Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Ada dua grup hiburan tua di Indonesia: Srimulat dan Serindo. Srimulat yang mengusung seni lawak dan musik didirikan di Solo tahun 1950 dan setelah eksis selama 39 tahun kemudian bubar di Jakarta tahun 1989. Serindo yang mengusung opera dan musik didirikan di Djakarta tahun 1956 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-06-1957). Setelah berkiprah selama 29 tahun, Serindo kemudian dibubarkan di Padang Sidempuan tahun 1985. Grup Srimulat melahirkan pelawak-pelawak terkenal; Grup Serindo meninggalkan lagu-lagu legendaris seperti Sinanggartullo dan mempopulerkan lagu Butet.
Ada dua grup hiburan tua di Indonesia: Srimulat dan Serindo. Srimulat yang mengusung seni lawak dan musik didirikan di Solo tahun 1950 dan setelah eksis selama 39 tahun kemudian bubar di Jakarta tahun 1989. Serindo yang mengusung opera dan musik didirikan di Djakarta tahun 1956 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-06-1957). Setelah berkiprah selama 29 tahun, Serindo kemudian dibubarkan di Padang Sidempuan tahun 1985. Grup Srimulat melahirkan pelawak-pelawak terkenal; Grup Serindo meninggalkan lagu-lagu legendaris seperti Sinanggartullo dan mempopulerkan lagu Butet.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-06-1957 |
Bagaimana
perjalanan sejarah dua grup Serindo dan Srimulat dalam panggung hiburan
Indonesia sudah banyak ditulis. Namun demikian masih perlu diluruskan dan
diperkaya dengan data-data baru. Keutamaan dua grup hiburan rakyat ini karena keduanya telah turut
dalam memberikan kontribusi seni pada fase awal panggung hiburan Indonesia.
Srimulat memberi hiburan dalam seni pertunjukan seni Jawa, Serindo dalam seni
pertunjukkan seni Batak. Untuk itu, mari kita telusuri.
Tarsa Batak
Nagalia
Grup
kesenian ‘Tarsa Batak Nagalia’ didirikan oleh Tilhang Goeltom pada tahun 1928.
Grup kesenian (opera) ini pada awalnya mengusung tarian rakyat Batak seperti
tortor. Tarsa Batak Nagalia adalah grup opera Batak pertama. Grup opera ini di
Medan kali pertama dilaporkan melakukan pertunjukkan di Sumatra Bioscoop tahun
1929 (lihat De Sumatra post, 09-04-1929).
De Sumatra post,
09-04-1929: ‘Opera Batak pertama. Tadi malam kami menghadiri pertunjukan opera
Batak pertama, Tarsa Batak Nagalia di Sumatra Bioscoop... Itu adalah
pengalaman yang tidak dihadiri orang Barat...di belakang layar dimainkan musik
Batak gondang dan instrumen lainnya. Di panggung opera ini bercerita tentang dua
gadis yang akan dinikahkan oleh orangtua dengan dua pria muda dari marga lain....lalu
diadakan tunangan yang dihadiri masing-masing pihak keluarga...namun dua gadis
ini bukan pemuda yang diinginkan meraka.ini diketahui dari nyanyian merdu
mereka..lalu mereka gadis ini melarikan diri dan bertemu dengan pemuda lain di
hutan..sang pemuda ini mengingunkan satu dari dua gadis ini...ternyata pemuda
itu adalah marga yang sama..sang pemuda yang ito dari gadis-gadis itu
memberitahu orang tua mereka...lalu kemudian sang tunangan menculik dan
mengurungnya di suatu lobang..gadis ini bersedih dan menyanyikan lagu sedih dan
menanggil ibunya...setelah mendengar nyanyian itu si tunangan membebaskannya..’.
Itulah
gambaran awal tentang opera Batak yang dipimpin oleh Tilhang. Saat itu di Medan
opera terkenal adalah opera Bangsawan, suatu opera keliling orang India yang
berbasis di Penang yang menggunakan bahasa Melayu yang melakukan pementasan di
berbagai tempat di Sumatra dan Semenanjung seperti di Padang, Malaka,
Singapoera dan bahkan jauh di pedalaman di Padang Sidempuan.
Opera Bangsawan di Padang (1903) |
Opera
yang dipimpin Tilhang, Tarsa Batak Nagalia juga dilaporkan melakukan pementasan
di Tiga Dolok pada tahun 1932 (lihat De Sumatra post, 25-08-1932). Disebutkan
pementasan opera ini hingga dinihari dimana para penonton meluber ke jalan di
bawah sinar rembulan. Juga disebutkan salah satu penonton yang berada di tengah
jalan terlindas kaki oleh bis yang datang dari Sibolga BB 298.
Pada tahun 1933
Perhimpunan Batak ‘Dosniroha; di Medan menyelenggarakan pertunjukan opera
Batak di bioskop Hok Hoa. Dalam pertunjukkan ini juga dihadirkan seorang penyanyi
krontjong yang terkenal (dan juga pemain sepak bola) Rerous Tobing Hasil bersih
pertunjukan akan didonasikan kepada para korban bencana gempa di Sumatera
Selatan (lihat De Sumatra post, 05-08-1933).
Beberapa
bulan kemudian Tarsa Batak Nagalia yang setiap malam melakukan pementasan di
Pasar Malam di Medan, setelah usai pasar malam akan berangkat ke Penang untuk
melakukan pertunjukan. Setelah itu diagendakan ke Kwala Lumpur dan Singapura
(lihat De Sumatra post, 13-11-1933). Pada tahun 1935 nama opera yang dipimpin
Tilhang ini disebut Opera Batak Balige dan tengah melakukan pertunjukkan di
Kisaran (Bataviaasch nieuwsblad, 30-01-1935). Tidak dijelaskan mengapa disebut
Opera Batak Balige, tetapi diduga karena markas opera ini telah menetap di
Balige. Pada tahun 1938 Opera Batak Balige mengadakan pementasan pada saat
diadakan pasar malam di Balige.
De Sumatra post,
19-07-1938: ‘Pasar Malam Balige. Itu adalah pasar malam yang diselenggarakan dengan
sangat baik, yang pada hari Sabtu oleh Residen Tapanoeli, Dr. VE Korn didampingi
oleh Aisten Residen Bataklanden, Mr. Hirschman dan Controleur JC Baarspul
dibuka dengan khidmat. Minat penduduk sangat besar, orang-orang dari mana saja
datang dari berbagai tempat. Peristiwa penting terutama adalah fakta bahwa
lampu listrik menyala di Balige untuk pertama kalinya. Pada pembukaan tersebut
Residen berharap sukses pasar malam tersebut, karena hasilnya akan dialokasikan
untuk tujuan yang baik, yaitu untuk pengendalian TBC dan untuk pembelian perlatan
sinar-X untuk orang sakit kusta di Hoeta Salem. Karena banyaknya lampu berwarna
di pohon-pohon pinus, pasar malam memberi kesan taman dongeng... Tentu saja pertunjukan
rakyat diadakan dan sangat patut dipuji dengan inisiatif putra Batak si Tilhang
yang terkenal dengan penampilan orkestra Bataksch yang lengkap. Pasar malam
berlangsung selama tujuh hari dan tiap hari dikunjungi oleh banyak pengunjung.’
Grup
kesenian Tilhang tidak pernah terdeteksi kehadirannya di Silindoeng, justru
grup kesenian Tilhang (musik tradisi Batak, tarian tortor dn opera) justru
lebih hidup di Simaloengoen. Namun secara perlahan-lahan dari Simaloengoen
merangsek ke Toba yang kemudian sempat menetapkan homebase di Balige. Ini dapat
dimaklumi karena kesenian tradisi Batak sangat ditentang para misionaris
(zending) yang berpusat di Silindoeng. Para misionaris masih menganggap musik
tradisi Batak tidak terpisahkan dari kepercayaan lama (Parhudamdam dan Parmalim
dari pengikut Sisingamangaradja).
De Sumatra post,
18-12-1937: 'Bahwa secara umum harus dicatat, bagai-manapun, bahwa musik
tradisi Batak juga dipengaruh oleh musik Eropa modern, jazz dan musik Hawaiian.
Di daerah Kristen (Toba en Silindoeng) untuk memainkan musik asli dilarang karena
dianggap musik asli masih ada pengaruh pagan (kepercayaan lama). Sementara dari
sudut pandang musicological, kebaikan beberapa raja di Simeloengoen membuat
upaya untuk mempertahankan musik asli terkesan lebih banyak dibanding daerah
yang lain dan bahkan diajarkan di sekolah-sekolah rakyat. Musik di daerah ini
sangat terhubung dengan religi’. Het Vaderland: staat- en letterkundig
nieuwsblad, 29-07-1938 mengutip bahwa music tradisi Simaloengen terkesan lebih
hidup dan paling menarik perhatian/
Simaloengoen
adalah daerah terbuka. Simaloengoen yang berpusat di Pematang Siantar dan Medan
adalah daerah rantau orang-orang dari Afdeeling Mandailing dan Angkola. Sejak
1875 orang-orang Mandailing dan Angkola merantau ke Medan dan Deli (melalui laut
dari Sibolga via Kotaradja dan Batavia). Transportasi darat antara Sibolga dan
Medan via Taroetoeng dan Balige baru terhubung pada tahun 1923. Pada tahun 1907
di Medan sudah didirikan organisasi kebangsaan yang disebut Tapanoeli Sepakat
(umumnya orang Mandailing dan Angkola). Anak-anak mereka membentuk klub
sepakbola Tapanoeli VC yang berkompetisi di liga sepakbola Medan. Pada tahun
1909 Tapanoeli Sepakat melalui anak perusahaannya NV Tapanoelie Sepakat
mendirikan surat kabar Pewarta Deli.
Orang Tapanoeli
pertama di Simaloengoen adalah Dr. Mohamad Hamzah Harahap, seorang dokter
lulusan Docter Djawa School di Batavia tahun 1902. Setelah beberapa tahun di
Telok Betong, pada tahun 1912 Dr. Mohamad Hamzah dipindahkan ke Pematang
Siantar, suatu kota yang tengah tumbuh sehubungan dengan perluasan perkebunan
dari wilayah Deli. Orang-orang Tapanoeli yang berasal dari Mandailing dan
Angkola sebagian bergser dari Medan ke Pematang Siantar. Beberapa tokoh penting
yang muncul di Pematang Siantar adalah Mr. Abdul Firman Siregar gelar
Mangaradja Soangkoepon, alumni Belanda yang mulai menjadi pejabat di kantor
Asisten Residen Simaloengeon en Karo di Pematang Siantar tahun 1912. Juga
menyusul tahun 1914 ditempatkan seorang dokter hewan, Dr. Alimoesa Harahap,
alumni Veartsen School di Buitenzorg. Kemudian menyusul guru Soetan Marteowa
Radja, alumni Kweekschool Padang Sidempoean 1892 yang setelah beberapa tahun
menjadi kepala sekolah di Taroetoeng yang kemudian dipromosikan menjadi
direktur sekolah Normaal School di Pematang Siantar. Juga menyusul guru Madong
Lubis dan kemudian menyusul mantan guru dan sastrawan Angkola Soetan
Hasoendoetan. Pada tahun 1918 seorang notaris di Tapanoeli Soetan Batoenadoa
pindah ke Pematang Siantar. Untuk memfasilitasi pengusaha-pengusaha pribumi
dalam industri perkebunan di Simaloengoen didirikan bank pribumi pertama
Bataksch Bank tahun 1920. Direksi dan komisaris bank ini adalah Dr. Mohamad
Hamzah, Soetan Hasoendoetan dan Soetan Batoenadoea. Sejak era inilah diduga
mulai muncul grup kesenian tradisi Batak yang dirintis oleh Tilhang Goeltom.
Catatan: Mangaradja Soangkoepon adalah anggota Volksraad dari daipl Sumatra
Timur selama empat periode. Pada periode pertama anggota Volsraad dari
Tapanoeli adalag Dr. Alimoesa Harahap dan kemudian pada berikutnya dan
seterusnya digantikan oleh Dr. Abdoel Rasjid (adik kandung Mangaradja
Soangkoepon). Soetan Batoenadoea adalah notaris ke enam pribumi dan yang
pertama dari orang Batak. Soetan Hasoendoetan dan Soetan Martoewa Radja adalah
juga novelis. Karya agung Soetan Hasoendoetan adalah Siti Djoeariah dan karya
Soetan Martoewa Radja adalah Doea Sedjoli. Soetan Martoewa Radja adalah ayah
dari MO Parlindungan.
Bentuk-bentek
hiburan asli Batak tidak hanya di Tapanoeli dan Sumatra Timur, tetapi juga di
Batavia. Tilhang menjadi sering dibicarakan di Balige, Kisaran dan Medan. Di Djakarta,
bentuk-bentuk kesenian Batak diperankan oleh pemuda dan pelajar asal Tapanoeli
yang tergabung dalam organisasi pemuda Jong Batak.
Jong Batak
didirikan di Batavia tahun 1919. Pendiri organisasi pemuda ini adalah Dr.
Abdoel Rasjid Siregar yang belum lama lulus dari STOVIA. Pada bulan Januari 1917
organisasi mahasiswa Sumatra didirikan di Utrecht, Belanda dengan nama Sumatra
Sepakat. Organisasi ini dipimpin oleh Sorip Tagor Harahap dimana sebagai
bendahara adalah Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Pada bulan Desember,
direspon positif mahasiswa-mahasiswa Sumatra di Batavia dengan mendirikan dan
melengkapi Sumatra Sepakat dengan nama Sumatranen Bond. Organisasi pemuda dan
mahasiswa di Batavia ini diketuai oleh T. Mansjoer dan Abdoel Moenir Nasution.
Namun jelang kongres Sumatranen Bond yang pertama di Padang tahun 1919 anggota
yang beragama Kristen mendapat resistensi dari sejumlah oknum yang tergabung
dalam Sumatranen Bond. Saat inilah Abdoel Rasjid Siregar mendirikan Jong Batak agar
pemuda beragama Kristen terakomodasi dalam organisasi kebangsaan yang tetap
memelihara hubungan baik dengan Sumatranen Bond. Pada tahun 1923 Jong Batak
dipimpin oleh Parada Harahap (pemimpin surat kabar Bintang Hindia di Batavia).
Dalam
sejumlah kegiatan secara sadar Jong Batak melembagakan bentuk-bentuk kesenian
asal Tapanoeli di Batavia. Mereka tidak hanya membentuk grup pada saat ada
acara, tetapi grup tersebut tumbuh dan berkembang yang mengisi berbagai
acara-acara keluarga seperti dalam acara perkawinan.
Grup ini menjadi
perhatian Radio Belanda (Radio Nirom) di Batavia dan dalam berbagai kesempatan
diundang tampil di studio atau membuat rekaman untuk dimunculkan dalam serial
musik-musik daerah. Pada era inilah musik dan lagu Batak mulai populer dan
dikenal luas di Jawa dengan didirikannya grup musik yang disung oleh anak-anak
Sipirok. Radio Nirom ini juga direlay di kota-kota lain seperti Bandong, Solo,
Semarang dan Soerabaja. Grup musik anak-anak Sipirok ini adalah grup mandiri
Batak Orchest yang diberinama Andalas (lihat De Indische courant, 28-01-1938
dan De Indische courant, 30-11-1939). Nyanyian (liedren) dari Sipirok disiarkan
oleh Bandoeng II, Batavia II dan PMH (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
20-09-1939). Salah satu pemainnya adalah Ismail Harahap (kelak dikenal sebagai
ayah dari Ucok AKA). Beberapa musisi muda masuk dalam grup musik Sipirok ini
antara lain R. Tobing (yang kemudian pasca kedaulatan RI dihubungkan dengan
kehadiran Gordon Tobing).
Eksistensi
kesenian daerah termasuk kesenian Batak kurang terinformasikan pada era
pendudukan Jepang maupun pada era perang kemerdekaan. Paling tidak datanya
belum ditemukan hingga sejauh ini. Namun tentu saja grup-grup kesenian Batak
akan tetap hidup. Di Medan, setelah pengakuan kedaulatan RI berbagai lembaga
pemerintahan Republik Indonesia mulai dibentuk. Salah satu diantaranya adalah.
Serindo adalah
nama partai politik yang lahir segera setelah kemerdekaan Indonesia.
Orang-orang Serindo juga ikut berjuang di Bandoeng selatan (lihat Friesch
dagblad, 22-12-1945). Provinciale Drentsche en Asser courant, 06-02-1946
melaporkan bahwa selama kongres partai baru Serindo, tiga kelompok nasionalis
Jawa Tengah dan satu dari Sumatra bergabung dengan gerakan Serindo dengan nama
baru PNI (Partai Nasional Indonesia), yang, menurut pernyataan mereka sendiri
pembentukan sebuah negara sosial demokrasi nasional.
Tilhang
masih eksis. Pada saat pembukaan RRI Medan Tilhang dengan grup juga termasuk
yang diundang. Grup kesenian Tilhang sudah dikenal dengan nama Pantjaragam. Ini
mengindikasikan bahwa Tilhang dan kawan-kawan terus bekerja dalam melembagakan
bentuk-bentuk kesenian Batak. Namun
tidak diketahui dimana hombase grup Tilhan selama ini apakah selama pendudukan
Jepang maupan pada era perang kemerdekaan. Boleh jadi mereka ikut mengungsi
dari kota, berperang atau ikut menyemangati para patriot dengan musik dan
lagu-lagu patriot.
Het nieuwsblad
voor Sumatra, 04-01-1951: ‘Di Medan dan sekitar, Radio Medan Sabtu malam lalu
di Studio Medan Radio Republik Indonesia telah mengadakan Radio-Show yang banyak
dihadiri pengunjung di ruang Balai Umum di Medan. Dalam pertunjukan ini untuk memancarkan
ke atmosfer didukung dua pemancar studio Medan, 60,85 (Timur) dan 90,27
(barat), control dan amplifier dipasang di sebelah kiri panggung, mikrofon di
atas panggung, dan di sekitar panggung yang acara dimulai tepat pukul 19.30.
Acara ini disiarkan di kedua saluran studio Medan. Tepuk tangan yang berulang kerap
terdengar dari publik. Program ini terlihat dilakukan dengan baik. Setelah
pidato pembukaan dan beberapa pidato dari pejabat resmi semua beralih pada
pentingnya penyiar Radio Nasional ini. Sebab kemudian pertunjukan yang
sebenarnya dimulai. Berbagai orkestra tampil. Sebelum jeda dipertontonkan tarian
Indonesia berbagai daerah dengan iringan musik antara lain Simelungun,
Mandailing, Minangkabau, Djawa dan Malukku. Tarian ini ditampilkan dengan
sangat baik. Namun, keraguan muncul apakah pendengar (radio) dapat menikmatinya?
Sebab penontong di ruangan berbeda dengan pendengar radio di rumah. Lagipula,
tarian-tarian ini murni visual, sehingga pendengar )di rumah) sebenarnya harus
menebak apa yang sedang ditarikan melalui musik. Bahkan ada tarian tanpa
iringan musik, sehingga orang tidak bisa mendengar apa pun selain di radio hanya
bunyi hentakan-hentakan kaki. Awal paruh kedua malam ini dikhususkan untuk
musik Barat. Ini dimulai dengan penampilan orkestra Boris Mariëff. Setelah itu
beberapa orkestra Timur tampil, seperti orkes Terang Bulan, grup musik Hawaii
Merry, grup musik Katolik Barat, orkes gambus Al Ardan. Akhirnya orkestra Pantjaragam
(pimpinan Tilhang) dengan melibatkan banyak pendukung, yang mendapat perhatian
besar, mendapat perhatian besar. Kita harus mengingatkan diri kita sendiri
bahwa Pak Pasaribu, sebagai penyiar telah bekerja dengan sangat baik untuk membuat
perhatian publik tetap berjalan’.
Opera Serindo Djakarta 1956 dan Zulkaidah Harahap
Di Djakarta grup musik tradisi Batak telah
bertransrformasi menjadi grup musik modern Batak. Salah satu grup musik modern
Batak adalah grup Sinondang Sipirok. Grup musik yang membawakan musik dan
lagu-lagu Tapanoeli ini kerap disiarkan oleh RRI Djakarta. Grup Sinondang
Sipirok sudah eksis pada era kolonial Belanda (sebelum pendudukan Jepang).
Grup musik alat modern di Sipirok (1890) |
Grup musik di Sipirok, 1928 (kombinasi tradisi dan modern) |
Pada permulaan era pengakuan kedaulatan RI
oleh Belanda grup musik Sinondang Sipirok muncul kembali. Salah satu personil
musik ini yang menguasai alat musik perkusi (termasuk gondang) kelak dikenal
sebagai ayah dari Kenaan Nasution. Grup musik Sinondang Sipirok adalah nama
yang sama untuk grup musik Sinondang Tapanoeli.
Murid sekolah HIS di Sipirok 1928 (terbiasa alat musik modern) |
Seiring dengan semarak musik Batak (tradisi
atau modern) di Djakarta, grup kesenian Pantjaragam yang berkiprah di Medan
yang dipimpin Tilhang Goeltom mendapat undangan untuk tur di Bandoeng. Pengundang
tersebut adalah suatu komite yang dibentuk di Bandoeng yang dipimpin oleh Ir.
Tarip Harahap.
Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 16-01-1952: ‘Batu
Rambi di Bandoeng mempopulerkan seni Batak di Concordia tagading, hasapi dan
hesek akan mainkan. Di bawah naungan komite yang dibentuk oleh komunitas Batak,
40 seniman dari Bataklanden tiba di Bandoeng untuk mempersembahkan pertunjukan Kesenian
Batak di auditorium besar Concordia malam ini. untuk semua pihak yang
berkepentingan. Bagi mereka yang mengetahui sesuatu tentang kehidupan seni
Batak, namanya Tilhang Oberlin Goeltom dan Radja Polin Goeltom. penyelenggara
grup artis ini, tentu bukan tidak dikenal. Sebelum perang mereka adalah
pemimpin Tilhang Opera Batak yang dari tahun 1930 hingga invasi Jepang
memberikan pertunjukan seni di berbagai tempat di Sumatra, Malaya dan
Singapura. Grup kesenian ini akan tampil untuk pertama kalinya di Bandoeng
malam ini, terdiri dari orkestra Batak sepenuhnya asli, terdiri dari gondang, oening-ocningan,
dimana sekitar dua puluh musisi menggunakan berbagai instrumen autochthone
seperti ogoeng, atagading, hasapi, gordang, hesek bermain lebih dari 20 jenis
dengan tujuh penyanyi yang mana empat penyanyi akan bersama-sama dengan sekelompok
penari (tortor). Bapak Tilhang Goeltom memberi tahu kami bahwa tujuan utama grup
keseniannya adalah untuk melindungi seni Batak yang telah ada selama
berabad-abad dan untuk menghibur orang Batak yang tinggal jauh dari tempat
kelahiran mereka, bahwa mereka adalah keturunan suatu komunitas yang memiliki
kultus mereka sendiri, tulisan mereka sendiri dan moral serta kebiasaan mereka
sendiri. Ini adalah tujuan grup kesenian ini yang diberi nama Batu Rambi.
sebuah kotak batu di mana harta budaya lama orang Batak telah dilestarikan,
untuk membuat seni Batak modern. Mr Tilhang Goeltom menambahkan bahwa Batu
Rambi masih dipertahankan tergeletak di kaki Gunung Poesock Boehit, di pantai danau
Toba. bahwa menurut mitologi Batak adalah tempat lahir orang Batak atau putra
Debata Mula Djadi Nabolon. Grup kesenian yang juga menyandang nama Batu Rambi
berharap untuk segera tampil di Jakarta’.
Ir. Tarip Harahap adalah
bagian dari diaspora orang-orang Zuid Tapanoeli yang berada di perantauan.
Orang-orang Zuid Tapanuli (dulu disebut Afdeeling Mandailing dan Angkola) sudah
sejak lama merantau ke Jawa. Komunitas mereka tidak hanya di Batavia, tetapi
juga di Buitenzorg dan Bandoeng. Ir. Tarip Harahap adalah seorang insinyur
teknik sipil, lulus tahun 1939 dari Techniche Hoogeschool di Bandoeng (kini
ITB). Ir. Tarip Harahap sudah sejak lama tinggal di Bandoeng. Komunitas asal
Zuid Tapanoeli inilah yang mengundang grup kesenian Tilhang.
Putra Batak asal Zuid Tapanuli lainnya di
Bandoeng pada tahun 1952 adalah Letnan Kolonel Mangaradja Onggang Parlindungan
(MO Parlindungan). Sejak 1951 MO Parlindungan adalah direktur Peroesahaan
Sendjata dan Mesioe di Bandoeng (kini PT Pindad). Tentu saja di Bandoeng masih
terdapat tokoh pentin lainnya asal Zuid Tapanoeli di Bandoeng yakni Sakti Alamsyah
Siregar. Sebagaimana diketahui Sakti Alamsyah, mantan penyiar Radio Bandoeng
yang juga seorang komponis musik adalah Pemimpin Perusahaan Fikiran Rakjat
(kelak menjadi pendiri surat kabat Pikiran Rakyat Bandung). Ir. MO Parlindungan
alumni teknik kimia Delft (1943) kelak lebih dikenal sebagai penulis buku
kontroversi Tuanku Rao.
Seperti biasanya, para pemuda dari keluarga di Bandoeng bersama mahasiswa asal Tapanuli Selatan di Bandoeng yang menjadi pelaksana panitia. Pada saat itu sejumlah putra-putri asal Tapanuli Selatan berkuliah di Fakultas Teknik dan Fakultas MIPA UI di Bandoeng (kelak kedua fakultas ini menjadi cikal ITB yang dalam hal ini sebut saja ITB). Ketua Dewan Mahasiswa ITB Bandoeng pada tahun 1952 adalah Januar Hakim Harahap (putra dari Abdul Hakim Harahap, Gubernur Sumatra Utara). Sementara ketua Dewan Mahasiswa UI di Djakarta adalah Widjojo Nitisastro.
Grup musik Sipirok (kiri) dan Toba (kanan) tahun 1928 |
Selama tahun 1955 dan 1956 nyanyian grup musik
Pantjaragam terbilang kerap diudarakan oleh RRI Djakarta. Dalam hal ini grup
musik Pantjaragam telah masuk rekaman. Ini berarti di ibukota grup Pantjaragam telah
menambah satu lagi grup musik/nyanyian asal Sumatra Utara. Sebelumnya salah
satu yang terkenal adalah grup musik Sinondang Sipirok atau juga disebut
Sinondang Tapanoeli. Grup-grup musik yang diudarakan RRI Djakarta, selain
Sinondang dan Pantjaragam yang membawakan musik/nyanyian Batak antara lain
adalah grup musik/nyanyian Jawa, Soenda, Minahasa, Maluku dan sebagainya.
Sehubungan dengan semaraknya musik/nyanyian berbagai
daerah di RRI Djakarta, apakah ada kaitannya, pada tahun 1952 di Djakarta
didirikan Jajasan Pendidikan Musik. Sebagaimana yang dilaporkan di surat kabar,
salah satu pendiri yang juga pengurus yayasan adalah GK Harahap. Boleh jadi
pendirian yayasan musik ini mengindikasikan semangat para pemusik dan pemerhati
musik bahwa saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri (sesuatu yang sulit
mendapat tempat pada era penjajahan (Belanda/Jepang).
Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-06-1957: ‘Serindo sedang
tur. Grup drama Serindo (Seni Ragam Indonesia) saat ini sedang melakukan tur di
Sumatera Utara. Kelompok panggung ini, didirikan pada tahun 1928 oleh
Noordsumatraan Tilhang dengan nama Pantjaragam Tilhang, pada awalnya ditempati
oleh tarian rakyat dari Batakland, seperti tortor yang terkenal. Kelompok
panggung ini juga pernah melakukan tur di (semenanjung) Malaya. Tahun lalu nama
Serindo diadopsi dan grup drama mulai memberikan pertunjukan seni lainnya dari
berbagai daerah.
Seperti yang telah banyak ditulis, ketika
grup Serindo dalam melakukan tur yang tengah berada di Padang Sidempuan seorang
gadis belia bergabung dengan grup Serinda. Gadis belia asal Sipirok ini
kemudian dikenal sebagai Zulkaidah Harahap yang ahli dalam alat musik suling.
Singkat kata: kelak setelah meninggalnya Tilhang Goeltom kepemimpinan grup
kesenian Serindo ini dipimpin oleh Zulkaidah Harahap.
RA Srimulat,
Teguh dan Eksistensi Grup Kesenian Srimulat
Setelah
Teguh Slamet Rahardjo menikah dengan Raden Ajoe Srimulat pada tahun 1950, Teguh
mempelopori grup kesenian Jawa di Solo dengan menabalkan nama istrinya sebagai
nama grup yakni Srimulat. Inilah awal kehadiran grup kesenian Srimulat yang
bermula di Solo, Jawa Tengah. Grup kesenian Srimulat mengkombinasikan musik (tradisi
dan moedern) dan lawak. Sementara itu, grup kesenian Serindo (sebelumnya
Pantjaragam) mengkombinasikan paling tidak lima ragam bentuk kesenian (musik
tradisi, musik modern, tarian tortor, pantomim dan opera.
Kesenian di
berbagai daerah sudah eksis sejak masa lampau namun belum menjadi perhatian
bagi Pemerintah Hindia Belanda. Baru ada upaya pemerintah tahun 1936 untuk
mengidentifikasi kesenian daerah yang dalam hal ini hanya terbatas pada seni
musik. Seperti kesenian Jawa, di Batavia musik tradisi Batak sudah mulai
diperkenalkan menjelang kongres pemuda tahun 1928. Tokoh-tokoh musik tradisi
Batak yang saat itu umumnya berasal dari Angkola dan Sipirok adalah Sanusi
Pane, Nahum Situmorang dan tentu saja Parada Harahap. Selain itu tokoh-tokoh
pemuda Batak yang memiliki bakat musik adalah Amir Sjarifoedin Harahap dan
Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng
Moelia. Mereka inilah yang secara sadar dalam semangat Jong Batak memperkenalkan
musik tradisi Batak ke publik di Batavia.
Seorang
kurator musik yang bekerja untuk Art Society di Batavia pada tahun 1936 bernama
Dr. Karl Halusa, seorang musicology dari Universitas Wina, Austria sebagaimana
dilaporkan Soerabaijasch handelsblad mulai mempelajari (studi) musik tradisi di
berbagai tempat di Hindia termasuk musik tradisi Jawa dan Batak. Dr. Karl
Halusa yang ditugaskan dengan anggaran dari pemerintah juga akan melakukan
perekaman langsung di daerah-daerah yang dikunjunginya.
Soerabaijasch
handelsblad,06-07-1937: ‘Dr. Halusa ke Batak. Pada pertengahan Agustus ini, Dr.
Halusa, kurator musicological di Afdeeling Museum Kon. Masyarakat Batavia.
Beberapa waktu lalu dimulai dari Medan lalu penelitian di Batak, dan kemudian
ke Padang, khususnya untuk mengobservasi musik Mentaweilanden. Penelitian ini
diperkirakan 10 dan 12 minggu. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengambil dan
membuat studi khusus tentang ekspresi musik dan membuat rekaman di daerah-daerah
di mana budaya Eropa belum terlalu kuat utamanya dari budaya Batak. Sejak
dimulainya penelitian musik pribumi tahun 1932, budaya Batak belum masuk dalam
daftar penelitian musikologis, tapi sekarang anggaran O en E telah disediakan,
namun penelitian ini akan dilakukan secara bertahap. Setelah melakukan tugas ke
Tanah Batak, Dr Halusa akan ke Dajaklanden tahun depan dalam program, yang
bertujuan untuk mencakup seluruhnya secara sistematis. Perjalanan mendatang Dr.
Halusa ke Battaklanden dapat dianggap sebagai studi pendahuluan. Selain untuk
mengoleksi alat musik tradisi, juga akan dilakukan perekaman dari muziek
orchestra (gondang) dan vocal (nyanyian rakyat). Untuk tujuan ini, seorang
pejabat dari Laboratorium Radio di Bandung, akan dibangun komposisi instrumen
(aransemen) yang juga akan dilakukan rekaman untuk bisa dibedakan antara
rekaman listrik (dengan rekaman langsung di lapangan). Saat ini museum di
Batavia adalah satu-satunya di dunia yang memiliki perangkat yang juga dapat
dilakukan oleh apa yang disebut ‘fieldwork’ independen arus listrik yakni dua
baterai dengan sebuah motor listrik dan dinamo yang dihubungkan dengan alat
lain gramofon sebagai penguat suara ke mikrofon. Sebelumnya fungsi ini sudah
lama dilakukan tetapi hasil rekaman music serupa itu tidak dapat menangkap
‘nuansa’ dan karenanya fungsi ini akan memiliki akurasi dan kealamiahan. Fungsi
ini juga untuk mengatasi problem dimana penyanyi harus mempersiapkan sangat
dekat dengan corong microfon yang dapat mengganggu ekspresi dirinya dalam
beraksi. The Bataksche Gondang orkestra terdiri dari lima gong, lima drum suara
berbeda dan oboe bentuk sedikit berbeda. Pada prinsipnya komposisi yang sama
dengan instrumen yang akan digunakan sebagaimana dalam orkestra Eropa. Dalam
music tradisi Batak secara umum juga terdapat satu intrumen yang dimainkan yang
disebet ‘koetjapi’. Keinginan Dr. Halusa untuk mempelajari dan mengajarkan
dengan menyediakan peralatan modern agar terdengar akurat, membuat kesan yang
dapat diperoleh lebih baik sebagai sebuah kontrubusi peralatan ilmiah’.
Hasil
penelitian yang dilakukan Dr. Karl Halusa mulai dipublikasikan. Apa yang
menarik bagi Karl Halusa dengan musik tradisi Batak? Ternyata Dr. Halusa telah
menemukan sedikitnya ada 40 jenis instrumen musik Batak, baik yang dimainkan
laki-laki maupun perempuan. Temuan ini baru dilaporkan kemudian oleh Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23-03-1938 setelah mengunjungi Karolanden,
Bataklanden dan Zuid Tapanoeli.
Yang cukup
mengejutkan, Karl Halusa, PhD ahli musik dari Wina menduga musik Batak telah
berkembang sejak lama mendahului yang lain. Yang membedakan musik tradisi Batak
dengan yang lain menurut Halusa adalah drum atau gondang. Menurut Halusa musik
tradisi Batak juga telah dipengaruhi oleh
musik Eropa dan juga musik dari Arab. Musik tradisi Batak memiliki
banyak melodi bahkan mencapai 48 melodi yang berbeda di Karolanden (De
Telegraaf, 14-01-1938). Banyaknya melodi di Karolanden diduga adanya tambahan
pengaruh Arab yang dapat dijelaskan dengan kontak yang kuat dengan Atjeh, yakni
bermain dengan cara drum bespeling yang telah diterapkan pada musik Batak. Perbedaan
lainnya bahwa orchest Karolanden adalah yang terkecil dibanding yang lain dan
di Zuid Tapanoeli cenderung lebih besar. Karolanden hanya memiliki dua trommen
en een dezer trommen (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
14-12-1937). Hal lain juga yang tidak kalah penting, meski Tanah Batak masih
digolongkan daerah primitive (saat itu), tetapi Dr. Halusa telah membuat
rekaman yang sangat banyak, jumlahnya bahkan mencapai 175 buah (De Indische
courant, 15-12-1937).
Bagaimana Dr.
Halusa melakukan perekaman dan interaksinya dengan para pemain pada lokasi
penelitian yang berbeda selama empat bulan. Mungkin ini soal remeh temeh tetapi
perlu juga dicatat karena sangat mempengaruhi dalam teknik perekaman. Di
Karolanden, Halusa harus bersusah payah, karena banyak diantara pemain yang
ketakutan apalagi dengan penggunaan mikrofon. Alasan mereka: ‘Kami membuat
musik, bukan karena kita bisa melakukannya sendiri tetapi karena kita
diperintahkan oleh roh-roh’. Sebaliknya di Zuid Tapanoeli, kata Dr Halusa,
bahwa penduduk tidak takut sedikit pun atau ragu-ragu mengenai kesediaan untuk
bermain untuk mikrofon, malahan sangat bersemangat (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 14-12-1937).
Setelah
sukses di Tanah Batak, Halusa melanjutkan studi ke Bali (De Indische courant,
30-06-1938), lalu kemudian melakukan studi tiga bulan di Jawa (Soerabaijasch
handelsblad, 19-10-1939).
Musik tradisi Batak
menurut Dr. Karl Halusa lebih melodis dibanding musik Jawa dan musik Bali. ‘Semua
elemen musik Barat (melodi, harmoni, irama, dan lainnya) dapat ditemukan dalam
musik tradisi Batak’ demikian Dr. Karl Halusa. Musik Jawa menurut Halusa hanya
memiliki lima nada utama dan untuk memainkan melodi Barat, maka hal ini tidak
mungkin. Musik Jawa (dan Bali) benar-benar berbeda dari musik Barat (dan musik
Jawa juga berbeda dari musik Batak). Musik Jawa bukanlah seni yang kita pikirkan
melain kegunaannya hanya dalam arti terbatas. Musik bagi orang Jawa yang penuh
dengan suasana mystische adalah baginya manifestasi dari alam semesta (lihat De
Indische courant, 11-08-1938). Sedangkan musik Bali yang seakar dengan musik
Jawa pada dasarnya telah banyak yang hilang ditelan jaman dan tidak diketahui
lagi. Yang ada sekarang menurut Halusa, memang masih mempertahankan bentuk
struktur dan artefak, tapi tidak lagi hidup (Het Vaderland: staat- en
letterkundig nieuwsblad, 09-10-1938). Jika dibandingkan dengan kreasi yang
sekarang, musik Batak lebih awal dan lebih maju dari sudut pandang
musicological, demikian kesimpulan Dr. Karl Halusa, ahli musik dari Universitas
Wina,
Raden
Ajoe Srimulat adalah seorang penyanyi
yang diiringi musik/orkes tradisi Jawa.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar