* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Dua tokoh penting dalam Perang Jawa (1825-1830) adalah Pangeran Diponegoro dan Residen Nahuijs. Dalam hal ini, Diponegoro adalah pangeran Kraton Ngajogjakarta Adiningrat, sementara Luitenant Colonel HG Nahuijs adalah mantan Residen Soeracarta. Keduanya adalah sama-sama pahlawan. Pangeran Diponegoro menjadi pahlawan (nasional) Indonesia dan Residen Nahuijs menjadi pahlawan (lokal) Belanda.
Dua tokoh penting dalam Perang Jawa (1825-1830) adalah Pangeran Diponegoro dan Residen Nahuijs. Dalam hal ini, Diponegoro adalah pangeran Kraton Ngajogjakarta Adiningrat, sementara Luitenant Colonel HG Nahuijs adalah mantan Residen Soeracarta. Keduanya adalah sama-sama pahlawan. Pangeran Diponegoro menjadi pahlawan (nasional) Indonesia dan Residen Nahuijs menjadi pahlawan (lokal) Belanda.
Dalam penulisan sejarah di berbagai
tempat di Indonesia, setiap tokoh lokal digambarkan melawan (keseluruhan orang)
Belanda dan sebaliknya orang Belanda hanya menyebut pejabat tertentu menghadapi
perlawanan pemimpin lokal tertentu. Karena itu terkesan pemimpin lokal tertentu
muncul sendiri sebagai pahlawan dalam menghadapi Belanda, sementara nama pejabat
tertentu tenggelam sendiri sebagai pahlawan dalam menghadapi pemimpin lokal.
Faktanya Hindia (baca: Indonesia) itu sangat luas dan orang-orang Belanda menyebar
di berbagai tempat sebagai pejabat. Oleh karena itu dalam sejarah Indonesia
hanya muncul nama-nama sebelum dan sesudah Pangeran Diponegoro seperti Sultan
Hasanoedin dan Radja Sisingamangaradja. Sementara siapa itu Admiral Spelman dan
siapa itu para Gubernur Sumatra’s Weskust kurang dikenal. Setali tiga uang, bagaimana
pemimpin lokal (pahlawan nasional) menghadapi musuh lokal (penghianat bangsa) juga
kurang terinformasikan. Akibatnya pahala para pahlawan nasional dicatat dengan
rinci (bahkan ada yang ditambahkan) sementara seberapa besar dosa para penghianat
bangsa dilupakan begitu saja, seakan tidak memiliki kesalahan apa-apa.
Bagaimana Pangeran
Diponegoro berhadapan (head to head) dengan Residen Nahuijs jarang atau nyaris
tidak terinformasikan. Padahal kedua tokoh ini berada di waktu dan tempat yang
sama. Residen Nahuijs adalah satu-satunya pejabat tertinggi di wilayah
Djocjocarta sementara Pangeran Diponegoro adalah satu-satunya pemimpin lokal
terkenal yang terang-terangan melakukan perlawanan terhadap kehadiran orang
asing. Dalam penulisan sejarah, detail peristiwa kurang tergambarkan dengan
jelas akibatnya kita kurang mendapatkan landasan (domain) sejarah. Untuk itu
mari kita telusuri ke TKP berdasarkan sumber-sumber yang ada pada masa lampau.
Salah satu contoh
kurangnya landasan (domain) sejarah adalah dalam penggambaran sang tokoh
pahlawan Pangeran Diponegoro dihubungkan dengan hal yang tak bertalian. Penulis
Belanda menyebutkan awal peristiwa Perang Jawa terkait dengan pembangunan
kereta api, padahal pembangunan kereta api di wilayah Djocjocarta baru dimulai
tahun 1880an padahal peristiwa yang dilukiskan terjadi pada tahun 1820an. Semua
itu muncul karena dalam penulisan sejarah, detail peristiwa cenderung
dilupakan, padahal inti peristiwa ada disitu. Inti yang menyebabkan eskalasi
politik menjadi eksplosif. Mengapa kesalahan paralaksis muncul disebabkan dua
hal, pertama kurangnya penggalian data. Suatu peristiwa yang jauh di masa
lampau data menjadi terpencar-pencar dan banyak yang hilang atau belum
ditemukan. Upaya menemukan itu tidak dilakukan secara maksimal. Celakanya
minimalis data diperkaya dengan data rekaan. Kedua, dalam analisis kurang
memperhatikan konteks peristiwa (luasnya dampak yang timbul). Penulisan sejarah
menjadi hanya fokus pada satu titik dan abai menguji korelasi dengan kejadian
di tempat lain pada waktu yang sama. Mengabaikan konteks ini membuat sejarah
itu menjadi sempit dan bersifat lokal dan adakalanya hanya disimpulkan dalam
satu kalimat (yang memungkinkan upaya penggelembungan dan pengkerdilan).
Padahal suatu peristiwa lokal jika dianalisis secara kontekstual maka akan
diketahui apakah skala peristiwa sebagai ukuran lokal atau ukuran nasional.
Dalam hal ini, seorang pahlawan apakah dikategorikan sebagai pahlawan lokal
atau pahlawan nasional. Suatu kesalahan atau kebohongan penulisan sejarah di
masa laly pada waktunya akan memunculkan kontroversi. Sebab data baru yang
lebih otentik bermunculan, cara menganalisis juga semakin komprehensif. Dalam
sejarah gotong royong masa kini yang juga memperhitungkan kuota, setiap wilayah
atau daerah harus terwakili dalam sejarah nasional. Pemahaman semacam ini akan
membawa konsekuensi. Boleh jadi seorang tokoh yang seharusnya bergelar pahlawan
lokal ditempatkan sebagai pahlawan nasional, sebaliknya seorang tokoh yang
seharusnya bergelar pahlawan nasional ditempatkan sebagai pahlawan lokal. Tentu
saja yang paling runyam jika dan hanya jika seorang tokoh penghianat bangsa
Indonesia dimasukkan sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Residen HG Nahuijs di Soeracarta dan
Djocjocarta
Pada tahun 1822 HG
Nahuijs harus meninggalkan posisinya sebagai Residen Soeracarta dan ditempatkan
di Djocjocarta sebagai Residen yang baru. Residen di Soeracarta ditempati oleh
seorang sipil. HG Nahuijs yang berpangkat Luitenant Colonel sangat diperlukan
untuk memimpin wilayah baru, suatu wilayah baru yang kaya sumberdaya alam,
jumlah penduduk yang besar dan terdapatnya kraton besar, Kraton Djocjocarta. HG
Nahuijs langsung mendapat masalah, gunung Merapi meletus pada akhir tahun 1822.
HG Nahuijs harus bekerja keras memulihkan situasi dan kondisi penduduk.
HG Nahuijs adalah orang pertama Eropa
yang berhasil mencapai puncak dan kawah gunung Merapi. HG Nahuijs dan
kawan-kawan yang ditemani sebanyak 70 orang Solo pada tahun 1820 mendaki gunung
Merapi.
HG Nahuijs dalam
posisinya sebagai Residen Djocjocarta awalnya berjalan normal. Namun secara
perlahan-lahan mulai terasa ada gejolak politik terutama di lingkungan kraton
Djogjocarta. Salah satu pangeran yakni Pangeran Diponegoro mulai melakukan
perlawanan sehubungan dengan semakin intensnya kehadiran orang-orang
Eropa/Belanda di wilayah Djocjocarta.
Perlawanan Pangeran Diponegoro
segera disambut sejumlah pangeran dan para bupati di berbagai tempat. Untuk
mengatasi situasi dan meredam gejolak yang muncul, HG Nahuijs melakukan
sejumlah ekspedisi ke berbagai tempat. Para pengikut Pangeran Diponegoro juga muncul
di berbagai tempat melakukan pemberotantakn. HG Nahuijs mulai kewalahan (Bataviasche
courant, 22-12-1827). Luitenan Generaal de Kock mengirim Majoot General Holsman
untuk mengatasi pemberontakan di Rembang.
Peta 1829a |
Boelhouwer diangkat sebagai Letnan
Dua di Regiment Infantrie No.18 (Leydse courant, 14-05-1921). Pada tahun 1924
Letnan Dua Boelhouwer dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Satu (Bataviasche
courant, 03-12-1824). Ketika pemberontakan di Djocjocarta semakin memanas, Letnan
Satu Boelhouwer tetampatkan di bawah komando Letnan Kolonel.
Djogjocarta: Daerah Operasi Militer
(DOM)
Pada fase puncak
perlawanan Pengeran Diponegoro dengan otoritas Belanda di Djocjocarta dan
sekitarnya diberlakukan di Djocjocarta sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Komando
teritorial di bawah pimpinan Kolonel Cochius yang mana sebagai atasanya adalah
Luitenan Generaal de Kock. Markas Kolonel Cochius berada di garnisun militer yang
dibangun di belakang kantor Residen (sebelah barat benteng Vredeburg).
Peta 1829b |
Dalam pertempuran
terakhir, pasukan Luitenan Colonel Sollewijn yang mematahkan kekuatan pasukan
Pangeran Diponegoro. Panglima Pangeran Diponegoro, Sentot berhasil dilumpuhkan,
setelah luka-luka yang dialaminya kemudian meninggal dunia. Pangeran Diponegoro
dengan kekuatan yang tersisa sebanyak 1.000 orang terus bergerak menjauh dari
kejaran militer Belanda.
Anak tertua Pangeran Diponegoro,
Adipati Anom dan Raden Hassan Mahmeid, yang juga disebut Soekoor, mantan Bupati
Semarang telah menyerah dan dikirim ke Luitenan Colonel Sollewijn. Untuk
membawa mereka ini ke Djogjocarta diperintahkan untuk dikawal oleh Letnan Satu Boelhouwer.
Di Djogjocarta mereka ini akan dimasukkan dalam penjara,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar