*Untuk melihat semua artikel Sejarah Lampung di dalam blog ini Klik Disini
Ada apa dengan bukit Kunyit di Teluk Betung, Lampung? Yang jelas nama sejenis ditemukan di tempat lain, gunung Kunyit (bukit belerang) suatu gunung berapi yang berada di desa Talang Kemuning, kecamatan Gunung Raya, Kerinci, Jambi, Puncak gunung memiliki dua kawah; dengan kawah teratas merupakan danau kawah. Perbukitan itu oleh masyarakat setempat dikenal dengan Gunung Kunyit karena warna belerang yang kuning seperti kunyit ditambah aroma bau belerangnya yang menyengat juga seperti kunyit. Lalu bagaimana dengan Bukit Kunyit di Teluk Lampung? Tampaknya akan segera lenyap.
Kawasan Lampung. KOTA BANDAR LAMPUNG. Inilah sisa dari Bukit Kunyit yang kemungkinan besar dalam beberapa tahun lagi hanya tinggal nama karena adanya penambangan batu yang terus menerus menggerus Bukit Kunyit. Dan sangat memungkinkan akan rata seperti tanah dan semakin rusaknya ekosistem di wilayah Bukit Kunyit. Perbukitan yang seharusnya bisa menjadi destinasi wisata untuk menambah PAD tapi hanya masuk ke kantong pemodal tambang batu. Miris memang, tapi begitulah adanya sebelum Bukit Kunyit hilang sepertinya kalian harus buru-buru berkunjung di puncak bukitnya, bisa juga mengambil beberapa jepretan untuk sebuah bukti adanya Bukit Kunyit di Bandar Lampung. Panorama di Bukit Kunyit memang begitu indah kamu bisa melihat pantai yang begitu biru dari puncak bukit. Tempat wisata di Lampung yang sebentar lagi hilang ini berada di wilayah Kecamatan Bumi Waras, Bandar Lampung. (https://direktoripariwisata.id/unit/6539)
Lantas bagaimana sejarah Bukit Kunyit di pantai Teluk Betung di Lampung? Seperti disebut di atas, Bukit Kunyit di Lampung akan segera lenyap dari permukaan bumi. Namun tidak hanya hingga disitu, bagaimana sejarah bukit di wilayah perairan Teluk Lampung tersebut? Menarik untuk diperhatikan sejarah geomorfologis wilayah Lampung di Teluk Betung, Teluk Semangka dan pantai Kalanda. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Bukit Kunyit dan Geomorfologi Wilayah Teluk Betung; Teluk Lampung, Teluk Semangka dan Pantai Kalianda
Gunung Kunyit pada masa lalu dan masa kini tetap menarik perhatian. Dulu, gunung/bukit Kunjit masih tinggi, tetapi kini mulai lenyap, rata dengan permukaan tanah. Pada Peta 1911 tinggi puncak bukit masih dicatat 131 meter, tetapi semakin menurun berdasarkan Peta 1931 yang dicatat hanya setinggi 95 meter (bandingkan dengan gunung Pahoman 158 meter). Mengapa bisa berubah menjadi lebih rendah?
Posisi GPS gunung Kunyit, meski dekat pantai pada dasarnya berada di tengah kota Teloek Betoeng yang mirip dengan posisi gunung Pangilun yang benar-benar di tengah kota Padang. Tinggi gunung Kunyit dan gunung Pangilun juga kurang lebih sama. Di sisi selatan kota Padang di sisi timur muara sungai Batang Arau terdapat gunung Padang yang pada era Pemerintah Hindia Belanda disebut Apenberg. Gunung Kunyit pada era yang sama juga adakalnya disebut Apenberg dimana gunung di arah timurnya disebut gunung Pahoman yang mana lereng timur mengalir sungai way Kademajan yang di hilir disebut sungai way Galih Koeala.
Ap yang menarik dengan gunung Kunyit dan gunung Pahoman di (kota) Teluk Betung? Secara geomorfologis sangat mirip dengan gunung Padang dan gunung Pangilun di tengah kota Padang. Di kota Teluk Betung tidak hanya gunung Kunyit dan gunung Pahoman, juga ada dua sungai yang mengapit kota yakni sungai Kuripan di sebelah barat dan sungai Galih Kuala di timur. Diantara sua sungai inilah letak dua gunung/bukit.
Dua gunung pernah dikunjungi seorang geolog pada tahun 1929 (lihat Soerabaijasch handelsblad, 06-09-1929). Dalam laporannya sebagai berikut: ‘Aku masih harus membereskan beberapa hal dan pada saat yang sama aku akan mengamati Krakatau, yang kembali menunjukkan beberapa aktivitas dalam beberapa hari terakhir. Namun, saya tidak melihat apa-apa dan karena itu tidak perlu istirahat. Pagi-pagi sekali rombongan kami turun di Pandjang (Pelabuhan Timur) dan karena sudah sarapan, kami harus segera berangkat. Rhyolite "quelkuppe" segera dikunjungi di sebelah timur stasiun Tandjong Karang, dan untuk mendapatkan gambaran yang baik tentang daerah tersebut, "kuppe" ini didaki. Tour de force pertama, saya berpikir sendiri ... Tapi ya: tidak keberatan ... rekan kerja saya tetap di depan kami! Dia dan saya saling memandang dan menggelengkan kepala dengan takjub... Ini rhyolitoid vitreous. terletak pada tuf batu apung asam. Menurut Lacroix, batu itu sangat mirip dengan Luscellade di Mont DorĂ©, satu-satunya tempat di Prancis dimana riolitoid pada seberkas batu apung riolit juga ditemukan. Seperti "quellkuppe" juga di Bukit Koenjit sebalah SE dari Telok Betong, di jalan menuju Pandjang. Disini, bagaimanapun, kuarsa lebih lazim dalam bentuk virtual. Di Way Galih Pandjang, kompleks gneiss-schist dengan koridor porfiritiknya yang indah dipelajari, setelah itu breksi andesit dan andesit rantai Bantuseserampoek dikunjungi. Kompleks gneiss menarik perhatian khusus dan dari penentuan makroskopik pendahuluan, batuan ini dapat dikatakan sebagai batuan orthogneiss, terbentuk dari magma diorit (granodiorit quartz diorit). Banyak sampel diambil disini, sebagian sehubungan dengan dugaan adanya sistem koridor yang lebih tua, sehingga lebih tua dari yang di atas, dan yang masih dipengaruhi oleh metamorfosis (tekanan dan metamorfosis regional). Atas permintaan rekan saya pada sore hari kunjungan sepintas dilakukan ke deposit bijih besi di sekitar tambang besi, dimana Jepang baru-baru ini menaruh perhatian. Berdasarkan peta geologi tahun 1931, dua gunung di tengah kota Teloek Betoeng terdiri dari dacietische of liparietische tufmantels yang bagian permukaannya merupakan lapisan debu vulkanik.
Apa yang telah dideskripsikan pada peneliti terdahulu, tanah gunung Kunyit mengandung kuarsa yang mana permukaannya ditutup debuan vulkanik dan bahkan ditemukan batuan apung. Soal batu apung tersebut, diduga terkait dengan aktivitas gunung Krakatau yang meletus pada tahun 1883 yang menyebabkan terbentuk batu apung mengambang di laut yang kemudian terbawa ke atas bukit Kunyit saat terjadi tsunami.
Dalam laporan awal penyelidikan dampak letusan gunung Krakatau tahun 1883 (berdasarkan Beslit tanggal 4 Oktober 1883 No. 110, dimuat dalam surat kabar Bataviaasch handelsblad, 08-03-1884. Dalam laporan ini disebutkan batu apung telah menutupi teluk Lampung sebelum terjadi ledakan besar yang disertai gelombang paling besar dengan perincian sebagai berikut: Gelombang besar ± 10 jam naik sangat tinggi terutama terhadap pantai terjal Selat Sunda, menurut pengukuran kami: di mercusuar di Vokken Hoek setinggi 15 meter; di Bencawang (Semangka) tidak menentu; di Teloeq Betoeng di depan rumah residen 22 m; di Apenberg (Goenoeng Koenjit) 21 meter; pantai Kalianda, di dataran yang landai, 24 meter; di sisi selatan Dwars ± 35 meter (tidak diukur); Topper Hat di sisi selatan 30 meter, di sisi utara 24 meter; di Alerrak sendiri tidak terlihat jelas, rumah insinyur tua hanya 14 meter di atas laut; sekitar 2 kilometer selatan Merak, bagaimanapun, 35 meter; utara Anyelir di daratan seberang Braband, 36 meter. Oleh karena itu, ketinggian bervariasi dimana-mana dan tergantung pada lokasi tempat, jarak mereka dari Krakatau, semakin besar atau sedikit perlindungan dan kecuraman pantai. Di Sebesi tidak terlihat lagi jejak gelombang pasang, karena semuanya tertutup tebal oleh sampah yang jatuh setelah gelombang; di Sebuku, ketinggiannya 25 hingga 30 meter.
Tingginya gelombang tsunami di gunung Koenyit yang mencapai 21 M (dpl) diduga telah mempengaruhi permukaan gunung karena terbawanya partikel-partikel kimia dan air laut yang asin. Pengaruh kimia dan juga pengaruh getaran diduga telah menyebabkan permukaan bukit Koenyit dari waktu ke waktu rentan terhadap longsor, batuan/tanah berguguran dan erosi di waktu hujan. Apakah factor-faktor ini yang menyebabkan ketinggian puncak bukit Koenyit 131 meter pada Peta 1911 semakin rendah berdasarkan Peta 1931 yang dicatat hanya setinggi 95 meter?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Geomorfologi Teluk Lampung, Teluk Semangka dan Pantai Kalianda: Bukit Kunyit
Secara geomorfologis, wilayah Lampoeng berbeda satu wilayah dengan wilayah yang lebih kecil. Pantai barat (provinsi) Lampung adalah wilayah pegunungan andesit dan pantai timur wilayah dataran rendah (alluvial). Di pantai selatan Lampung ada perbedaan yang besar antara wilayah Teluk Semangka dengan wilayah Teluk Lampung. Kawasan Teluk Lampung termasuk hingga ke pantai tenggara di Kalianda (lereng gunung Radjabasa).
Berdasarkan peta geologi Lampung tahun 1917, wilayah Teluk Semangka adalah laut dalam yang menyatu dengan kedalaman di selat Sunda. Sementara Teluk Lampung adalah Kawasan perairan/laut dangkal yang menyatu dengan daratan mulai dari kota Teluk Betoeng dan sepanjang garis pantai Kalianda gingga pulau-pulau di Kawasan teluk, termasuk pulau Lagundi dan pulau Karakatau. Dalam hal ini, secara geomorfologis pulau Krakatau yang pernah Meletus yang diserta tsunami tahun 1883 masuk bagian wilayah Sumatra yang secara khusus wilayah Lampung. Secara tradisional pada era Pemerintah Hindia Belanda pulau Krakatau adalah wilayah navigasi nelayan Lampung. Jalur selat Sunda yang dalam memiliki gelombang laut yang lebih besar relative terhadap Kawasan Teluk Lampung. Pulau-pulau di Kawasan teluk mempengaruhi arus air laut atau gelombang di Teluk Betoeng.
Sebagaimana ditunjukkan peta geologi tahun 1917, wilayah Tandjung Karang yang menyatu dengan pegunungan Bukit Barisan, memiliki rantai dengan Kawasan yang sempit hingga ke gunung Radjabasa. Oleh karenanya pembentukan permukaan tanah sama, dari batuan (andesit, kuarsa). Di sebelah utara Tandjung Karang termasuk daratan rendah alluvial (sedimentasi) yang membentuk sungai Sekampoeng, sungai Soelan dan sungai Pisang. Tanah alluvial juga membentuk sepanjang pantai di dalam Teluk Lampung. Lalu bagaimana dengan gunung Koenyit yang menyempil di pantai, di selatan Tandjung Karang di wilayah Teluk Betung?
Seperti disebut di atas, gunung Koenyit terbentuk dari batu kuarsa yang mudah rusak oleh berbagai factor termasuk cuaca. Erosi dapat menggerus permukaan bukit yang terbawa oleh sungai ke hilir bergabung dengan sampah vegetasi yang membentuk tanah-tanah alluvial yang subur. Peta tanah-tanah alluvia cenderung lebih rendah dan berada di daerah aliran sungai. Di kota Teluk Betoeng terdapat dua sungai besar yaknio sungai Kuripan di barat yang berhulu di gunung Betung dan sungai Galih Kuala di timur yang mana hulunya di sekitar Tanjung Karang termasuk sungai-sungai kecil yang bersumber dari gunung Pahoman.
Tampaknya, gunung Koenyit adalah permukaan tanah yang menonjol (dalam wujud gunung/bukit) di tengah perairan/laut pada masa lampau. Gunung Kunyit adalah gunung yang terpisah dengan gunung Pahoman. Lalu apakah gunung Koenyit di masa lampau adalah suatu pulau yang terbentuk di zaman kuno? Hal serupa inilah yang terjadi di kota Padang, gunung Pangilun sebagai suatu pulau di suatu teluk besar (kini menjadi daratan kota Padang). Dalam catatan sejarah: kota Padang juga pernah mengalami tsunami pada tahun 1699 (setinggi pohon kelapa).
Dalam hal ini kota Padang dan kota Teluk Betong memiliki sejarah geomorfologi yang kurang lebih sama. Sama-sama pernah mengalami tsunami (yang tercata) dan juga sama-sama berada di antara dua sungai yang mengalir ke pantai. Tsunami cenderung membawa massa berat dari laut berupa lumpur/pasir dan sampah vegetasi. Namun terjadinya proses sedimentasi di Kawasan Teluk Betong (maupun kota Padang) lebih dipengaruhi oleh proses sedimentasi dari pengaruh sungai yang membawa massa padat dari hulu di pegunungan. Proses sedimentasi ini berlangsung secara bertahap dari waktu ke waktu. Pantai dan pesisir di kota Teluk Betung yang sekarang, garis pantai diduga telah bergeser kea rah laut jika dibandingkan dengan penta-peta era Pemerintah Hindia Belanda dan era VOC/Belanda.
Oleh karena dugaan kuat bawah gunung Koenyit di masa lampau adalah suatu pulau, pengaruh alam, bencana, pengaruh cuaca, gunung Koenyit telah terdegradasi menjadi suatu permukaan daratan yang terus menurun. Kini, gunung Koenyit akan punah seiring dengan pembongkaran gunung dengan adanya galian dan upaya meruntuhkan bagian yang masih tersisa. Gunung Kunyit, tanahnya berguguranj lebih cepat.
Dalam hal ini gunung Koenyit adalah suatu warisan pulau zaman kuno yang kini harus tersingkir dari permukaan bumi. Tidak ada yang meratapinya atas gugurnya gunung Kunyit, tetapi kini di atasnya justru sebaliknya kegembiraan yang ada sebagai destinasi wisata baru. Tidak seorangpun menyadari bahwa bagaimana Riwayat gunung Koenyit tempo doeloe. Tragis? Tentu saja tidak. Gunung akan menemui jalan sendiri, sebaliknya manusia menemukan jalan sendiri. Namun sejarah tetaplah sejarah.
Jika gunung Koenyit sudah gugur, hilang selamanya dari permukaan bumi di Teluk Betung/Bandar Lampung, lalu apakah gunung Pangilun di kota Padang akan dihilangkan juga? Tampaknya tidak. Hingga kini, gunung Pangilun di tengah kota Padang masih hijau. Memang, lain lubuk, lain pula gunung yang menjadi pulau di masa lampau.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar