Senin, 24 Juli 2017

Sejarah Kota Depok (19): Sejarah Sawangan dan Onderneming Sawangan; Ibukota Particuliere Landerien Berada di Landhuis

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini


Sejarah Sawangan merujuk pada sejarah Land Sawangan. Tetangga dari Land Depok, Land Mampang, Land Tjinere, Land Tjitajam dan Land Pondok Tjina yang secara ekonomi sudah berkembang sejak era VOC, Land Sawangan justru baru dikembangkan di era Pemerintah Hindia Belanda. Land Sawangan seakan ‘free land’ yang terjepit antara wilayah (area) perluasan ekonomi dari barat (Land Paroeng) dan wilayah perluasan ekonomi dari timur (sisi barat sungai Tjiliwong yang berpusat di Land Depok).

Peta 1901
Perkembangan Land Sawangan mulai diperhatikan pemerintah saat mana Pemerintah mengumumkan nilai pajak (NJOP) Land Sawangan sebesar f7.973 (Bataviasche courant, 02-03-1825). Pembentukan Situ Pasir Poetih menjadi faktor penting dalam perkembangan lebih lanjut Land Sawangan. Situ Pasir Poetih tidak hanya memicu pencetakan sawah baru, juga kemudian menjadi sumber air utama dalam intensifikasi perkebunan (onderneming). Inti perkebunan di Land Sawangan berpusat di desa Bedahan yang sekarang.

Bagaimana kisah perjalanan (land) Sawangan tentu sangat menarik ditelusuri. Meski sejarahnya lebih pendek jika dibandingkan dengan land yang lain, namun kisah di dalamnya cukup dinamis. Di satu sisi Land Sawangan memang adalah wilayah tertinggal di masa lampau, kurang tersentuh oleh kemajuan, namun di sisi lain, dalam perkembangannya di wilayah Land Sawangan ini juga tumbuh kesadaran kebangkitan bangsa. Pada masa perang kemerdekaan, Land Tjitajam, Land Sawangan dan Land Tjinere adalah garis pergerakan gerilya pribumi menghadapi Belanda. Mari kita lacak.

Land Sawangan

Land Sawangan berkembang dipicu oleh perkembangan yang lebih luas dari Land Bloeboer (Buitenzrog). Padahal tetangganya, Land Depok, Land Pondok Tjina dan Land Pondok Terong sudah berkembang sejak era VOC.

Tidak diketahui sejak kapan dan siapa yang memulai peruntungan di Land Sawangan. Namun cukup kerap terjadi jual dan beli (melalui kantor pelelangan di Buitenzorg), lahan maupun properti lainnya di Land Sawangan antara 1825 hingga 1850. Apakah ini suatu indikasi di Land Sawangan tidak cukup aman? Di Land Sawangan kerap muncul perihal kriminal.  Pembunuhan di keluarga pribumi di Kampoeg Tjoerok (Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 21-03-1853), perampokan terhadap satu keluarga Tionghoa (Lho Kim Bie) di Kampong Bodjongsarie yang kehilangan 20 ekor kerbau yang diduga hasil curin dibawa ke Batavia (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-05-1853). Land Sawangan juga kerap dijadikan sebagai pelintasan perampok dari Batavia yang melakukan operasi di Buitenzorg dan sekitarnya. (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 28-02-1879).  

Situasi dan kondisi serupa itu seakan menggambarkan Land Sawangan sulit akses, sedikit terpencil (baik dari sisi barat di Paroeng maupun dari  sisi timur di Depok) dan kurang aman. Land Sawangan kurang diminati orang Eropa/Belanda yang boleh jadi populasi orang Tionghoa dan Eropa/Belanda kerap menjadi sasaran.

Namun demikian, Land Sawangan tentu saja tetap menyimpan potensi ekonomi. Sebagaimana diketahui, Land Sawangan merupakan satu-satunya land di Kota Depok yang sekarang di masa lampau (pada sisi barat sungai Tjiliwong) yang tidak menerima kucuran air irigasi dari bendungan Empang dari sungai Tjisadane yang berada di Buitenzorg (di sisi timur sungai Tjiliwong, Land Tjilodong, Land Tapos dan Land Tjimanggis mendapat aliran irigasi yang bersumber dari bendungan Katoelampa dari sungai Tjiliwong).

Topografi Land Sawangan yang cenderung bergelombang, secara alamiah sungai berada di bawah: sungai Pesanggrahan dan sungai Kali Angke. Akibatnya, pengembangan pencetakan sawah baru dan pembukaan perkebunan baru sulit dilaksanakan. Meski demikian untuk menjadikan Land Sawangan menjadi lahan yang beririgasi baik jalan keluar selalu ada. Hal ini pernah dialami oleh Land Tandjong West (awalnya lahan peternakan) dan Land Pondok Tjina (cukup lama dibiarkan sebagai lahan telantar).

Landhuis

Secara historis, penguasaan wilayah adalah dasar pembentukan koloni. Ini dimulai dengan kolonisasi di hilir sungai Tjiliwong di dekat pelabuhan Soenda Kalapa yang awalnya membangun benteng yang kemudian disebut casteel Batavia. Dari sinilah wilayah koloni meluas ke hulu sungai Tjiliwong. Awalnya casteel Batavia berkembang menjadi kota (stad) Batavia dimana Gubernur Jenderal berkedudukan. Rumah Guebernur Jenderal yang berada di Stad Batavia kemudian disebut Stadhuis (kelak stadhuis ini dipindahkan ke Nordwijk (tempat dimana Istana Presiden sekarang).

Koloni yang meluas ke hulu sungai Tjiliwong dimulai dengan pemberian kekuasaan kepada sejumlah orang yang berafiliasi dengan VOC untuk menguasai lahan dengan batas tertentu. Wilayah penguasaan lahan ini disebut Landerien, yang dimulai di sekitar Batavia, seperti Land Weltevereden, Land Meester Cornelis, Land Menting dan sebagainya. Lalu dalam perkembangannya ditetapkan sebuah landerien di hulu sungai Tjiliwong yakni di Sringsing atau Land Sringsing (yang kemudian bergeser nama menjadi Land Tandjong West). Setelah Land Sringsing muncul Land Depok, Land Tjinere, Land Pondok Terong dan sebagainya.

Land Sawangan adalah land yang sudah sejak lama ada, namun baru dikenal secara luas di era Pemerintah Hindia Belanda. Land Sawangan ini memiliki batas-batas di dua sisi sungai (sungai Pesanggrahan dan sungai Angke) dan batas Land Tjitajam di selatan dan Land Mampang dan Land Tjinere di utara. Letak landhuis (rumah Landheer) yang dengan sendirinya menjadi ibukota Land Sawangan berada di selatan jalan akses Paroeng-Depok. Landhuis ini kira-kira di Desa Bedahan yang sekarang.

Pemilihan di lokasi dimana landhuis ditetapkan oleh Landheer sangat penting. Faktor penting penetapan ini berada di dekat lahan subur yang akan dijadikan plantation. Di sekitar landhuis (rumah landheer) biasanya terdapat gudang, kantor, bangunan bengkel/perlengkapan dan bangunan-bangunan berupa barak untuk tempat para tenaga kerja atau budak. Landhuis sebagai wujud koloni, pemilihan landhuis juga mempertimbangkan jarak tertentu dengan (per)kampung asli.

Peta pajak, 1930
Proses koloni (kolonialisasi) VOC/Pemerintah Hindia Belanda jarang mengakuisisi perkampungan yang sudah ada. Para landheer emnganggap perkampungan sejatinya, sebagaimana misi ekonomi kolonial, adalah tetangga lanhuis yang menjadi partner orang-orang Eropa/Belanda yang menguasahakan lahan di suatu landerien, baik untuk menyediakan tenaga kerja maupun pasokan bahan-bahan yang diperlukan untuk usaha atau bahan-bahan untuk konsumsi.

Dalam perkembangan lebih lanjut Land Sawangan ternyata memberi kontribusi yang berarti dalam bidang ekonomi. Lahan-lahan semakin intens diusahakan, lahan yang kurang subur ditingkatkan kesuburannya, termasuk dengan pembangunan irigasi kecil maupun irigasi besar. Jika tahun 1825 nilai pajak sebesar f7.973, nilainya sudah jauh meningkat pada tahun 1930 yakni menjadi f310.000. Land Sawangan yang terbilang luas, nilai pajak Land Sawangan juga merupakan nilai yang tertinggi dari seluruh land yang yang menjadi bagian dari Kota Depok yang sekarang (lihat peta pajak).

Situ Pasir Poetih

Lahan-lahan yang topografinya bergelombang adakalanya secara alamiah di sisi yang lebih rendah terbentuk rawa sebagai dampak adanya curah hujan dan adanya mata air yang terakumulasi dalam bentuk sungai-sungai kecil. Rawa inilah yang ditingkatkan menjadi situ (danau atau meer) dengan cara membendung di hilir.

Di Kota Depok yang sekarang di masa lampau, sejumlah rawa berskala besar dibentuk menjadi situ, seperti Situ Pitara di Land Depok dan Situ Tjitajam di Land Pondok Terong. Ini juga yang terjadi dengan terbentuknya Situ Pasir Poetih.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Kerusuhan

Land Sawangan, land yang sedikit agak sulit akses ke pusat-pusat Eropa (Depok dan Paroeng) kerap terjadi ketegangan antara planter Eropa/Belanda dengan prnduuduk asli.

Baron de Krom Bruges yang dikenal sebagai pemilik Land Sawangan melaporkan kerap terjadi kerusuhan di sekitar (Bataviaasch nieuwsblad, 27-11-1926). Kuli-kuli yang dimilikinya sering menjadi sasaran oleh para penduduk asli.  

Tunggu deskripsi lengkapnya

Akses Depok-Sawangan Dibuka

Jalan akses Depok ke Sawangan atau sebaliknya, secara tradisonal sudah ada sejak lama berupa jalan setapak/pedati yang penuh lumpur di waktu hujan. Pembicaraan peningkatan jalan akses tersebut sudah dilakukan beberapa kali konferensi antara Administrateur (Onderneming) Sawangan dan Gemeente Besturr Depok. Baru tahun 1936 mulai mengerucut ketika dilakukan konferensi yang dihadiri oleh Asisten Wedana Depok. Dalam keputusan akhir ini, kedua belah pihak terlibat. Diharapkan dengan adanya jalan akses ini, Sawangan dalam waktu singkat dibebaskan dari isolasi, demikian De Indische courant, 13-07-1936. Dalam pembicaraan ini juga termasuk satu paket dengan pembukaan jalan baru ke Mampang Oedik.

De Indische courant, 13-07-1936
Sejak doeloe, Land Sawangan lebih terhubung ke barat ( ibukota Paroeng) daripada ke timur (ibukota Depok). Ini ibarat kata antara Sawangan dan Depok dekat di mata jauh di hati. Arus orang dan barang baik penduduk maupun onderneming (perusahaan perkebunan) lebih lancar ke Buitenzorg via Paroeng dan ke Batavia via Tjinere.

Dengan selesainya jalan akses Depok-Sawangan maka secara keseluruhan wilayah yang menjadi bagian Kota Depok sekarang sudah terhubung dengan baik melalui jalan aspal. Sebagaimana diketahui, jalan akses Depok-Tjimanggis telah terbuka yang ditandai dengan pembangunan jembatan di atas sungai Tjiliwong tahun 1917 dan perbaikan jalan akses antara Depok dan (simpangan) Tjimanggis selesai tahun 1922.

Cara pandang sejak era Pakuan (Buitenzorg) - Soenda Kalapa (Batavia) selalu melihat garis lurus dari gunung (selatan) ke pantai (utara) atau sebaliknya. Tidak pernah tepikirkan irisan jalan dari timur Oosterweg sisi timur sungai Tjiliwong dengan barat Westerweg sisi barat sungai Tjiliwong. Untuk sekadar catatan: Tahap pertama adalah pembangunan jalan ribntisan Westerweg oleh para pionur perkebunan di sisi barat sungai Tjiliwong yang menghubungkan Batavia, Sringsing (Tansjong West), Pondok Tjina, Depok, Ratoe Djaja, Pondok Terong dan Bojong Gedeh. Jalan ini diduga sebagai julan utama bahkan sejaka era Pakuan-Padjajaran. Tahap kedua adalah pembangunan jalan Oosterweg sisi timur sungai Tjiliwong di era VOC terutama sejak istana Buitenzorg dirintis tahun 1745. Tahap ketiga, setelah era Pemerintah Hindia Belanda, Buitenzorg semakin berkembang pesat, bekembangnya lebih menyasar ke arah barat sebagai wilayah pengembangan perkebunan yang baru seperti di Paroeng dan sekitarnya. Akibatnya jalan akses Buitenzorg-Tangerang via Paroeng lebih lancar yang kemudian dikenal sebagai Westerweg. Sementara jalan Westerweg melalui Depok bergeser namanya menjadi Miidenweg (jalan tengah). Pada tahun 1873 jalur kereta api seakan mengganti popularitas Middenweg. Meski demikian adanya, irisan jalan (timur barat) yang menghubungkan tiga jalan  antara Batavia-Buitenzorg tersebut tidak pernah terwujud hingga tahun 1917 (di atas sungai Tjiliwong) dan 1936 di atas sungai Pesanggrahan.

Tunngu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar