30-06-1924). Disebutkan Tan Malaka bekerja dengan Dr Sun Vat Sen di Canton.

 

Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 20-06-1925: ‘Tan Malaka, Sanoesi dan Mandojono semuanya memilih arah yang sama, selalu dengan suatu kepastian yang menimbulkan kecurigaan bahwa perjalanan mereka sama sekali bukan suatu usaha yang penuh risiko. Tuan-tuan tersebut, seperti diketahui, akan pergi ke Shanghai. Apa yang mereka lakukan di sana tidak diketahui secara resmi. Yang pasti tujuan mereka adalah untuk berhubungan dengan pemimpin-pemimpin lain dan dari sana terjalinlah hubungan yang terus-menerus dengan apa yang sebelumnya disebut Gerakan Merah di Hindia. Mandojono, sebagaimana terdengar dari luar, pertama-tama pergi ke Penang untuk melakukan kontak dengan elemen merah di sana, lalu pergi ke Bangkok, di mana, menurut kantor berita Alpena, ia menemukan koloni Jawa dan berbicara dengan beberapa pemimpin komunis, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Cina. Terungkap bahwa salah satu pamflet yang, menurut Reuter, didistribusikan di Shanghai, baru-baru ini diambil alih oleh organ komunis Hindia dan tempat lain. Cukup pasti bahwa para pemimpin pribumi di Shanghai sedang mencoba untuk menghubungi organisasi propaganda Soviet (yang tampaknya juga telah dicoba dengan sukses oleh Semaoen pada saat itu) dengan harapan bahwa dengan demikian mereka akan memiliki dana yang dapat digunakan untuk membiarkan Jawa berbagi manfaat dari propaganda ini.

Setelah beberapa lama di Shanghai, para pemimpin komunis Indonesia tersebut kembali ke tanah air. Pada bulan Juli dan Agustus terjadi beberapa pemogokan di tempat berbeda. Pada bulan November 1925 di Tanah Tinggi di Batavia diadakan suatu pertemuan di bawah presidium Tan Malaka. Pemerintah segera merespon dengan mengeluarkan instruksi pelarangan berkumpul di Jawa dan Madoera, Sumatra dan Sulawesi tanggal 17 November 1925.


Sementara ada yang dikirim ke semua provinsi di Jawa untuk memberikan informasi, Soegono dan Boedi Soejitro telah melakukan perjalanan ke Canton. Antara Indonesia dan Seksi seksi Singapura diadakan kontak terus-menerus. Lalu pada bulan Juli 1926 di Singapoera diadakan pertemuan sejumlah rokoh seperti Semaoen, Tan Malakka, Moeso, Alimin, Soebakat dan Wardono. Dari Singapoera muncul perintah untuk mengadakan pengumpulan dana di Jawa guna membeli senjata, yang dihentikan pada bulan Agustus ketika dianggap sudah cukup uang.

Setelah beberapa lama kemudian, pada bulan November 1926 terjadi permberontakan komunis di Jawa. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republic di wilayah Indonesia. Namun rencana aksi ini terendus di Jawa Tengah dan gagal meledak karena berhasil diamankan (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-11-1926). Sementara itu di bagian barat Jawa Barat (Banten) aksi dapat berjalan (namun segera dapat dipadamkan). Lalu para pemimpin PKI melarikan diri ke luar negeri seperti Alimin, Moeso dan Darsono serta Tan Malaka. Lantas kemana mereka pergi?


Yang jelas, Shanghai adalah pos terdepan komunis internasional di Timur Jauh. Pos ini telah dirintis oleh Henk Sneevliet setelah dirinya diusir dari Indonesia pada tahun 1918. Henk Sneevliet adalah Kamerad pertama di Asia Timur. Pada kongres dunia kedua (1919), Sneevliet diangkat sebagai "propagandis untuk Timur Jauh. Kedudukan Shanghai juga menjadi penting karena menjadi hub untuk komunis di Indonesia. Dalam hal inilah Samaoen, Tan Malaka dan lainnya menjadi penting. Keduanya diketahui telah mahir dalam berbahasa Mandarin. Oleh karenanya para pemimpin komunis Indonesia memperoleh hubungan dengan Uni Soviet dari Shanghai melalui Singapura.

Samaoen dan Tan Malaka adalah dua matahari komunis Indonesia. Samaoen adalah tokoh komunis utama di Indonesia, sementara di Belanda tokoh komunis utamanya adalah Wijnkoop. Henk Sneevliet begitu dekat dengan Samaoen karena keduanya berada di jalur komunis yang sama (Asia Timur termasuk Indonesia). Dalam Kongres Kelima Komunis Internasional di Moskow pada tahun 1924 yang juga turut dihadiri Wijnkoop dan Samaoen, keduanya sempat memiliki pendapat yang berbeda.


Dalam Kongres Prancis, Wijnkoop menggembar-gemborkan peran penting yang dimainkan seksi Belanda dalam pembebasan Hindia dari cengkeraman kapitalisme! Belanda adalah negara kecil dengan penduduk yang tenang namun mengesankan yang tahu apa yang mereka lakukan! Akan tetapi, Samaoen dengan reaktif menolak pujian itu dan dalam pidato teatrikalnya memberikan penghormatan kepada Rusia yang banyak dipujinya, yang ia junjung sebagai contoh bagi rekan-rekan sejawatnya di Belanda. Dengan kata lain, Komunis Indonesia di tanah mereka sendiri dan mereka mengikuti perintah dan saran Moskow. Memang ada namanya orang Belanda Henk Sneevliet, tetapi Sneevliet adalah perintah Moskow di Shanghai untuk Asia Timur termasuk Indonesia. Sebagaimana diketahui Komite Eksekutif "Komintern" dipilih oleh Kongres Komunis Dunia, yang merupakan "badan utama Komunis Internasional dari kongres ke kongres" dan memberikan "pedoman yang mengikat" bagi semua organisasi dan partai yang tergabung dalam "Komintern" di semua negara di dunia, sementara "jika perlu" Komite ini akan meminta bantuan "biro teknis dan biro pembantu lainnya yang sepenuhnya berada di bawah Komite Eksekutif untuk melaksanakan aksi di berbagai negara". Posisi "Komintern" adalah memaksa kaum Komunis di seluruh dunia untuk mendirikan organisasi Komunis ilegal di samping organisasi-organisasi yang legal, dan bahwa Komite "diwajibkan untuk memastikan bahwa hal ini secara praktis terealisasi di mana-mana". PKI Indonesia bergabung dengan "Internasional Ketiga" di Moskow. Syarat-syarat untuk diterima menjadi anggota Komunis Internasional" yang ditetapkan pada Kongres Dunia Kedua Komintern tahun 1920. Yaitu: "Dalam masalah koloni dan bangsa-bangsa tertindas, diperlukan posisi yang sangat pasti dan jelas dari partai-partai di negara-negara yang kaum borjuisnya menguasai koloni dan menindas bangsa-bangsa lain. Setiap partai yang ingin bergabung dengan Internasional Ketiga wajib mengungkap kejahatan kaum imperialisnya dan mendukung setiap gerakan pembebasan tidak hanya dengan kata-kata tetapi juga dengan tindakan. Ia harus menuntut pengusiran sesama imperialisnya dari koloni-koloni ini ... dst. dst. "dan melakukan agitasi sistematis di antara pasukan-pasukan negaranya untuk menentang segala penindasan terhadap rakyat kolonial." Sahut menyahut antara Belanda (Wijnkoop) dan Indonesia (Semaoen) mengerujut menjadi: Program komunis Belanda mencakup prinsip kemerdekaan mutlak Hindia Belanda. Komunis Belanda akan melakukan apa saja yang bisa untuk memperkenalkan Bolshevisme ke wilayah koloni; sebaliknya, Semaoen, utusan komunis di Jawa. telah membuat tuduhan keras terhadap partai Belanda, yang menurutnya, komunis Belanda terlalu lemah untuk mendapat dukungan kuat. Semaoen di dalam kongres meminta Kongres untuk menyusun rencana terperinci mengenai kudeta di Hindia Belanda (lihat De Telegraaf, 16-11-1926).

Sementara Tan Malaka di Canton menulis brosur berjudul Republik Indonesia yang kemudian di dicetak di Canton pada bulan April 1925 dan kemudian dicetak ulang di Tokyo pada bulan Desember 1925. Salah satu kelihaian Tan Malaka disebutkan, meski masuk dalam daftar pertama dalam pencarian orang, namun kerap pulang ke tanah air dengan penyamaran. Disebutkan Tan Malaka sudah beberapa kali pulang bahkan ke kampong halamannya, Pajakombo dengan cara menyamar yang baik. Sebagaimana Samaoen, banyak yang berpendapat Tan Malaka yang fasih berbahasa Mandarin dengan mudah menyembunyikan dirinya di antara orang-orang Cina di Indonesia yang bahkan dalam penyamaran muncul sebagai pedagang kaki lima Cina yang fasih berbahasa Mandarin.


De Indische courant, 11-12-1926: ‘Tan Malaka dan Alimin. Surat kabar Bintang Timoer mengetahui bahwa komunis ekspatriat Tan Malaka, yang berhasil memasuki Hindia Belanda dan memimpin pertemuan rahasia pada bulan November 1925 di Tanah Tinggi dekat Batavia, di mana rencana pemberontakan disusun, kini berpakaian seperti orang Tionghoa, dengan kuncir kuda (paké tauwtjang), berjalan-jalan dan menetap sebagai tukang kayu di Soeliki dan Pajakombo. Ngomong-ngomong, dia orang Minangkabau, nama aslinya Da Toek Tan Malaka dan berasal dari Soeliki. Alimin, mantan anggota dewan P.K. Saya, yang tinggal di Singapura pada bulan Juli tahun ini, menurut surat kabar yang sama, menikah dengan seorang wanita Tionghoa, seorang guru di Hong Kong. Akan tetapi, kami mengetahui dari sumber yang dapat dipercaya bahwa kedua laporan itu tidak benar, karena Tan Malaka sedang dalam perjalanan ke Moskow, sementara Alimin berada di Canton (AID). 

Pada tahun 1927 nama Samaoen terinformasikan di Moskow telah terpilih sebagai anggota dewan "Internationale". Samaoen kemudian berada di Canton. Samaoen yang sudah akrab dengan Shanghai dikabarkan Samaoen telah menikah dengan perempuan Cina di Canton dengan mengidentifikasi dirinya dengan nama Ma Oen. Tampaknya Samaoen di Cina sebagai perwakilan Moskou (seorang Kamerad).

 

De Indische courant, 05-02-1927: ‘Dimana Semaoen? Beberapa hari yang lalu kami membaca di salah satu surat kabar Hindia sebuah laporan, yang diambil dari surat kabar Eropa, yang mengumumkan bahwa "Samaoen (Moskow)" telah terpilih sebagai anggota dewan "Internationale" di masa mendatang. Kami mengetahui dari sumber yang dapat dipercaya, menurut Preanger Post, bahwa Samaoen telah berada di Kanton selama berbulan-bulan dan telah memainkan peran aktif dalam aksi ekstremis di kota itu. Dia kemungkinan seorang misionaris Moskow. Samaoen mengubah namanya di Kanton dan memberinya sedikit nuansa Cina. Ia dikenal di Canton dengan nama "Ma Oen" dan juga menikah dengan seorang wanita muda Tionghoa dengan nama yang sama, yang tentu saja berkulit merah terang. Informan kami tidak dapat memberi tahu kami apakah Samaoen dinaturalisasi sebagai warga negara Tiongkok, tetapi mengingat perubahan namanya, kemungkinan besar memang demikian. Ia tidak menjadi Rub, karena jika memang demikian, artikel surat kabar yang kita baca tentang pengangkatannya sebagai anggota dewan International akan menyebutnya "Samaoenoff" atau "Samaoenowski" atau "Samawhisky" atau semacamnya’.

Canton telah menjadi pos utama Indonesia di Cina, tidak lagi ke Shanghai. Faktor geografis diduga menjadi alasannya. Alasan lainnya yang juga dapat dianggap penting bahwa Canton terbilang sebagai kota melting pot. Dalam hal ini Shanghai pos pergerakan komunis di utara dan Canton di selatan (Singapoera dan Indonesia). Gerakan komunis di Indonesia juga melalui jalur Den Haag dan Amsterdam di Belanda.


De locomotief, 18-03-1927: ‘Untuk bekerja sama dengan semua gerakan politik yang bersifat revolusioner di seluruh Asia, dalam rangka melawan imperialisme Barat dan Timur dengan kekerasan, yang terkait dengannya, Partai Buruh Merah Timur (Red Eastern Laboor) telah didirikan di Canton, yang di dalamnya Ibrahim Datoek Tan Malaka juga mempunyai kedudukan dan badan yang menjadi penghubung antara serikat buruh angkutan, khususnya buruh pelabuhan dan pelaut di Asia. Tiongkok, Jepang, India, Filipina, India Britania, Singapura, Siam, dsb’.

Dalam perkembangannya terinformasikan Tan Malaka ditangkap di Filipina (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-08-1927). Disebutkan Tan Malaka ditangkap di Manila menurut Philippines Herald antara lain ditangkap di Manila pada awal Agustus ini. Tan Malacca alias Felix Fuentes yang telah diburu intelijen Filipinan selama enam bulan kemudian diinterogasi, tetapi kemudian dibebaskan oleh polisi pada tanggal 15 Agustus. Tan Malaka telah dibebaskan dengan jaminan 6.000 peso. Tan Malaka kemungkinan disebutkan akan dideportasi ke Amoy.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Hubungan Tradisional Antara Pantai Timur Tiongkok dan Indonesia di Nusantara: Bagaimana pada Masa Kini?

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar