* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Kota Yogyakarta adalah salah satu kota pendidikan di Indonesia. Predikat itu semakin kuat karena di Kota Yogyakarta terdapat universitas besar, universitas negeri UGM (Universitas Gadjah Mada). Sebagaimana diketahui, UGM adalah universitas negeri pertama di Indonesia yang diresmikan pada tahun 1949.
Kota Yogyakarta adalah salah satu kota pendidikan di Indonesia. Predikat itu semakin kuat karena di Kota Yogyakarta terdapat universitas besar, universitas negeri UGM (Universitas Gadjah Mada). Sebagaimana diketahui, UGM adalah universitas negeri pertama di Indonesia yang diresmikan pada tahun 1949.
Sekolah guru (kweekschool) di Jogjakarta (1915) |
Sejatinya, Kota
Yogyakarta mulai dikenal sebagai kota pendidikan baru setelah kemerdekaan.
Tepatnya ketika ibukota RI pindah dari Jakarta ko Jogjakarta pada tahun 1946.
Lantas bagaimana dengan sebelumnya. Itu satu pertanyaan. Pertanyaan berikutnya:
bagaimana perkembangan pendidikan di Yogyakarta setelah menjadi ibukota RI. Intinya
adalah pada era kolonial Belanda pendidikan di Yogyakarta terbilang sangat
terbelakang. Perpindahan ibukota RI dari Djakarta ke Jogjakarta pada tahun 1946
menjadi berkah dalam perkembangan pendidikan di Yogyakarta. Mari kita telusuri.
Pada tahun 1831 Kepala Komisi
Pendidikan berada di Batavia dan subkomisi pendidikan yang sudah terbentuk
terdapat di beberapa kota, yakni: Chirebon, Semarang, Soerakarta, Rembang,
Soerabaja, Passoeroeang, Bezoekie en Banjoewangi, Amboina, Banda, Makassar, dan
Sumatra’s Westkust. Di kota-kota ini diadakan sekolah dan disedikanan guru
sekolah dasar (lager onderwizjer). Sekolah menengah (middelbaar) hanya terdapat
di Batavia. Selain sekolah pemerintah, juga di beberapa tempat seperti Batavia
terdapat sekolah swasta umum dan sekolah swasta agama (Kristen). Di Semarang,
selain terdapat sekolah pemerintah dengan guru pemerinttah, juga terdapat
sekolah Gereformeerde dan sekolah Katolik Roma. Sementara di Soerakarta
terdapat sebuah Gouvernements School
dengan dua guru yang satu bertindak sebagai kepala sekolah (J. Keller). Semua
sekolah pemerintah/swasta berbahasa pengantar bahasa Belanda, kecuali di Padang
selain sekolah berbahasa Belanda juga terdapat sekolah berbahasa Melayu. Di
Koepang hanya satu sekolah berbahasa Melayu (lihat Almanak, 1831).
Sekolah Guru (Kweekschool)
Djogjakarta, 1897
Pada tahun 1897 di
Djojakarta dibuka sekolah guru. Pada saat pembukaan sekolah guru (kweekschool)
Djogjakarta ini sangat banyak peminat. Dari lowongan yang tersedia hanya untuk
sembilan orang yang mendaftar terdapat 220 kandidat. Ini suatu bukti bahwa
selama ini para siswa di Djogjakarta banyak yang ingin melanjutkan pendidikan yang
lebih tinggi dan menjadi guru. Sekolah guru ini dibuka secara resmi pada
tanggal 7 April (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 05-04-1897).
Dengan berdirinya sekolah guru ini,
menjadi penanda era baru pendidikan di Djogjakarta, sebuah revolusi pendidikan
di wilayah Djogjakarta. Selama ini kebutuhan guru di Djogjakarta sangat
tergantung dari kota-kota lain. Sejak dari awal guru-guru di Djogjakarta
berasal dari lulusan sekolah guru (kweekschool) di Soeracarta.
Pembukaan sekolah guru
(kweekschool) di Djogjakarta sesungguhnya sangat terlambat. Sekolah guru-guru
yang telah dibuka sebelumnya di Djogjakarta sudah ada sekolah guru di
Probolinggo, Tondano, Ambon, Bandjarmasin dan Makassar. Sekolah guru adalah
instrumen penting dalam pembentukan fondasi pendidikan bagi penduduk di suatu
wilayah. Dengan dibukanya sekolah guru dimungkinkan pendidikan bagi penduduk di
Residentie Djogjakarta, yang dengan semakin terpenuhinya kebutuhan guru, yang
selama ini tergolong akut jika dibandingkan tetangganya Residentie Soeracarta
dan Residentie Kedoe.
Setahun sebelum sekolah guru di
Djogjakarta dibuka, pada tahun 1896 seorang lulusan HBS (sekolah setingkat SMA
Eropa) di Semarang bernama Raden Kartono berangkat studi ke Belanda untuk
meraih gelar sarjana. Raden Kartono adalah abang dari Raden A. Kartini, pribumi
pertama studi di perguruan tinggi (di Belanda).
Seperti ditunjukkan di
atas, pada tahun 1831 (pasca perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro) belum
ada sekolah di Residentie Djogjakarta. Saat itu sekolah terdekat dari
Djogjakarta adalah sekolah dasar Belanda (ELS) di Soeracarta. Namun ELS ini
hanya diperuntukkan untuk golongan Eropa/Belanda. Sekolah yang ada bagi pribumi
yang berbahasa Melayu baru didirikan di dua tempat yakni Koepang dan Padang.
Guru-gurunya adalah orang Belanda yang bisa berbahasa Melayu. Baru beberapa
tahun kemudian didirikan sekolah dasar berbahasa Melayu seperti di Batavia,
Semarang, Soerabaja dan lalu kemudian di Soeracarta. Guru-gurunya masih tetap
dari guru-guru Belanda yang mampu berbahasa Melayu.
Untuk lebih memenuhi kebutuhan guru
di beberapa residentie, khususnya di Residentie Soeracarta maka pada tahun 1851
didirikan sekolah guru (kweekschool) negeri pertama di Soeracarta. Sekolah guru
ini hanya menghasilkan beberapa guru, paling banyak belasan dalam setahun, maka
hanya beberapa sekolah yang didirikan pert tahun. Pertumbuhan sekolah dasar
bagi penduduk pribumi sangat lambat. Bahkan guru-guru lulusan Kweekschool
Soeracarta belum meluber hingga Residentie Djogjakrta. Sementara itu untuk
sekolah dasar Eropa/Belanda di Residentie Djogjakarta baru berjumlah empat
orang (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-11-1865).
Selain pemerintah telah membuka
sekolah guru bagi pribumi di Soeracarta, pemerintah juga mendirikan sekolah
kedokteran bagi pribumi di Batavia pada tahun 1851. Siswa yang diterima sekitar
delapan hingga 10 siswa tamatan sekolah dasar negeri pemerintah dan lama
pendidikan dua tahun. Pada tahun 1854 di sekolah kedokteran ini diterima dua
siswa asal Afdeeling Mandailing en Angkola (Residentie Tapanoeli) bernama Si Asta dan Si Angan (lihat Nieuwe
Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855).
Dua siswa ini merupakan siswa pertama yang diterima di sekolah kedokteran
tersebut yang berasal dari luar (pulau) Jawa. Sekolah kedokteran ini kemudian
dikenal sebagai Docter Djawa School (kelak menjadi STOVIA).
Pada tahun 1856
Residentie Padangsch Bovenlanden, JAW van Ophuijsen berinisiatif untuk
mendirikan sekolah guru di Fort de Kock. Hal ini karena kebutuhan guru yang
banyak di Residentie Padangsch Bovenlanden. Sekolah guru ini menjadi sekolah
guru negeri yang kedua di Hindia Belanda (setelah sekolah guru di Soeracarta
yang dibuka tahun 1851).
Pada tahun 1857 setelah lulus
sekolah kedokteran di Batavia, Dr. Asta (Nasution) kembali ke kampung halaman
di Mandailing (Panjaboengan) dan Dr. Angan juga kembali ke kampung halaman di
Angkola (Padang Sidempoean). Salah satu adik kelas Dr. Asta Nasution yang
terbilang cerdas bernama Si Sati, tidak melanjutkan sekolah guru di Fort de
Kock, dan juga tidak melanjutkan sekolah kedokteran di Batavia. Si Sati justru
melanjutkan studi ke Belanda untuk mendapatkan akte guru Eropa. Si Sati
berangkat ke Belanda melalui Batavia pada bulan Mei 1857. Si Sati Nasution alias
Willem Iskander (mengambil nama Raja Willem III dan Iskander Harzen, sastrawan
terkenal Rusia yang bermukim di London) lulus tahun 1861 lalu pulang kampung ke
Mandailing. Pada tahun 1862 Willem Iskander mendirikan sekolah guru
(kweekschool) pada tahun 1862 di kampong Tanobato, Mandailing. Pada tahun 1865
sekolah guru ini diakusisi pemerintah dan menjadikannya sekolah guru negeri
yang ketiga. Sekolah guru ini didukung pemerintah untuk memenuhi kebutuhan guru
yang banyak di Residentie Tapanoeli, khususnya Afdeeling Mandailing dan
Angkola. Saat Willem Iskander mulai membangun sekolah guru di Tanobato, di
Residentie Tapanoeli terdapat sebanyak enam sekolah negeri. Jumlah ini
bertambah empat menjadi sepuluh buah pada tahun 1864. Dari sepuluh sekolah
negeri tersebut delapan buah berada di Afdeeling Mandailing dan Angkola (dua
yang lainnya di Sibolga dan Natal) (lihat laporan Asisten Residen Mandailing en
Angkola. AP Hoeven 1864)
Pada tahun 1864 sekolah
guru (kweekschool) Tanobato yang diasuh oleh guru pribumi berlisensi Eropa
dikunjungi oleh Inspektur Pendidikan Pribumi, JA van Chijs. Namun, inspektur
tersebut kaget karena berbeda dengan sekolah guru di Fort de Kock dan sekolah
guru di Soeracarta. Sekolah guru Tanobato mengajarkan tiga bahasa sekaligus
(Belanda, Melayu dan Batak) serta pelajaran matematika, geografi, ilmu alam dan
lain sebagainya. Willem Iskander juga menulis buku pelajaran dalam bahasa Batak.
Di sekolah ini mengajar diberikan
dalam Battahtaal sudah beberapa buku dalam berbagai bahasa diberikan. Tapi di
sini, tidak seperti di tempat lain,
adalah satu-satunya anak-anak dari negara yang lebih kaya, pergi ke
sekolah..Beberapa pemuda dari Mandheling dan Ankola, dua belas jumlahnya,
dilatih di dalam sekolah itu. Willem Iskander tidak hanya mengajar, tetapi juga
malam hari menulis buku buku pelajaran dan menerjemahkan dengan teliti sejumlah
pengetahuan Eropa dalam bahasa Batak Asisten Residen mendukung Karena sebagian
besar penduduk yang Battabschrift dapat membaca, sehingga akan mampu
pengetahuan tentang banyak hal yang berguna di antara diffuser..(lihat AP Hoeven.
1864).
Nieuwe Rotterdamsche courant:
staats-, handels, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya
mewakili orang yang pernah ke daerah ini. Di bawah kepemimpinan Godon daerah
ini telah banyak berubah, perbaikan perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal
yang penting tentang Godon telah membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan
telah kembali ke kampungnya. Ketika saya tiba, disambut oleh Willem Iskander,
kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti dengan enam belas murid-muridnya, Willem
Iskander duduk di atas kuda dengan pakaian Eropa murid-muridnya dengan kostum
daerah….Saya tahun lalu ke tempat dimana sekolah Willem Iskander didirikan di
Tanobato…siswa datang dari seluruh Bataklanden…mereka telah diajarkan
aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi,
matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa Belanda….saya sangat puas
dengan kinerja sekolah ini. JA van der Chijs’.
Seketika berubah
semuanya, pandangan orang luar terhadap Tanah Batak, paling tidak Residentie
Tapanoeli di Afdeeling Mandailing dan Angkola berubah 360 derajat. Pendiriak sekolah guru Tanobato adalah bentuk nyata
kontribusi fantastis Willem Iskander di Tapanoeli khususnya di afdeeling Mandailing
dan Angkola. Lalu reaksi muncul dimana-mana dari semua kalangan, terutama di (pulau)
Jawa. Di Preanger KF Holle, seorang pengusaha perkebunan menginisiasi teman-temanya
sesama pengusaha mendirikan sekolah guru di Bandoeng. Sekolah guru ini dibangun
mewah dan dibuka pada tahun 1866. Pemerintah lalu mengakuisinya dan menjadikan
sekolah guru negeri yang keempat. Reaksi bergemuruh lebih keras di Jawa (Midden
Java dan Oost Java).
Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1868 yang mengutip dari surat
kabar Soerabayasch Handelsblad edisi 5 November sangat menyentuh: ‘Mari kita mengajarkan
orang Jawa, bahwa hidup adalah perjuangan. Mengentaskan kehidupan yang kotor
dari selokan (candu opium). Mari kita memperluas pendidikan sehingga penduduk
asli dari kebodohan’. Orang Jawa, harus belajar untuk berdiri di atas kaki
sendiri. Awalnya Chijs mendapat kesan (sebelum ke Tanobato) di Pantai Barat
Sumatra mungkin diperlukan seribu tahun sebelum realisasi gagasan pendidikan
(sebaliknya apa yang dilihatnya sudah terealisasi dengan baik). Kenyataan yang
terjadi di Mandailing dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar terjadi,
tandas Chijs’.
Arnhemsche courant, 13-11-1869:
‘Hanya ada 7.000 siswa dari jumlah populasi pribumi yang banyaknya 15 juta
jiwa di Jawa. Anggaran yang dialokasikan untuk itu kurang dari tiga ton emas.
Hal ini sangat kontras alokasi yang digunakan sebanyak 6 ton emas hanya
dikhususkan untuk pendidikan 28.000 orang Eropa… lalu stadblad diamandemen
untuk mengadopsi perubahan yang dimenangkan oleh 38 melawan 26 orang yang tidak
setuju’.
Algemeen Handelsblad, 26-11-1869:
‘kondisi pendidikan pribumi di Java adalah rasa malu untuk bangsa kita
(Belanda). Dua atau tiga abad mengisap bangsa ini, berjuta-juta sumber daya
penghasilan telah ditransfer ke ibu pertiwi (Kerajan Belanda), tapi hampir
tidak ada hubungannya untuk peradaban pribumi di sini (Jawa)…’.
Sejauh ini, di
Residentie Djogjakarta hanya terdapat satu sekolah dasar negeri di (kota)
Djogjakarta dan satu sekolah dasar Eropa (ELS). Sekolah guru di Soeracarta
kewalahan untuk memenuhi kebutuhan guru yang banyak di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Oleh karena itu pengadaan guru juga menjadi sulit untuk Djogjakarta
(yang memiliki penduduk 350.000). Bandingkan dengan penduduk Afdeeling
Mandailing en Ankola yang penduduknya hanya sekitar 30.000 telah memiliki
delapan sekolah negeri (belum termasuk sekolah dasar swasta) dan sekolah guru.
Pada tahun 1870, mengingat
keberhasilan Willem Iskander dan keinginan pemerintah untuk meningkatkan
kualitas guru di Hindia Belanda, pemerintah akan mengirim guru-guru muda studi
ke Belanda. Namun usulan itu tidak mudah lolos di dewan di Batavia.
Realisasinya baru ada ketika Raja Willem III berkunjung ke Jawa. Untuk tahap
pertama hanya mengirim tiga guru muda, yakni Si Banas (Lubis) dari Tapanoeli,
Raden Soerono dari Soeracarta dan Raden Adi Sasmita dari Bandoeng. Untuk
membimbing tiga guru muda ini diberikan beasiswa kepada Willem Iskander untuk
melanjutkan untuk mendapat akta kepala sekolah (sarjana pendidikan). Keempat
guru pribumi tersebut berangkat bulan April 1874 dari Batavia. Oleh karena
Willem Iskander berangkat studi, sekolah guru Tanobato ditutup (sejauh ini
kebutuhan guru di Afdeeling Mandailing dan Angkola sudah melebihi yang
dibutuhkan). Willem Iskander setelah mendapat akta kepala sekolah di Belanda,
direncanakan menjadi sekolah guru yang lebih besar di Padang Sidempoean yang
akan dibuka pada tahun 1879. Ini sehubungan dengan telah dipindahkannya ibukota
Afdeeling Mandailing en Angkola dari Panjaboengan ke Padang Sidempoean sejak
1870.
Sekolah Eropa di Hindia Belanda
Tunggu deskripsi
lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar