Jumat, 25 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (11): 1001 Teks Nama Yogyakarta; Jogja, Djogja, Djokja Jogdja, Jocja, Jogya, Djokjo, Jugya dan Lainnya


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Nama Yogyakarta sudah lama diproklamirkan, tetapi tidak semua orang munuruti. Masih banyak yang menuliskannya dengan nama Jogjakarta. Tahun 1884 warga Semarang sudah mengusulkan agar nama Jogjakarta ditulis dengan Djokjakarta (lihat De locomotief, 26-08-1884). Namun usul itu nyatanya tidak dituruti. Akibatnya hingga kini nama Yogyakarta dan Jogjakarta, keduanya masih eksis.

De locomotief, 26-08-1884
Ketika kota-kota lain sudah beres soal penulisan nama, Yogyakarta nyatanya belum selesai. Padang, Medan, Bogor dan Depok sejak doeloe tidak ada masalah. Jacatra menjadi Djakarta lalu Jakarta. Samarang menjadi Semarang. Sourabaja, Soerabaija berakhir dengan Surabaya. Soeracarta, Soerakarta berakhir dengan Surakarta. Bandong, Bandoeng menjadi Bandung. Tidak ada lagi orang Bandung menulis Bandoeng. Yogyakarta dan Jogjakarta hingga kini masih eksis. Penulisan nama Yogyakarta dan Jogjakarta di satu sisi dan di sisi lain Djokjakarta (versi Semarang) tidak hanya itu tetapi juga persoalan apakah perlu disingkat: Yogya, Jogja, Djokja. Yang sudah lama beres adalah penulisan karta, kerta dan carta akhirnya mengerucut menjadi karta. Sesungguhnya, orang Yogyakarta sendiri belum sepenuhnya tuntas menulis nama kotanya. Jogja Istimewa, Jogja Never Ending.

Pada masa lampau, penulisan nama Yogyakarta tidak hanya dua tiga macam, tetapi sangat banyak ragamnya. Boleh dikatakan 1001 macam penulisan. Itu semua bersumber dari apa yang dipikirkan, diucapkan dan ditulis tidak sejalan dengan apa yang diinginkan, didengar dan dibaca. Bagaimana itu semua terjadi? Mari kita telusuri.

Mataram dan Cartasoera (Peta 1700)
Nama Kota Yogyakarta diduga kuat berasal dari nama kerajaan/kraton yang muncul pada tahun 1755 dengan nama Ngajogjakarta Adiningrat. Pencetus nama kraton ini diduga kuat adalah Pangeran Mangkoeboemi dengan gelar Soeltan Hamengkoeboewono (I). Hal ini menyusul inisiatif Pakoeboewono III memisahkan Mataram menjadi dua kraton yang kini situsnya masih ada masing-masing di Surakarta dan Yogyakarta. Sebelumnya kraton Cartosoera dipindahkan berubah nama menjadi Soeracarta Adiningrat (1744). Lantas kapan nama kraton Ngajogjakarta Adiningrat diadopsi menjadi nama kota? Sejak adopsi inilah lebih dua abad beragam nama muncul tentang apa yang dipikirkan, diucapkan, ditulis, diinginkan, didengar dan dibaca. Dua nama yang masih tersisa hingga ini hari adalah penulisan nama Yogyakarta dan Jogjakarta.

Kapan Nama Kota Yogyakarta Muncul?

Nama kota Jogjakarta berasal dari nama kraton Ngajogjakarta Adiningrat. Itu baru dimulai tahun 1755. Sebagaimana kota-kota lainnya di Indonesia, secara historis terbentuknya kota Yogyakarta dihubungkan dengan kehadiran orang-orang Eropa/Belanda. Dalam hal ini, tempat kedudukan pemerintahan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda (VOC/Belanda) menjadi kota utama (hoofdplaat) yang kemudian menjadi ibukota wilayah.

VOC/Belanda mengadopsi nama kota (ibukota) paling tidak berdasarkan tiga nama situs: nama area penduduk (kampong, kraton, dll), nama alam (sungai, gunung, dll), dan nama benteng (nama benteng juga ada yang mengikuti nama dua yang pertama). Dalam pembentukan kota, VOC/Belanda tidak pernah mengakuisisi area atau pemukiman penduduk. Sebab penduduk dan pemimpin lokal adalah mitra strategis VOC/Belanda (untuk bekerja sama). Oleh karena itu, VOC/Belanda memilih tempat tidak jauh dari area pemukiman penduduk untuk mendirikan pos perdagangan atau benteng (koloni). Dengan pusat di loji (loge) atau benteng (fort) kota secara perlahan-lahan terbentuk. Lalu pada gilirannya nama kota terbentuk. Itu yang terjadi dengan kota-kota Batavia, Semarang, Sourabaja dan Cartasoera atau Soeracarta.    

VOC/Belanda mendirikan loji (loge) di sisi timur jalan antara kraton dan simpang (kelak disebut Toegoe). VOC/Belanda memperluas area perdagangannya ke wilayah kraton Ngayogyakarta Adiningrat setelah era baru VOC/Belanda dengan kraton Soeracarta tahun 1754. Di area loji ini berkembang pasar. Pasar ini semakin berkembang sehubungan dengan semakin banyaknya orang-orang Tionghoa yang datang dari Semarang. Namun dalam perkembangannya terjadi pendudukan Prancis tahun 1795. VOC/Belanda yang mulai melemah dan akhirnya dibubarkan. Kerajaan Belanda mengambil alih VOC/Belanda sehubungan dengan peralihan dari Prancis ke Belanda dengan membentuk Pemerintahan Hindia Belanda (1800).

Langkah pertama yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda yang dimulai pada era Daendels adalah memgembangkan pertanian/perkebunan yang sudah ada di seluruh Jawa. Untuk menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi pada tahun 1809 dibangun jalan utama (Grooteweg). Dari Batavia ke arah barat di Anjer melalui Anke, Tangerang, Serang. Lalu dari Batavia ke Panaroekan melalui Buitenzorg, Tjiseroa, Baybang, Sumadang, Chirebon, Tegal, Paccalongan, Semarang, Joana, Banjer, Sidajoe dan Sourabaija. Akan tetapi pada tahun 1811 terjadi pendudukan Inggris. Kraton Ngajogjakarta Adiningrat tidak senang dengan kehadiran Inggris dan pemberontakan yang terjadi dapat dipadamkan Inggris di bawah komando Kolonel Gillespie pada tanggal 20 Juni 1812.    

Intensitas hubungan Eropa/Belanda dengan kraton baru dimulai lagi tahun 1822 dengan menempatkan seorang Residen di wilayah kraton Ngayogyakarta Adiningrat. Residen pertama adalah HG Nahuijs. Residen tidak berkedudukan di loji (loge) yang sudah ada sejak era VOC/Belanda yang berada tidak jauh dari kraton (loji besar). Residen menempati loji kecil di jalan menuju Magelang (dekat simpang). Pemerintah Hindia Belanda mendirikan tugu di simpang ini sebagai penanda navigasi yang disebut Witte Paal (kemudian dikenal sebagai Toegoe). Sementara loji besar dijadikan sebagai pos pos perdagangan utama.

Eskalasi politik kembali meningkat. Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Residen menyingkir ke Soeracarta. Perang besar tidak terhindarkan dan terjadilah perang (Perang Jawa). Perang yang berlarut-larut ini baru berakhir pada tahun 1830 setelah ditangkapnya Pangeran Diponegoro.

Pos perdaganan utama (loji besar) baru dikembangkan setelah usai Perang Jawa (1825-1830). Loji besar ini ditingkatkan menjadi benteng besar (fort) yang kemudian dikenal sebagai Fort Vredeburg. Pada fase DOM ini markas militer tidak berada di benteng Vredeburg tetapi dibangun di sebelah barat benteng (Pakis). Sementara barak militer dibangun di belakang benteng. Pada saat ini Pemerintah Hindia Belanda dipulihkan dengan menempatkan kembali Residen. Rumah/kantor Residen dibangun di seberang jalan benteng Vredeburg (lihat Peta 1833). Dalam peta ini nama kota telah diidentifikasi sebagai Djocjocarta.

Peta Yogyakarta (1833)
Peta tahun 1833 mengindikasikan suatu peta Daerah Operasi Militer (DOM). Dalam peta ini area sekitar benteng diidentifikasi dengan nama Djocjocarta, suatu nama tempat utama (hoofdplaat) yang menjadi kedudukan Residen. Nama Djocjocarta diduga kuat mengambil nama kraton Ngajogjakarta Adiningrat yang diduga telah muncul sejak era VOC/Belanda. Sejauh ini (1833), nama Yogyakarta sebagai nama suatu kota atau nama suatu wilayah masih sangat jarang ditemukan. Peta ini adalah salah satu diantara sumber awal yang mengindikasikan nama Yogyakarta sebagai sebuah kota.

Identifikasi Yogyakarta sebagai nama kota atau nama wilayah haruslah dipandang sebagai kepentingan orang Eropa (Belanda dan Inggris). Sebab pihak kraton tetap menyebut lingkungan (area) kraton dengan Ngajogjakarta Adiningrat. Dalam hal ini orang Eropa sangat kesulitan untuk menyebut Ngajogjakarta Adiningrat sebagai penanda suatu tempat. Orang Eropa menyebut dengan lebih ringkas sesuai yang mereka dengar dan menuliskannya dalam aksara Latin sebagai Djocjocarta.

Nama Djocjocarta paling tidak sudah muncul pada era VOC/Belanda tahun 1786 (lihat Leydse courant, 16-02-1787). Disebutkan kepala pedagang (opper koopman) dan Residen pertama di Djocjocarta JM van Rhijn cuti ke Belanda. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa penempatan pertama Residen di Soeracarta terjadi tahun 1753, sementara nama Ngajogjakarta Adiningrat muncul tahun 1755 sehubungan dengan pemisahan kraton di Mataram. Besar dugaan yang meringkas nama Ngajogjakarta Adiningrat menjadi Djocjocarta adalah para pejabat VOC/Belanda di Soeracarta.

Pada saat pendudukan Inggris (1811-1816) nama Djocjocarta masih terus dilestarikan sebagai nama wilayah dimana kraton Ngajogjakarta Adiningrat berada. Berdasarkan Almanak 1815 Residen Inggris di Djocjocarta adalah Captain C. Garnham dan Lieutenant E Taylor sebagai Assistant.

Dalam Almanak 1810 (era Gubernur Jenderal Daendels) Pemerintahan Hindia Belanda di Pantai Utara dan Timur Jawa (Noord en Oost-kust) disebut Semarang en Demak (yang meliputi Semarang, Demak, Tegal, Paccalongan, Japara, Rembang, Soerabaja, Gresik, Pasoerouan dan Namjoewangi). Nama Surakarta dan Yogyakarta belum disebut. Artinya, bahwa sejak era VOC/Belanda berakhir tidak ada lagi pemerintahan (Belanda) di Djocjocarta dan baru kembali ada setelah pendudukan Inggris. Sebagaimana telah disebutkan di atas pada tahun 1812 terjadi perang antara pihak kraton dengan militer Inggris (lihat Java government gazette, 01-08-1812).

Setelah Inggris digantikan kembali oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1816 nama Djocjocarta tetap dipertahankan, Dalam hal ini Pemerintah Hindia Belanda baru membentuk kembali pemerintahan di Djocjocarta pada tahun 1822 dengan mengangkat HG Nahuijs sebagai Residen (lihat Bataviasche courant, 04-01-1823). HG Nahuijs sendiri sebelumnya adalah Residen di Soeracarta yang ditempatkan pada tahun 1818 (lihat Bataviasche courant, 11-04-1818).

Nahuijs adalah pahlawan Belanda di Soeracarta dan Djocjocarta. Nahuijs tidak hanya sebagai residen pertama di Soeracarta dan Djocjocarta pada era Pemerintah Hindia Belanda tetapi juga aktif dalam Perang Jawa. Dalam penangkapan Pangeran Diponegoro dan perundingan kembali dengan pihak kraton pasca Perang Jawa peran HG Nahuijs sangat besar (lihat Algemeen Handelsblad, 04-05-1857). HG Nahuijs adalah seorang tentara profesional yang berpangkat Luitenant Colonel. Untuk sekadar catatan HG Nahuijs adalah orang Eropa pertama yang berhasil mencapai puncak (kawah) gunung Merapi tahun 1820 pada saat menjadi Residen Soeracarta. Saat meletus gunung Merapi tanggal 31 Desember 1822 HG Nahuijs sudah ditempatkan di Djocjocarta sebagai Residen.   

Beragam Nama Yogyakarta: Orang Belanda Juga Pusing

Pasca Perang Jawa, di lingkungan kraton Ngajogjakarta Adiningrat telah muncul sebuah kota baru yang disebut Djocjocarta. Sejak ini nama Djocjocarta baik sebagai nama tempat (kota) maupun sebagai nama wilayah semakin sering dilaporkan atau diberitakan pada surat kabar. Penggunaan nama Djocjocarta bersifat tunggal sejak era pendudukan Inggris. Pada tahun 1826 mulai ada yang mengeja dengan nama Djocjacarta (lihat Nederlandsche staatscourant, 20-11-1826). Dalam hal ini huruf o diubah menjadi huruf a. Yang menulis dengan Jocjacarta (tanpa didahului oleh huruf D) mulai muncul pada tahun 1843 (Opregte Haarlemsche Courant, 19-09-1843).

Pada tahun-tahun selanjutnya penulisan nama Yogyakarta semakin beragam. Boleh jadi karena pada era tersebut belum ada aturan baku. Namun demikian, seorang penulis buku geografi mengingatkan di dalam bukunya Geografische Namen (1907) seharusnya penulisan nama tempat disesuaikan dengan nama aslinya. Di dalam buku itu disebutkannnya Ngawi dan Ngandjoeq dalam pelafalan orang Jawa untuk asal kata Awi dan Andjceq. Tapi penulis ini lupa mengomentari mengapa Ngajogjakarta kemudian harus dikorting menjadi hanya Jogjakarta.

Penulisan nama Yogyakarta yang beragam tersebut teridentifikasi sebagai berikut: Djocjocarta, Djocjacarta, Djokdjokarta, Djokdjocarta, Djokdjakarta, Djokdjacarta, Djokjacarta, Djokjakarta, Djocjokarto, Djocjocarto dan Djokjokarto. Selain itu nama Yogyakarta ditulis seperti berikut: Jokjakarta, Jokjacarta, Jogjacarta, Jogjakarta, Jogdjakarta, Jogdjacarta, Jockjakarta, Jagjakarta, Jogjokarto, Jokjokarto, Meski sudah muncul penulisan Yogyakarta tetapi masih sangat jarang. Variasi lainny adalah Yogyacarta, Yogjakarta dan Yogdjakarta.

Dari berbagai penulisan yang beragam tersebut yang paling banyak ditemukan (di atas 10 ribu entri) adalah penulisan dengan Djokjakarta (70 ribu entri); Jogjakarta (15 ribu entri); dan Djocjakarta (10 ribu entri). Itu baru satu hal. Hal lainnya adalah penulisan nama Yogyakarta juga dilakukan dengan cara memisahkan sebagai misal Jogjakarta ditulis dengan Jogja Karta. Jumlah entri keseluruhan pemisahan ini juga sangat banyak. Namun ternyata tidak hanya itu saja, penulisan nama Yogyakarta juga dilakukan dengan cara pemenggalan nama. Sebagai contoh penulisan dengan nama Djokja terdapat 120 ribu entri (sudah termasuk pemisahannya); penulisan dengan nama Jogja terdapat 14 ribu entri.

Penulisan nama Yogyakarta yang beragam mulai ada yang mengusulkan agar ditulis dengan nama Djokjakarta untuk menggantikan penulisan Jogjakarta (De locomotief, 26-08-1884), Boleh jadi usul ini ingin mempertahankan penulisan yang lama yang diawali dengan huruf D sehubungan dengan semakin populernya penulisan dengan tanpa huruf D (Jogjakarta). Besar dugaan bahwa penulisa dengan didahului huruf D lebih umum di Semarang, sebaliknya di wilayah Yogyakarta ditulis dengan tanpa guruf D (Jogjakarta).

Melihat perimbangan penulisan Djokjakarta sangat dominan (70 ribu) sementara penulisan dengan Jogjakarta hanya 15 ribu entri. Boleh jadi alasan ini yang menyebabkan warga Semarang agar penulisan Jogjakarta diubah menjadi Djokjakarta.

Bataviaasch nieuwsblad, 01-09-1898
Dalam perkembangannya, penegasan penulisan nama Yogyakarta dengan huruf tanpa D (Jogjakarta) diperkuat dari lingkungan kraton. Dalam suatu kesempatan di hadapan Gubernur Jenderal sehubungan naik tahta putri Kerajaan Belanda tepat pada ulang tahun yang ke-18. Sultan membacakan teks tertulis yang kemudian dikutip oleh berbagai surat kabar. Di dalam teks itu ditulis dengan Ngajogjakarta (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 01-09-1898). Tulisan ini boleh merupakan publikasi pertama dari kerajaan dalam bentuk teks tertulis dalam aksara Latin.  

Penulisan nama Yogyakarta selain didahului huruf D dan huruf J, pernah muncul penulisan yang didahului dengan huruf Y yakni Yogyakarta (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 15-08-1894). Penulisan dengan nama Yogyakarta pernah muncul beberapa kali pada tahun 1894. Namun setelah itu tidak pernah muncul lagi. Penulisan Yogyakarta serupa ini baru muncul pada tahun 1970an setelah penyesuaian ejaan ke EYD yang mana huruf j menjadi huruf y. Penulisan Yogyakarta dalam hal ini sudah barang tentu mengacu pada Jogjakarta.

Pada masa kini tentu saja penulisan yang benar adalah Yogyakarta. Namun di luar hal yang bersifat resmi, warga Yogyakarta adakalanya menulis dengan nama lama Jogjakarta. Namun yang menjadi persoalan mengapa harus memunculkan kembali nama Jogjakarta sementara di kota lain, misalnya Jakarta sangat jarang kembali dengan penulisan nama lama Djakarta. Apakah ada hambatan untuk meninggalkan masa lampau seperti halnya dulu warga Semarang sulit melupakan penulisan nama Yogyakarta yang didahului dengan huruf D. Cara begini hanya membebani para pencari data dan informasi. Tidak hanya cukup satu nama entri tetapi harus dua nama entri.

Ada perbedaan antara orang-orang (warga) Belanda di Semarang dengan kraton yang ingin nama kota ditulis dengan Djokjakata sementara kraton tetap dengan Ngajogjakarta. Dua pihak memiliki kepentingan masing-masing. Namun lambat laun secara alamiah yang mengemuka dalam lebih kompomistis yakni Jogjakarta. Dalam hal ini tidak ditulis dengan Djokjakarta dan juga tidak dengan Ngajogjakarta. Namun pada masa ini ada sebagian warga Yogyakarta yang menulis dengan Jogjakarta padahal sudah sejak lema diformalkan menjadi Yogyakarta.

Pada era teknologi zaman now ini persoalan penulisan nama Yogyakarta ternyata tidak mereda. Mari kita search kata Yogyakarta di google akan teridentifikasi sebanyak 143.000.000 (searching dilakukan tanggal 26 Januari 2019). Lalu bandingkan denga kata Jogjakarta akan teridentifikasi sebanyak 12.000.000. Jelas bahwa kata Yogyakarta lebih dominan, tetapi angka 12 juta entri untuk kata Jogjakarta bukanlah angka yang kecil yang bisa diabaikan. Namun yang sangat mencengangkan jika diketik kata Djogjakarta akan teridentifikasi sebanyak 246.000 entri. Tidak banyak memang, tetapi persoalannya mengapa di zaman kini masih muncul yang mengingatkan kita pada tahun 1884 yang mana lidah warga Belanda Semarang lebih pas dengan Djokjakarta. Selajutnya ketik kata Djogdjakarta akan teridentifikasi sebanyak 13 ribu entri. Jika hanya memanggal nama dengan mengetik Jogja saja akan teridentifikasi sebanyak 76 juta entri. Nah, lho!. Memang Jogja Istimewa; Jogja Never Ending.

Entri Pelacakan Era Digital: Pastikan Penulisan Nama Sesuai Diinginkan

Persoalan penulisan nama Yogyakarta bukanlah hal sepele. Sebab konsekuensinya ternyata cukup besar. Ketika anda belajar sejarah Yogyakarta dengan hanya mengandalkan kata kunci Yogyakarta ketika melakukan pelacakan data dan informasi di internet (google atau situs tertentu) maka anda sesungguhnya tidak mendapatkan apa-apa.

Dari persoalan penulisan nama Yogyakarta yang sangat beragam ini kita belajar bahwa untuk mengenal sejarah Yogyakarta tidak cukup hanya satu kata Yogyakarta. Kita harus menggunakan kata kunci yang banyak. Juga perlu memperhatikan persoalan pemisahan dan pemenggalan kata. Hanya dengan demikian kita dapat meningkatkan reliabilitas dan validitas data dan informasi dalam penulisan sejarah Yogyakarta. Repot memang, tetapi harus dilakukan. Itulah yang sedikit pusing dalam memahami sejarah Yogyakarta.
Pelajaran ini tidak hanya berlaku untuk Yogyakarta, tetapi juga berlaku untuk kota-kota lain. Mungkin anda cukup berpikir hanya menggunakan kata kunci untuk sejarah Semarang yakni Semarang dan Samarang.  Akan tetapi itu ternyata tidak cukup harus menggunakan kata kunci ketika Samarangh. Hal yang sama juga dengan sejarah Surabaya harus piawai menggunakan kata-kata kunci lainnya seperti Soerabaja, Soerabaija atau Sourabaja. Tentu saja untuk Bogor meski tampak seakan kata kunci gembok tunggal, ternyata harus juga menggunakan kata kunci Inggris yakni Buitenzorg. Selamat belajar sejarah.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar