Rabu, 23 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (10): Cartasoera dan Soeracarta 1745, Mataram dan Jogjacarta 1755; Vastenburg Solo, Vredeburg Yogya


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta adalah dua kraton yang berpangkal dari satu: Kerajaan Mataram. Dua kraton menjadi terpisah karena perbedaan-perbedaan di sisi internal. Pada sisi eksternal VOC/Belanda ingin menjalankan kebijakan baru yang menjadikan penduduk (pribumi) sebagai subjek. Sebelumnya VOC hanya menjalankan kontak perdagangan yang longgar terutama di kota-kota pantai hingga tahun 1666.

Cartasoera dan benteng VOC/Belanda (1724)
Kerajaan Mataram lahir terkait dengan Kerajaan Majapahit. Kerajaan Mataram ini bermula di Padjang. Lalu dalam perkembangannya, pusat kerajaan dipindahkan ke Kota Gede yang sekarang berada di Yogyakarta. Pada era Sultan Agung kebijakan ekspansi dimulai (untuk menguasai seluruh Jawa dan Madura). VOC/Belanda yang telah memindahkan pusat perdagangannya dari Ambon ke muara sungai Tjiliwong (Batavia) tahun 1619 menjadi batu sandungan. Lalu pada tahun 1628 Sultan Agung (bersama Chirebon dan Banten) menyerang Batavia. Serangan ini gagal. Pada tahun 1666 kebijakan VOC/Belanda diubah (untuk seterusnya) bahwa penduduk dijadikan sebagai subjek. Satu yang pertama dimulai dengan menaklukkan Kerajaan/Kesultanan Gowa-Tallo di Somba Opoe (Macassar) tahun 1667 di bawah pimpinan Admiral Spelmann yang turut dibantu Aroe Palaka. Peta 1724

Lantas bagaimana selanjutnya dengan Mataram? Babak baru VOC/Belanda dimulai. Setelah melakukan ekspedisi-ekspedisi ke pedalaman di Sulawesi dan Sumatra, VOC/Belanda mulai melakukan beberapa ekspedisi ke pedalaman di wilayah Jawa. Ekspedisi dilakukan ke hulu sungai Tjiliwong (eks Kerajaan Padjadjaran) pada tahun tahun 1687. Ekspedisi ini dimulai dari muara sungai Tjimandiri (Pelabuhan Ratu yang sekarang). Sebelumnya telah dilakukan ekspedisi ke ke Kerajaan Mataram melalui benteng Missier di Tegal pada tahun 1681.

Fort Missier di Tegal (1706)
Cartasoera didirikan oleh Adipati Anom (Amangkurat II) tahun 1677 sebagai ibukota kerajaan Mataram yang baru. Ibukota kerajaan yang lama sebelumnya di Plered (Mataram). Pada tahun 1680 dinding Cartasoera dibangun. Kapten François Tack terbunuh di Cartosoero tahun 1686. Dalam perkembangannya, Pangeram Puger diangkat VOC/Belanda sebagai Susuhunan di Cartoesoero tahun 1704 dengan gelar Pakubuwana I. Pada tahun 1745 dilakukan pemindahan kembali ibukota kerajaan dari Cartasoera ke Soeracarta (Solo). Gubernur Jenderal Imhoff (1743-1750) berkunjung ke Soeracarta. Pada tahun 1755 Pakubuwono III melakukan pemisahan Soeracarta dengan Jogjakarta. Ibukota (kraton) Jogjakarta dibangun di kota Yogyakarta yang sekarang.

Ekspedisi VOC/Belanda ke Mataram

VOC/Belanda membuka pos perdagangan di Demak dan Tegal. Untuk memasuki wilayah pedalaman yang berpusat di Cartosoero/Mataram VOC memulai pembangunan benteng Missier, tiga jam perjalanan dari Tegal. Ekspedisi kemudian dilakukan yang dipimpin oleh Jacob Couper. Wilayah pedalaman ini berhasil ditaklukkan pada tanggal 16 Desember 1681. Lalu benteng Missier dibangun.

Peta ekspedisi VOC/Belanda (1700)
Ekspedisi berikutnya dilakukan pada tahun 1695. Dari peta ekspedisi rute yang dilalui dari Missier ke Semarang, Jepara dan Cartosoera. Kemudian memutar ke selatan dan seterusnya ke Mataram lalu ke barat ke Banjoemas dan kemudian ke utara hingga ke benteng Missier kembali. Ada beberapa peta yang dihasilkan. Selain peta rute ekspedisi juga peta yang didalamnya menggambarkan letak/posisi Mataram dan Cartosoero. Dalam peta ini Mataram berada di selatan gunung Merapi dan Cartosoero di timur gunung Merapi. Di Cartosoero sudah dinyatakan tanda adanya pos perdagangan VOC/Belanda. Peta yang lain menggambarkan area Mataram yang diduga sebagai Kota Gede yang sekarang.

Salah satu hasil ekspedisi ini adalah penyerahan Semarang ke pihak VOC/Belanda pada tahun 1705. Ekspedisi berikutnya dilakukan ke Cartosoera yang dilakukan pada tanggal 24 Oktober 1705 dibawah pimpinan Herman de Wilde yang mengikuti rute Semarang, Oengaran, Toentang, Salatiga, Cartosoera. Sejak penyerahan Semarang, lalu pusat koloni VOC/Belanda bergseser dari Missier/Tegal ke Semarang. Lalu benteng dibangun di Semarang yang berlokasi di sisi timur muara sungai Semarang yang selesai tahun 1708.

Cartasoera dan benteng VOC/Belanda (Peta 1724a)
Pada tahun 1719 VOC/Belanda sudah mulai melakukan introduksi penanaman kopi di wilayah Semarang sebagaimana telah mulai dirintis di hulu sungai Tjiliwong. Dalam perkembangannya, pada rute Semarang-Cartosoera kemudian sejumlah benteng dibangun sebagaimana didokumentasikan dalam Peta 1724. Dalam peta ini terindikasi di sekitar Cartosoero telah dibangun sebuah benteng. Benteng ini diduga adalah perkembangan lebih lanjut dari pos perdagangan VOC/Belanda yang teridentifikasi pada Peta 1700. Benteng-benteng yang yang dibangun antara Semarang dan Cartosoera adalah:benteng Semarang, benteng Koedapajong (antara Dodol dan Lagoe), benteng Oengaran, benteng Toentang benteng Rievier Lou, benteng Salatiga, benteng Verlantene Pagger di Salatiga dan benteng Cartosoera (lihat Peta 1724).

Pada tahun 1741 benteng-benteng ini diduduki ketika meletus pemberontakan Cina (yang berkolaborasi dengan sebagian penduduk asli Jawa. Pemberontakan Cina di Jawa ini diduga sebagai ekses dari kejadian pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia tahun 1740 dan masalah internal di seputar kraton Cartosoero. Pemberontakan kolaborasi Tionghoa dan Jawa ini dapat dipadamkan oleh VOC/Belanda.

Pemindahan Ibukota Cartosoero ke Soeracarta

Untuk mengembangkan kerjasama yang lebih erat dengan kraton dan membangun pertahanan yang lebih kuat, VOC/Belanda bersama-sama Susuhunan memindahkan ibukota (kraton) dari Cartosoero ke tempat yang baru yang disebut Soeracarta. Pemindahan ini dilakukan pada tahun 1745. Jika dibandingkan dengan di Cartosoero, kraton di Soeracarta dibuat megah dan benteng VOC/Belanda yang baru di Soeracarta dibangun sangat kuat. Sejak itu kraton Mataram di Soeracarta tidak pernah berpindah lagi. Benteng VOC/Belanda di Soeracarta ini kelak disebut Vastenburg.

Karta Soera dan Mataram (Peta 1724b)
Posisi kraton dan benteng (fort) di Soeracarta tetap mengikuti posisi seperti di Catosoera. Kraton di sebelah selatan dan benteng VOC/Belanda berada di sebelah utara (agar tetap terhubng dengan benteng-benteng jalur pertahanan ke Semarang.

Kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan kraton dengan VOC/Belanda  tidak membuat tenang di lingkungan kraton. Sejumlah pangeran dan kraton lainnya justru tetap menarik garis pemisah dengan VOC/Belanda. Perdamaian secara menyeluruh tidak kunjung tercipta. Pukubuwono III mulai mengambil inisiatif untuk memisahkan Soeracarta dengan Mataram. Pemisahan ini dibuat dalam suatu perjanjian: Perjanjian Gijanti 13 Februari 1755.

Pada tahun 1753 Gubernur Jenderal J Mossel telah menempatkan resident pertama di Soeracarta. Resident ini dibantu oleh seorang Soldy Boekhouder. Resident yang sudah ada berada di Tegal. Gresik, Japara, Rembang, Joana dan Sumanap. Sementara di Seamarang seorang Tweede Administrateur yang membawahi seorang secretaris poltie, soldy boekhouder, inlandse soldy boekhouder dan beberapa pegawai lainnya. Pada tahun 1754 dilakukan perubahan yang mana di Residentie Soeracarta terdiri dari kepala yang merangkap kepala pedagang (opperkoopman), pedagang kedua, soldy boekhouder yang merangkap sebagai pedagang dan translateur yang merangkap sebagai boekhouder. Sementara di Semarang ditingkatkan yang terdiri dari seoerang gubernur dan seorang direktur, opperkoopman, hoofd administrateur, dua cooplieden, seorang secretaris, dua pakhuismeester, cassier, sabandar, ontfanger dan soldy boekhouder.

Pembangunan Ibukota (Kraton) Jogjacarta, 1755 

Pemisahan Mataram menjadi dua wilayah. Wilayah timur menjadi wilayah Soeracarta dan wilayah barat menjadi wilayah Jogjakarta. Pangeran Mangkubumi di Jogjakarta kemudian dinobatkan menjadi gelar Hamengkoeboewono. Untuk menandai pemisahan ini Hamengkoeboewono mendirikan ibukota (kraton) yang baru di sebelah barat Kota Gede. Ibukota kraton ini adalah kraton Jogjakarta yang sekarang. Sebagaimana ibukota kraton Soeracarta tidak pernah berubah lagi, ibukota kraton Jogjakarta juga tidak pernah berubah lagi hingga sekarang.

Kedekatan kraton Soeracarta dengan VOC/Belanda membuat wilayah Soeracarta menjadi maju pesat. Kemajuan ini dihubungkan dengan pengembangan pertanian yang mulai terintegrasi dengan pengembangan pertanian di wilayah Semarang. Bantuan VOC/Belanda yang terus mengalir ke kraton Soeracarta memungkinkan pembangunan infrastruktur berjalan baik, terutama pembangunan jalan dan jembatan. Arus barang menjadi terbagi dua yakni melalui darat ke (pelabuhan) Semarang dan melalui air sungai Bengawan Solo ke (pelabuhan) Soerabaja. Perkembangan pertanian di wilayah Jogjakarta sangat tergantung perkembangan ekonomi di wilayah Soeracarta. Kota Soeracarta yang terus berkembang menjadi ‘hub’ bagi pertumbuhan perekonomian di wilayah Jogjakarta. Arus barang dan komoditi dari dan ke wilayah Jogjakarta semuanya melalui Soeracarta. Wilayah Jogjakarta sangat mengandalkan komoditi pangan terutama beras (untuk diekspor).     

Pada masa penguasaa (pendudukan) Prancis (sejak 1795) situasi dan kondisi menjadi sulit di berbagai wilayah termasuk wilayah Soeracarta dan lebih-lebih wilayah Jogjakarta. VOC/Belanda mulai loyo dan akhirnya VOC/Belanda dibubarkan.

Pemerintahan Hindia Belanda dan Pendudukan Inggris: Soeracarta vs Jogjakarta

Setelah VOC/Belanda dibubarkan dan diambil alih oleh Kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintahan Hindia Belanda (1800). Namun proses pembentukan pemerintahan Hindia Belanda ini tidak mudah. Setelah kendornya VOC/Belanda dan terjadinya pendudukan Prancis (yang hanya terbatas di kota-kota pantai utama di Jawa) terjadi kevakuman di pedalaman Jawa termasuk Soeracarta dan Djogjacarta. Saat-saat ini pemerintahah lokal tetap berlangsung dan rasa nasionalis muncul di berbagai tempat (yang tidak/kurang senang dengan kehadiran asing kembali). Perekonomian yang telah berkembang sejak VOC/Belanda tetap berlangsung antara berbagai pihak secara individu dengan pemimpin lokal.

Pemerintah Hindia Belanda, terutama dengan kepemimpinan Daendels mulai menata perekonomian, khususnya di Jawa sambil memperkuat administrasi pemerintah dengan mengangkat sejumlah pegawai pemerintah. Mereka yang diangkat ini adalah orang-orang Eropa/Belanda yang sudah sejak lama ada di Hindia. Para pejabat-pejabat pemerintahan ini melakukan pembinaan dengan pemimpin-pemimpin lokal seperti bupati, demang dan pangeran-pangeran.

Langkah kongret pertama yang dilaksanakan oleh Pemerintah Hindia Belanda, Gubernur Jenderal Daendels mulai merintis dan membangun jalan utama (Groote weg) yang menghubungkan bagian barat hingga bagian timur Jawa. Jalan utama (trans-Java) ini dimulai pada tahun 1909 dengan menarik garis penghubungan antara Batavia dan Anjer ke barat dan antara Batavia dan Panaroekan ke timur melalui Buitenzorg, Tjiseroea, Baybang, Sumadang ke Chirebon. Lalu dari Chirebon ke Semarang, Joana, Sedajoe hingga Soerabaja (lihat Bataviasche koloniale courant, 05-01-1810). Namun tidak lama kemudian Pemerintahan Hindia Belanda diambilalih oleh Inggris tahun 1811.

Eskalasi politik yang terjadi di Eropa dan dinamika yang terjadi di tanah-tanah jajahan terutama di Asia membuat situasi tidak menentu. Pada tahun 1811 Pemerintah Hinda Belanda terpaksa melepaskan kekuasaannya kepada Inggris di bawah kepemimpin Lord Minto di India. Dalam pendudukan Inggris ini di Hindia Belanda dipimpin oleh Raffles. Pemerintahan Raffles kemudian menetapkan kedudukan ibukota dipindahkan dari Batavia dan lebih memilih di Buitenzorg (1813). Alasannnya selain terdapat istana Buitenzorg yang memadai juga karena moda transportasi di jalan utama (Groote weg) yang sudah lebih baik. Dari Buitenzorg pemerintah pendudukan Inggris, Raffles memerintah (lihat Java government gazette, 19-12-1812).

Dalam pemerintahan baru Inggris yang berpusat di Buitenzorg (pulau) Jawa dibagi ke dalam 16 residentie, yaitu: Bagelen, Bantam (Banten), Banyumas, Basoeki (Besuki), Buitenzorg (Bogor), Tjirebon (Cirebon), Batavia (Jakarta), Karawang, Kediri, Kedoe (Karanganyar), Madioen (Madiun), Madoera (Madura), Pasoeroewan (Pasuruan), Djapara (Jepara), Preanger (Priangan), Pekalongan, Rembang, Samarang (Semarang), Soerabaja, Soerakarta dan Jogjakarta.

Salah satu wilayah yang mendapat perlawanan terhadap Inggris adalah wilayah Jogjakarta. Pemerintah Inggris di Buitenzorg mengambil langkah untuk melumpuhkan Jogjakarta dengan mengirim satu ekspedisi.
   
Namun dalam perkembangannya, pemerintahan Inggris terutama di Jawa dikembalikan kepada Pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda sebelumnya di bawah Gubernur Jenderal Daendels yang sudah memiliki konsep pemerintahan tidak sulit untuk melanjutkan pemerintahan pasca pendudukan Inggris. Namun tidak semua wilayah menginginkan kedatangan Belanda, Beberapa wilayah di Jawa melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Di Sumatra pengaruh Inggris masih terasa. Kedudukan Inggris di Bengkoelen menjadi faktor penghambat bagi Pemerintahan Hindia Belanda. Demikian juga kedudukan Penang di selat Malaka. Sementara di Ambon, pasca pendudukan Inggris, beberapa wilayah melancarkan permusuhan melawan Belanda yang digalang oleh Kapiten Pattimura (1817).

Di kota-kota utama di pantai (utara) Jawa seperti Chirebon, Tegal, Pakalongan, Semarang dan Soerabaja Pemerintahan Hindia Belanda tidak mengalami kesulitan yang berarti. Pemerintahan Hindia Belanda cepat kondusif. Namun tidak mudah bagi Belanda untuk memasuki wilayah pedalaman. Trauma pada pendudukan Inggris di Jogjakarta masih menyisakan gerakan-gerakan perlawanan. Pemerintahan Hindia Belanda yang telah menguasai kembali perkebunan-perkebunan kopi di wilayah Semarang hingga Salatiga, lalu Asisten Residen Salatiga mulai melakukan pendekatan kembali ke kraton Soeracarta.  

Hubungan yang intim antara kratoen Soeracarta dengan orang Eropa/Belanda sejak era VOC/Belanda memudahkan pemulihan hubungan antara Pemerintahan Hindia Belanda dengan kraton Soeracarta. Lalu kemudian Gubernur Jenderal datang ke Soeracarta dan diterima dengan baik oleh Soesoehoenan (lihat Middelburgsche courant, 10-02-1820). Sejak kedatangan Gubernur Jenderal di pedalaman Jawa, secara bertahap dan secara perlahan-lahan Pemerintah Hindia Belanda mulai melakukan pemerintahan secara efektif. Namun persoalannnya tidak sepenuhnya pulih. Internal kraton Jogjakarta belum sepenuhnya menerima kehadiran Belanda.

Residen pertama Pemerintahan Hindia Belanda yang ditempatkan di Soeracarta adalah Luitenant Colonel HG Nahuijs. Paling tidak nama Nahuijs sebagai Residen di Soeracarta sudah diketahui sejak 1820 (lihat Bataviasche courant, 14-10-1820). Saat Residen Nahuijs inilah benteng Vastenburg direnovasi. Setelah pembentukan Residentie Kedoe (yang berpusat di Magelang; di era pendudukan Inggris Residentie Bagelen) pembentukan pemerintahan di Djogjacarta dimulai.

Ibukota Residen Djogjakarta tidak mengambil tempat di dekat kraton, akan tetapi berada di benteng kecil di dekat Toegoe, pangkal jalan menuju Magelang. Benteng VOC/Belanda yang berada di dekat kraton (Vredeburg) hanya berfungsi sebagai garnisun dan tempat penampungan barang dan komoditi. Residen pertama yang bertugas di Residentie Djogjakarta adalah Letnan Kolonel HG Nahuijs. Sebelumnya HG Nahuijs adalah Resident Soeracarta. Letnan Kolonel HG Nahuijs di Djogjakarta paling tidak sudah diketahui sejak Agustus 1822 (lihat Bataviasche courant, 17-08-1822). Sebagai pengganti Residen HG Nahuijs di Soeracarta diangkat Mac Gillavrij, seorang yang berpangkat asisten residen di Gresik. Sejak pertengahan tahun 1822 Gillavrij telah diangkat menjadi Residen Soeracarta (lihat Rotterdamsche courant, 09-12-1823).

Wilayah-wilayah pedalaman dari Semarang yakni di Soeracarta, Kedoe dan Djogjakarta belum kondusif sepenuhnya untuk memulai pembangunan dan pengembangan pertanian. Belum lama ini (31 Desember 1922) telah terjadi letusan gunung Merapi. Dampaknya masih terasa, kekhawatiran meletus kembali menjadi faktor penghambat. Namun faktor penghambat yang sebenarnya adalah gerakan politik yang datang dari Residentie Djogjakarta. Gerakan politik yang tidak menyukai kehadiran Belanda digalang oleh Pangeran Diponegoro. Akhirnya perang besar tidak terhindarkan (Perang Jawa). Perang ini secara terbuka mulai tahun 1825. Pusat pemberontakan di Djogjakarta sudah berhadapan dengan Luitenan Colonel Cleerens. Sebelumnya Residentie Kedoe sudah disterilkan di bawah Residen Kedoe dengan membvawa sejumlah tentara Eropa/Belanda dan 1.500 Madura. Sementara 2.000 Madura lainnya yang baru pulang dari Sulawesi di arahkan ke Soeracarta untuk mensterilkan Grobogan (lihat Bataviasche courant, 14-09-1825).

Perang di wilayah Djogjakarta dan Soeracarta ini menyebabkan pemerintahan sipil mengungsi ke Ambarawa dan Semarang. Perang yang dilancarkan oleh Pangeran Diponogoro ini cukup alot. Pemerintah Hindia Belanda mengerahkan pasukan yang besar. Perang baru berakhir pada tahun 1830 setelah ditangkapnya Pangeran Diponegoro. Para veteran Belanda inilah yang kemudian banyak diangkat sebagai pejabat-pejabat Pemerintah Hindia Belanda di Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Kolonel AV Michiels (di Soerabaja).

Pemerintahan di Residentie Jogjakarta Pasca Perang Jawa

Pemerintahan di Residentie Djogjakarta dimulai kembali setelah usai perang 1830. Namun pemerintahan masih bersifat militer. Kolonel Cohius membangun markas besar di dekat kraton Jogjakarta. Markas tersebut tidak di dalam benteng Vredeburg, melainkan di suatu tempat di sebelah barat benteng. Area antara benteng (Vredeburg) dengan markas militer (garnisun) mulai didirikan sejumlah bangunan sipil. Sementara di dalam benteng difungsikan untuk pertahanan. Barak-barak militer dibangun di belakang benteng.

Peta Djogjakarta, 1833
Untuk mengamankan kraton Jogjakarta Colonel Cohius dibantu oleh sejumlah perwira yang menempati benteng-benteng dan garnisun-garnisun yang mengapit lingkungan kraton. Luitenan Colonel Sollewijn menempati garnisun di barat daya kraton di Kaliwatang; Luitenan Colonel Ledel di Sentolo; Luit. Colonel Le Bron de Vexela di barat kraton di Tegalwaroe; Majoor Spengler di selatan kraton di Tankielan; Majoor Errembault de Dudzeeley di Gamplong/Kemoeso; Captaine Prager di Mangieran/Jedak. Diantara benteng Vredeburg dan garnisun besar ini terdapat garnisun-garnisun kecil. Selain benteng besar Vredeburg juga terdapat benteng besar di Klaten.

Pada fase inilah benteng Vredeburg di Jogjakarta direnovasi sehingga mencapai bentuknya seperti yang masih terlihat sekarang. Dalam perkembangannya kantor Residen (sebelim perang) di dekat Toegoe dipindahkan ke dekat kraton dengan membangun kantor/rumah residen di depan benteng Vredeburg. Kantor Residen ini terus mengalami perkembangan hingga mencapai bentuknya sekarang yang dikenal sebagai Gedung Agoeng.

Kraton Jogjakarta, 1910
Dalam perkembangannya di seputar benteng Vredeburg dan kantor Residen menjadi ramai dan membentuk kota. Pasar yang berada di utara benteng yang telah eksis sejak era VOC/Belanda semakin ramai sehubungan dengan kedatangan orang-orang Tionghoa dan Arab (dari Semarang). Area di utara pasar (kini Pasar Beringhardjo) tumbuh menjadi perkampungan Tionghoa. Sementara perkampungan orang Arab dan Melayu berkembang di dekat kraton yang dikenal sebagai Kaoeman. Dengan semakin kondusifnya keamanan, para investor Eropa/Belanda mulai berdatangan dimana kraton menyewakan lahan-lahan dalam bentuk konsesi untuk pengembangan perkebunan (plantation).

Sejak berakhrnya perang, sejak itu pula tidak ditemukan kerusuhan atau pemberontakan yang berarti di Jogjakarta. Situasi dan kondisi telah berangsur-angsur kondusif sehubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan kota. Jalan utama dari kraton menuju Toegoe secara bertahap dari kota (seputar benteng dan kantor residen) berkembang hingga didirikannya stasion kereta api tahun 1890 di sekitar Toegoe. Area antara Kantor Residen/benteng dengan Toegoe menjadi koridor bisnis yang terbagi ke dalam empat ruas jalan: Jalan Residentie, Jalan Petjinan, Jalan Malioboro dan Jalan Toegoe. Selain kraton, situs tertua di tengah kota Jogjakarta yang sekarang yang tetap eksis adalah benteng Vredeburg dan Kantor Residen.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar