*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini
Sejarah Bojong Gede adalah sejarah yang panjang, yakni sejak era Bodjong Manggis hingga era Bojong Baru. Pada tahun 1701 pemerintah VOC/Belanda memberi izin kepada Abraham van Riebeeck untuk memiliki land di Bodjong Manggis dan Bodjoeng Gede (lihat Daghregister 1701). Lahan di Bodjong Manggis dan di Bodjong Gede inilah kemudian yang dikenal sebagai tanah partikelir (land) Bodjong Gede. Sebagaimana diketahui, land adalah domain awal dalam pembentukan wilayah yang sekarang.
Sejarah Bojong Gede adalah sejarah yang panjang, yakni sejak era Bodjong Manggis hingga era Bojong Baru. Pada tahun 1701 pemerintah VOC/Belanda memberi izin kepada Abraham van Riebeeck untuk memiliki land di Bodjong Manggis dan Bodjoeng Gede (lihat Daghregister 1701). Lahan di Bodjong Manggis dan di Bodjong Gede inilah kemudian yang dikenal sebagai tanah partikelir (land) Bodjong Gede. Sebagaimana diketahui, land adalah domain awal dalam pembentukan wilayah yang sekarang.
Bojong Gede (Peta 1900) |
Lantas
bagaimana sejarah lebih lanjut Bojong Gede? Pertanyaan inilah yang akan dijawab
dalam artikel ini dengan menelusuri sumber-sumber tempo doeloe mulai dari era Abraham
van Riebeeck (Bodjong Manggis) hingga era masa kini (Bajong Baru). Mari kita
mulai dari kiprah Abraham van Riebeeck.
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’
seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan
sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil
kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini
tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang
lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah
disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih
menekankan saja*.
Abraham van Riebeeck: Introduksi Tanaman
Kopi
Isaack de St.
Martin (Majoor Saint Martin), pemilik land Pondok Terong/Tjitajam sudah lama
tiada, meninggal dunia tahun 1696 (lihat Daghregister, 14 April 1696). St
Martin disebutkan meninggal dunia dalam status lajang. Propertinya di Hindia
diambil kembali oleh pemerintah karena ahli warisnya tidak ada yang tinggal di
Hindia (begitu peraturannya). Sementara itu, Cornelis Chastelein sudah mulai intens mengusahakan lahannya
di Sering Sing (kini Lenteng Agung). Penulisan buku botani tujuh volume warisan
Rumphius yang juga belum tuntas diselesaikan Saint Martin telah diambil alih
oleh Cornelis Chastelein.
Pada tahun 1703 Abraham van Riebeeck
memimpin ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong dan Preanger. Tentu saja Abraham
van Riebeeck bertemu dengan Cornelis Chastelein di Sering Sing. Setelah kepulangan
ekspedisi ini, Abraham van Riebeeck diizinkan Gubernur Jenderal membuka lahan
di Bodjong Manggis dan Bodjong Gede (dua lahan yang berdekatan). Cornelis
Chastelein juga diketahui telah membeli lahan baru di Depok. Dengan demikian di
hulu sungai Tjiliwong sudah terdapat cluster lahan pertanian: milik alm. Saint
martin di Tjinere dan di Pondoek Terong/Tjitajam; milik Cardeel di Ragoenan, seorang
mualaf yang sebelumnya adalah seorang penasehat Sultan Banten; milik Cornelis
Chastelein di Sering Sing dan di Depok; serta milik Abraham van Riebeeck di Bodjong
Manggis dan di Bodjong Gede. Keempat orang yang berbeda latar belakang ini
sama-sama menyukai bidang pertanian: Cardeel (arsitek); Saint Martin (tentara
profesional); van Riebeeck (sarjana hukum) dan Chastelein (birokrat). Mereka
inilah pionier di hulu sungai Tjiliwong dan lahan-lahan yang mereka kuasai
adalah lahan-lahan pertama yang diusahakan di hulu sungai Tjiliwong. Lahan
Bodjong Manggis dan lahan Bodjong Gede adalah lahan terjauh dari Batavia.
Setelah pulang ekspedisi
dari hulu sungai Tjiliwong, Abraham van Riebeeck kemudian dipromosikan menjadi
Directeur Generael (lihat Daghregister 26 Mei 1703). Suatu jabatan yang pernah
dipegang oleh Cornelis Chastelein.
Rute ekspedisi yang dipimpin Abraham
van Riebeeck dimulai dari pelabuhan Tjililitan dilanjutkan dengan perahu ke
hulu sungai Tjiliwong melewati Tandjoeng (kini Pasar Rebo) dan Sering Sing
(kini Serengseng Sawah). Sudah barang tentu tim ekspedisi bermalam di real
estate Cornelis Chastelein di Sering Sing. Dari Sering Sing perjalanan
dilanjutkan melalui Pondok Tjina, Depok, Pondok Terong dan Bodjong Gede. Tim
ini juga melaporkan hasil ekspedisi ke Priangan di Tjiandjoe (melewati Gadok
dan Tjisaroea). Besar kemungkinan saat di Bodjong Gede inilah Abraham van Riebeeck tertarik untuk memiliki
land Bodjong Manggis (Bodjoeng Gede).
Tidak lama
sepulang dari ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong, Abraham van Riebeeck
ditempatkan sebagai Gubernur di Malabar (tempat dimana dulu tahun 1662 Abraham van
Riebeeck memulai karir militer). Penempatan Abraham van Riebeeck ke Malabar
terkait dengan semakin meningkatnya eskalasi politik di Malabar (India selatan).
Sepulang dari Malabar (India Selatan), van Riebeeck tidak lama kemudian menjadi
Gubernur Jenderal pada tahun 1709. Abraham van Riebeeck yang juga telah
memiliki lahan di Kedaoeng dan di Pondok Poetjoeng (di daerah aliran sungai Tangerang)
mulai memikirkan introduksi tanaman kopi dengan mendatangkan bibit dari
Malabar.
Pada tahun 1710 Abraham van Riebeeck mengambil
inisiatif untuk mengintroduksi tanaman kopi di Hindia. Lalu bibit kopi didatangkan
dari Malabar ke Hindia. Penanamannya dimulai di Kedawong tahun 1711. Lalu dari
Kedaoeng kemudian menyebar hingga hulu sungai Tangerang/Tjisadane dan hulu
sungai Tjiliwong. Inilah awal mula VOC/Belanda memperkenalkan kopi di Indonesia
(baca: Hindia). Berdasarkan catatan harian Kasteel Batavia Daghregister 7
September 1712 Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck bersama Cornelis
Chastelein berangkat ke land-land yang berada di Krawang. Kunjungan ke hulu
sungai Tjitaroem ini diduga dalam rangka untuk memperluas introduksi tanaman
kopi. Almanak, 1829
Sampai sejauh
ini, para pionier di hulu sungai Tjiliwong dapat dikatakan orang-orang
VOC/Belanda yang secara sadar dapat dianggap sebagai pionier pembangunan
pertanian di Indonesia (baca: Hindia). Kisah para pionier ini secara tidak
langsung mengindikasuikan sejarah awal dimulai di Tjinere, Tjitajam, Sering
Sing, Depok, Ragoenan dan Badjong Gede.
Dalam perkembangannya Hendrik Lucasz
Cardeel dikabarkan meninggal tahun 1711. Lahan Ragoenan kemudian diteruskan
oleh putri semata wayangnya Helena, yang pernah menjadi mualaf. Namun nama
Hendrik Lucasz Cardeel di tengah masyarakat sudah kadung dikenal sebagai
Pangeran Wira Goena (pemberian gelar dari Kesultanan Banten). Dari sinilah
kemudian nama lahan itu dikenal sebagai land Ragoenan (pelafalan masyarakat
dari Wira Goena). Sementara itu, program introduksi kopi yang dilakukan oleh
Abraham van Reibeeck dan Cornelis Chastelein ini belum sepenuhnya tuntas,
dikabarkan Abraham van Reibeeck meninggal dunia pada tanggal 17 November 1713
di Batavia. Berita kematian Abraham van Reibeeck ini sesuai dengan Daghregister
17 November 1713. Sebagai pengganti Abraham van Reibeeck diangkat Christoffel
van Swol (1713-1718). Pada tanggal 18 Mei 1714 (sesuai Daghregister) istri alm.
Abraham van Reibeeck meninggal dunia. Lalu kemudian, Cornelis Chastelein
tinggal sendiri. Namun tidak lama kemudian, setelah kematian Abraham van
Reibeeck kemudian Cornelis Chastelein dikabarkan meninggal dunia pada tanggal
28 Juni 1714 di Depok. Setahun kemudian, putra semata wayang alm Cornelis
Chastelien yakni Anthonij Chastelejn dikabarkan meninggal pada tanggal 8
Februari. 1715 (sesuai tanggal Daghregister). Habis sudah para pionier di hulu
sungai Tjiliwong. Land Depok kemudian diketahui telah diwariskan kepada para
pekerja Cornelis Chastelein. Sementara itu, hingga satu abad kemudian tahun
1929 lahan yang disebut Ragoenan ini tetap dikelola oleh keluarga Cardeel
dengan mengusahakan perkebunan buah-buahan (Algemeen Handelsblad, 28-07-1929).
Land Bodjong Gede
Pada era pendudukan Inggris, land Bodjong Gede diketahui
telah dimiliki oleh Simon Dirks. Pada tanggal 17 Juni 1814 dikabarkan Simon
Dirks meninggal dunia pada usia 48 tahun (lihat Java government gazette, 25-06-1814).
Namun pendudukan Inggris yang beribukota di Buitenzorg ini tidak lama hanya
sekitar lima tahun (1811-1816) dan dikembalikan ke Pemerintah Hindia Belanda.
Pada
permulaan kekuasaan (kembali) Pemerintah Hindia Belanda, dimulai lagi dengan
kebijakan baru. Satu kebijakan strategis adalah soal penetapan perawatan jalan
dan jembatan, rute dan tarif angkutan gerobak/pedati (lihat Bataviasche
courant, 31-05-1817). Dalam daftar tarif disebutkan tarif angkutan pedati untuk
mengangkut barang dari Buitenzorg ke Bodjong Gede sejauh 10 pal sebesar 15 cent.
Pada tahun 1826 Afdeeling Buitenzorg, Residentie Batavia
dipimpin oleh seorang Asisten Residen yang yang berkedudukan di Buitenzorg yang
terdiri dari lima distrik: Buitenzorg; Tjibinong, Parong, Tjibaroesa dan
Djasinga (lihat Bataviasche courant, 04-10-1826). Land Bodjong Gede termasuk
district Paroeng.
Landhuis Bodjong Gede (Peta 1900) |
Land adalah
tanah partikelir dimana intervensi pemerintah sangat minim. Di dalam land yang
berkuasa penuh adalah landheer (tuan tanah). Setiap lanad terdapat sejumlah
kampong. Setiap kampong memilih pemimpinnya yang bertindak sebagai mandor untuk
landheer. Para mandor ini di bawah arahan seorang Tjamat yang mana Tjamat
berada di bawah perintah Asisten Residen (melalui kepala district). Para tuan
tanah membangun tempat tinggal sendiri (landhuis) yang mana dalam hal ini
landhuis dapat diposisikan sebagai ibu kota di dalam land.
Pada tahun 1831 terbit ketetapan rute transportasi pedati
dari Buitenzorg (lihat Javasche courant, 26-05-1831). Ketentuan ini untuk
melengkapi dekrit Gubernur Jenderal No 15 tahun 1817. Dari Buitenzorg melalui
tiga jalur: (1) jalur sisi timur sungai Tjiliwong hingga Tjondet dan kemudian
barang diteruskan melalui sungai Tjiliwong ke Weltevreden, (b) jalur sisi barat
ke Tangerang yang mana di Lengkong (kini Serpong) terbagi dua ke Tangerang dan
ke Tjikandie, (c) jalur tengah melalui Bodjong Gede, terus ke Ratoe Djaja,
Depok, Pondok Tjina, Tandjoeng West, Kampong Malajoe, Matraman, Menteng dan
Prapattan.
Jalur
tengah adalah jalur lalu lintas kuno sejak era Pakwan-Padjadjaran. Sedangkan
jalur timur dan jalur barat baru berkembang sejak era VOC. Jalur tengah ini
berada di sisi barat sungai Tjiliwong yang dimulai dari Pakwan-Padjadjaran menuju
(pelabuhan) Soenda Kalapa melalui Kedong Badak, Tjilibeut, Bodjong Gede, Pondok
Terong, Depok, Pondok Tjina, Sering Sing, Tandjoeng, Kampong Malajoe, Menteng, Tjikini
dan Doeri. Jalur ini tidak pernah memotong sungai besar dari Pakwan-Padjadjaran
hingga Soenda Kalapa.
Pada tahun 1836 pemerintah menetapkan kelas jalan. Jalan
sisi timur sungai Tjiliwong (sejak era Daendels) dijadikan sebagai jalan kelas
satu. Jalur tengah dan jalur barat dari Buitenzorg dijadikan jalan kelas dua.
Dalam ketetapan ini juga jalur dari Buitenzorg ke Banten melalui Tjiampea dan
Djasinga dijadikan jalan kelas dua (lihat Javasche courant, 30-01-1836). Jalan
kelas satu di bawah perawatan pemerintah sedangkan jalan kelas dua dirawat oleh
para pemilik land.
Jalur tengah (middenweg) termasuk lalu lintas
yang ramai dan disukai karena banyak
tempat menginap (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 11-04-1866). Namun persoalannya menjadi lain ketika tahun
1865 dibuat kanal irigasi di sisi jalan sehingga lebar jalan semakin sempit dan
kerap terjadi banjir yang menyulitkan lalu lintas gerobak/pedati. Kanal-kanal
ini terdapat di land Bodjong Gede, land Tjitajam dan land Depok. Tiga puluh
tahun sebelumnya pada tahun 1830 kanal dari Sering Sing dibangun menuju Batavia
dengan membendung setu Babakan. Pada era Daendels sudah ditingkatkan kanal dari
sungai Tjipakantjilan (Bondongan) ke land Kedong Badak dan land Tjilibeut. Pembangunan
kanal Tjipakantjilan dan jembatan (Merah) dibangun pada era van Imhoff (1750). Dengan
selesainya kanal Bodjong Gede, Tjitajam dan Depok maka kanal dari Buitenzorg
menjadi terintegrasi dengan kanal-kanal yang berada di hilir hingga Batavia. Kelak,
untuk meningkatkan debit air kanal lalu kanal Tjipakantjilan kemudian ditingkatkan
dengan mengangkat air sungai Tjisadane dengan membangun bendungan (Empang) yang
selesai pada tahun 1873.
Pada tahun 1970 rencana pembangunan jalur kereta api dari
Meester Cornelis ke Buitenzorg semakin menguat. Ini suatu berita menarik untuk
berkembang lebih lanjut di land Bodjong Gede. Pembangunan julur kereta api
dimulai tahun 1871. Pada tahun 1872 halte dan rumah untuk petugas sudah selesai
dibangun di Tjileboet, Bodjong Gede dan Tjitajam. Sementara di (land) Depok baru
tuntas soal pembebasan lahan.
Java-bode
: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 21-03-1872: ‘Pembebasan
tanah yang dibutuhkan dari land Depok telah berakhir, sehingga pekerjaan land
clearing dimulai bulan berikutnya. Ballasting selalu sangat sulit karena posisi
sungai yang tinggi. Ini khususnya terjadi di wilayah utara bagian bawah, dimana
plot yang baru saja dibebaskan dan oleh karena itu sebagian penimbunan dibutuhkan.
Gudang barang di stasiun di Buitenzorg, gudang pribadi dan gudang batu bara telah
selesai; pembangunan gudang lokomotif dan menara air tengah dikerjakan serta
pembuatan saluran drainase dan perataan, pemberian permukaan kerikil. Bangunan
halte (perhentian) di Tjiliboet selesai, dan rumah petugas halte tengah
dikerjakan dan kerangka kayunya sudah diatur. Di Bodjong Gedeh, fondasi
bangunan halte dan kayu dari halte berhenti sudah selesai. Di Tjitajam, kayu
untuk rumah penjaga halte sudah siap. Halte berhenti juga selesai’.
Dengan selesainya jalur kereta api melalui land Bodjong
Gede, land yang selama ini lambat berkembang diharapkan dapat mengejar kemajuan
yang telah dicapai oleh land tentangga seperti land Tjileboet dan land
Tjitajam.
Pengoperasian
jalur kereta api Batavia-Buitenzorg akhirnya dimulai pada bulan Januari tahun
1873. Sangat beruntung land Bodjong Gede telah ditetapkan sebagai salah satu
tempat pemberhentian kereta api (halte). Land-land lainnya yang juga mendapat
halte adalah land Tjileboet, land Tjitajam, land Depok dan land Pondok Tjina.
.
Untuk
sekadar catatan: pada awal pembentukan pemerintahan, land Sading Djamboe masuk
district Tangerang bersama dengan land Roempin, tetapi kemudian dipisahkan dan
dimasukkan ke district Djasinga (lihat Bataviaasch handelsblad, 02-03-1870).
Dengan pembentukan district Leuwiliang maka sisa
district Paroeng antara lain land-land Bodjong Gede, Tjilibeut, land Koeripan,
land Paroeng, land Tjitajam, land Depok, l;and Tjinere dan land Pondok Tjina.
Ibu kota district Paroeng berada di Paroeng. Kepala district disebut Demang.
Pada
tahun 1908 dari lima distrik yang ada (Buitenzorg, Tjibinong, Paroeng,
Tjibaroesa, dan Leuwiliang) dibentuk sejumlah onderdistrik yang dikepalai oleh
asisten demang. Ondedistrik yang baru tersebut adalah Buitenzorg, Kedoengbadak,
Tjiawi, Depok, Roempin, Paroengpandjang, Tjimanggis, Tjileungsi dan Djonggol
(lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 29-01-1908). Untuk
membantu Asisten Residen yang berkedudukan di Buitenzorg diangkat tiga
controleur yang berkedudukan di Buitenzorg, Tjitrep dan Leuwiliang. Land Bodjong
Gede termasuk Onderdistrict Depok.
Sangat menarik
BalasHapusSaya orang bojonggede sejak 1989. Tapi baru tahu sejarah bojonggede sekarang. Thanks for details story.
BalasHapusSetau saya sejarah bojonggede bukan seperti itu, bojonggede salah satu wilayah yang sulit di takluki oleh kaum penjajah. Karena dukungan dari sultan banten. Yang dapat di kuasi oleh penjajah citayam dan cilebut dikarenakan mudah di perdaya. Adanya stasiun bojonggede di izinkan dari sultan banten melalui para ulama di bojonggede dan di buat oleh para santri. Saya dapat cerita dari para orang tua terdahulu dan saya keturunan (bisa di sebut buyut) dari Wan H Ennen bin H Riddin. Dan banyak lagi histori dari keturunan Wan H Abu Bakar, Keturunan Dari H Amsar dan Keturunan Dari H Cuin. Mereka yg memiliki lahan kopi di areal bojonggede. Yg di sebut kopi liong.
BalasHapusngaco,, kesultanan banten musnah pd tahun 1816,, sedangkan jalur kereta bogor-jakarta dimulai pengoperasiannya pd tahun 1873. jadi sultan banten mana lg yg dimaksud?
HapusApa yang dimaksud "H Riddin" itu Abu Bakar bin Raden Ridi bin Raden Panji bin Raden Kosim ?
HapusSangat menarik
BalasHapusSangat menarik
BalasHapusBojong Gede itu Camat Pertama Bernama Camat Kanang (Engkong Kanang) Setelah Penjanjah Pulang.. Tijtayam... Pabuaran....
BalasHapus...........
Kanang bin Djisim, Benarkah beliau seorang Jawara di era nya?
HapusPerasaan ga pernah ada sejarah tentang Tajurhalang Nanggerang Sasak panjang ya
Hapus