Senin, 21 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (7): Sejarah Pendidikan di Yogyakarta; Doeloe Sangat Terbelakang, Tetapi Sangat Populer Pada Era Masa Kini


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Kota Yogyakarta adalah salah satu kota pendidikan di Indonesia. Predikat itu semakin kuat karena di Kota Yogyakarta terdapat universitas besar, universitas negeri UGM (Universitas Gadjah Mada). Sebagaimana diketahui, UGM adalah universitas negeri pertama di Indonesia yang diresmikan pada tahun 1949.

Sekolah guru (kweekschool) di Jogjakarta (1915)
Pada masa kini ada anggapan umum bahwa kota pendidikan hanya beberapa kota: Jogjakarta, Bandoeng, Jakarta, Malang, Solo, Padang dan Makassar. Boleh jadi itu karena adanya universitas terkenal dan atau karena kedudukannya sebagai pusat regional. Namun sebuah kota tidak hanya diukur dari keberadaan universitas, tetapi juga ukuran kuantitas dan kualitas sekolah-sekolah menengah dan sekolah-sekolah dasar. Singkat kata: jumlah angka partisipasi sekolah pada berbagai golongan umur.

Sejatinya, Kota Yogyakarta mulai dikenal sebagai kota pendidikan baru setelah kemerdekaan. Tepatnya ketika ibukota RI pindah dari Jakarta ko Jogjakarta pada tahun 1946. Lantas bagaimana dengan sebelumnya. Itu satu pertanyaan. Pertanyaan berikutnya: bagaimana perkembangan pendidikan di Yogyakarta setelah menjadi ibukota RI. Intinya adalah pada era kolonial Belanda pendidikan di Yogyakarta terbilang sangat terbelakang. Perpindahan ibukota RI dari Djakarta ke Jogjakarta pada tahun 1946 menjadi berkah dalam perkembangan pendidikan di Yogyakarta. Mari kita telusuri.

Pada tahun 1831 Kepala Komisi Pendidikan berada di Batavia dan subkomisi pendidikan yang sudah terbentuk terdapat di beberapa kota, yakni: Chirebon, Semarang, Soerakarta, Rembang, Soerabaja, Passoeroeang, Bezoekie en Banjoewangi, Amboina, Banda, Makassar, dan Sumatra’s Westkust. Di kota-kota ini diadakan sekolah dan disedikanan guru sekolah dasar (lager onderwizjer). Sekolah menengah (middelbaar) hanya terdapat di Batavia. Selain sekolah pemerintah, juga di beberapa tempat seperti Batavia terdapat sekolah swasta umum dan sekolah swasta agama (Kristen). Di Semarang, selain terdapat sekolah pemerintah dengan guru pemerinttah, juga terdapat sekolah Gereformeerde dan sekolah Katolik Roma. Sementara di Soerakarta terdapat sebuah Gouvernements School dengan dua guru yang satu bertindak sebagai kepala sekolah (J. Keller). Semua sekolah pemerintah/swasta berbahasa pengantar bahasa Belanda, kecuali di Padang selain sekolah berbahasa Belanda juga terdapat sekolah berbahasa Melayu. Di Koepang hanya satu sekolah berbahasa Melayu (lihat Almanak, 1831).

Sekolah Guru (Kweekschool) Djogjakarta, 1897

Pada tahun 1897 di Djojakarta dibuka sekolah guru. Pada saat pembukaan sekolah guru (kweekschool) Djogjakarta ini sangat banyak peminat. Dari lowongan yang tersedia hanya untuk sembilan orang yang mendaftar terdapat 220 kandidat. Ini suatu bukti bahwa selama ini para siswa di Djogjakarta banyak yang ingin melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan menjadi guru. Sekolah guru ini dibuka secara resmi pada tanggal 7 April (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-04-1897).

Dengan berdirinya sekolah guru ini, menjadi penanda era baru pendidikan di Djogjakarta, sebuah revolusi pendidikan di wilayah Djogjakarta. Selama ini kebutuhan guru di Djogjakarta sangat tergantung dari kota-kota lain. Sejak dari awal guru-guru di Djogjakarta berasal dari lulusan sekolah guru (kweekschool) di Soeracarta.

Pembukaan sekolah guru (kweekschool) di Djogjakarta sesungguhnya sangat terlambat. Sekolah guru-guru yang telah dibuka sebelumnya di Djogjakarta sudah ada sekolah guru di Probolinggo, Tondano, Ambon, Bandjarmasin dan Makassar. Sekolah guru adalah instrumen penting dalam pembentukan fondasi pendidikan bagi penduduk di suatu wilayah. Dengan dibukanya sekolah guru dimungkinkan pendidikan bagi penduduk di Residentie Djogjakarta, yang dengan semakin terpenuhinya kebutuhan guru, yang selama ini tergolong akut jika dibandingkan tetangganya Residentie Soeracarta dan Residentie Kedoe.

Setahun sebelum sekolah guru di Djogjakarta dibuka, pada tahun 1896 seorang lulusan HBS (sekolah setingkat SMA Eropa) di Semarang bernama Raden Kartono berangkat studi ke Belanda untuk meraih gelar sarjana. Raden Kartono adalah abang dari Raden A. Kartini, pribumi pertama studi di perguruan tinggi (di Belanda).

Seperti ditunjukkan di atas, pada tahun 1831 (pasca perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro) belum ada sekolah di Residentie Djogjakarta. Saat itu sekolah terdekat dari Djogjakarta adalah sekolah dasar Belanda (ELS) di Soeracarta. Namun ELS ini hanya diperuntukkan untuk golongan Eropa/Belanda. Sekolah yang ada bagi pribumi yang berbahasa Melayu baru didirikan di dua tempat yakni Koepang dan Padang. Guru-gurunya adalah orang Belanda yang bisa berbahasa Melayu. Baru beberapa tahun kemudian didirikan sekolah dasar berbahasa Melayu seperti di Batavia, Semarang, Soerabaja dan lalu kemudian di Soeracarta. Guru-gurunya masih tetap dari guru-guru Belanda yang mampu berbahasa Melayu.

Untuk lebih memenuhi kebutuhan guru di beberapa residentie, khususnya di Residentie Soeracarta maka pada tahun 1851 didirikan sekolah guru (kweekschool) negeri pertama di Soeracarta. Sekolah guru ini hanya menghasilkan beberapa guru, paling banyak belasan dalam setahun, maka hanya beberapa sekolah yang didirikan pert tahun. Pertumbuhan sekolah dasar bagi penduduk pribumi sangat lambat. Bahkan guru-guru lulusan Kweekschool Soeracarta belum meluber hingga Residentie Djogjakrta. Sementara itu untuk sekolah dasar Eropa/Belanda di Residentie Djogjakarta baru berjumlah empat orang (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-11-1865).

Selain pemerintah telah membuka sekolah guru bagi pribumi di Soeracarta, pemerintah juga mendirikan sekolah kedokteran bagi pribumi di Batavia pada tahun 1851. Siswa yang diterima sekitar delapan hingga 10 siswa tamatan sekolah dasar negeri pemerintah dan lama pendidikan dua tahun. Pada tahun 1854 di sekolah kedokteran ini diterima dua siswa asal Afdeeling Mandailing en Angkola (Residentie Tapanoeli) bernama  Si Asta dan Si Angan (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855). Dua siswa ini merupakan siswa pertama yang diterima di sekolah kedokteran tersebut yang berasal dari luar (pulau) Jawa. Sekolah kedokteran ini kemudian dikenal sebagai Docter Djawa School (kelak menjadi STOVIA).

Pada tahun 1856 Residentie Padangsch Bovenlanden, JAW van Ophuijsen berinisiatif untuk mendirikan sekolah guru di Fort de Kock. Hal ini karena kebutuhan guru yang banyak di Residentie Padangsch Bovenlanden. Sekolah guru ini menjadi sekolah guru negeri yang kedua di Hindia Belanda (setelah sekolah guru di Soeracarta yang dibuka tahun 1851).

Pada tahun 1857 setelah lulus sekolah kedokteran di Batavia, Dr. Asta (Nasution) kembali ke kampung halaman di Mandailing (Panjaboengan) dan Dr. Angan juga kembali ke kampung halaman di Angkola (Padang Sidempoean). Salah satu adik kelas Dr. Asta Nasution yang terbilang cerdas bernama Si Sati, tidak melanjutkan sekolah guru di Fort de Kock, dan juga tidak melanjutkan sekolah kedokteran di Batavia. Si Sati justru melanjutkan studi ke Belanda untuk mendapatkan akte guru Eropa. Si Sati berangkat ke Belanda melalui Batavia pada bulan Mei 1857. Si Sati Nasution alias Willem Iskander (mengambil nama Raja Willem III dan Iskander Harzen, sastrawan terkenal Rusia yang bermukim di London) lulus tahun 1861 lalu pulang kampung ke Mandailing. Pada tahun 1862 Willem Iskander mendirikan sekolah guru (kweekschool) pada tahun 1862 di kampong Tanobato, Mandailing. Pada tahun 1865 sekolah guru ini diakusisi pemerintah dan menjadikannya sekolah guru negeri yang ketiga. Sekolah guru ini didukung pemerintah untuk memenuhi kebutuhan guru yang banyak di Residentie Tapanoeli, khususnya Afdeeling Mandailing dan Angkola. Saat Willem Iskander mulai membangun sekolah guru di Tanobato, di Residentie Tapanoeli terdapat sebanyak enam sekolah negeri. Jumlah ini bertambah empat menjadi sepuluh buah pada tahun 1864. Dari sepuluh sekolah negeri tersebut delapan buah berada di Afdeeling Mandailing dan Angkola (dua yang lainnya di Sibolga dan Natal) (lihat laporan Asisten Residen Mandailing en Angkola. AP Hoeven 1864)

Pada tahun 1864 sekolah guru (kweekschool) Tanobato yang diasuh oleh guru pribumi berlisensi Eropa dikunjungi oleh Inspektur Pendidikan Pribumi, JA van Chijs. Namun, inspektur tersebut kaget karena berbeda dengan sekolah guru di Fort de Kock dan sekolah guru di Soeracarta. Sekolah guru Tanobato mengajarkan tiga bahasa sekaligus (Belanda, Melayu dan Batak) serta pelajaran matematika, geografi, ilmu alam dan lain sebagainya. Willem Iskander juga menulis buku pelajaran dalam bahasa Batak.

Di sekolah ini mengajar diberikan dalam Battahtaal sudah beberapa buku dalam berbagai bahasa diberikan. Tapi di sini, tidak  seperti di tempat lain, adalah satu-satunya anak-anak dari negara yang lebih kaya, pergi ke sekolah..Beberapa pemuda dari Mandheling dan Ankola, dua belas jumlahnya, dilatih di dalam sekolah itu. Willem Iskander tidak hanya mengajar, tetapi juga malam hari menulis buku buku pelajaran dan menerjemahkan dengan teliti sejumlah pengetahuan Eropa dalam bahasa Batak Asisten Residen mendukung Karena sebagian besar penduduk yang Battabschrift dapat membaca, sehingga akan mampu pengetahuan tentang banyak hal yang berguna di antara diffuser..(lihat AP Hoeven. 1864).

Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang yang pernah ke daerah ini. Di bawah kepemimpinan Godon daerah ini telah banyak berubah, perbaikan perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting tentang Godon telah membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan telah kembali ke kampungnya. Ketika saya tiba, disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti dengan enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk di atas kuda dengan pakaian Eropa murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya tahun lalu ke tempat dimana sekolah Willem Iskander didirikan di Tanobato…siswa datang dari seluruh Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa Belanda….saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini. JA van der Chijs’.

Seketika berubah semuanya, pandangan orang luar terhadap Tanah Batak, paling tidak Residentie Tapanoeli di Afdeeling Mandailing dan Angkola berubah 360 derajat. Pendiriak  sekolah guru Tanobato adalah bentuk nyata kontribusi fantastis Willem Iskander di Tapanoeli khususnya di afdeeling Mandailing dan Angkola. Lalu reaksi muncul dimana-mana dari semua kalangan, terutama di (pulau) Jawa. Di Preanger KF Holle, seorang pengusaha perkebunan menginisiasi teman-temanya sesama pengusaha mendirikan sekolah guru di Bandoeng. Sekolah guru ini dibangun mewah dan dibuka pada tahun 1866. Pemerintah lalu mengakuisinya dan menjadikan sekolah guru negeri yang keempat. Reaksi bergemuruh lebih keras di Jawa (Midden Java dan Oost Java).

Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1868 yang mengutip dari surat kabar Soerabayasch Handelsblad edisi 5 November sangat menyentuh: ‘Mari kita mengajarkan orang Jawa, bahwa hidup adalah perjuangan. Mengentaskan kehidupan yang kotor dari selokan (candu opium). Mari kita memperluas pendidikan sehingga penduduk asli dari kebodohan’. Orang Jawa, harus belajar untuk berdiri di atas kaki sendiri. Awalnya Chijs mendapat kesan (sebelum ke Tanobato) di Pantai Barat Sumatra mungkin diperlukan seribu tahun sebelum realisasi gagasan pendidikan (sebaliknya apa yang dilihatnya sudah terealisasi dengan baik). Kenyataan yang terjadi di Mandailing dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar terjadi, tandas Chijs’.

Arnhemsche courant, 13-11-1869: ‘Hanya ada 7.000 siswa dari jumlah populasi pribumi yang banyaknya 15 juta jiwa di Jawa. Anggaran yang dialokasikan untuk itu kurang dari tiga ton emas. Hal ini sangat kontras alokasi yang digunakan sebanyak 6 ton emas hanya dikhususkan untuk pendidikan 28.000 orang Eropa… lalu stadblad diamandemen untuk mengadopsi perubahan yang dimenangkan oleh 38 melawan 26 orang yang tidak setuju’.

Algemeen Handelsblad, 26-11-1869: ‘kondisi pendidikan pribumi di Java adalah rasa malu untuk bangsa kita (Belanda). Dua atau tiga abad mengisap bangsa ini, berjuta-juta sumber daya penghasilan telah ditransfer ke ibu pertiwi (Kerajan Belanda), tapi hampir tidak ada hubungannya untuk peradaban pribumi di sini (Jawa)…’.

Sejauh ini, di Residentie Djogjakarta hanya terdapat satu sekolah dasar negeri di (kota) Djogjakarta dan satu sekolah dasar Eropa (ELS). Sekolah guru di Soeracarta kewalahan untuk memenuhi kebutuhan guru yang banyak di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Oleh karena itu pengadaan guru juga menjadi sulit untuk Djogjakarta (yang memiliki penduduk 350.000). Bandingkan dengan penduduk Afdeeling Mandailing en Ankola yang penduduknya hanya sekitar 30.000 telah memiliki delapan sekolah negeri (belum termasuk sekolah dasar swasta) dan sekolah guru.

Pada tahun 1870, mengingat keberhasilan Willem Iskander dan keinginan pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru di Hindia Belanda, pemerintah akan mengirim guru-guru muda studi ke Belanda. Namun usulan itu tidak mudah lolos di dewan di Batavia. Realisasinya baru ada ketika Raja Willem III berkunjung ke Jawa. Untuk tahap pertama hanya mengirim tiga guru muda, yakni Si Banas (Lubis) dari Tapanoeli, Raden Soerono dari Soeracarta dan Raden Adi Sasmita dari Bandoeng. Untuk membimbing tiga guru muda ini diberikan beasiswa kepada Willem Iskander untuk melanjutkan untuk mendapat akta kepala sekolah (sarjana pendidikan). Keempat guru pribumi tersebut berangkat bulan April 1874 dari Batavia. Oleh karena Willem Iskander berangkat studi, sekolah guru Tanobato ditutup (sejauh ini kebutuhan guru di Afdeeling Mandailing dan Angkola sudah melebihi yang dibutuhkan). Willem Iskander setelah mendapat akta kepala sekolah di Belanda, direncanakan menjadi sekolah guru yang lebih besar di Padang Sidempoean yang akan dibuka pada tahun 1879. Ini sehubungan dengan telah dipindahkannya ibukota Afdeeling Mandailing en Angkola dari Panjaboengan ke Padang Sidempoean sejak 1870.

Sekolah Eropa di Hindia Belanda

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar