Introduksi pendidikan aksara latin di Sumatra dimulai di Kota Padang. Ini sehubungan dengan pengadaan guru di Kota Padang tahun 1822, dua tahun setelah Pemerintah Hindia Belanda di mulai (lihat Almanak 1822). Namun introduksi ini tidak berkembang karena situasi dan kondisi diliputi suasana perang. Pengiriman guru terhenti.
Pionir Pendidikan Indonesia |
Kweekschool Fort
de Kock Didirikan
Tidak
diketahui kapan pendidikan dimulai di Afdeeling Mandailing dan Angkola, tetapi
pada tahun 1854 sudah ada dua siswa asal Afdeeling Mandailing dan Angkola yang tiba
di Batavia untuk mengikuti studi kedokteran (Nieuwe Rotterdamsche courant:
staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855). Dua siswa ini merupakan
dua siswa pertama yang diterima di sekolah kedokteran tersebut yang berasal dari
luar Djawa. Sekolah kedokteran di Batavia ini kemudian dikenal sebagai Docter
Djawa School (cikal bakal STOVIA).
Nieuwe
Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad,
18-01-1855: ‘Batavia, 25 November 1854.
Satu permintaan oleh kepala Mandheling (Batta-landen) dan didukung oleh
Gubernur Sumatra’s Westkust, beberapa bulan yang lalu, ditetapkan oleh
pemerintah, bahwa kedua anak kepala suku asli terkemuka, yang telah menerima
pendidikan dasar dibawa untuk akun negara ke Batavia dan akan mengikuti
kedokteran, bedah dan kebidanan. Para pemuda yang disebut Si Asta dan Si Angan
di rumah sakit militer di sana pada murid ini baru saja tiba dari Padang
disini, dan akan disertakan di pelatihan perguruan tinggi (kweekschool) dokter
asli’.
Pada
tahun 1856 di Fort de Kock (Bukittinggi) didirikan sekolah guru (kweekschool).
Sekolah guru ini adalah sekolah guru negeri kedua di Hindia Belanda (yang
pertama di Soerakarta, dimulai 1852). Siswa yang dididik di Kweekschool Fort de
Kock berasal dari sekolah dasar yang sudah semakin meluas di Residentie
Padangsch Bovenlanden.
Pada tahun 1857,
seorang siswa bernama Si Sati di Afdeeling Mandailing dan Angkola berangkat
studi untuk mendapat akta guru di Belanda. Setelah lulus di Belanda, Si Sati
yang telah mengubah namanya menjadi Willem Iskander kembali ke kampong
halamannya di Mandailing (1861). Pada tahun 1862 Willem Iskander mendirikan
sekolah guru (kweekschool) di Tanobato. Siswa yang dididik di Kweekschool
Tanobato berasal dari sekolah dasar yang sudah semakin meluas di Residentie Tapanoeli.
Kweekschool
Tanobato Terbaik
Pada
tahun pendirian Kweekschool Tanaboto jumlah siswa ‘yang lulus tes masuk’
sebanyak 16 orang (yang berasal dari Mandailing, Angkola, Natal, Sibolga dan
Baros). Mereka dididik sendiri oleh Willem Iskander yang menyusun kurikulum
sendiri, menulis buku pelajaran sendiri dan mengajarkan (tata) bahasa Batak,
Melayu dan Belanda. Semua itu tidak terlaporkan karena jauh di pedalaman di
Tanobato. Sebuah berita di surat kabar muncul tahun 1865 tentang sekolah guru
di Tanobato.
Nieuwe
Rotterdamsche courant: staats-, handels, nieuws- en advertentieblad,
20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang yang pernah ke daerah ini. Di bawah
kepemimpinan Godon daerah ini telah banyak berubah, perbaikan perumahan,
pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting tentang Godon telah membawa Willem
Iskander studi ke Belanda dan telah kembali kampungnya. Ketika saya tiba,
disambut disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti
dengan enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk di atas kuda dengan
pakaian Eropa murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya tahun lalu ke tempat
dimana sekolah Willem Iskandern didirikan di Tanobato…siswa datang dari seluruh
Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip
fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa
Belanda….saya saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini’.
Orang yang menulis berita ini adalah
Inspektur Jenderal Pendidikan Pribumi, JA van der Chjis yang berkunjung ke Tanobato
pada tahun 1864 (dua tahun setelah sekolah ini didirikan). Laporan Chijs ini ternyata
dikutip/dilansir semua surat kabar di Hindia Belanda dan di Negeri Belanda,
seperti di Rotterdam, Amsterdam dan Haarlem, Algemeen Handelsblad dan
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie di
Batavia, De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad di Semarang,
Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad di Padang.
Seketika berubah
semuanya, pandangan orang luar terhadap Tanah Batak, paling tidak di afdeeling
Mandailing dan Angkola berubah 360 derajat yang mana 180 derajat kesan primitif
menghilang dan 180 derajat tidak diduga telah memiliki sistem pendidikan yang
terbaik di Hindia Belanda. Inilah sumbangan fantastis Willem Iskander di
Tapanoeli khususnya di afdeeling Mandailing dan Angkola. Iskander Effect tengah
bekerja.
Iskander
Effect tidak hanya telah mengalami difusi jauh hingga ke pelosok-pelosok
terpencil di Tapanoeli, juga mengguncang wilayah-wilayah di Jawa. Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1868 yang
mengutip dari surat kabar Soerabayasch Handelsblad edisi 5 November sangat
menyentuh: ‘Mari kita mengajarkan orang Jawa, bahwa hidup adalah perjuangan.
Mengentaskan kehidupan yang kotor dari selokan (candu opium). Mari kita
memperluas pendidikan sehingga penduduk asli dari kebodohan’. Orang Jawa, harus
belajar untuk berdiri di atas kaki sendiri. Awalnya Chijs mendapat kesan
(sebelum ke Tanobato) pantai barat Sumatra mungkin diperlukan seribu tahun
sebelum realisasi gagasan pendidikan (sebaliknya apa yang dilihatnya sudah
terealisasi dengan baik). Kenyataan yang terjadi di Mandailing dan Angkola
bukan dongeng, ini benar-benar terjadi, tandas Chijs’.
Rupanya tulisan
(laporan) Chijs itu telah menggelinding kemana-mana bahkan di pusat kekuasaan
kolonial di Jawa. Afdeeling Mandailing en Angkola telah menjadi ‘kiblat’
perubahan, perubahan yang sangat fundamental di Hindia Belanda. Kweekschool
Tanobato adalah sekolah swasta (dukungan partisipasi pemimpin local di
Mandailing dan Angkola).
Laporan
Chijs juga mengindikasikan sekolah guru di Fort de Kock gagal total. Menurut
Chijs sekolah guru Fort de Kock tidak pantas memakai nama sekolah guru.
Sebaliknya sukses besar di Tanobato. Laporan Chijs menggarisbawahi siswa-siswa
Tanobato juga belajar tiga bahasa sekaligus. Menurut Chijs di sini (maksudnya
Tanobato) bahasa Melayu diajarkan oleh orang non Maleijer, di negara non-Melayu
dengan sangat baik. Buku Braven Hendrik yang terkenal di Eropa telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Mandailing/Angkola.
Adanya kemajuan
pendidikan tak terduga di Mandailing dan Angkola menyadarkan pemerintah untuk
segera membangun sekolah guru di Bandoeng. Tahun 1865 Kweekschool Tanobato
diakuisisi pemerintah dan dijadikan sekolah guru negeri. Kweekschool Bandoeng
mulai dibuka tahun 1866, Dengan demikian sekolah guru negeri menjadi empat
buah: Soerakarta (1852), Fort de Kock (1856), Tanobato (1865) dan Bandoeng
(1866).
Reaksi
mulai bermunculan, tidak hanya dari kalangan pribumi tetapi juga diantara
orang-orang Eropa/Belanda. Sekolah guru Tanobato, sekolah guru yang diasuh oleh
Willem Iskander adalah sekolah yang tidak diinginkan. Karena pemerintah hanya
menginginkan sekolah guru terbatas di Soerakarta (Jawa) dan di Fort de Kock
(Sumatra). Namun pemerintah segera menyadari dan langsung membangun sekolah
guru di Bandoeng dan mengakuisisi sekolah guru yang sudah berdiri di Mandailing
dan Angkola.
Arnhemsche
courant, 13-11-1869: ‘…Hanya ada 7.000 siswa dari jumlah populasi pribumi yang
banyaknya 15 juta jiwa. Anggaran yang dialokasikan untuk itu kurang dari tiga
ton emas. Hal ini sangat kontras alokasi yang digunakan sebanyak 6 ton emas
hanya dikhususkan untuk pendidikan 28.000 orang Eropa… lalu stadblad
diamandemen untuk mengadopsi perubahan yang dimenangkan oleh 38 melawan 26
orang yang tidak setuju’.
Setelah
adanya perubahan dan kemenangan di parlemen (dewan) oleh yang pro, diantara
yang pro ada yang mengungkapkan kekecewaannya selama ini sebagaimana dilaporkan
oleh Algemeen Handelsblad, 26-11-1869: ‘…kondisi pendidikan pribumi di Java
adalah rasa malu untuk bangsa kita (Belanda). Dua atau tiga abad mengisap
bangsa ini, berjuta-juta sumber daya penghasilan telah ditransfer ke ibu
pertiwi (Kerajan Belanda), tapi hampir tidak ada hubungannya untuk peradaban
pribumi di sini (Hindia Belanda)…’.
Sementara di
Mandailing Angkola, tidak hanya Willem Iskander yang menulis buku-buku
pelajaran, juga guru-guru sekolah dasar (alumni Kweeskschool Tanobato) menulis
buku-buku pelajaran. Sebagian dari buku-buku yang ditulis itu dicetak di Padang
dan Batavia. Buku pelajaran yang ditulis Willem Iskander sudah ada yang dicetak
di Batavia tahun 1865.
Langkah
pertama yang akan dilakukan di Jawa adalah
untuk melanjutkan pengembangan pendidikan di 15 ibukota kabupaten,
dimana tidak ada sekolah berada selama ini. Namun tidak disebutkan nama-nama 15
ibukota afdeeling tersebut. Jika jumlah ibukota tahun 1865 sebanyak 23 maka
baru delapan ibukota yang memiliki sekolah.
Di Residentie
Tapanoeli yang mana ibukota sudah terbentuk di enam kabupaten (Natal,
Mandailing dan Natal, Sibolga, Baroes, Singkel dan Nias), pada tahun 1870 sudah
ada 10 sekolah negeri yang didirikan. Tujuh diantaranya berada di afdeeling
Mandailing dan Angkola dan masing-masing satu buah di afd. Natal, afd. Sibolga
dan afd. Nias. Pada tahun 1870 bertepatan ibukota Afdeeling Mandailing dan
Angkola dipindahkan dari Panjaboengan ke Padang Sidempuan. Di ibukota baru ini
sudah terdapat dua sekolah negeri (Batoenadoea dan Hoetaimbaroe).
Pengembangan
pendidikan di Jawa mulai menemukan jalan keluar. Pendirian sekolah guru di
Bandoeng yang dibuka tahun 1866 telah diperluas ke Jawa Tengah dengan membangun
sekolah guru di Oengaran.
Ini berarti
bahwa sekolah guru, selain di Solo, Bukittingi, Tanpbatoe juga di Bandoeng dan
Oengaran.---kemudian di Probolinggo.
Kweekschool
Padang Sidempoean Melahirkan Generasi Emas
Di
Padangsche Bovenlanden mulai ada kegelisahan para pegiat pendidikan yang di
satu sisi mutu sekolah guru di Fort de Kock dirasakan jauh dari kweekschool di
Tanobato. Apalagi, sudah tersiar kabar bahwa Willem Iskander akan membawa tiga
guru muda ke Eropa sementara Willem Iskander diplot menjadi Guru kepala di
Sekolah Guru yang akan dibangun di Padang Sidempuan.
Tidak hanya itu,
pegiat pendidikan di Padangsche juga merasa jauh ketinggalan soal kurikulum,
buku pelajaran dan guru yang tersedia. Kebutuhan guru berkualitas sangat
mendesak diperlukan di sekolah guru Fort de Kock.
Kegelisan
pegiat pendidikan di Padangsche terindikasi dari keinginan untuk mendatangkan
Radja Medan, kapala goeroe di skola Islam di Padang yang dimuat di dalam surat
kabar Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 22-02-1873: ‘ Permintaan guru Radja Medan ditujukan
kepada pemerintah (Direkteur dari Onderwijs Eeredienst en Nijverheid di
Batavia) agar Radja Medan, guru swasta di Padang diangkat untuk menjadi guru di
Kweekschool Fort de Kock’.
‘Radja Medan
adalah guru yang berpengalaman di Padang telah 13 tahun menjadi guru. Radja
Medan dipandang sebagai guru yang dapat mangadjarkan sagala ilmoe dan
pangadjaran dalam pakardjaan skola. Kinerja RM selama ini dianggap baik dan
tidak kurang dan para mantan murid-muridnya banyak memuji soekoer atas
kemampuan RM. Untuk pengganti RM di sekolah Padang, Soetan Salim Hoofd-Djaksa
jang soeda baranti, jang sakarang djadi goeroe panolong (hulponderwijzer) dalam
skola Islam di Padang’.
Namun
permintaan itu tidak dipenuhi, yang diangkat adalah Baginda Chatib, alumni dari
sekolah tersebut (lihat Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1876). Willem
Iskander tidak kembali, karena Willem Iskander tahun 1876 dikabarkan meninggal
dunia Di Belanda setelah beberapa bulan sebelumnya tiga guru muda yang dibawa
Willem Iskander satu per satu meninggal dunia. Pada tahun 1877 di Kweekschool
Fort de Kock ditempatkan kepala sekolah berlisensi Eropa, Mr. Harmsen. Numun ketika,
sekolah guru yang baru dan lebih besar di Padang Sidempuan dibuka tahun 1879
Mr. Harmsen dipindahkan ke Kweekschool Padang Sidempuan (untuk menggantikan
Willem Iskander).
Pada tahun 1879
seorang muda lulusan sekolah kedokteran di Belanda yang ditempatkan di
Panjaboengan sebagai opziener (penagawas) beralih profesi menjadi guru bernama
Charles Adrian van Ophuijsen. Setelah mendapat lisensi guru (diuji oleh komite
yang dibentuk khusus) Charles Adrian van Ophuijsen layak menjadi guru dan untuk
sementara ditempatkan magang di Kweekschool Probolinggo. Pada tahun 1881
Charles Adrian van Ophuijsen pindah ke Padang Sidempuan. Pada tahun 1883 Charles
Adrian van Ophuijsen menggantikan Mr. Harmsen sebagai direktur Kweekschool
Padang Sidempuan. Sejak ditangani van Ophuijsen sekolah guru Padang Sidempua
semakin pesat perkembangannya. Charles Adrian van Ophuijsen seakan meneruskan
reputasi Willem Iskander. Dari delapan tahun menjadi guru di Padang Sidempuan,
lima tahun terakhir Charles Adrian van Ophuijsen sebagai direktur sebelum
dirinya diangkat Direktur Pendidikan Pantai Barat Sumatra yang berkedudukan di
Padang. Charles Adrian van Ophuijsen, lahir di Solok, anak mantan Controleur di
Afdeeling Natal dan mantan Asisten Residen di Afdeeling Agam, CHW van Ophuijsen.
Untuk sekadar diketahui, ayah Charles Adrian van Ophuijsen adalah pendiri
Kweekschool Fort de Kock tahun 1856.
Dengan
demikian, Willem Iskander tidak hanya berhasil di Tapanoeli tetapi keberhasilan
Tapanoeli yang dipelopori Willem Iskander telah mengubah pandangan umum bahwa
pendidikan di Jawa sangat menyedihkan dan memerlukan gebrakan yang besar. Mutu
pendidikan yang tinggi di Kweekschool Tanobato dan kehebatan guru Willem
Iskander telah memicu pegiat pendidikan di Padangsche untuk mengejar
kertertingalannya. Namun upaya Kweekschool Fort de Kock tidak terwujud. Karena Radja
Medan tetap berada di Padang. Di dalam laporan terbaru Inspektur Pendidikan
Pribumi hanya kweekschool di Padang Sidempoean, Bandoeng, Probolinggo,
Makassar, Tondano dan Amboina yang memenuhi kualifikasi (lihat Koran
Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad, 16-12-1884). Diantara yang memenuhi
syarat kualifikasi, Kweekschool Padang Sidempuan yang terbaik (Bataviaasch
handelsblad, 30-06-1885).
Willem Iskander
adalah pionir pendidikan modern di Indonesia. Penerus semangat Willem Iskander
adalah Charles Adrian van Ophuijsen (kelak menjadi guru besar (tata) bahasa
Melayu di Universiteit Leiden (penemu ejaan van Ophuijsen). Alumni Kweekschool
Padang Sidempoean yang terkenal diantaranya: Dja Endar Moeda, pemilik sekolah
swasta di Kota Padang (1895) dan editor surat kabar pribumi pertama Pertja
Barat di Koata Padang (1897); Mangaradja Salamboewe, anak Dr. Asta (siswa
pertama dari luar Djawa diterima di Docter Djawa School) editor kedua pribumi
Pertja Timor di Medan (1902); Soetan Casajangan, mahasiswa gelombang pertama
studi ke Belanda yang pada tahun 1908 mendirikan Indisch Vereeniging (Perhimpunan
Pelajar) di Leiden; dan Mangaradja Hamonangan, guru di Padang Sidempuan, ayah
dari Soetan Goenoeng Moelia (Menteri Pendidikan RI yang kedua).
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar