Selasa, 29 Januari 2019

Sejarah Menjadi Indonesia (15): Sejarah Serindo dan Srimulat, Zulkaidah Harahap, dan Djujuk Djuariah; Tilhang dan Teguh


Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Ada dua grup hiburan tua di Indonesia: Srimulat dan Serindo. Srimulat yang mengusung seni lawak dan musik didirikan di Solo tahun 1950 dan setelah eksis selama 39 tahun kemudian bubar di Jakarta tahun 1989. Serindo yang mengusung opera dan musik didirikan di Djakarta tahun 1956 (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-06-1957). Setelah berkiprah selama 29 tahun, Serindo kemudian dibubarkan di Padang Sidempuan tahun 1985. Grup Srimulat melahirkan pelawak-pelawak terkenal; Grup Serindo meninggalkan lagu-lagu legendaris seperti Sinanggartullo dan mempopulerkan lagu Butet.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-06-1957
Dua tokoh penting Srimulat adalah Teguh Slamet Rahardjo dan RA Srimulat. Dua seniman ini menikah tahun 1950 dan kemudian mendirikan grup Srimulat. Nama grup Srimulat diadopsi dari nama RA Srimulat (anak seorang wedana). Salah satu tokoh penting dalam grup Srimulat adalah Djudjuk Djuariah. Sementara tokoh penting Serindo adalah Tilhang Gultom, seorang mantan camat (wedana) Salah satu dan satunya perempuan (ratu) di grup Serindo adalah Zulkaidah Harahap yang piawai dalam bermain suling. Setelah Tilhang Gultom meninggal kepempimpinan diteruskan oleh Zulkaidah Harahap. Djudjuk Djuariah lahir di Surakarta 1947 dan meninggal di Yogyakarta 2015. Zulkaidah Harahap lahir di Sipirok tahun 1947 dan meninggal dunia di Pematang Siantara 2013.

Bagaimana perjalanan sejarah dua grup Serindo dan Srimulat dalam panggung hiburan Indonesia sudah banyak ditulis. Namun demikian masih perlu diluruskan dan diperkaya dengan data-data baru. Keutamaan dua grup hiburan rakyat ini karena keduanya telah turut dalam memberikan kontribusi seni pada fase awal panggung hiburan Indonesia. Srimulat memberi hiburan dalam seni pertunjukan seni Jawa, Serindo dalam seni pertunjukkan seni Batak. Untuk itu, mari kita telusuri.   

Tarsa Batak Nagalia   

Grup kesenian ‘Tarsa Batak Nagalia’ didirikan oleh Tilhang Goeltom pada tahun 1928. Grup kesenian (opera) ini pada awalnya mengusung tarian rakyat Batak seperti tortor. Tarsa Batak Nagalia adalah grup opera Batak pertama. Grup opera ini di Medan kali pertama dilaporkan melakukan pertunjukkan di Sumatra Bioscoop tahun 1929 (lihat De Sumatra post, 09-04-1929).

De Sumatra post, 09-04-1929: ‘Opera Batak pertama. Tadi malam kami menghadiri pertunjukan opera Batak pertama, Tarsa Batak Nagalia di Sumatra Bioscoop... Itu adalah pengalaman yang tidak dihadiri orang Barat...di belakang layar dimainkan musik Batak gondang dan instrumen lainnya. Di panggung opera ini bercerita tentang dua gadis yang akan dinikahkan oleh orangtua dengan dua pria muda dari marga lain....lalu diadakan tunangan yang dihadiri masing-masing pihak keluarga...namun dua gadis ini bukan pemuda yang diinginkan meraka.ini diketahui dari nyanyian merdu mereka..lalu mereka gadis ini melarikan diri dan bertemu dengan pemuda lain di hutan..sang pemuda ini mengingunkan satu dari dua gadis ini...ternyata pemuda itu adalah marga yang sama..sang pemuda yang ito dari gadis-gadis itu memberitahu orang tua mereka...lalu kemudian sang tunangan menculik dan mengurungnya di suatu lobang..gadis ini bersedih dan menyanyikan lagu sedih dan menanggil ibunya...setelah mendengar nyanyian itu si tunangan membebaskannya..’.

Itulah gambaran awal tentang opera Batak yang dipimpin oleh Tilhang. Saat itu di Medan opera terkenal adalah opera Bangsawan, suatu opera keliling orang India yang berbasis di Penang yang menggunakan bahasa Melayu yang melakukan pementasan di berbagai tempat di Sumatra dan Semenanjung seperti di Padang, Malaka, Singapoera dan bahkan jauh di pedalaman di Padang Sidempuan.

Opera Bangsawan di Padang (1903)
Pada tahun 1903 saat Radja Persuratkabaran di Sumatra di Padang, Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda menikahkan boru panggoaran Alimatoe Sa’adiah dengan Dr. Haroen Al Rasjid (Nasution) didatangkan gondang dari Padang Sidempuan, Untuk menambah hiburan di tengah orang Melayu di Padang, didatangkan opera Bangsawan dari Penang. Upacara perkawinan putri dari Sultan Deli di Medan tahun 1931 juga dimeriahkan oleh opera Bangsawan.

Opera yang dipimpin Tilhang, Tarsa Batak Nagalia juga dilaporkan melakukan pementasan di Tiga Dolok pada tahun 1932 (lihat De Sumatra post, 25-08-1932). Disebutkan pementasan opera ini hingga dinihari dimana para penonton meluber ke jalan di bawah sinar rembulan. Juga disebutkan salah satu penonton yang berada di tengah jalan terlindas kaki oleh bis yang datang dari Sibolga BB 298.

Pada tahun 1933 Perhimpunan Batak ‘Dosniroha; di Medan menyelenggarakan pertunjukan opera Batak di bioskop Hok Hoa. Dalam pertunjukkan ini juga dihadirkan seorang penyanyi krontjong yang terkenal (dan juga pemain sepak bola) Rerous Tobing Hasil bersih pertunjukan akan didonasikan kepada para korban bencana gempa di Sumatera Selatan (lihat De Sumatra post, 05-08-1933).

Beberapa bulan kemudian Tarsa Batak Nagalia yang setiap malam melakukan pementasan di Pasar Malam di Medan, setelah usai pasar malam akan berangkat ke Penang untuk melakukan pertunjukan. Setelah itu diagendakan ke Kwala Lumpur dan Singapura (lihat De Sumatra post, 13-11-1933). Pada tahun 1935 nama opera yang dipimpin Tilhang ini disebut Opera Batak Balige dan tengah melakukan pertunjukkan di Kisaran (Bataviaasch nieuwsblad, 30-01-1935). Tidak dijelaskan mengapa disebut Opera Batak Balige, tetapi diduga karena markas opera ini telah menetap di Balige. Pada tahun 1938 Opera Batak Balige mengadakan pementasan pada saat diadakan pasar malam di Balige.

De Sumatra post, 19-07-1938: ‘Pasar Malam Balige. Itu adalah pasar malam yang diselenggarakan dengan sangat baik, yang pada hari Sabtu oleh Residen Tapanoeli, Dr. VE Korn didampingi oleh Aisten Residen Bataklanden, Mr. Hirschman dan Controleur JC Baarspul dibuka dengan khidmat. Minat penduduk sangat besar, orang-orang dari mana saja datang dari berbagai tempat. Peristiwa penting terutama adalah fakta bahwa lampu listrik menyala di Balige untuk pertama kalinya. Pada pembukaan tersebut Residen berharap sukses pasar malam tersebut, karena hasilnya akan dialokasikan untuk tujuan yang baik, yaitu untuk pengendalian TBC dan untuk pembelian perlatan sinar-X untuk orang sakit kusta di Hoeta Salem. Karena banyaknya lampu berwarna di pohon-pohon pinus, pasar malam memberi kesan taman dongeng... Tentu saja pertunjukan rakyat diadakan dan sangat patut dipuji dengan inisiatif putra Batak si Tilhang yang terkenal dengan penampilan orkestra Bataksch yang lengkap. Pasar malam berlangsung selama tujuh hari dan tiap hari dikunjungi oleh banyak pengunjung.’

Grup kesenian Tilhang tidak pernah terdeteksi kehadirannya di Silindoeng, justru grup kesenian Tilhang (musik tradisi Batak, tarian tortor dn opera) justru lebih hidup di Simaloengoen. Namun secara perlahan-lahan dari Simaloengoen merangsek ke Toba yang kemudian sempat menetapkan homebase di Balige. Ini dapat dimaklumi karena kesenian tradisi Batak sangat ditentang para misionaris (zending) yang berpusat di Silindoeng. Para misionaris masih menganggap musik tradisi Batak tidak terpisahkan dari kepercayaan lama (Parhudamdam dan Parmalim dari pengikut Sisingamangaradja).

De Sumatra post, 18-12-1937: 'Bahwa secara umum harus dicatat, bagai-manapun, bahwa musik tradisi Batak juga dipengaruh oleh musik Eropa modern, jazz dan musik Hawaiian. Di daerah Kristen (Toba en Silindoeng) untuk memainkan musik asli dilarang karena dianggap musik asli masih ada pengaruh pagan (kepercayaan lama). Sementara dari sudut pandang musicological, kebaikan beberapa raja di Simeloengoen membuat upaya untuk mempertahankan musik asli terkesan lebih banyak dibanding daerah yang lain dan bahkan diajarkan di sekolah-sekolah rakyat. Musik di daerah ini sangat terhubung dengan religi’. Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 29-07-1938 mengutip bahwa music tradisi Simaloengen terkesan lebih hidup dan paling menarik perhatian/

Simaloengoen adalah daerah terbuka. Simaloengoen yang berpusat di Pematang Siantar dan Medan adalah daerah rantau orang-orang dari Afdeeling Mandailing dan Angkola. Sejak 1875 orang-orang Mandailing dan Angkola merantau ke Medan dan Deli (melalui laut dari Sibolga via Kotaradja dan Batavia). Transportasi darat antara Sibolga dan Medan via Taroetoeng dan Balige baru terhubung pada tahun 1923. Pada tahun 1907 di Medan sudah didirikan organisasi kebangsaan yang disebut Tapanoeli Sepakat (umumnya orang Mandailing dan Angkola). Anak-anak mereka membentuk klub sepakbola Tapanoeli VC yang berkompetisi di liga sepakbola Medan. Pada tahun 1909 Tapanoeli Sepakat melalui anak perusahaannya NV Tapanoelie Sepakat mendirikan surat kabar Pewarta Deli.

Orang Tapanoeli pertama di Simaloengoen adalah Dr. Mohamad Hamzah Harahap, seorang dokter lulusan Docter Djawa School di Batavia tahun 1902. Setelah beberapa tahun di Telok Betong, pada tahun 1912 Dr. Mohamad Hamzah dipindahkan ke Pematang Siantar, suatu kota yang tengah tumbuh sehubungan dengan perluasan perkebunan dari wilayah Deli. Orang-orang Tapanoeli yang berasal dari Mandailing dan Angkola sebagian bergser dari Medan ke Pematang Siantar. Beberapa tokoh penting yang muncul di Pematang Siantar adalah Mr. Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon, alumni Belanda yang mulai menjadi pejabat di kantor Asisten Residen Simaloengeon en Karo di Pematang Siantar tahun 1912. Juga menyusul tahun 1914 ditempatkan seorang dokter hewan, Dr. Alimoesa Harahap, alumni Veartsen School di Buitenzorg. Kemudian menyusul guru Soetan Marteowa Radja, alumni Kweekschool Padang Sidempoean 1892 yang setelah beberapa tahun menjadi kepala sekolah di Taroetoeng yang kemudian dipromosikan menjadi direktur sekolah Normaal School di Pematang Siantar. Juga menyusul guru Madong Lubis dan kemudian menyusul mantan guru dan sastrawan Angkola Soetan Hasoendoetan. Pada tahun 1918 seorang notaris di Tapanoeli Soetan Batoenadoa pindah ke Pematang Siantar. Untuk memfasilitasi pengusaha-pengusaha pribumi dalam industri perkebunan di Simaloengoen didirikan bank pribumi pertama Bataksch Bank tahun 1920. Direksi dan komisaris bank ini adalah Dr. Mohamad Hamzah, Soetan Hasoendoetan dan Soetan Batoenadoea. Sejak era inilah diduga mulai muncul grup kesenian tradisi Batak yang dirintis oleh Tilhang Goeltom. Catatan: Mangaradja Soangkoepon adalah anggota Volksraad dari daipl Sumatra Timur selama empat periode. Pada periode pertama anggota Volsraad dari Tapanoeli adalag Dr. Alimoesa Harahap dan kemudian pada berikutnya dan seterusnya digantikan oleh Dr. Abdoel Rasjid (adik kandung Mangaradja Soangkoepon). Soetan Batoenadoea adalah notaris ke enam pribumi dan yang pertama dari orang Batak. Soetan Hasoendoetan dan Soetan Martoewa Radja adalah juga novelis. Karya agung Soetan Hasoendoetan adalah Siti Djoeariah dan karya Soetan Martoewa Radja adalah Doea Sedjoli. Soetan Martoewa Radja adalah ayah dari MO Parlindungan.    

Opera Pantjaragam Tilhang di RRI Medan 1951

Bentuk-bentek hiburan asli Batak tidak hanya di Tapanoeli dan Sumatra Timur, tetapi juga di Batavia. Tilhang menjadi sering dibicarakan di Balige, Kisaran dan Medan. Di Djakarta, bentuk-bentuk kesenian Batak diperankan oleh pemuda dan pelajar asal Tapanoeli yang tergabung dalam organisasi pemuda Jong Batak.

Jong Batak didirikan di Batavia tahun 1919. Pendiri organisasi pemuda ini adalah Dr. Abdoel Rasjid Siregar yang belum lama lulus dari STOVIA. Pada bulan Januari 1917 organisasi mahasiswa Sumatra didirikan di Utrecht, Belanda dengan nama Sumatra Sepakat. Organisasi ini dipimpin oleh Sorip Tagor Harahap dimana sebagai bendahara adalah Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Pada bulan Desember, direspon positif mahasiswa-mahasiswa Sumatra di Batavia dengan mendirikan dan melengkapi Sumatra Sepakat dengan nama Sumatranen Bond. Organisasi pemuda dan mahasiswa di Batavia ini diketuai oleh T. Mansjoer dan Abdoel Moenir Nasution. Namun jelang kongres Sumatranen Bond yang pertama di Padang tahun 1919 anggota yang beragama Kristen mendapat resistensi dari sejumlah oknum yang tergabung dalam Sumatranen Bond. Saat inilah Abdoel Rasjid Siregar mendirikan Jong Batak agar pemuda beragama Kristen terakomodasi dalam organisasi kebangsaan yang tetap memelihara hubungan baik dengan Sumatranen Bond. Pada tahun 1923 Jong Batak dipimpin oleh Parada Harahap (pemimpin surat kabar Bintang Hindia di Batavia).  

Dalam sejumlah kegiatan secara sadar Jong Batak melembagakan bentuk-bentuk kesenian asal Tapanoeli di Batavia. Mereka tidak hanya membentuk grup pada saat ada acara, tetapi grup tersebut tumbuh dan berkembang yang mengisi berbagai acara-acara keluarga seperti dalam acara perkawinan.

Grup ini menjadi perhatian Radio Belanda (Radio Nirom) di Batavia dan dalam berbagai kesempatan diundang tampil di studio atau membuat rekaman untuk dimunculkan dalam serial musik-musik daerah. Pada era inilah musik dan lagu Batak mulai populer dan dikenal luas di Jawa dengan didirikannya grup musik yang disung oleh anak-anak Sipirok. Radio Nirom ini juga direlay di kota-kota lain seperti Bandong, Solo, Semarang dan Soerabaja. Grup musik anak-anak Sipirok ini adalah grup mandiri Batak Orchest yang diberinama Andalas (lihat De Indische courant, 28-01-1938 dan De Indische courant, 30-11-1939). Nyanyian (liedren) dari Sipirok disiarkan oleh Bandoeng II, Batavia II dan PMH (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 20-09-1939). Salah satu pemainnya adalah Ismail Harahap (kelak dikenal sebagai ayah dari Ucok AKA). Beberapa musisi muda masuk dalam grup musik Sipirok ini antara lain R. Tobing (yang kemudian pasca kedaulatan RI dihubungkan dengan kehadiran Gordon Tobing).

Eksistensi kesenian daerah termasuk kesenian Batak kurang terinformasikan pada era pendudukan Jepang maupun pada era perang kemerdekaan. Paling tidak datanya belum ditemukan hingga sejauh ini. Namun tentu saja grup-grup kesenian Batak akan tetap hidup. Di Medan, setelah pengakuan kedaulatan RI berbagai lembaga pemerintahan Republik Indonesia mulai dibentuk. Salah satu diantaranya adalah.

Serindo adalah nama partai politik yang lahir segera setelah kemerdekaan Indonesia. Orang-orang Serindo juga ikut berjuang di Bandoeng selatan (lihat Friesch dagblad, 22-12-1945). Provinciale Drentsche en Asser courant, 06-02-1946 melaporkan bahwa selama kongres partai baru Serindo, tiga kelompok nasionalis Jawa Tengah dan satu dari Sumatra bergabung dengan gerakan Serindo dengan nama baru PNI (Partai Nasional Indonesia), yang, menurut pernyataan mereka sendiri pembentukan sebuah negara sosial demokrasi nasional.

Tilhang masih eksis. Pada saat pembukaan RRI Medan Tilhang dengan grup juga termasuk yang diundang. Grup kesenian Tilhang sudah dikenal dengan nama Pantjaragam. Ini mengindikasikan bahwa Tilhang dan kawan-kawan terus bekerja dalam melembagakan bentuk-bentuk kesenian Batak.  Namun tidak diketahui dimana hombase grup Tilhan selama ini apakah selama pendudukan Jepang maupan pada era perang kemerdekaan. Boleh jadi mereka ikut mengungsi dari kota, berperang atau ikut menyemangati para patriot dengan musik dan lagu-lagu patriot.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-01-1951: ‘Di Medan dan sekitar, Radio Medan Sabtu malam lalu di Studio Medan Radio Republik Indonesia telah mengadakan Radio-Show yang banyak dihadiri pengunjung di ruang Balai Umum di Medan. Dalam pertunjukan ini untuk memancarkan ke atmosfer didukung dua pemancar studio Medan, 60,85 (Timur) dan 90,27 (barat), control dan amplifier dipasang di sebelah kiri panggung, mikrofon di atas panggung, dan di sekitar panggung yang acara dimulai tepat pukul 19.30. Acara ini disiarkan di kedua saluran studio Medan. Tepuk tangan yang berulang kerap terdengar dari publik. Program ini terlihat dilakukan dengan baik. Setelah pidato pembukaan dan beberapa pidato dari pejabat resmi semua beralih pada pentingnya penyiar Radio Nasional ini. Sebab kemudian pertunjukan yang sebenarnya dimulai. Berbagai orkestra tampil. Sebelum jeda dipertontonkan tarian Indonesia berbagai daerah dengan iringan musik antara lain Simelungun, Mandailing, Minangkabau, Djawa dan Malukku. Tarian ini ditampilkan dengan sangat baik. Namun, keraguan muncul apakah pendengar (radio) dapat menikmatinya? Sebab penontong di ruangan berbeda dengan pendengar radio di rumah. Lagipula, tarian-tarian ini murni visual, sehingga pendengar )di rumah) sebenarnya harus menebak apa yang sedang ditarikan melalui musik. Bahkan ada tarian tanpa iringan musik, sehingga orang tidak bisa mendengar apa pun selain di radio hanya bunyi hentakan-hentakan kaki. Awal paruh kedua malam ini dikhususkan untuk musik Barat. Ini dimulai dengan penampilan orkestra Boris Mariëff. Setelah itu beberapa orkestra Timur tampil, seperti orkes Terang Bulan, grup musik Hawaii Merry, grup musik Katolik Barat, orkes gambus Al Ardan. Akhirnya orkestra Pantjaragam (pimpinan Tilhang) dengan melibatkan banyak pendukung, yang mendapat perhatian besar, mendapat perhatian besar. Kita harus mengingatkan diri kita sendiri bahwa Pak Pasaribu, sebagai penyiar telah bekerja dengan sangat baik untuk membuat perhatian publik tetap berjalan’.

Opera Serindo Djakarta 1956 dan Zulkaidah Harahap

Di Djakarta grup musik tradisi Batak telah bertransrformasi menjadi grup musik modern Batak. Salah satu grup musik modern Batak adalah grup Sinondang Sipirok. Grup musik yang membawakan musik dan lagu-lagu Tapanoeli ini kerap disiarkan oleh RRI Djakarta. Grup Sinondang Sipirok sudah eksis pada era kolonial Belanda (sebelum pendudukan Jepang).

Grup musik alat modern di Sipirok (1890)
Musik modern Batak sudah sejak lama muncul di Sipirok. Paling tidak di Sipirok sejak tahun 1890 tercatat sudah ada grup musik modern yang menggunakan alat-alat modern seperti saksofon dan drum (snare). Introduksi musik modern ini diduga sejak awal diperkenalkan oleh orang-orang Eropa untuk mengeliminasi musik tradisi Batak yang berkonotasi kepercayaan lama. Namun kenyataannya alat-alat musik modern ini tidak berhasil menggeser alat-alat musik tradisi Batak seperti gondang, ogung, hasapi dan lainnya malahan sebaliknya yang muncul adalah para pemudik justru menkombinasikan alat-alat musik tradisi dan alat musik modern untuk menghasilkan komposisi nada-nada yang baru. Seperti diketahui awal pusat misionaris (Nommensen di Silindoengt) berada di Sipirok, namun karena penduduk Sipirok yang mayoritas beragama Islam tidak menjadi halangan bagi tumbuh kembangnya musik, termasuk musik tradisi Batak. Seperti diketahui Pemerintahan Belanda di Afdeeling Mandailing dan Angkola terutama di Sipirok sangat mendukung perkembangan kesenian lokal yang dalam hal ini termasuuk musik tradisi sebagai hiburan penduduk. Oleh karena itu perkembangan musik tidak terhalangi di Afdeeling Mandailing dan Angkola. Apalagi sejak tahun 1900 cafe Biljart di Padang Sidempoean sudah menyediakan grup musik untuk menghibur para pengunjung. Tentu saja para pengunjung ini termasuk para pejabat-pejabat Belanda.

Grup musik di Sipirok, 1928 (kombinasi tradisi dan modern)
Itulah mengapa banyak muncul pemusik di Afdeeling Mandailing dan Angkola lebih-lebih di Sipirok di era kolonial Belanda. Dua pemuda Sipirok sebelum merantau ke Jawa yang sudah mahir bermusik adalah Nahum Situmorang (sekolah guru) dan Sakti Alamsyah Siregar (bekerja di bidang jurnalis). Sakti Alamsyah pada era pendudukan Jepang adalah penyiar Radio Bandoeng dan orang yang mengaransemen berbagai grup musik untuk disiarkan. Sakti Alamsyah Siregar adalah pendiri surat kabar Pikiran Rakyat Bandung. Ke dalam daftar ini dapat ditambahkan pemuda asal Sipirok yang menyukai musik adalah Amir Sjarifoeddin Harahap (Perdana Menteri RI kedua). Tentu saja, seperti sudah disebut di atas pemuda asal Sipirok, Ismail Harahap (ayah Ucok AKA).

Pada permulaan era pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda grup musik Sinondang Sipirok muncul kembali. Salah satu personil musik ini yang menguasai alat musik perkusi (termasuk gondang) kelak dikenal sebagai ayah dari Kenaan Nasution. Grup musik Sinondang Sipirok adalah nama yang sama untuk grup musik Sinondang Tapanoeli.

Murid sekolah HIS di Sipirok 1928 (terbiasa alat musik modern)
Pada tanggal 31 Mei 1952 Radio Jakarta (RRI Jakarta) pukul 22.10 mengumandangkan suara Gordon Tobing di bawah label Sinondang Tapanoeli (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 31-05-1952). Kemudian nama Gordon Tobing terdeteksi lagi di Radio Jakarta I dan Radio Jakarta II tanggal 1 November 1952 siaran pukul 21.15. Gordon Tobing kembali dengan grup Sinondang Tapanoeli (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 01-11-1952). Lalu tanggal 3 November Gordon Tobing kembali muncul, di Radio Jakarta III siaran pukul 22.15 (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 03-11-1952). Suara Gordon Tobing hingga tahun 1954 masih kerap diudarakan dengan grupnya Sinondang Tapanoeli.

Seiring dengan semarak musik Batak (tradisi atau modern) di Djakarta, grup kesenian Pantjaragam yang berkiprah di Medan yang dipimpin Tilhang Goeltom mendapat undangan untuk tur di Bandoeng. Pengundang tersebut adalah suatu komite yang dibentuk di Bandoeng yang dipimpin oleh Ir. Tarip Harahap.

Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode, 16-01-1952: ‘Batu Rambi di Bandoeng mempopulerkan seni Batak di Concordia tagading, hasapi dan hesek akan mainkan. Di bawah naungan komite yang dibentuk oleh komunitas Batak, 40 seniman dari Bataklanden tiba di Bandoeng untuk mempersembahkan pertunjukan Kesenian Batak di auditorium besar Concordia malam ini. untuk semua pihak yang berkepentingan. Bagi mereka yang mengetahui sesuatu tentang kehidupan seni Batak, namanya Tilhang Oberlin Goeltom dan Radja Polin Goeltom. penyelenggara grup artis ini, tentu bukan tidak dikenal. Sebelum perang mereka adalah pemimpin Tilhang Opera Batak yang dari tahun 1930 hingga invasi Jepang memberikan pertunjukan seni di berbagai tempat di Sumatra, Malaya dan Singapura. Grup kesenian ini akan tampil untuk pertama kalinya di Bandoeng malam ini, terdiri dari orkestra Batak sepenuhnya asli, terdiri dari gondang, oening-ocningan, dimana sekitar dua puluh musisi menggunakan berbagai instrumen autochthone seperti ogoeng, atagading, hasapi, gordang, hesek bermain lebih dari 20 jenis dengan tujuh penyanyi yang mana empat penyanyi akan bersama-sama dengan sekelompok penari (tortor). Bapak Tilhang Goeltom memberi tahu kami bahwa tujuan utama grup keseniannya adalah untuk melindungi seni Batak yang telah ada selama berabad-abad dan untuk menghibur orang Batak yang tinggal jauh dari tempat kelahiran mereka, bahwa mereka adalah keturunan suatu komunitas yang memiliki kultus mereka sendiri, tulisan mereka sendiri dan moral serta kebiasaan mereka sendiri. Ini adalah tujuan grup kesenian ini yang diberi nama Batu Rambi. sebuah kotak batu di mana harta budaya lama orang Batak telah dilestarikan, untuk membuat seni Batak modern. Mr Tilhang Goeltom menambahkan bahwa Batu Rambi masih dipertahankan tergeletak di kaki Gunung Poesock Boehit, di pantai danau Toba. bahwa menurut mitologi Batak adalah tempat lahir orang Batak atau putra Debata Mula Djadi Nabolon. Grup kesenian yang juga menyandang nama Batu Rambi berharap untuk segera tampil di Jakarta’.

Ir. Tarip Harahap adalah bagian dari diaspora orang-orang Zuid Tapanoeli yang berada di perantauan. Orang-orang Zuid Tapanuli (dulu disebut Afdeeling Mandailing dan Angkola) sudah sejak lama merantau ke Jawa. Komunitas mereka tidak hanya di Batavia, tetapi juga di Buitenzorg dan Bandoeng. Ir. Tarip Harahap adalah seorang insinyur teknik sipil, lulus tahun 1939 dari Techniche Hoogeschool di Bandoeng (kini ITB). Ir. Tarip Harahap sudah sejak lama tinggal di Bandoeng. Komunitas asal Zuid Tapanoeli inilah yang mengundang grup kesenian Tilhang.

Putra Batak asal Zuid Tapanuli lainnya di Bandoeng pada tahun 1952 adalah Letnan Kolonel Mangaradja Onggang Parlindungan (MO Parlindungan). Sejak 1951 MO Parlindungan adalah direktur Peroesahaan Sendjata dan Mesioe di Bandoeng (kini PT Pindad). Tentu saja di Bandoeng masih terdapat tokoh pentin lainnya asal Zuid Tapanoeli di Bandoeng yakni Sakti Alamsyah Siregar. Sebagaimana diketahui Sakti Alamsyah, mantan penyiar Radio Bandoeng yang juga seorang komponis musik adalah Pemimpin Perusahaan Fikiran Rakjat (kelak menjadi pendiri surat kabat Pikiran Rakyat Bandung). Ir. MO Parlindungan alumni teknik kimia Delft (1943) kelak lebih dikenal sebagai penulis buku kontroversi Tuanku Rao.

Seperti biasanya, para pemuda dari keluarga di Bandoeng bersama mahasiswa asal Tapanuli Selatan di Bandoeng yang menjadi pelaksana panitia. Pada saat itu sejumlah putra-putri asal Tapanuli Selatan berkuliah di Fakultas Teknik dan Fakultas MIPA UI di Bandoeng (kelak kedua fakultas ini menjadi cikal ITB yang dalam hal ini sebut saja ITB). Ketua Dewan Mahasiswa ITB  Bandoeng pada tahun 1952 adalah Januar Hakim Harahap (putra dari Abdul Hakim Harahap, Gubernur Sumatra Utara). Sementara ketua Dewan Mahasiswa UI di Djakarta adalah Widjojo Nitisastro.

Grup musik Sipirok (kiri) dan Toba (kanan) tahun 1928
Sejak grup kesenian Batak yang dipimpin Tilhang Goetom di Bandoeng, tampaknya grup kesenian yang juga disebut Pantjaragam ini tidak kembali ke Sumatra Utara, tetapi bertahan di Djakarta. Hal ini tidak sulit untuk dilakukan karena grup kesenian yang dipimpin Tilhang kerap berpindah homebase. Pada tahun 1955 musik dari grup Pancaragam mulai terdengar di RRI Djakarta. Mengapa grup kesenian Tilhang disebut nama Pantjaragam boleh jadi karena grup kesenian ini mengusung lima ragam seni: musik tradisi (gondang); musik modern (orkes); tarian (tortor); pantomim; dan opera (drama). Ragam musik modern (orkes) yang disiarkan oleh RRI Djakarta.

Selama tahun 1955 dan 1956 nyanyian grup musik Pantjaragam terbilang kerap diudarakan oleh RRI Djakarta. Dalam hal ini grup musik Pantjaragam telah masuk rekaman. Ini berarti di ibukota grup Pantjaragam telah menambah satu lagi grup musik/nyanyian asal Sumatra Utara. Sebelumnya salah satu yang terkenal adalah grup musik Sinondang Sipirok atau juga disebut Sinondang Tapanoeli. Grup-grup musik yang diudarakan RRI Djakarta, selain Sinondang dan Pantjaragam yang membawakan musik/nyanyian Batak antara lain adalah grup musik/nyanyian Jawa, Soenda, Minahasa, Maluku dan sebagainya.

Sehubungan dengan semaraknya musik/nyanyian berbagai daerah di RRI Djakarta, apakah ada kaitannya, pada tahun 1952 di Djakarta didirikan Jajasan Pendidikan Musik. Sebagaimana yang dilaporkan di surat kabar, salah satu pendiri yang juga pengurus yayasan adalah GK Harahap. Boleh jadi pendirian yayasan musik ini mengindikasikan semangat para pemusik dan pemerhati musik bahwa saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri (sesuatu yang sulit mendapat tempat pada era penjajahan (Belanda/Jepang).

Pada tahun 1956 diketahui Pantjaragam telah diubah namanya menjadi grup kesenian dengan nama Serindo. Nama yang mirip dengan nama partai politik Semangat Rakyat Indonesia (Serindo) suksesi PNI). Grup kesenian Serindo kemudian diberitakan sedang melakukan tur di Sumatra Utara.

Het nieuwsblad voor Sumatra, 08-06-1957: ‘Serindo sedang tur. Grup drama Serindo (Seni Ragam Indonesia) saat ini sedang melakukan tur di Sumatera Utara. Kelompok panggung ini, didirikan pada tahun 1928 oleh Noordsumatraan Tilhang dengan nama Pantjaragam Tilhang, pada awalnya ditempati oleh tarian rakyat dari Batakland, seperti tortor yang terkenal. Kelompok panggung ini juga pernah melakukan tur di (semenanjung) Malaya. Tahun lalu nama Serindo diadopsi dan grup drama mulai memberikan pertunjukan seni lainnya dari berbagai daerah.

Seperti yang telah banyak ditulis, ketika grup Serindo dalam melakukan tur yang tengah berada di Padang Sidempuan seorang gadis belia bergabung dengan grup Serinda. Gadis belia asal Sipirok ini kemudian dikenal sebagai Zulkaidah Harahap yang ahli dalam alat musik suling. Singkat kata: kelak setelah meninggalnya Tilhang Goeltom kepemimpinan grup kesenian Serindo ini dipimpin oleh Zulkaidah Harahap.  

RA Srimulat, Teguh dan Eksistensi Grup Kesenian Srimulat

Setelah Teguh Slamet Rahardjo menikah dengan Raden Ajoe Srimulat pada tahun 1950, Teguh mempelopori grup kesenian Jawa di Solo dengan menabalkan nama istrinya sebagai nama grup yakni Srimulat. Inilah awal kehadiran grup kesenian Srimulat yang bermula di Solo, Jawa Tengah. Grup kesenian Srimulat mengkombinasikan musik (tradisi dan moedern) dan lawak. Sementara itu, grup kesenian Serindo (sebelumnya Pantjaragam) mengkombinasikan paling tidak lima ragam bentuk kesenian (musik tradisi, musik modern, tarian tortor, pantomim dan opera.

Kesenian di berbagai daerah sudah eksis sejak masa lampau namun belum menjadi perhatian bagi Pemerintah Hindia Belanda. Baru ada upaya pemerintah tahun 1936 untuk mengidentifikasi kesenian daerah yang dalam hal ini hanya terbatas pada seni musik. Seperti kesenian Jawa, di Batavia musik tradisi Batak sudah mulai diperkenalkan menjelang kongres pemuda tahun 1928. Tokoh-tokoh musik tradisi Batak yang saat itu umumnya berasal dari Angkola dan Sipirok adalah Sanusi Pane, Nahum Situmorang dan tentu saja Parada Harahap. Selain itu tokoh-tokoh pemuda Batak yang memiliki bakat musik adalah Amir Sjarifoedin Harahap dan Todoeng Harahap gelar  Soetan Goenoeng Moelia. Mereka inilah yang secara sadar dalam semangat Jong Batak memperkenalkan musik tradisi Batak ke publik di Batavia.

Seorang kurator musik yang bekerja untuk Art Society di Batavia pada tahun 1936 bernama Dr. Karl Halusa, seorang musicology dari Universitas Wina, Austria sebagaimana dilaporkan Soerabaijasch handelsblad mulai mempelajari (studi) musik tradisi di berbagai tempat di Hindia termasuk musik tradisi Jawa dan Batak. Dr. Karl Halusa yang ditugaskan dengan anggaran dari pemerintah juga akan melakukan perekaman langsung di daerah-daerah yang dikunjunginya.

Soerabaijasch handelsblad,06-07-1937: ‘Dr. Halusa ke Batak. Pada pertengahan Agustus ini, Dr. Halusa, kurator musicological di Afdeeling Museum Kon. Masyarakat Batavia. Beberapa waktu lalu dimulai dari Medan lalu penelitian di Batak, dan kemudian ke Padang, khususnya untuk mengobservasi musik Mentaweilanden. Penelitian ini diperkirakan 10 dan 12 minggu. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengambil dan membuat studi khusus tentang ekspresi musik dan membuat rekaman di daerah-daerah di mana budaya Eropa belum terlalu kuat utamanya dari budaya Batak. Sejak dimulainya penelitian musik pribumi tahun 1932, budaya Batak belum masuk dalam daftar penelitian musikologis, tapi sekarang anggaran O en E telah disediakan, namun penelitian ini akan dilakukan secara bertahap. Setelah melakukan tugas ke Tanah Batak, Dr Halusa akan ke Dajaklanden tahun depan dalam program, yang bertujuan untuk mencakup seluruhnya secara sistematis. Perjalanan mendatang Dr. Halusa ke Battaklanden dapat dianggap sebagai studi pendahuluan. Selain untuk mengoleksi alat musik tradisi, juga akan dilakukan perekaman dari muziek orchestra (gondang) dan vocal (nyanyian rakyat). Untuk tujuan ini, seorang pejabat dari Laboratorium Radio di Bandung, akan dibangun komposisi instrumen (aransemen) yang juga akan dilakukan rekaman untuk bisa dibedakan antara rekaman listrik (dengan rekaman langsung di lapangan). Saat ini museum di Batavia adalah satu-satunya di dunia yang memiliki perangkat yang juga dapat dilakukan oleh apa yang disebut ‘fieldwork’ independen arus listrik yakni dua baterai dengan sebuah motor listrik dan dinamo yang dihubungkan dengan alat lain gramofon sebagai penguat suara ke mikrofon. Sebelumnya fungsi ini sudah lama dilakukan tetapi hasil rekaman music serupa itu tidak dapat menangkap ‘nuansa’ dan karenanya fungsi ini akan memiliki akurasi dan kealamiahan. Fungsi ini juga untuk mengatasi problem dimana penyanyi harus mempersiapkan sangat dekat dengan corong microfon yang dapat mengganggu ekspresi dirinya dalam beraksi. The Bataksche Gondang orkestra terdiri dari lima gong, lima drum suara berbeda dan oboe bentuk sedikit berbeda. Pada prinsipnya komposisi yang sama dengan instrumen yang akan digunakan sebagaimana dalam orkestra Eropa. Dalam music tradisi Batak secara umum juga terdapat satu intrumen yang dimainkan yang disebet ‘koetjapi’. Keinginan Dr. Halusa untuk mempelajari dan mengajarkan dengan menyediakan peralatan modern agar terdengar akurat, membuat kesan yang dapat diperoleh lebih baik sebagai sebuah kontrubusi peralatan ilmiah’.

Hasil penelitian yang dilakukan Dr. Karl Halusa mulai dipublikasikan. Apa yang menarik bagi Karl Halusa dengan musik tradisi Batak? Ternyata Dr. Halusa telah menemukan sedikitnya ada 40 jenis instrumen musik Batak, baik yang dimainkan laki-laki maupun perempuan. Temuan ini baru dilaporkan kemudian oleh Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23-03-1938 setelah mengunjungi Karolanden, Bataklanden dan Zuid Tapanoeli.

Yang cukup mengejutkan, Karl Halusa, PhD ahli musik dari Wina menduga musik Batak telah berkembang sejak lama mendahului yang lain. Yang membedakan musik tradisi Batak dengan yang lain menurut Halusa adalah drum atau gondang. Menurut Halusa musik tradisi Batak juga telah dipengaruhi oleh  musik Eropa dan juga musik dari Arab. Musik tradisi Batak memiliki banyak melodi bahkan mencapai 48 melodi yang berbeda di Karolanden (De Telegraaf, 14-01-1938). Banyaknya melodi di Karolanden diduga adanya tambahan pengaruh Arab yang dapat dijelaskan dengan kontak yang kuat dengan Atjeh, yakni bermain dengan cara drum bespeling yang telah diterapkan pada musik Batak. Perbedaan lainnya bahwa orchest Karolanden adalah yang terkecil dibanding yang lain dan di Zuid Tapanoeli cenderung lebih besar. Karolanden hanya memiliki dua trommen en een dezer trommen (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-12-1937). Hal lain juga yang tidak kalah penting, meski Tanah Batak masih digolongkan daerah primitive (saat itu), tetapi Dr. Halusa telah membuat rekaman yang sangat banyak, jumlahnya bahkan mencapai 175 buah (De Indische courant, 15-12-1937).

Bagaimana Dr. Halusa melakukan perekaman dan interaksinya dengan para pemain pada lokasi penelitian yang berbeda selama empat bulan. Mungkin ini soal remeh temeh tetapi perlu juga dicatat karena sangat mempengaruhi dalam teknik perekaman. Di Karolanden, Halusa harus bersusah payah, karena banyak diantara pemain yang ketakutan apalagi dengan penggunaan mikrofon. Alasan mereka: ‘Kami membuat musik, bukan karena kita bisa melakukannya sendiri tetapi karena kita diperintahkan oleh roh-roh’. Sebaliknya di Zuid Tapanoeli, kata Dr Halusa, bahwa penduduk tidak takut sedikit pun atau ragu-ragu mengenai kesediaan untuk bermain untuk mikrofon, malahan sangat bersemangat (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-12-1937).

Setelah sukses di Tanah Batak, Halusa melanjutkan studi ke Bali (De Indische courant, 30-06-1938), lalu kemudian melakukan studi tiga bulan di Jawa (Soerabaijasch handelsblad, 19-10-1939).

Musik tradisi Batak menurut Dr. Karl Halusa lebih melodis dibanding musik Jawa dan musik Bali. ‘Semua elemen musik Barat (melodi, harmoni, irama, dan lainnya) dapat ditemukan dalam musik tradisi Batak’ demikian Dr. Karl Halusa. Musik Jawa menurut Halusa hanya memiliki lima nada utama dan untuk memainkan melodi Barat, maka hal ini tidak mungkin. Musik Jawa (dan Bali) benar-benar berbeda dari musik Barat (dan musik Jawa juga berbeda dari musik Batak). Musik Jawa bukanlah seni yang kita pikirkan melain kegunaannya hanya dalam arti terbatas. Musik bagi orang Jawa yang penuh dengan suasana mystische adalah baginya manifestasi dari alam semesta (lihat De Indische courant, 11-08-1938). Sedangkan musik Bali yang seakar dengan musik Jawa pada dasarnya telah banyak yang hilang ditelan jaman dan tidak diketahui lagi. Yang ada sekarang menurut Halusa, memang masih mempertahankan bentuk struktur dan artefak, tapi tidak lagi hidup (Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 09-10-1938). Jika dibandingkan dengan kreasi yang sekarang, musik Batak lebih awal dan lebih maju dari sudut pandang musicological, demikian kesimpulan Dr. Karl Halusa, ahli musik dari Universitas Wina,

Raden Ajoe  Srimulat adalah seorang penyanyi yang diiringi musik/orkes tradisi Jawa.

Tunggu deskripsi lengkanya
.

*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar