* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta adalah dua kraton yang berpangkal dari satu: Kerajaan Mataram. Dua kraton menjadi terpisah karena perbedaan-perbedaan di sisi internal. Pada sisi eksternal VOC/Belanda ingin menjalankan kebijakan baru yang menjadikan penduduk (pribumi) sebagai subjek. Sebelumnya VOC hanya menjalankan kontak perdagangan yang longgar terutama di kota-kota pantai hingga tahun 1666.
Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta adalah dua kraton yang berpangkal dari satu: Kerajaan Mataram. Dua kraton menjadi terpisah karena perbedaan-perbedaan di sisi internal. Pada sisi eksternal VOC/Belanda ingin menjalankan kebijakan baru yang menjadikan penduduk (pribumi) sebagai subjek. Sebelumnya VOC hanya menjalankan kontak perdagangan yang longgar terutama di kota-kota pantai hingga tahun 1666.
Cartasoera dan benteng VOC/Belanda (1724) |
Lantas bagaimana
selanjutnya dengan Mataram? Babak baru VOC/Belanda dimulai. Setelah melakukan
ekspedisi-ekspedisi ke pedalaman di Sulawesi dan Sumatra, VOC/Belanda mulai melakukan
beberapa ekspedisi ke pedalaman di wilayah Jawa. Ekspedisi dilakukan ke hulu
sungai Tjiliwong (eks Kerajaan Padjadjaran) pada tahun tahun 1687. Ekspedisi
ini dimulai dari muara sungai Tjimandiri (Pelabuhan Ratu yang sekarang). Sebelumnya
telah dilakukan ekspedisi ke ke Kerajaan Mataram melalui benteng Missier di
Tegal pada tahun 1681.
Fort Missier di Tegal (1706) |
Ekspedisi VOC/Belanda ke Mataram
VOC/Belanda membuka pos
perdagangan di Demak dan Tegal. Untuk memasuki wilayah pedalaman yang berpusat
di Cartosoero/Mataram VOC memulai pembangunan benteng Missier, tiga jam
perjalanan dari Tegal. Ekspedisi kemudian dilakukan yang dipimpin oleh Jacob
Couper. Wilayah pedalaman ini berhasil ditaklukkan pada tanggal 16 Desember
1681. Lalu benteng Missier dibangun.
Peta ekspedisi VOC/Belanda (1700) |
Salah satu hasil
ekspedisi ini adalah penyerahan Semarang ke pihak VOC/Belanda pada tahun 1705. Ekspedisi
berikutnya dilakukan ke Cartosoera yang dilakukan pada tanggal 24 Oktober 1705
dibawah pimpinan Herman de Wilde yang mengikuti rute Semarang, Oengaran,
Toentang, Salatiga, Cartosoera. Sejak penyerahan Semarang, lalu pusat koloni VOC/Belanda
bergseser dari Missier/Tegal ke Semarang. Lalu benteng dibangun di Semarang yang
berlokasi di sisi timur muara sungai Semarang yang selesai tahun 1708.
Cartasoera dan benteng VOC/Belanda (Peta 1724a) |
Pada tahun 1719
VOC/Belanda sudah mulai melakukan introduksi penanaman kopi di wilayah Semarang
sebagaimana telah mulai dirintis di hulu sungai Tjiliwong. Dalam perkembangannya,
pada rute Semarang-Cartosoera kemudian sejumlah benteng dibangun sebagaimana
didokumentasikan dalam Peta 1724. Dalam peta ini terindikasi di sekitar
Cartosoero telah dibangun sebuah benteng. Benteng ini diduga adalah
perkembangan lebih lanjut dari pos perdagangan VOC/Belanda yang teridentifikasi
pada Peta 1700. Benteng-benteng yang yang dibangun antara Semarang dan
Cartosoera adalah:benteng Semarang, benteng Koedapajong (antara Dodol dan
Lagoe), benteng Oengaran, benteng Toentang benteng Rievier Lou, benteng
Salatiga, benteng Verlantene Pagger di Salatiga dan benteng Cartosoera (lihat
Peta 1724).
Pada tahun 1741
benteng-benteng ini diduduki ketika meletus pemberontakan Cina (yang
berkolaborasi dengan sebagian penduduk asli Jawa. Pemberontakan Cina di Jawa
ini diduga sebagai ekses dari kejadian pembantaian orang-orang Tionghoa di
Batavia tahun 1740 dan masalah internal di seputar kraton Cartosoero.
Pemberontakan kolaborasi Tionghoa dan Jawa ini dapat dipadamkan oleh
VOC/Belanda.
Pemindahan Ibukota Cartosoero ke
Soeracarta
Untuk mengembangkan kerjasama
yang lebih erat dengan kraton dan membangun pertahanan yang lebih kuat,
VOC/Belanda bersama-sama Susuhunan memindahkan ibukota (kraton) dari Cartosoero
ke tempat yang baru yang disebut Soeracarta. Pemindahan ini dilakukan pada
tahun 1745. Jika dibandingkan dengan di Cartosoero, kraton di Soeracarta dibuat
megah dan benteng VOC/Belanda yang baru di Soeracarta dibangun sangat kuat.
Sejak itu kraton Mataram di Soeracarta tidak pernah berpindah lagi. Benteng
VOC/Belanda di Soeracarta ini kelak disebut Vastenburg.
Karta Soera dan Mataram (Peta 1724b) |
Kesepakatan-kesepakatan
yang dilakukan kraton dengan VOC/Belanda
tidak membuat tenang di lingkungan kraton. Sejumlah pangeran dan kraton
lainnya justru tetap menarik garis pemisah dengan VOC/Belanda. Perdamaian
secara menyeluruh tidak kunjung tercipta. Pukubuwono III mulai mengambil
inisiatif untuk memisahkan Soeracarta dengan Mataram. Pemisahan ini dibuat
dalam suatu perjanjian: Perjanjian Gijanti 13 Februari 1755.
Pada tahun 1753 Gubernur Jenderal J
Mossel telah menempatkan resident pertama di Soeracarta. Resident ini dibantu
oleh seorang Soldy Boekhouder. Resident yang sudah ada berada di Tegal. Gresik,
Japara, Rembang, Joana dan Sumanap. Sementara di Seamarang seorang Tweede
Administrateur yang membawahi seorang secretaris poltie, soldy boekhouder,
inlandse soldy boekhouder dan beberapa pegawai lainnya. Pada tahun 1754
dilakukan perubahan yang mana di Residentie Soeracarta terdiri dari kepala yang
merangkap kepala pedagang (opperkoopman), pedagang kedua, soldy boekhouder yang
merangkap sebagai pedagang dan translateur yang merangkap sebagai boekhouder.
Sementara di Semarang ditingkatkan yang terdiri dari seoerang gubernur dan
seorang direktur, opperkoopman, hoofd administrateur, dua cooplieden, seorang
secretaris, dua pakhuismeester, cassier, sabandar, ontfanger dan soldy
boekhouder.
Pemisahan Mataram
menjadi dua wilayah. Wilayah timur menjadi wilayah Soeracarta dan wilayah barat
menjadi wilayah Jogjakarta. Pangeran Mangkubumi di Jogjakarta kemudian dinobatkan
menjadi gelar Hamengkoeboewono. Untuk menandai pemisahan ini Hamengkoeboewono
mendirikan ibukota (kraton) yang baru di sebelah barat Kota Gede. Ibukota
kraton ini adalah kraton Jogjakarta yang sekarang. Sebagaimana ibukota kraton
Soeracarta tidak pernah berubah lagi, ibukota kraton Jogjakarta juga tidak
pernah berubah lagi hingga sekarang.
Kedekatan kraton Soeracarta dengan
VOC/Belanda membuat wilayah Soeracarta menjadi maju pesat. Kemajuan ini
dihubungkan dengan pengembangan pertanian yang mulai terintegrasi dengan
pengembangan pertanian di wilayah Semarang. Bantuan VOC/Belanda yang terus
mengalir ke kraton Soeracarta memungkinkan pembangunan infrastruktur berjalan
baik, terutama pembangunan jalan dan jembatan. Arus barang menjadi terbagi dua
yakni melalui darat ke (pelabuhan) Semarang dan melalui air sungai Bengawan
Solo ke (pelabuhan) Soerabaja. Perkembangan pertanian di wilayah Jogjakarta
sangat tergantung perkembangan ekonomi di wilayah Soeracarta. Kota Soeracarta
yang terus berkembang menjadi ‘hub’ bagi pertumbuhan perekonomian di wilayah
Jogjakarta. Arus barang dan komoditi dari dan ke wilayah Jogjakarta semuanya
melalui Soeracarta. Wilayah Jogjakarta sangat mengandalkan komoditi pangan
terutama beras (untuk diekspor).
Pada masa penguasaa
(pendudukan) Prancis (sejak 1795) situasi dan kondisi menjadi sulit di berbagai
wilayah termasuk wilayah Soeracarta dan lebih-lebih wilayah Jogjakarta.
VOC/Belanda mulai loyo dan akhirnya VOC/Belanda dibubarkan.
Pemerintahan Hindia Belanda dan
Pendudukan Inggris: Soeracarta vs Jogjakarta
Setelah VOC/Belanda
dibubarkan dan diambil alih oleh Kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintahan
Hindia Belanda (1800). Namun proses pembentukan pemerintahan Hindia Belanda ini
tidak mudah. Setelah kendornya VOC/Belanda dan terjadinya pendudukan Prancis
(yang hanya terbatas di kota-kota pantai utama di Jawa) terjadi kevakuman di
pedalaman Jawa termasuk Soeracarta dan Djogjacarta. Saat-saat ini pemerintahah
lokal tetap berlangsung dan rasa nasionalis muncul di berbagai tempat (yang
tidak/kurang senang dengan kehadiran asing kembali). Perekonomian yang telah
berkembang sejak VOC/Belanda tetap berlangsung antara berbagai pihak secara
individu dengan pemimpin lokal.
Pemerintah Hindia Belanda, terutama
dengan kepemimpinan Daendels mulai menata perekonomian, khususnya di Jawa
sambil memperkuat administrasi pemerintah dengan mengangkat sejumlah pegawai
pemerintah. Mereka yang diangkat ini adalah orang-orang Eropa/Belanda yang
sudah sejak lama ada di Hindia. Para pejabat-pejabat pemerintahan ini melakukan
pembinaan dengan pemimpin-pemimpin lokal seperti bupati, demang dan
pangeran-pangeran.
Langkah kongret pertama
yang dilaksanakan oleh Pemerintah Hindia Belanda, Gubernur Jenderal Daendels mulai
merintis dan membangun jalan utama (Groote weg) yang menghubungkan bagian barat
hingga bagian timur Jawa. Jalan utama (trans-Java) ini dimulai pada tahun 1909 dengan
menarik garis penghubungan antara Batavia dan Anjer ke barat dan antara Batavia
dan Panaroekan ke timur melalui Buitenzorg, Tjiseroea, Baybang, Sumadang ke
Chirebon. Lalu dari Chirebon ke Semarang, Joana, Sedajoe hingga Soerabaja
(lihat Bataviasche koloniale courant, 05-01-1810). Namun tidak lama kemudian
Pemerintahan Hindia Belanda diambilalih oleh Inggris tahun 1811.
Eskalasi politik yang terjadi di
Eropa dan dinamika yang terjadi di tanah-tanah jajahan terutama di Asia membuat
situasi tidak menentu. Pada tahun 1811 Pemerintah Hinda Belanda terpaksa
melepaskan kekuasaannya kepada Inggris di bawah kepemimpin Lord Minto di India.
Dalam pendudukan Inggris ini di Hindia Belanda dipimpin oleh Raffles.
Pemerintahan Raffles kemudian menetapkan kedudukan ibukota dipindahkan dari Batavia
dan lebih memilih di Buitenzorg (1813). Alasannnya selain terdapat istana
Buitenzorg yang memadai juga karena moda transportasi di jalan utama (Groote
weg) yang sudah lebih baik. Dari Buitenzorg pemerintah pendudukan Inggris,
Raffles memerintah (lihat Java government gazette, 19-12-1812).
Dalam pemerintahan baru
Inggris yang berpusat di Buitenzorg (pulau) Jawa dibagi ke dalam 16 residentie,
yaitu: Bagelen, Bantam (Banten), Banyumas, Basoeki (Besuki), Buitenzorg
(Bogor), Tjirebon (Cirebon), Batavia (Jakarta), Karawang, Kediri, Kedoe
(Karanganyar), Madioen (Madiun), Madoera (Madura), Pasoeroewan (Pasuruan),
Djapara (Jepara), Preanger (Priangan), Pekalongan, Rembang, Samarang
(Semarang), Soerabaja, Soerakarta dan Jogjakarta.
Salah satu wilayah yang mendapat
perlawanan terhadap Inggris adalah wilayah Jogjakarta. Pemerintah Inggris di
Buitenzorg mengambil langkah untuk melumpuhkan Jogjakarta dengan mengirim satu
ekspedisi.
Namun dalam
perkembangannya, pemerintahan Inggris terutama di Jawa dikembalikan kepada
Pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda sebelumnya di bawah
Gubernur Jenderal Daendels yang sudah memiliki konsep pemerintahan tidak sulit
untuk melanjutkan pemerintahan pasca pendudukan Inggris. Namun tidak semua
wilayah menginginkan kedatangan Belanda, Beberapa wilayah di Jawa melakukan
perlawanan terhadap Belanda.
Di Sumatra pengaruh Inggris masih
terasa. Kedudukan Inggris di Bengkoelen menjadi faktor penghambat bagi
Pemerintahan Hindia Belanda. Demikian juga kedudukan Penang di selat Malaka. Sementara
di Ambon, pasca pendudukan Inggris, beberapa wilayah melancarkan permusuhan
melawan Belanda yang digalang oleh Kapiten Pattimura (1817).
Di kota-kota utama di
pantai (utara) Jawa seperti Chirebon, Tegal, Pakalongan, Semarang dan Soerabaja
Pemerintahan Hindia Belanda tidak mengalami kesulitan yang berarti.
Pemerintahan Hindia Belanda cepat kondusif. Namun tidak mudah bagi Belanda
untuk memasuki wilayah pedalaman. Trauma pada pendudukan Inggris di Jogjakarta
masih menyisakan gerakan-gerakan perlawanan. Pemerintahan Hindia Belanda yang
telah menguasai kembali perkebunan-perkebunan kopi di wilayah Semarang hingga
Salatiga, lalu Asisten Residen Salatiga mulai melakukan pendekatan kembali ke
kraton Soeracarta.
Hubungan yang intim antara kratoen
Soeracarta dengan orang Eropa/Belanda sejak era VOC/Belanda memudahkan
pemulihan hubungan antara Pemerintahan Hindia Belanda dengan kraton Soeracarta.
Lalu kemudian Gubernur Jenderal datang ke Soeracarta dan diterima dengan baik
oleh Soesoehoenan (lihat Middelburgsche courant, 10-02-1820). Sejak kedatangan
Gubernur Jenderal di pedalaman Jawa, secara bertahap dan secara perlahan-lahan
Pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan pemerintahan secara efektif. Namun
persoalannnya tidak sepenuhnya pulih. Internal kraton Jogjakarta belum
sepenuhnya menerima kehadiran Belanda.
Residen pertama
Pemerintahan Hindia Belanda yang ditempatkan di Soeracarta adalah Luitenant
Colonel HG Nahuijs. Paling tidak nama Nahuijs sebagai Residen di Soeracarta
sudah diketahui sejak 1820 (lihat Bataviasche courant, 14-10-1820). Saat
Residen Nahuijs inilah benteng Vastenburg direnovasi. Setelah pembentukan
Residentie Kedoe (yang berpusat di Magelang; di era pendudukan Inggris Residentie
Bagelen) pembentukan pemerintahan di Djogjacarta dimulai.
Ibukota Residen Djogjakarta tidak
mengambil tempat di dekat kraton, akan tetapi berada di benteng kecil di dekat
Toegoe, pangkal jalan menuju Magelang. Benteng VOC/Belanda yang berada di dekat
kraton (Vredeburg) hanya berfungsi sebagai garnisun dan tempat penampungan
barang dan komoditi. Residen pertama yang bertugas di Residentie Djogjakarta
adalah Letnan Kolonel HG Nahuijs. Sebelumnya HG Nahuijs adalah Resident
Soeracarta. Letnan Kolonel HG Nahuijs di Djogjakarta paling tidak sudah
diketahui sejak Agustus 1822 (lihat Bataviasche courant, 17-08-1822). Sebagai
pengganti Residen HG Nahuijs di Soeracarta diangkat Mac Gillavrij, seorang yang
berpangkat asisten residen di Gresik. Sejak pertengahan tahun 1822 Gillavrij
telah diangkat menjadi Residen Soeracarta (lihat Rotterdamsche courant,
09-12-1823).
Wilayah-wilayah
pedalaman dari Semarang yakni di Soeracarta, Kedoe dan Djogjakarta belum
kondusif sepenuhnya untuk memulai pembangunan dan pengembangan pertanian. Belum
lama ini (31 Desember 1922) telah terjadi letusan gunung Merapi. Dampaknya
masih terasa, kekhawatiran meletus kembali menjadi faktor penghambat. Namun
faktor penghambat yang sebenarnya adalah gerakan politik yang datang dari
Residentie Djogjakarta. Gerakan politik yang tidak menyukai kehadiran Belanda
digalang oleh Pangeran Diponegoro. Akhirnya perang besar tidak terhindarkan (Perang
Jawa). Perang ini secara terbuka mulai tahun 1825. Pusat pemberontakan di
Djogjakarta sudah berhadapan dengan Luitenan Colonel Cleerens. Sebelumnya
Residentie Kedoe sudah disterilkan di bawah Residen Kedoe dengan membvawa sejumlah
tentara Eropa/Belanda dan 1.500 Madura. Sementara 2.000 Madura lainnya yang
baru pulang dari Sulawesi di arahkan ke Soeracarta untuk mensterilkan Grobogan
(lihat Bataviasche courant, 14-09-1825).
Perang di wilayah Djogjakarta dan
Soeracarta ini menyebabkan pemerintahan sipil mengungsi ke Ambarawa dan Semarang.
Perang yang dilancarkan oleh Pangeran Diponogoro ini cukup alot. Pemerintah
Hindia Belanda mengerahkan pasukan yang besar. Perang baru berakhir pada tahun
1830 setelah ditangkapnya Pangeran Diponegoro. Para veteran Belanda inilah yang
kemudian banyak diangkat sebagai pejabat-pejabat Pemerintah Hindia Belanda di
Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Kolonel AV Michiels (di Soerabaja).
Pemerintahan di Residentie
Jogjakarta Pasca Perang Jawa
Pemerintahan di
Residentie Djogjakarta dimulai kembali setelah usai perang 1830. Namun
pemerintahan masih bersifat militer. Kolonel Cohius membangun markas besar di
dekat kraton Jogjakarta. Markas tersebut tidak di dalam benteng Vredeburg,
melainkan di suatu tempat di sebelah barat benteng. Area antara benteng
(Vredeburg) dengan markas militer (garnisun) mulai didirikan sejumlah bangunan
sipil. Sementara di dalam benteng difungsikan untuk pertahanan. Barak-barak
militer dibangun di belakang benteng.
Peta Djogjakarta, 1833 |
Pada fase inilah benteng
Vredeburg di Jogjakarta direnovasi sehingga mencapai bentuknya seperti yang
masih terlihat sekarang. Dalam perkembangannya kantor Residen (sebelim perang)
di dekat Toegoe dipindahkan ke dekat kraton dengan membangun kantor/rumah residen
di depan benteng Vredeburg. Kantor Residen ini terus mengalami perkembangan
hingga mencapai bentuknya sekarang yang dikenal sebagai Gedung Agoeng.
Kraton Jogjakarta, 1910 |
Sejak berakhrnya perang,
sejak itu pula tidak ditemukan kerusuhan atau pemberontakan yang berarti di
Jogjakarta. Situasi dan kondisi telah berangsur-angsur kondusif sehubungan
dengan pertumbuhan dan perkembangan kota. Jalan utama dari kraton menuju Toegoe
secara bertahap dari kota (seputar benteng dan kantor residen) berkembang
hingga didirikannya stasion kereta api tahun 1890 di sekitar Toegoe. Area
antara Kantor Residen/benteng dengan Toegoe menjadi koridor bisnis yang terbagi
ke dalam empat ruas jalan: Jalan Residentie, Jalan Petjinan, Jalan Malioboro
dan Jalan Toegoe. Selain kraton, situs tertua di tengah kota Jogjakarta yang
sekarang yang tetap eksis adalah benteng Vredeburg dan Kantor Residen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar