*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Tangerang dalam blog ini Klik Disini
Ciampea bukanlah kota kemarin sore. Sebelum kota Bogor terbentuk, Ciampea sudah menjadi kota perdagangan terpenting di hulu sungai Tjisadane di era VOC. Mengapa Ciampea maju pesat saat itu? Ciampea adalah kota paling ujung di daerah aliran sungai Tangerang, sebagai tempat utama (interchange) yang menjadi pusat transaksi utama di sebelah barat gunung Salak. Untuk mencapai Ciampea dari Batavia tidak dari Tjiloear (oosterweg, sisi timur sungai Tjiliwong), juga bukan dari Depok (middenweg, sisi barat sungai Tjiliwong), melainkan dari jalan sisi barat (westerweg) mengikuti sisi timur sungai Tjisadane dari Tangerang dan Serpong. Untuk memperkuat jalur perdagangan di daerah aliran sungai Tjisadane ini, pasca letusan gunung Salak (1699) benteng Tangerang diperkuat dengan membangun benteng baru di Serpong dan di Tjiampea. Dari sinilah (ruang dan waktu) sejarah baru Ciampea dimulai.
Ciampea bukanlah kota kemarin sore. Sebelum kota Bogor terbentuk, Ciampea sudah menjadi kota perdagangan terpenting di hulu sungai Tjisadane di era VOC. Mengapa Ciampea maju pesat saat itu? Ciampea adalah kota paling ujung di daerah aliran sungai Tangerang, sebagai tempat utama (interchange) yang menjadi pusat transaksi utama di sebelah barat gunung Salak. Untuk mencapai Ciampea dari Batavia tidak dari Tjiloear (oosterweg, sisi timur sungai Tjiliwong), juga bukan dari Depok (middenweg, sisi barat sungai Tjiliwong), melainkan dari jalan sisi barat (westerweg) mengikuti sisi timur sungai Tjisadane dari Tangerang dan Serpong. Untuk memperkuat jalur perdagangan di daerah aliran sungai Tjisadane ini, pasca letusan gunung Salak (1699) benteng Tangerang diperkuat dengan membangun benteng baru di Serpong dan di Tjiampea. Dari sinilah (ruang dan waktu) sejarah baru Ciampea dimulai.
Benteng Serpong, Ciampea dan IPB Bogor |
Lantas bagaimana sejarah Ciampea terpinggirkan?
Nah, itu dia! Kesalahan paralaksis faktor penyebabnya. Dalam artikel ini kita
bangkitkan (kembali) marwah kota Ciampea, suatu surga di masa lampau yang
berada di hulu sungai Tjisadane yang menyinari (membangun kemakmuran) di seluruh
wilayah di sekitar Bogor Barat yang sekarang. Mari kita telusuri sumber-sumber
tempo doeloe dari sudut pandang (kota) Tangerang.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Fort Tangerang dan Benteng Serpong
Semasa muda dulu, selagi masih duduk di bangku
kuliah, saya kerap mengajak anak muda tetangga saya jalan-jalan. Anak muda
(remaja) ini asli Bogor dan dia bertindak menjadi pemandu karena bahasa Sunda
saya belum ok. Dalam beberapa kali jalan-jalan di seputar tahun 1985 saya sudah
mengunjungi wilayah pedesaan di Ciampea, Leuwiliang hingga Cigudeg dan Jasinga.
Satu hal yang tetap teringat, setiap pembicaraan dengan penduduk yang saya lakukan
(umumnya dilakukan di dangau-dangau) nama Tangerang selalu muncul bahkan lebih
sering muncul nama Tangerang daripada nama Bogor.
Ciampea dan arah pandangan ke Tangerang |
Semua itu bermula dari sistem navigasi kuno yang mengikuti kodrat alam
melalui sungai (Tjisadane/Tangerang). Sistem navigasi kuno ini menjadi prakondisi
awal kemajuan peradaban modern di Tjiampea. Dalam perkembangannya, orang-orang
Eropa/Belanda di era VOC secara bertahap mengembangkan wilayah menyusuri sungai
Tangerang/sungai Tjisadane dari Tangerang hingga ke Tjiampea. Ini dimulai pada
tahun 1674 ketika Cornelis Snock mulai membuka lahan di sisi timur sungai
Tangerang. Di lokasi ini kemudian dibangun benteng Tangerang (yang menjadi
cikal bakal kota Tangerang sekarang).
Penduduk pedalaman menyebutnya sungai Tjisadane, tetapi orang yang datang
dari lautan menyebutnya sungai Tangerang. Disebut sungai Tangerang karena di muara
sungai Tjisadane di laut terdapat kampong Tangerang. Dalam laporan de Barros
(1535) nama kampong yang juga menjadi pelabuhan penting dicatatnya sebagai
Tangaram (proses linguistik). Pelabuhan kota Tangaram/Tangerang ini tepat
berada di Teluknaga yang sekarang (teluk Naga belum menjadi daratan). Dari
sinilah asal-usul nama lain sungai Tjisadane yang disebut sungai Tangerang.
Oleh karenanya jarak navigasi dari laut (teluk) ke benteng Tangerang masih
cukup dekat (berbeda dengan yang sakarang sangat jauh).
Seiring dengan semakin banyaknya investor dari
Batavia memasuki wilayah Tangerang, maka dari benteng (fort) Tangerang secara
perlahan-lahan orang Eropa/Belanda merambah lahan di sisi timur sungai
Tjisadane ke arah hulu hingga ke Serpong dan kemudian akhirnya mencapai
Tjiampea. Dalam Peta 1724 belum teridentifikasi nama kota (kampong) Tjiampea,
tetapi di Serpong sudah diidentifikasi benteng Sampoera (mengikuti nama kampong
Sampoera di dekat kampong Serpong).
Kota Tjiampea (Peta 1900) |
Berdasarkan catatan harian Kastel Batavia,
keberadaan VOC/Belanda di hulu sungai Tangerang/sungai Tjisadane di Tjiampea
sudah terdeteksi pada tahun 1713. Disebutkan benteng Tsjiaroetan (Ciaruteun)
dipindahkan ke Panjoewangan (lihat Daghregister tanggal 28 Mei 1713). Catatan
ini mengindikasikan bahwa benteng VOC/Belanda sudah didirikan di kampong
Tjiaroeteun di pertemuan sungai Tjiaroeteun dengan sungai Tjisadane. Kampong
Panjawoengan berada ke arah hulu sungai Tjiaruteun. Komandan militer di
Panjawoengan ini berpangkat luitenant. Selama bulan Juni dan Juli sang
luitenant mengirim beberapa surat ke benteng Tangerang. Komandan militer VOC saat itu adalah Majoor Joan van Jasinga (yang menjadi asal-usul nama kota Djasinga; setali tiga uang dengan nama kota Fort de Kock dan Fort van der Capellen pada era Pemerintah Hindia Belanda).
Benteng, landhuis, pasar dan jembatan Ciampea (Peta 1900) |
Belum lama ini ibu kota RI telah diproklamirkan
akan dipindahkan dari Jakarta ke Kalimantan Timur, tepatnya di Kutai
Kartanegara. Tidak hanya ibu kota negara yang akan pindah tetapi juga
Universitas Indonesia akan dipindahkan ke Kutai Kartanegara. Hal ini karena
menurut undang-undang, Universitas Indonesia berada di ibu kota negara. Kerajaan
tertua di Indonesia, Kerajaan Kutai berada di Kutai Kartanegara. Kerajaan yang
eksis pada abad ke-4 ini berada di hulu sungai Mahakam di Moeara Kaman (kini
nama kecamatan).
Kampus IPB Bogor (Now) |
Beberapa bukti keberadaan Kerajaan Tarumanegara
di land Tjiampea adalah prasasti Ciaruteun dan prasasti Kebonkopi. Pada era VOC
dan ketika terbentuknya land Tjiampea, landhuis dibangun tidak di kampong Ciaruteun
tetapi di sisi barat sungai Tjiampea (yang letaknya sedikit ke arah selatan menjauhi
sungai besar (lokasi dimana kota Ciampea yang sekarang). Saat itu area kampus
IPB yang sekarang termasuk (land) Tjiampea. Pada masa ini ada usulan pemekaran
kabupaten Bogor dengan membentuk kabupaten Bogor Barat. Lantas apakah ibu kota yang dipilih di Ciampea? Tentu
saja tidak karena sudah dipilih di Cigudeg.
Land Tjiampea: Keluarga Riemsdijk
Setelah situasi keamanan dianggap kondusif di
Tjiampea, para investor mulai merintis perdagangan hingga ke Tjiampea. Siapa
yang kali pertama membuka lahan di Tjiampea dan sejak kapan wilayah Tjiampea
dijadikan sebagai tanah partikelir (land) tidak begitu jelas. Besar dugaan
wilayah Tjiampea baru dikembangkan sebagai pusat perdagangan.
Selain
perdagangan di wilayah hulu sungai Tjisadane ini ditemukan suatu kegiatan
pertambangan. Disebutkan ada ketentuan tentang penambangan di gunung Parrang
(Paroeng) dan gunung Pasirangin (lihat Daghregister 24 Mei 1726). Pada tahun
1730 dilaporkan Michiel Westpalm mengunjungi pegunungan Parrang dan Passirangin
untuk melakukan pemeriksaan tambang (Daghregister 2 Agu 1730). Tidak diketahui
aktivitas penambangan ini tetapi besar dugaan adalah penambangan kapur (untuk
bahan semen).
Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang
Cina di Batavia dan sekitar termasuk di wilayah Tangerang. Pada tanggal 8
Oktober 1740 dua pabrik gula di Babakan dan Tjikokol telah dirusak (lihat Daghregister).
Masih tanggal 8 Oktober dicatat di dalam Daghregister kelompok Cina bersenjata
telah menduduki lahan Mr. Diogo di sisi de Qual (Moera Tangerang). Daghregister
8 Oktober 1740 juga mencatat adanya kerumunan berhenti di pabrik gula di
Paroeng Coeda. Masih menurut Daghregister tanggal 8 Oktober 1740 (untuk
mengantisipasi meluasnya pemberontakan) di Tjiampia (Tjiampea) dan Panjewongan
(Penjawoengan) telah dibentengi. Dalam mengatasi pemberontakan ini pemerintah
VOC/Belanda memukul balik para pemberontak yang menewaskan orang Cina tewas
diperkirakan sebanyak 10.000 orang.
Lahan milik Demang Juwitra di Dramaga (1772) |
Land dengan verpording di daerah aliran sungai Tjisadane |
Sejak berakhirnya VOC pada tahun 1799, banyak tempat tidak
terinformasikan, termasuk land Tjiampea dan land Dramaga. VOC kemudian
diakusisi oleh Kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintah Hindia Belanda. Pada
tahun 1807 disebutkan land Sampia (Tjiampea) milik van Riemsdijk dirampok dan
dihancurkan oleh sekelompok perampok (lihat Daghregister, 23 Mei 1807).
Pada
era Gubernur Jenderal Daendels, sejak 1808 dimulai pembangunan jalan utama
(trans-Java) dari Batavia ke Anjer dan dari Batavia ke Panaroekan melalui
Buitenzorg dan Tjisaroea terus ke Sumadang dan Tjirebon.
Namun tidak lama kemudian Pemerintah Hindia
Belanda digantikan oleh Pemerintah Pendudukan Inggris (1811-1816). Meski Hindia
Belanda telah berganti rezim, para pedagang Belanda banyak yang menetap dan
meneruskan usaha-usaha pertanian mereka. Tanah-tanah partikelir secara hukum
masih dimiliki oleh swasta.
Nederlandsche staatscourant, 30-12-1815 |
Setelah kembalinya Pemerintah Hindia Belanda
berkuasai berbagai kebijakan baru dibuat, selain meneruskan pembangunan jalan
juga memperluas wilayah pengembangan pertanian. Salah satu upaya untuk
mendukung pengembangan pertanian, pemerintah mulai melakukan pemetan-pemetaan.
Pada
tahun 1819 seorang peneliti Belanda telah melakukan peninjauan terhadap
sejumlah gunung termasuk gunung (berg) Tjiampea (lihat Rotterdamsche courant,
07-10-1819). Selanjutnya,
Sehubungan
dengan pengangkatan Asisten Resident Buitenzorg (beserta perangkatnya), juga
diangkat Bupati (beserta perangkatnya, seperti kepala penghoeloe dan djaksa).
Selain itu dibentuk empat district yang masing-masing dikepalai oleh seorang
Demang, Keempat district tersebut adalah Tjibinong, Paroeng, Djasinga dan
Tjibaroesa. Untuk distrivt Paroeng ditambahkan seorang wakil Demang. Land Tjiampea
termasuk district Paroeng.
Javasche courant, 15-12-1829 |
Untuk mendukung pengembangan wilayah dan
memajukan perekonomian pemerintah menetapkan kelas jalan berdasarkan beslit
(lihat Javasche courant, 30-01-1836). Jalan kelas satu termasuk jalan post
Batavia ke Buitenzorg hingga ke Megamendoeng terus ke Preanger dan jalan dari
Batavia melalui Tangerang hingga Bantam. Jalan kelas satu (nasional) ini
merupakan jalan pos trans-Java yang pembangunannya digagas pada era Gubenur
Jenderal Daendels (1808-1911).
Berdasar
beslit (undang-undang) ini, untuk kategori jalan kelas dua (wilayah) diantaranya
adalah jalan dari Parapattan (Tjikinie) hingga Pondok Terong (land Tjitajam).
Jalan kelas dua lainnya adalah dari Tangerang ke Toasia (Maoek/Teloknaga?);
jalan dari Buitenzorg melalui Tjiampea dan Djasinga terus ke Bantam; dan jalan
dari Buitenzorg melalui Semplak, Koeripan, Paroeng hingga ke Tangerang
Sejak adanya penetapan kelas jalan maka
jalur-jalur transportasi ekonomi (perdagangan) telah bergeser dari transportasi
air di era VOC menjadi moda transportasi darat. Tempat-tempat utama semakin
terhubung dengan baik. Ciampea tidak lagi sepenuhnya berorientasi melalui jalur
perdagangan melalui daerah aliran sungai Tjisadane/sungai Tangerang (Koeripan,
Paroeng, Serpong, Tangerang) tetapi telah terbuka ke arah barat ke Banten
melalui Djasinga dan lebih-lebih ke arah timur melalui Buitenzorg.
Land Tjiampea dan Land Dramaga: Keluarga van Motman
Land pertama di hulu sungai Tangerang (sungai
Tjisadane) adalah land Tjiampea. Lalu kemudian dibentuk land-land baru. Salah
satu land baru itu adalah land Tjiboengboelan. Namun dalam perkembangannya,
land Tjiampea dan land Tjiboengboelan disatukan dengan nama land Tjiampea
Tjiboengboelan (lihat kembali Javasche courant, 15-03-1834). Land Tjiampea
Tjiboengboelang sungguh sangat luas. Siapa pemilik dua land yang berdekatan ini
tidak diketahui apakah masih keluarga Riemsdijk atau bukan. Land ini pada masa
kini terdiri dari dua kecamatan (Ciampea dan Cibungbulan).
Javasche courant, 15-09-1841 |
Pada tahun 1841 land Tjiomas diumumkan di surat
kabar akan disewakan atau dijual (lihat Javasche courant, 15-09-1841). Satu hal
yang menarik dari pengumuman ini adalah bahwa batas sebelah barat land Tjiomas
adalah land Tjiampea. Informasi ini menjelaskan bahwa land Tjiampea
Tjiboengboelan telah dipecah kembali menjadi dua land: land Tjiampea dan land
Tjiboengboelan. Informasi lain dari ini adalah bahwa batas wilayah land Tjiomas
adalah land Sindang Barang atau Dramaga. Informasi ini juga mengindikasikan
bahwa land Sindang Barang juga disebut land Dramaga. Pemilik terakhir dari land Dramaga adalah
keluarga van Motman.
Awalnya
bermula ketika Gerrit Willem Casimir van Motman (GWC Motman) ditunjuk sebagai Administrateur
van de Magazynen di Buitenzorg pada bulan Maret tahun 1801 (lihat Bataafsche
Leeuwarder courant, 24-10-1801). GWC van Motman datang ke Hindia pada umut 17
tahun pda tahun 1790. Pada era pendudukan Inggris saudaranya bernama Frederik
Constantijn Gerrit (Frits) van Motman meninggal dunia di Batavia pada tangggal
10 Februari (lihat Java government gazette, 29-02-1812). Frits van Motman
berpangkat Kolonel. Pada tahun 1812, GWC van Motman diangkat sebagai Jury
within tje Jurisdiction of the Supreme Court of Justice di Batavia (lihat Java
government gazette, 18-04-1812). Gerrit Willem Casimir van Motman pada 1813
membeli land Dramaga. GWC Motman sebagai Jury within tje Jurisdiction of the
Supreme Court of Justice ditempatkan di Buitenzorg, Preanger Regentschappen
(lihat Java government gazette, 15-01-1814).
Setelah berakhirnya pendudukan Inggris (1816),
land Dramaga tetap diusahakan oleh Gerrit Willem Casimir van Motman. Ketika
pemeritah Hindia Belanda kembali berkuasa mulai membentuk pemerintahan. Residen
pertama yang ditunjuk di Preanger Regentschappen tahun 1816 adalah PWL van
Motman yang berkedudukan di Tjiandjoer. PWL van Motman diduga adalah anak dari saudara
Kolonel Frits van Motman dan GWC van Motman.
Bataviasche courant, 02-06-1821 |
Pada tahun 1821 Gerrit Willem Casimir van Motman
diberitakan meninggal dunia di Dramaga (lihat Bataviasche courant, 02-06-1821).
Disebutkan GWC van Motman meninggal pada usia 49 tahun setelah sakit selama
tiga bulan. GWC van Motman meninggalkan seorang istri dan lima orang anak. Berita
duka ini diiklankan oleh istri alm, R(ainira) J(acoba) van Motman (terlahir
sebagai marga Bangeman).
Berdasarkan stambuk keluarga, anak-anak GWC van Motman adalah Frederik Hendrik Constant van Motman (lahir di Buitenzorg 1809); Jan van Motman (1911), Pieter Cornelis van Motman (1913); Jacob Gerrit Theodoor van Motman (lahir di Karawang 1816); Willem Reinier van Motman besar dugaan anak pertama tetapi baru disahkan di Batavia 1820 (lihat Bataviasche courant, 16-09-1820). Berdasarkan sumber lain Willem Reinier lahir tahun 1803. Catatan tentang mengenai keluarga van Motman ini dapat dibaca pada website keluarga van Motman.
Rainira Jacoba van Motman menjadi single parent,
anak-anaknya terbilang masih kecil-kecil yang tertua baru berumur 11 tahun dan yang paling
kecil masih berusia lima. Rainira Jacoba van Motman harus berjuang sendiri membesarkan
lima anak dan juga mengusahakan land Dramaga.
GWC van Motman dan rumah keluarga van Motman |
Setelah anak-anak Rainira Jacoba van Motman mulai
dewasa, keluarga van Motman menyewa land Tjiampea. Petani tetaplah petani.
Lahan yang diusahakan semula hanya sebatas land Dramaga, lalu diperluas dengan
menyewa land tetangga, land Tjiampea. Lokasi land Tjiampea lokasi paling
strategis di hulu sungai Tjisadane, berada di pertigaan jalan utama: ke utara
ke arah Paroeng dan Tangerang; ke timur ke arah Tjiomas dan Buitenzorg; dan ke
barat ke arah Djasinga dan Banten. Land Tjiampea adalah matahari di sebelah
barat daya Batavia.
Kecamatan Ciampea dan Kecamatan Ciomas (Now) |
Bangunan pemakaman keluarga van Motman (Now) |
Tiga bersaudara van Motman secara perlahan telah
menjadi petani (farmer) yang sukses. Tiga bersaudara ini membangun kantor di
Tjiampea, berada di tengah di antara land Dramaga (warisan ayah mereka yang
diusahakan sang ibu) dan land Sading Djamboe. Land Sading Djamboe dan land
Tjoeroek Bitoeng diduga sebelumnya juga telah dimiliki oleh GWC van Motman dan
terus dipertahankan. Hal inilah yang diduga mengapa terdapat komplek pemakaman
keluarga van Motman di land Sading Djamboe (kini kecamatan Leuwisadeng). Land
Bolang sendiri (tetangga land Sadeng Djamboe dan land Tjoeork Djamboe) pernah
dimiliki keluarga van Motman namun pada tahun 1860 land tersebut dijual, karena
alasan ingin membeli land Kedong Badak.
Pada masa dimana IF Witt menyewa land Tjiampea telah terjadi pelanggaran. Disebutkan bahwa karena kesulitan banyak penduduk yang coba mencuri sarang burung di pegunungan kapur (Vogelberg) di land Tjiampea. Mereka yang tertangkap lalu dibunuh dan mayat-mayat mereka disembunyikan di dalam salah satu gua yang sulit dijangkau. Pada era penyewaan Tan Ling jejak pembunuhan ini tidak terdeteksi. Baru pada era penyewaan keluarga van Motman jejak-jejak mayat yang disembunyikan itu diketahui pada tahun 1856.
Foto jembatan van Motman dan gunung Salak (1910) |
Pada tahun 1866 land Tjiampea, land
Tjiboengboelan dan land Sading telah berakhir kontrak sewa yang dilakukan FHC
van Motman. Pemilik land, suatu kongsi yang terdiri dari Ament, van de Graaff
dan POW Amenaet akan menyewakan land Tjiampea, land Tjiboengboelan dan land
Sading (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 12-09-1866).
Lahan demang (1772) dan peta landhuis Dramaga lama (1906) |
Peta 1906 dan peta satelit masa ini |
Tidak diketahui secara pasti siapa yang kemudian menjadi penyewa land
Tjiampea, land Tjiboengboelang dan land Sading atau Panjawoengan. Yang jelas
land Dramaga masih tetap diusahakan oleh keluarga van Motman. Dalam
perkembangannya tigab land tersebut diketahui telah disewa oleh P te Cate
sebesar f200.000 (lihat Bataviaasch handelsblad, 02-03-1870). Pusat land
(landhuis) Dramaga telah dipindahkan dari dekat jalan raya (sisi selatan) ke
lokasi yang sedikit jauh di utara jalan raya. Namun dalam perkembangannya
diketahui kembali keluarga van Motman menyewa tiga land tersebuit sejak tahun
1882 untuk lima belas tahun. Namun
keluarga van Motman pada tahun 1886 melepaskan hak penyewaan tiga land ini
karena meningkatnya nilai verponding yang ditetapkan oleh pemerintah.
Area kampus IPB dan landhuis Dramaga baru (Peta 1906) |
Lokasi landhuis Dramaga yang baru ini (masih
menurut Peta 1906) dapat diidentifikasi lokasinya kemungkinan besar berada di
dalam kampus IPB yang sekarang, kira-kira berada di lokasi dimana kini Teaching
Lab IPB dibangun (dekat asrama putri). Gedung Teaching Lab IPB mengambil bentuk
gedung IPB yang lama di Baranangsiang.
Sebuah tulisan yang sangat bagus Pak, saya yg kuliah di IPB dan tinggal di sekitar Ciampea jadi tahu banyak tentang sejarah tempat ini. Terima kasih banyak ��
BalasHapusOiya Pak di kampus IPB juga ada wisma yg namanya Landhuis, lokasinya didekat mesjid Al-Hurriyah. Disana Ada lonceng tua dan menara air tua juga, apa mungkin lokasi Landhuis baru dijaman Belanda itu disini n bukan d dekat asrama putri
Anda benar, Pandu. Teaching Lab IPB hanya sekadar pemandu navigasi bagi pembaca. Teaching Lab adalah icon IPB Dramaga (mirip gedung IPB lama di Baranangsiang) Posisi GPS landhuis yang tepat berada di wisma IPB Dramaga dapat dibaca pada artikel no 40.
HapusSelamat belajar sejarah, tapi jangan sampai kuliahnya terabaikan. Belajar di IPB banyak gunanya.
Terima kasih Pak artikel2nya sangat bermanfaat.
BalasHapusSaya mendapatkan informasi yg banyak dengan membaca artikel-artikel Bapak di sini.
Saya juga alumni IPB , saat ini tinggal di sekitar kampus Dramaga. Saya menyukai tulisan terkait sejarah dan senang mengeksplorasi tempat yg terkait dengan sejarah.
Saya menduga letak benteng Ciampea ada di pemukiman warga di Desa Benteng saat ini dan landhuis Ciampea adalah puskesmas Ciampea saat ini, jika di lihat dari peta lama dan peta saat ini.
Landhuis dramaga yang ada di kampus IPB saat ini berarti landhuis yg baru ya.
Saya sependapat landhuis lama ad di sekitar rs medika,tepatnya beberapa meter dari pertigaan jembatan Ciapus.
Saya menduga letak persisnya ada di bekas pabrik/gudang yg di dekatnya ada lapangan dg tugu lonceng, daerahnya disebut Tegal Loceng. Dekat dengan pasar Dramaga.
Tulisan yang keren pak terima kasih jadi saya tahu tentang sejarah kampung kami, kampung Benteng. Buyut saya bernama Rd. Sugandhi Diningrat asal Gn. Sindur, anak2nya bernama Rd. Yusuf Sugandhi (Demang di Leuwiliang) dan Rd.Pandji Sugandhi (pemilik perkebunan karet di kampung Benteng). Salam kenal
BalasHapusAssalamualaikum..Boleh saya minta kontak akang? Saya ingin bertanya tanya hal perihal asal usul raden yg ada d daerah benteng,ciampea..
Hapusadakah silsilah orang tjiampea dan sekitarnya apakah dari trah koeripan atau bukan hatur nuhun
HapusSoal silsilah saya belum menemukan. Saya hanya menemukan urutan sebagai berikut: wilayah yang dikenal di kawasan pada era VOC (1713) adalah Tjiampea. Kawasan di seblah timur sungai Tjisadane yang disebut (land) Koeripan baru muncul pada era Pemerintah Hindia Belanda (tahun 1860an). Saya kira land Koeripan adalah pemekaran dari land Tjiampea (dan diduga dua wilayah ini masih berkerabat) tapi yang mana lebih dulu saya kurang pasti,
HapusSalam kenal juga, Maen bang k kampung benteng ciampea. Saya putra bungsunya Raden Pandji Sugandhi..
HapusSaya pun berfikir puing2 yang ada di perbatasan ciampea dengan bantar kambing ini kan ada rumah2 belanda jaman dulu yg hancur sama jembatan lama yg tidak terpakai lagi.
BalasHapusselain demang jawitra adakah nama demang yang lain di ciampea
BalasHapusDemang Jawitra pada era era VOC dan permulaan Pemerintah Hindia Belanda. Setelah pembentukan Distrik Ciampea/Leuwiliang (Afdeeling Buitenzorg) sudah barang tentu ada beberapa demang yang ditempatkan di Leuwiliang (jika ketemu akan saya tambahkan dalam kolom komentar ini).
HapusSehubungan dengan pengangkatan Asisten Resident Buitenzorg (beserta perangkatnya), juga diangkat Bupati (beserta perangkatnya, seperti kepala penghoeloe dan djaksa). Selain itu dibentuk empat district yang masing-masing dikepalai oleh seorang Demang, Keempat district tersebut adalah Tjibinong, Paroeng, Djasinga dan Tjibaroesa. Untuk distrivt Paroeng ditambahkan seorang wakil Demang. Land Tjiampea termasuk district Paroeng.adakah dokumen atau data mengenai itu ...terimakasih
BalasHapusDistrik Paroeng kemudian dimekarkan dengan membentuk distrik baru Tjiampea/Leuwiliang. Sebenarnya ada, tapi saya lupa apakah sudah saya sebut di artikel lain. Jika ketemu kembali di folder saya, akan ditambahkan dalam kolom komenter ini.
Hapus