Jumat, 18 Januari 2019

Sejarah Yogyakarta (6): Sejarah Ibukota RI di Yogyakarta, Jogja Istimewa dan Apa Istimewanya Djokjakarta; Inilah Faktanya


* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Ibukota Republik Indonesia pernah di Yogyakarta yang secara de facto dimulai tanggal 4 Januari 1946. Hal ini menyusul tidak amannya ibukota RI di Djakarta. Sebelum ibukota RI dipindahkan dari Djakarta ke Jogjakarta, wilayah Jogjakarta sudah ditabalkan sebagai salah satu provinsi di Indonesia dengan gelar Istimewa. Gelar yang diberikan Pemerintah Republik Indonesia ini sedikitnya dalam tiga hal: sejarah, bentuk dan kepala pemeritahan

Pada masa kini keistimewaan Yogyakarta paling tidak masih eksis nama provinsi sebagai Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Satu provinsi lagi yang kini masih mendapat gelar Istimewa adalah Provinsi Aceh, Tentu saja daerah Istimewa dibedakan dengan daerah Khusus (Jakarta). Daerah Istimewa dan Daerah Khusus sudah dipatenkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pertanyaannya: Apa istimewanya Djogjakarta? Satu hal Jogjakarta pernah menjadi ibukota Republik Indonesia dan keistimewaannya dapat dilihat dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Namun bukan itu inti pertanyaannya, tetapi mengapa Jogjakarta harus diberi gelar Istimewa dan mengapa ibukota RI dipindahkan ke Jogjakarta. Dua pertanyaan ini saling terkait. Mari kita telusuri.

Sultan Agung Menyerang VOC di Batavia, 1628

Pada tahun 1619 VOC/Belanda memindahkan pos utama perdagangan dari Ambon ke muara sungai Tjiliwong dan membangun benteng yang dikenal Casteel Batavia. Posisi casteel Batavia yang strategis (di tengah Hindia Timur) membuat volume perdagangan VOC/Belanda semakin meningkat dari waktu ke waktu. Frekuensi pelayaran antara Casteel Batavia dengan pelabuhan Texel di Belanda semakin tinggi. Kedudukan casteel Batavia menjadi sangat penting bagi VOC/Belanda.

Courante uyt Italien, Duytslandt, &c., 14-07-1629
Bagaimana volume perdagangan dari Batavia dapat dilihat antara lain pada surat kabar Courante uyt Italien, Duytslandt, &c., 31-07-1627: ‘Cargo kapal-kapal dari Batavia bulan Desember 1626 telah tiba di Texel pada tanggal 24 Juli 1627. Kapal Leyden menurunkan 16.057 sachen (kantong) paper, 53.546 kantong nagelen, 67.474 kantong nooten, 400 kantong folie, 12.350 catty sutra, 1.209 stuck getiljes, 200 salampouris, 200 darcalles, 43 ges. Deeckens dan 480 cattoene baren. Pada tahun berikutnya volume semakin menggila. Kapal-kapal dari Batavia 11 November 1627 telah tiba 2 Juni 1628 (lihat  Courante uyt Italien, Duytslandt, &c., 10-06-1628). Lagi-lagi, kapal-kapal dari Batavia tanggal 4 November 1628 telah tiba dengan kargo (lihat Courante uyt Italien, Duytslandt, &c., 14-07-1629). Volume kargo bertambah dibanding tahun sebelumnya.

Courante uyt Italien, Duytslandt, &c., 14-07-1629 tidak hanya melaporkan berita kapal dari Batavia, tetapi juga melaporkan tentang kejadian yang terjadi di stadt (ibukota) Batavia yang dipimpin oleh Generaal Koenen. Disebutkan bahwa stadt Batavia telah dikepung 50.000 orang Banten dan Jawa. Dalam kejadian ini kapal Wapen van Enckhuisen telah hancur dengan uang tunai 100.000 Gulden. Korban tewas sebanyak 50 orang.

Kejadian ini dalam sejarah awal VOC/Belanda dan pada masa keemasan Mataram diketahui sebagai perang yang dilancarkan Sultan Agung ke Batavia. Pada bulan Agustus 1628 pasukan Mataram sudah berada di Batavia. Disebutkan pasukan Mataram ini mengalami kekalahan. Sejak kekalahan melawan VOC/Belanda di Batavia, lambat laun satu per satu wilayah kekuasaan Mataram memberontak. Kerajaan Mataram pada gilirannya mulai melemah. Masa keemasan Mataram secara perlahan meredup. Meski demikian, Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung telah menunjukkan anti koloni/penjajah asing.   

Sultan Agung meninggal tahun 1645 yang kemudian digantikan oleh putranya (Amangkurat I). Namun Amangkurat I menghadapi pemberontakan di Soerabaja (Trunojoyo). Dalam situasi ini Amangkurat I berkolaborasi dengan VOC/Belanda. Amangkurat I meninggal 1677 dan digantikan anaknya (Amangkurat II). Kraton dipindahkan ke Cartasoera. Gambaran Kota Gede ini seseorang telah melukisnya dengan baik yang disalin kembali tahun 1676 berdasarkan lukisan tahun 1664.

VOC: Jogjakarta vs Soerakarta, 1755

Kerajaan Mataram adalah kerajaan besar. Gambaran ini telah dilukiskan ketika VOC/Belanda melakukan ekspedisi pertama ke pedalaman Jawa hingga ke Mataram pada tahun 1695 dari benteng (fort) Missier di Tagal (Tegal) di bawah pimpinan Jacob Couper. Pada saat itu baru satu-satunya benteng VOC/Belanda di Jawa. Ekspedisi ke Jawa adalah ekspansi setelah sukses Perang Gowa dibawah pimpinan Admiral Cornelis Speelman (1667).

Ekspedisi Jacob Couper ini di Jawa dimulai dari Tagal hingga ke selatan lalu berbelok ke timur ke Mataram, lalu menyusuri wilayah selatan dan naik lagi ke utara ke Soerabaja. Dari benteng Missier juga dilakukan ekspedisi sisi wilayah dalam pantai utara hingga ke Semarang dan terus ke Soerabaja. Peta 1700

Salah satu hasil ekspedisi ini adalah peta area Kerajaan Mataram yang dibuat (disusun kembali) antara tahun 1700 dan 1703 (lihat gambar). Peta ini menggambarkan lokasi-lokasi strategis di lingkungan (area) kerajaan Mataram. Wujud peta ini dibuat dari sisi pantai di selatan Jawa. Peta tersebut diberi judul Remvoy van de Pagger en Campement op Marbongh. Peta ini adalah gambaran pusat Kerajaan Mataram berlokasi di Kota Gede yang sekarang. Peta hasil ekspedisi 1695

Dalam perkembangannya, setelah ada desakan dari internal kraton, Amangkurat III yang bertahta sejak 1703 mulai menentang VOC/Belanda. Akibatnya, VOC/Belanda mengakui Pakuwono I. Dualisme dalam Kerajaan tidak terhindarkan. Amangkurat III lalu memberontak (dan diasingkan ke Ceylon). Pada era Pakuawana III Kerajaan Mataram akhirnya harus dipisahkan menjadi dua: Ngajogjacarta (Soeltan) dan Soeracarta (Soehoenan). Pemisahan ini dilakukan pada tanggal 13 Februari 1755 (perjanjian Giyanti). Era Mataram berakhir. Kesultanan Jogjakarta kemudian membangun kraton baru di tempat dimana kraton Jogjakarta yang sekarang.

Pangeran Diponegoro vs Pemerintah Hindia Belanda, 1825

Setelah berakhirnya VOC/Belanda dan digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda eskalasi politik tidak berhenti, tetapi potensi perlawanan terhadap koloni/penjajah terus tumbuh. Muncullah perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang dikenal sebagai Perang Jawa. Perang ini baru berakhir pada tahun 1830. Perang ini mengingatkan suatu perbandingan yang pernah dilancarkan oleh Sultan Agnng, dua abad sebelumnya pada tahun 1628. Peta 1833

Para veteran Belanda lalu kemudian dialihkan untuk ke Sumatra: Perang Bondjol (di Minangkabau yang berakhir 1837) dan Perang Pertibi (di Tapanoeli yang berakhir 1838). Dengan berakhirnya Perang Bondjol, Imam Bonjol menyerah dan diasingkan. Sementara dengan berakhirnya Perang Pertibi, Tuanku Tambusai alias Haji Mohamad Saleh alias Hamonangan Harahap diduga berhijrah ke Semenanjung. Pangeran Diponegoro menyerah dan kemudian diasingkan.

Setelah berakhirnya Perang Jawa (Perang Diponegoro) situasi dan kondisi di Jawa mulai kondusif bagi Pemerintah Hindia Belanda untuk memulai era baru dalam pengembangan ekonomi di Jawa, Namun wilayah Djogjakarta menjadi memiliki persoalan sendiri dan sedikit rumit. Wilayah Djogjakarta sunyi sendiri, tengelam tidak berdaya.

Wilayah Djogjakarta dalam posisi tidak menguntungkan. Pembangunan yang dimulai dari pantai-pantai utara, menyebabkan Djogjakarta dan wilayah-wilayah pantai selatan seakan menjadi pintu belakang dalam pembangunan. Faktor utama kelambatan pembangunan di wilayah Djogjakarta karena wilayah yang jauh di pedalaman yang menyebabkan kesulitan akses dalam banyak hal seperti pertumbuhan ekonomi (pasar internasional) dan perkembangan sosial (kesehatan dan pendidikan). Soeracarta yang sedikit lebih intim dengan Pemerintah Hindia Belanda dan wilayahnya lebih dekat ke pelabuhan di pantau utara Jawa menjadi lebih baik dari wilayah Djogjakarta.

Wilayah Djogjakarta baru mulai terbuka lebih lebar ketika pengembangan jalur kereta api telah mencapai Djogjakarta pada awal tahun 1890an. Namun dalam banyak hal, Djogjakarta sudah jauh tertinggal dibandingkan dengan kota-kota utama di Jawa (seperti Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Semarang dan Soerabaja) dan bahkan di Sumatra (Padang, Padang Sidempoean dan Medan). Djogjakarta ingin segera bangkit, tetapi tidak mudah, dan tidak semudah pada era Mataram. Inilah titik nadir terendah wilayah Mataram yang dahulu sangat digdaya.

Pusat-pusat pertumbuhan wilayah terus berkembang. Kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial ada yang cepat dan ada yang lambat. Kota-kota yang berkembang cepat dinaikkan statusnya menjadi kota praja atau gemeente (Staatsblad tahun 1903 Nomor 329). Suatu kota yang berbentuk gemeente (kota praja) cenderung penataan kota lebih terarah baik dalam hal planologi kota maupun pembangunan yang ada di dalam kota. Gemente pertama di Hindia adalah Batavia (1903), kemudian disusul Buitenzorg, Chirebon dan Soerabaja (1905). Pada tahun 1906 secara bersamaan pembentukan beberapa gemeente: Makassar, Bandoeng, Samarang, Tegal, Pekalongan, Magelang dan Palembang (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 03-03-1906). Kota Medan dibentuk pada tahun 1909,

Kota Jogjakarta dalam hal ini tidak pernah naik kelas menjadi berstatus gemeente. Ukuran ini mengindikasikan bahwa Kota Djogjakarta memiliki masalah tersendiri. Di era modern, Kota Djogjakarta menjadi terbelakang, padahal di era lampau, ketika Semarang dan Soerabaja masih suatu kampong, Jogjakarta adalah sebuah kota yang mungkin dapat disejajarkan dengan kota Somba Opoe (Makassar kuno) dan kota Ambon. Kota Jogjakarta dalam posisi dilematis: ibarat suatu putaran kota, ke dalam memiliki gaya sentripugal yang kuat (kraton) dan ke luar memiliki gaya sentripetal yang lemah (orang Eropa/Belanda).

Boedi Oetomo, 1908 dan Partai Indonesia Raja, 1935

Wujud sebuah kota modern tercermin dalam tingkat kosmopolitan para warga kota. Orang-orang terpelajar mulai memiliki kesadaran bahwa ada perbedaan yang besar antara golong Eropa/Belanda dan golongan Tionghoa di satu pihak dengan golongan pribumi di pihak lain. Para pemuda yang bersekolah di perguruan tinggi juga mulai merasakan persoalan tersebut. Para mahasiswa asal Jawa membentuk organisasi kebangsaan di Batavia yang disebut Boedi Oetomo.

Organisasi kebangsaan pertama didirikan di Kota Padang tahun 1900. Pendirinya adalah seorang mantan guru, Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, alumni sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean tahun 1884. Organisasi kebangsaan ini disebut Medan Perdamaian. Dja Endar Moeda sangat peduli pendidikan (kaum) pribumi. Setelah pulang haji dari Mekkah, Dja Endar Moeda hijrah ke Padang dan mendirikan sekolah swasta pada tahun 1895. Pada tahun 1900 Dja Endar Moeda mengakuisisi surat kabar berbahasa Melayu milik investor Eropa, Pertja Barat beserta percetakannya. Pada tahun yang sama Dja Endar Moeda menmabah satu lagi surat kabar berbahasa Melayu, Tapian Na Oeli dan sebuah majalah pembangunan yang diberi nama Insulinde. Saat inilah Dja Endar Moeda mempersatukan orang terpelajar di Padang dari golongan pribumi untuk bersatu dan membentuk kesatuan dalam organisasi sosial kebangsaan Medan Perdamaian. Dja Endar Moeda yang masih menjadi direktur Medan Perdamaian tahun 1902 mengalokasikan dana organisasi untuk membantu peningkatan pendidikan di Semaramg sebesar f14.000. Organisasi kebangsaan Medan Perdamaian berhaluan nasional, seperti halnya surat kabarnya Pertja Barat dengan motto: “Oentoek Sagala Bangsa’. Surat kabar Pertja Barat dan surat kabar Tapian Na Oeli adalah organ Medan Perdamaian. Pada tahun 1907 di Medan dibentuk organisasi kebangsaan yang disebut Sjarikat Tapanoeli. Organisasi ini dibentuk oleh orang-orang Mandailing en Angkola (Padang Sidempoean) untuk mengimbangi dominasi ekonomi (perdagangan) orang-orang Tionghoa di Sumatra Timur khususnya di kota Medan. Sjarikat Tapanoeli membentuk organ dengan mendirikan surat kabar Pewarta Deli tahun 1909 dengan motto ‘Oentoek Sagala Bangsa’ (beberapa bulan sebelum status Medan ditingkatkan menjadi gemeente).  

Organisasi kebangsaan Boedi Oetomo digagas oleh Soetomo dan kawan-kawan yang kemudian diresmikan pada bulan Mei 1908. Sejauh ini visi misi Boedi Oetomo yang berbasis di Batavia masih bersifat nasional (seperti halnya Medan Perdamaian di Padang dan Sjarikat Tapanoeli di Medan). Namun persoalan muncul ketika jelang kongres pertama Boedi Oetomo yang akan diadakan di Djogjakarta pada tanggal 3-5 Oktober 1908, haluan organisasi kebangsaan Boedi Oetomo bergeser dari visi nasional menjadi visi kedaerahan. Dalam kongres, visi dan misi kedaerahan ini benar-benar disyahkan. Soetomo tak berdaya menghadapi golongan seniornya. Organisasi kebangsaan Boedi Oetomo di dalam statuta-nya hanya terbatas di Jawa dan Madura.

Seorang mahasiswa di Belanda, Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan meradang. Ada perbedaan yang besar visi misi Medan Perdamaian dan Sjarikat Tapanoeli di satu pihak yang nasional dengan Boedi Oetomo di pihak lain yang kedaerahan. Soetan Casajangan lalu mengumpulkan semua mahasiswa asal Hindia (baca: Indonesia) di rumahnya di Leiden untuk membentuk organisasi mahasiswa yang bersifat nasional. Organisasi mahasiswa ini disahkan pada tanggal 25 Oktober 1908 dengan nama Indisch Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Secara aklamasi diangkat Soetan Cassjangan sebagai presiden dan sekretarisnya Raden Soemitro. Soetan Casajangan adalah mantan guru yang melanjutkan studi (kuliah) ke Belanda tahun 1905. Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang Sidempoean. Kelak, Indische Vereeniging diubah namanya pada tahun 1926 dengan Perhimpunan Indonesia.

Ketidak berdayaan Soetomo dan kawan-kawan karena semakin mendominasinya golongan senior yang ikut bergabung dalam Boedi Oetomo terutama dalam kalangan pangeran dan para bupati. Pada hari terakhir kongres Boedi Oetomo yang diadakan di Djogjakarta menetapkan kantor pusat di Djogjakarta. Hal ini karena ketua terpilih pada kongres itu berdomisili di Djogjakarta. Soetomo dan kawan-kawan di Batavia gigit jari, karena Batavia dalam struktur baru Batavia hanya diposisikan sebagai cabang Boedi Oetomo (yang berkantor pusat di Djogjakarta). Dalam struktur kepengurusan pusat tidak terdapat golongan mahasiswa/pemuda. Boedi Oetomo yang digagas oleh orang muda (mahasiswa Stovia) telah dikooptasi oleh golong senior (para pejabat). Perubahan visi misi Boedi Oetomo ini didukung Pemerintah Hindia Belanda (yang sangat takut dengan organisasi haluan nasional). Sejak inilah Djogjakarta mengalami percepatan dalam pembangunan (infrastruktur, kesehatan dan pendidikan). Dr. Soetomo, mulai melihat ada persoalan besar. Hukum kelembaman nasib berlaku: jumlah gaya.energi itu sama, jika ditekan ke satu sisi maka akan membengkak (di Jawa dan Madura) tetapi di sisi lain akan kempes (di Deli).

Soetomo sudah sejak lama berada di luar Boedi Oetomo. Soetomo, sang pendiri Boedi Oetomo tidak menyangka semuanya berubah, apa yang dipikirkannya tidak sejalan dengan kanyataannya. Boedi Oetomo larut dengan dirinya sendiri (terbatas di Jawa dan Madura). Setelah lulus kuliah di Stovia, kemudian Dr. Soetomo ditempatkan di Tandjong Morawa, Deli. Dr. Soetomo sangat prihatin melihat penderitaan kuli perkebunan asal Jawa dalam praktek poenalie sanctie. Dr. Soetomo sempat berusaha mengadvokasi tetapi tidak ada efeknya. Para planter sangat digdaya. Setelah tiga tahun di Deli, Dr. Soetomo kembali ke Jawa pada tahun 1914. Dr. Soetomo sangat galau. Boedi Oetomo sangat digdaya di Jawa tetapi para kuli asal Jawa di Deli tidak tersentuh, hidup dalam kemiskinan dan penderitaan serta selalu dihantui sanksi..

Di Batavia Dr. Soetomo bertemu pengurus Boedi Oetomo cabang Batavia, Sardjito (mahasiswa STOVIA). Keduanya sepakat mengadakan rapat umum para anggota Boedi Oetomo. Dalam rapat massa tersebut Dr. Soetomo berpidato berapi-api. Satu hal yang penting dikatakan Dr. Soetomo adalah sebagai berikut: ‘Kita (Boedi Oetomo) tidak bisa hidup sendiri, saya baru pulang dari Deli. Banyak orang-orang Tapanoeli yang terpelajar. Kita tidak bisa memperjuangkan sendiri bagaimana nasib para kuli asal Jawa di Deli. Kita membutuhkan orang lain, tidak hanya orang Tapanoeli’. Mungkin pidato Dr. Soetomo ini di dengar Soetan Casajangan yang baru saja pulang ke tanah air setelah lama di Belanda. Soetan Casajangan telah menjadi sarjana pendidikan dan Indisch Vereeniging masih eksis.

Setelah beberapa kali Dr. Soetomo dipindahkan sebagai dokter pemerintah termasuk ke Palembang, Dr. Soetomo berangkat studi ke Belanda untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran. Tentu saja Dr. Soetomo bergabung dengan Indisch Vereeniging. Pada tahun 1921 Dr. Soetomo menjadi ketua Indisch Vereeniging. Atas saran temannya mahasiswa asal Sumatra, Dr. Soetomo mengubah nama Indisch Vereeniging menjadi Indonesia Vereeniging. Kelak pada tahun 1926 Mohamad Hatta yang menjadi ketua mengubahnya lebih total menjadi Perhimpoenan Indonesia.

Dr. Soetomo setelah berhasil mendapat gelar sarjana kedokteran, sebagaimana Soetan Casajangan kembali ke tanah air. Dr. Soetomo di Soerabaja pada tahun 1924 mendirikan klub studi dengan nama Indonesia Studie Club, suatu klub (orang-orang terpelajar) yang menerjemahkan situasi dan kondisi sosial penduduk pribumi dan membuat program-program. Dr. Soetomo tidak mudah, ternyata masih ada resistensi dari golongan terpelajar. Dr. Soetomo berharap golongan terpelajar dari Boedi Oetomo ikut bergabung. Namun gayung tidak bersambut. Klub studi Soerabaja perkembangannya menjadi lambat.

Di Bandoeng, segera Soekarno lulus di THS menggagas klub studi seperti yang telah didirikan Dr. Soetomo di Soerabaja yang diberi nama Algemeen Studie Club. Klub studi Bandoeng yang didirikan 1926 mendapat respon dari berbagai pihak dan berkembang sangat cepat. Pada awal 1927 klub studi ini menjadi organisasi kebangsaan yang disebut Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI). Pada bulan September, Parada Harahap, pemilik surat kabar Bintang Timoer dan juga sekretaris Sumatranen Bond mengundang para pemimpin organisasi kebangsaan. Pertemuan ini diadakan di rumah Mr. Husein Djajadiningrat. Sejumlah organisasi hadir antara lain Sumatranen Bond (Parada Harahap sendiri), Kaoem Betawi (MH Thmarin yang juga anggota Volksraad), Pasoendan, Islamiten Bond, PNI (Ir. Soekarno) dan Boedi Oetomo (direpresentasikan oleh Dr. Soetomo). Dalam rapat ini juga turut hadir Abdul Firman gelar Mangaradja Soeangkoepon (anggota Volksraad) dan Soetan Casajangan (direktur Normaal School di Meester Cornelis). Para anggota rapat sepakat membentuk supra organisasi kebangsaan yang disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia yang disingkat PPPKI. MH Thamrin didaulat sebagai ketua dan sebagai sekretaris Parada Harahap (penggagas). Hasil rapat juga menetapkan pembangunan kantor (di Gang Kenari) dan juga mengagendakan kongres PPPKI akan diadakan pada bulan Oktober 1928. Dalam hal ini Soetan Casajangan, Husein Djajadiningrat, Mangaradja Soeangkoepon dan Dr. Soetomo adalah mantan-mantan pengurus Indisch Vereeniging.

Pada awal tahun 1928, Ir. Soekarno dan kawan-kawan di Bandoeng mengubaj Perhimpoenan Nasional Indonesa menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan ketua Ir. Anwari (teman sekelas Ir, Soekarno di THS Bandoeng). Dalam satu kesempatan Ir. Soekarno mengatakan agar Boedi Oetomo ikut bergabung dan mengusung visi misi nasional. Ternyata himbauan sekaliber Ir. Soekarno ini kurang mendapat respon dari kalangan Boedi Oetomo. Sebelumnya Dr. Soetomo sudah pernah menghimbau tetapi tidak digubris. Ketika hampir semua organisasi-organiasi kebangsaan sudah mengusung visi misi nasional, tetapi Boedi Oetomo tetap kukuh dengan visi misi kedaerahan (terbatas Jawa dab Madura).

Parada Harahap sangat respek kepada Dr. Soetomo, demikian sebaliknya, Dr. Soetomo sangat respek kepada Parada Harahap. Parada Harahap ketika masih di Medan membongkar kasus poenalie sactie yang diterbitkan pada surat kabar Benih Mardeka tahun 1918 (empat tahun setelah Dr. Soetomo dipindahkan dari Deli ke Jawa). Artikel-artikel ini dimuat surat kabar Soeara Djawa dan kemudian menjadi heboh di Jawa. Pada tahun 1919 Parada Harahap pulang kampung di Padang Sidempoean dan mendirikan surat kabar Sinar Merdeka. Ketika kongres Sumatranen Bond diadakan di Padang pada tahun 1919 Parada Harahap mewakili pemuda Tapanoeli. Di kongres inilah Parada Harahap mengenal dan akrab dengan Mohamad Hatta yang ikut berkongres (masih duduk di sekolah MULO). Parada Harahap terkena beberapa kali delik pers dan beberapa kali di penjara, dan ketika Sinar Merdeka dibreidel lalu Parada Harahap hijrah ke Batavia tahun 1922. Pada tahun 1923 Parada Harahap mendirikan surat kabar Bintang Hindia bersama Dr. Abdul Riavai (eks pengurus Indisch Vereeniging). Pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita Alpena dengan merekrut WR Supratman sebagai editor. Setahun kemudian Parada Harahap mendirikan surat kabar yang lebih radikal Bintang Timoer. Oplahnya terus naik sehingga yang terbesar di Batavia. Ir. Soekarno kerap mengirim tulisan ke Bintang Timoer. Dari sinilah Parada Harahap saling kenal dengan Ir. Soekarno. Pada tahun 1927 Parada Harahap bersama MH Thamrin mendirikan organisasi pengusaha pribumi (semacam KADIN) di Batavia dengan ketua Parada Harahap. Lalu kemudian Parada Harahap menggagas didirikannnya PPPKI (mengikuti seniornya Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan).

Pada tahun 1928 diadakan di Batavia dua kongres Indonesia. Pertama Kongres PPPKI (senior) yang diadakan pada tanggal 29 September. Ketua panitia kongres ditunjuk Dr. Soetomo (yang telah menjadi sohib Parada Harahap). Kedua, pada tanggal 28 Oktober diadakan kongres Pemuda (junior). Panitia kongres Pemuda dibentuk. Dr. Soetomo mengusulkan Soegondo (ketua Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia, PPPI). Parada Harahap menempatkan dua mahasiswa Rechthoogeschool yakni sebagai sekretaris Mohamad Jamin (Jong Sumatranen Bond) dan sebagai bendahara Amir Sjarifoeddin Harahap (Jong Batak). Kedua kongres ini disponsori oleh KADIN Batavia yang diketuai oleh Parada Harahap. Untuk menyebarluaskan gaung dua kongres ini Parada Harahap menerbitkan Bintang Timoer edisi Semarang (untuk Midden Java) dan edisi Soerabaja (Oost Java).

Dalam kongres PPPKI menyesalkan ketidakhadiran dari Minahasa dan Ambon. Pada kongres PPPKI ini Ir. Soekarno berpidato. Mohamad Hatta diundang untuk berbicara tetapi tidak bisa hadir karena kesibukan kuliah di Belanda tetapi mengirim utusa Ali Sastroamidjojo. Dalam kongres PPPKI diputuskan ketua yang baru Dr. Soetomo. Sementara pada kongres pemuda dihasilkan keputusan yang berisi janji: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, Indonesia. Dalam kongres pemuda ini sohib Parada Harahap yakni WR Supratman (editor kantor berita Alpena) memperdengarkan lagu Indonesia Raja.  

Kongres PPPKI tahun 1929 diadakan di Solo. Lokasi ini dipilih karena Boedi Oetomo akan berkongres di Solo (taktik ini diharapkan agar peserta kongres Boedi Oetomo juga ikut bergabung). Selepas kongres PPPKI di Solo polisi Belanda menangkap Ir. Soekarno dan kawan-kawan dari PNI (lalu dipenjara di Bandoeng).

Pada tahun 1930 Dr. Soetomo dan sohibnya Dr. Radjamin Nasution mendirikan partai di Soerabaja yang diberi nama Persatoean Bangsa Indonesia (PBI). Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution adalah teman kelas sewaktu di STOVIA. Dr. Soetomo menjabat kepala rumahsakit Soerabaja sementara Dr. Radjamin kepala divisi kesehatan Kantor Bea dan Cukai Soerabaja. Dr. Radjamin Nasution juga adalah sekretaris organisasi pekerja pelabuhan Tandjong Perak. Organ partai PBI dibentuk dengan mendirikan surat kabar Soeara Oemoem (yang tidak lain adalah surat kabar Bintang Timoer edisi Soerabaja). Pada tahun 1931 Dr. Radjamin Nasution terpilih sebagai anggota dewan (gemeenteraad) Soerabaja. Kelak, Dr. Radjamin Nasution menjadi wali kota pribumi pertama Kota Soerabaja.

Semakin panasnya suhu politik yang terkait dengan sidang-sidang Ir. Soekarno dan kawan-kawan yang dirumorkan akan diasingkan ke Diegoel. Media pribumi semakin menyuarakan kebangsaan. Pada tahun 1933 semua media pribumi dibreidel termasuk Bintang Timoer, Fikiran Rakjat di Bandoeng (yang didirikan Ir. Soekarno) dan Soeara Oemoem (yang dipimpin oleh Dr/ Soetomo).

Melihat situasi dan kondisi yang mana polisi/Belanda yang menghacurkan perjuangan Indonesia, Parad Harahap geram dan memimpin tujuh revolusioner untuk berangkat ke Jepang pada tanggal 4 November 1933 dengan kapal Panama Maru. Di Jepang rombongan ini diterima sangat antusias, sementara pers Belanda meradang. Diantaranya rombongan ini, selain Parada Harahap juga termasuk Abdullah Lubis (pemimpin Pewarta Deli di Medan), Mr. Samsi Widagda, Ph.D (guru di Bandoeng) dan Drs. Mohamad Hatta (yang baru selesai studi di Belanda). Rombongan ini selama dua bulan di Jepang termasuk perjalanan. Media Jepang menyebut Parada Harahap sebagai The King of Java Press. Rombongan kembali ke tanah air dan turun di Soerabaja sambil melihat situasi di Batavia. Hal ini juga karena faktor seperti Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution di Soerabaja dan kapal-kapal Jepang berpusat di Tandjong Perak (dimana Dr. Radjamin Nasution adalah pengurus sarikat pekerja pelabuhan). Pada saat rombongan turun dari kapal pada tanggal 13 Januari 1934, pada saat yang sama Ir. Soekarno diberangkatkan dari pelabuhan Tandjong Priok ke pengasingan di Flores. Di Batavia Parada Harahap dan Mohamad Hatta ditangkap dan diajuan ke pengadilan. Oleh karena ada kesaksian atase Jepang di Batavia dan memberikan jaminan keduanya dibebaskan.

Pada tahun 1935 Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution di Partai PBI Soerabaja mulai menawarkan kepada Boedi Oetomo untuk dilakukan merger. Reaksi pengurus Boedi Oetomo mulai positif. Akhirnya Boedi Oetomo bersedia merger dan nama partai PBI dan Boedi Oetomo dihilangkan dan dibentuk dengan nama baru Partai Indonesia Raja (yang disingkat Parindra). Ke dalam partai ini juga termasuk MH Thamrin. Tamat sudah Boedi Oetomo setelah berlangsung selama 27 tahun (sejak 1908). Dalam praktisnya, Boedi Oetomo didirikan oleh Soetomo dan Dr. Soetomo pula yang menutup Boedi Oetomo.

Itulah Dr. Soetomo yang dulu pernah bertugas di Deli. Dr. Soetomo setelah semuanya menjadi Indonesia, pada tahun 1938 dikabarkan meninggal dunia di Soerabaja. Dr. Radjamin Nasution yang berpidato mewakili keluarga saat jenazah Dr. Soetomo diantarkan ke pemakaman. Dalam pemakaman ini turut dihadiri Parada Harahap dan MH Thamrin dari Batavia.

Mengapa begitu lama? Itulah dilemanya. Boedi Oetomo yang digagas oleh mahasiswa yang awalnya bervisi nasional, pada kongres pertama Oktober 1908 di Djogjakarta terkooptasi oleh senior menjadi organisasi kebangsaan bervisi kedaerahan. Kepengurusan Boedi Oetomo )kantor pusat) yang pertama di Djogjakarta. Kantor pusat hanya di sela dua kali ketika kantor pusat berada di Solo dan Semarang. Pada saat penutupan Boedi Oeotmo sebelum merger dengan PBI dan membentuk Parindra kantor pusat di Jogjakarta. Satu hal dengan Boedi Oetomo, Kota Jogjakarta dapat mengejar ketertinggalannya dari kota-kota lain. Setiap pembangunan kota ada ongkosnya, juga setiap perjuangan kebangsaan juga ada ongkosnya.

Perubahan Boedi Oetomo dari organisasi kedaerahan ke visi nasional (Parindra) sejatinya dilakukan namun sangat perlahan-lahan. Oleh karena Ir. Soekarno berada di pnejara dan di pengasingan, Dr. Soetomo adalah orang yang terus tanpa henti berjuang untuk mengembalikan visi Boedi Oetomo ke awal (nasional). Untuk itu, Dr. Soetomo terus mendukung adik-adiknya Mr. Soepomo, Ph,D dan Dr. Sardjito, Ph.D. Setelah pulang studi meraih gelar Ph.D di bidang hukum dari Belanda Mr. Soepomo ditempatkan sebagai Ketua Landraad di Djogjakarta.  Mr. Soepomo, Ph.D yang lahir di Solo menikah dengan seorang putri pangeran di Djogjakarta. Sejak itu Mr. Soepomo menjadi pengurus pusat Boedi Oetomo. Mr. Soepomo secara pelan-pelan mereformasi Boedi Oetomo dari dalam. Upaya Mr. Soepomo ini juga didukung oleh Dr. Sardjito, mantan ketua Boedi Oetomo cabang Batavia setelah pulang studi meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran. Dua tokoh cerdas ini sangat besar perannya dalam mereformasi Boedi Oetomo menjadi organisasi visi nasional. Kelak, Dr. Sardjito, Ph.D adalah rektor UGM pertama dan Mr. Soepomo, Ph.D adalah rektur UI yang kedua.

Ibukota RI, 1946 dan Agresi Militer Belanda Kedua, 1948

Lihat dalam blog ini: Sejarah Jakarta (34): Perpindahan Ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta, 1946 Tidak Seperti Diceritakan; Ini Fakta Sebenarnya

Serangan Umum 1 Maret 1949

Serangan umum yang dilakukan hari Selasa tanggal 1 Maret 1949 bukanlah sesuatu yang serius. Surat kabar Het dagblad yang terbit di Djakarta.Batavia melaporkan tujuh tentara Belanda tewas dan 14 orang terluka. Komandan garnisun (Jogjakarta) Kolonel D van Langen, mengatakan kepada koresponden Aneta bahwa pasukannya bertanggung jawab atas situasi tersebut. Berita dari Jogjkarta ini bukan berita besar, justru berita besarnya adalah Soekarno dan Mohamad Hatta yang berada di pengasingan dan usulan konferensi meja bundar di Den Haag.

Pada hari Rabu pagi situasi di Jogja kembali normal. Tidak ada indikasi penambahan pasukan di Jogjakarta. Untuk menangani keamanan pasca serangan tetap hanya dipercayakan cukup kepada seorang komandan garnisun di Djogja (Kolonel Langen). Jenderal Spoor terbang ke Djogja setelah penyerangan untuk melihat situasi. Pada hari Rabu ini juga Spoor berangkat dari Djogja dengan mobil ke Batavia via Semarang. Dalam kunjungan Spoor ini beberapa pejabat sipil dan militer ikut mengunjungi Jogja. Mereka ini juga mengunjungi ke kediaman Sultan Yogyakarta, yang adalah Menteri Negara (minister voor Buitengewone Zaken) pada kabinet terakhir Repoeblik. Lebih lanjut disebutkan kediaman Sultan, yang disebut Kraton, berada di daerah netral aksi militer terakhir, dimana di tempat itu tidak ada pasukan Belanda yang ditempatkan. Sejauh ini tidak ada kontak resmi antara Pemerintah Belanda dan Sultan.

Yang menjadi terpenting dalam serangan di Jogjakarta yang dapat dikatakan sebagai hal besar adalah ada indikasi yang kuat serangan juga berasal dari selatan kota dari seputar lingkungan kraton. Surat kabar Het nieuws: algemeen dagblad, 04-03-1949 mengutip berita kantor berita Aneta melaporkan bahwa ‘pada hari serangan (Selasa) seorang sersan Belanda telah memberikan tanda dengan membunyikan sirene untuk awal serangan gerilya yang dilakukan di Jogja sehingga terdengar di sini (kantor Aneta?). Pada bunyi sirene yang pertama, serangan gerilyawan dimulai dari beberapa titik. Para penyerang juga datang dari (arah) kediaman Sultan. Sejauh ini kediaman itu tidak ditempati oleh pasukan Belanda. Tempat tinggal Sultan berada di sebuah desa dimana beberapa ribu orang tinggal di sekitar, yang semuanya terkait dengan layanan Sultan.

Berita serangan di Jogja tidak lama kemudian sepi sendiri. Seperti sebelumnya, terkait Jogja berita politik lebih terasa gaungnya. Soekarno yang berada di pengasingan terus digoda untuk berunding di dalam konferensi meja bundar. Namun Soekarno tetap kukuh dengan pendiriannya. Soekarno menginginkan (kembali ke) Jogja. Het nieuws : algemeen dagblad, 07-03-1949: Repoebiikeinen secara resmi menolak undangan Belanda untuk berpartisipasi dalam Konferensi Meja Bundar. Sukarno berpendapat bahwa dia tidak dapat memberikan keputusan resmi selama dia belum dipulihkan di Jogja.

Jelas dalam hal ini serangan di Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949 bukanlah masuk berita dunia. Yang justru berita dunia yang dilansir oleh surat kabar di Eropa adalah keinginan Soekarno kembali ke Jogja daripada sekadar menghadirkannya di meja perundingan yang diwacanakan dalam konferensi meja bundar. Statement Soekarno ini adalah suatu perjuangan herois di mata internasional. Soekarno ingin Jogja, Soekarno tidak ada tawar menawar dengan RI yang beribukota di Djogjakarta.

Dalam serangan umum yang dilakukan 1 Maret 1949 yang berasal dari selatan mengindikasikan bahwa serangan itu dipimpin oleh Sultan, paling tidak Sultan mengizinkan pegawainya untuk ikut berpartisipasi dalam serangan umum. Sultan yang tengah berada di dalam pengawasan setelah pendudukan Jogjakarta oleh militer Belanda (agresi militer Belanda kedua) secara sukarela memimpin serangan atau paling tidak mengizinkan wilayah selatan kota sebagai bagian dari serangan bukanlah hal sepele. Sebaliknya, justru dalam posisi Sultan seperti ini, serangan umum di Jogjakarta dapat dianggap sebagai sesuatu yang besar. Dalam hal ini kraton/Sultan masih Republiken (setia RI). Dengan kata lain, ketika kerajaan/kesultanan lain di berbagai telah berkiblat ke Belanda, Kesultanan Jogjakarta masih setia kepada RI.  .

RI vs RIS, 1950

Republik Indonesia adalah sebuah perjuangan panjang. Itu mulai mengkristal pada tahun 1927 dengan dibentuknya PPPKI. Sejak itu gerakan Indonesia Merdeka semakin bergema. Para pemuda juga mengambil bagian dengan menghasilkan satu keputusan hasil kongres pemuda tahun 1928: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, Indonesia.

Embrio ini dimulai dengan kegelisan Dr. Soetomo yang melihat orang Jawa (Boedi Oetomo) tidak bisa sendiri sepulang berdinas dari Deli 1914. Kegelisahan Dr. Soetomo tersebut ditindaklanjuti Parada Harahap dengan membongkar kekejaman para planter terhadap kuli, terutama kuli asal Jawa dengan melakukan investigasi langsung. Hasil investigasi itu dimuat pada surat kabar Benih Merdeka yang terbit di Medan pada tahun 1918. Surat kabar Soeara Djawa melansirnya dan kemudian menjadi heboh di Jawa. Dr. Soetomo yang tengah berdinas di Palembang sumringah mendengar berita itu. Parada Harahap terus berjuang, ketika Benih Merdeka dibreidel, pulang kampung di Padang Sidempoean dan mendirikan surat kabar Sinar Merdeka tahun 1919. Semangat Benih Merdeka (benih yang ditanam) naik kelas menjadi semangat Sinar Merdeka (sudah tumbuh).

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia benar-benar merdeka. Namun kemerdekaan tidak lama kemudian diganggu lagi oleh Belanda/NICA yang menyusul Inggris/Sekutu dalam tugas melucuti militer Jepang dan membebaskan interniran Eropa/Belanda yang ditahan selama pendudukan Jepang. Untuk mempertahankan kemerdekaan, para Republiken (orang setia Republik Indonesia) habis-habisan berperang melawan Belanda/NICA. Era ini disebut Perang Kemerdekaan.

Pada tanggal 19 Desember 1948 mnyusul Agresi Militer Belanda kedua Perang Kemerdekaan menjadi anti klimaks. Hal ini terjadi setelah para pemimpin Republik Indonesia di ibukota Jogjakarta ditangkap. Pemerintah RI tidak vakum sebab muncul Pemerintah Darurat RI di pengungsian. Para TNI dan penduduk setia RI disejumlah tempat melakukan gerilya. Serangan umum 1 Maret 1949 di Jogjakarta adalah satu bukti para setia RI masih eksis. Namun sangat ironis, para penghianat RI di sejumlah tempat membentuk negara bersama Belanda/NICA (negara boneka). Mereka ini turut menekan para Republiken. Kantong-kantong Republiken hanya tinggal sedikit terutama di wilayah Jawa Tengah/Djogjakarta dan wilayah Tapanoeli. 

Para Republiken mulai lelah dan para pemimpin mereka berada di pengasingan dan pengungsian. Kelelahan itu lebih pada psikologis karena sebagian pemimpin lokal di Indonesia telah berada dalam pelukan Belanda. Tentu saja banyak dari mereka ini menyerahkan diri kepada Belanda. Oleh karena adanya tawaran gencatan senjata, maka mau tak mau harus diterima yang kemudian dilanjutkan ke meja perundingan (Konferensi Meja Bundar di Den Haag).

Dalam persiapan menuju ke perundingan ini Mohamad Hatta dikembalikan ke Jogjakarta dan pada tanggal 4 Agustus 1949 membentuk kabinet baru. Sementara Ir. Soekarno masih tetap ‘ditahan’ di Parapat (Sumatra Utara). Kabinet baru ini dipimpin Perdana Menteri Mohamad Hatta dengan Wakil Perdana Menteri Sjafroeddin Prawiranegara (mantan Ketua PDRI). Hamengkoeboewono IX diposisikan sebagai menteri negara bidang pertahanan (yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Hatta sebelum Agresi Militer Belanda kedua). Nun, disana di Residentie Tapanoeli, Abdul Hakim Harahap masih memimpin penduduk Tapanoeli sebagai Residen di pengungsian.

Konferensi ini diikuti oleh empat pihak: Republik Indonesia, BFO, Belanda dan PBB. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Mohamad Hatta dengan anggota Mr. Mohamad Roem, Prof. Dr. Soepomo, Dr.J Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo, Mr. Soejono Hadinoto, Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo. Kolonel TB Simatupang dan Mr. Muwardi. Sementara BFO yang merupakan gabungan negara-negara boneka binaan Belanda dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak.  Sedangkan Belanda dan PBB masing-masing dipimpin oleh Mr. Van Marseveen dan Crittchlay.

Beberapa penasehat disertakan dalam delegasi RI, salah satu diantaranya Abdul Hakim Harahap (Residen Tapanoeli). Keutamaan Abdul Hakim Harahap karena menguasai tiga bahasa (Belanda, Inggris dan Prancis). Abdul Hakim Harahap berpengalaman dalam birokasi di era kolonial Belanda. Jabatan terakhir Abdul Hakim Harahap sebelum pendudukan Jepang adalah kepala kantor ekonomi di Indonesia Timur yang berkedudukan di Makassar.

Konferensi KMB berakhir pada tanggal 2 November 1949. Isi perjanjian konferensi pada intinya Kerajaan Belanda menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949.

Hasil KMB menyebabkan Republik Indonesia dikerdilkan dan terbentuk negara yang disebut RIS (Republik Indonesia Serikat). Republik Indonesia yang hanya terdiri dari beberapa wilayah (terutama Jogjakarta dan Tapanoeli) diposisikan sebagai negara bagian yang setara dengan negara-negara (federal) bentukan Belanda seperti Negara Sumatra Timur, Negara Pasoendan, Negara Jawa Timur dan sebagainya.

Hasil KMB ini (Mohamad Hatta) dapat diperbandingkan dengan hasil-hasil konferensi sebelumnya Perjanjian Linggarjati (Soetan Sjahrir) dan Perjanjian Renville (Amir Sjarifoeddin Harahap). Hasil KMB atau Perjanjian KMB sungguh sangat miris. Republik Indonesia tidak hanya melawan Belanda tetapi juga melawan sebagian bangsa sendiri yang telah menyeberang ke Belanda. Dalam hal ini Wilayah Jogjakarta tetap setia Republik Indonesia, demikian juga Tapanoeli tetap setia Republik Indonesia. Penduduk kedua wilayah ini secara sosial tidak mengakuai wilayah-wilayah lain yang yang telah membentuk negara-negara sendiri dan bergandengan tangan dengan Belanda (negara boneka Belanda).

Dalam situasi kelelahan para pemimpin Republik Indonesia juga harus mau tak mau menerima pengakuan kedaulatan RI dalam bentuk RIS. Jika tidak begitu Belanda tidak akan memberikan kedaulatan. Game Theory juga berlaku. Belanda mengetahuai para Republiken akan mengambil solusi itu, tetapi para Pemimpin Republik Indonesia juga mengetahui Belanda akan memberikannya. Namun tidak semua pemimpin Republik Indonesia setuju dengan itu. Apakah para pemimpin RI terbelah? Tidak, hanya saja: sebagian pemimpin 50 persen RI dan sebagian yang lain tetap 100 persen RI. Lantas bagaimana dengan pemimpin negara-negara bagian? Mereka nol persen RI, karena nyata-nyata telah membentuk negara sendiri (bukan negara RI).

Para pemimpin RI melihat yang tidak dilihat Belanda. Meski wilayah RI hanya tinggal sedikit, tetapi wilayah RI sangat kompak dan kuat. Sementara negara-negara bagian yang dibentuk Belanda satu sama lain selain secara geografis berjauhan, secara psikologis dan secara sosial sangat longgar (hanya terikat ke Belanda dan memiliki kepentingan masing-masing). Dalam situasi dan kondisi ini para pemimpin RI mengambil posisi sebagai ketua RIS. Oleh karena Mohamad Hatta adalah ketua delegasi RI ke Den Haag, maka yang menjadi Perdana Menteri RIS adalah Mohamad Hatta. Lalu Mohamad Hatta menyusun kabinet yang mana posisi strategis sebagai berikut: Menteri Luar Negeri (Mohamad Hatta/RI); Menteri Dalam Negeri (Ide Anak Agung Gde Agung (Indonesia Timur); Menteri Pertahanan (Hamengkubuwono IX/RI); Menteri Kehakiman (Soepomo/RI).

Dalam komposisi strategis ini RI dalam posisi unggul (yang dapat memainkan peran penting menjalankan bentuk negara baru RIS dan dapat mengubah bentuk negara kembali ke RI/negara kesatuan RI). Dalam struktur kabinet RIS sepintas tampak adalah susunan kabinet RI di Jogjakarta (sebelum Agresi Militer Belanda kedua 1948 dan sebelum para pemimpin RI ditangkap). Hamengkubuwono IX/RI sendiri telah memulai tugas sebelum susunan kabinet terbentuk. Seperti dilaporkan De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 07-12-1949: ‘Komite Persiapan Nasional menyerahkan pembinaan dan tanggung jawab untuk keamanan di seluruh Indonesia kepada Letnan Jenderal Hamengkoe Boewono IX, Sultan Yogyakarta’. Juga disebutkan Hamengkoe Boewono IX mengunjungi Bandoeng pada tanggal 6 Desember 1949 untuk mengadakan pembicaraan dengan pemerintah Negara Pasoendan dan komandan pasukan Belanda di sana. Sebagai hasil dari pembicaraan dengan pemerintah Pauoendan, Sultan menunjuk Kolonel Sadikin, Komandan Divisi Siliwangi secara resmi menjadi Gubernur Militer Jawa Barat.

Susunan kabinet RIS/Hatta ini diresmikan pada tanggal 20 Desember 1949. Ini mengingatkan bahwa setahun yang lalu (19 Desember 1948) militer Belanda menduduki Jogjakarta dan menangkap para pemimpin RI. Namun ibukota RIS/Hatta tidak lagi di Jogjakarta tetapi di Djakarta/Batavia. Uniknya, Hamengkubuwono IX/RI juga harus pindah ke Djakarta, karena Hamengkubuwono IX/RI adalah Menteri Pertahanan. Inilah untuk kali pertama Raja Mataram/Jogjakarta secara politis ke Djakarta/Batavia sejak era Sultan Agung.

Lantas bagaimana ibukota RI di Jogjakarta yang ditinggalkan Mohammad Hatta dan Hamengkoeboewono dan Soepomo yang memilih RIS dan pindah ke Djakarta. Para pemimpin 100 persen RI membentuk pemerintahan sendiri di Jogjakarta yang mana Susanto Tirtoprodjo menyusun kabinet sementara yang diresmikan pada 20 Desember 1949. Susunan kabinet lebih pada syarat formalitas (administratif) karena kabinet RIS akan diresmikan 20 Desember 1949 yang mana kabinet RI di Jogjakarta diposisikan di bawah RIS/Hatta di Djakarta.

Satu pertanyaan penting, dimana Ir. Soekarno berada dan apakah ada posisi presiden dalam struktur RIS (yang mana pengaruh Belanda masih cukup besar). Paling tidak Ir. Soekarno sudah berada di Jogjakarta pada tanggal 7 Desember 1949 (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 07-12-1949). Namun mengapa Ir. Soekarno masih berada di Jogjakarta, tidak seperti PM Mohamad Hatta dan Hamengkubuwono IX yang sudah berada di Djakarta. Sesuai Perjanjian KMB penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda dilakukan pada tanggal 27 Desember dan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949. Apakah ini yang menghalani Ir. Soekarno ke Djakarta (ibukota RIS) dan harus tetap berada di Jogjakarta (ibukota RI)?.

Situasi dan kondisi membuat waktu cukup banyak bagi para pemimpin Republiken berkumpul di Jogjakarta. Tidak hanya memikirkan bentuk negara baru RIS tetapi juga mempertimbangkan ulang agar kembali ke 100 persen RI. Dalam hal ini di internal RI terbagi dua faksi: pemimpin RI yang berkolaborasi dengan Belanda dan pemimpin 100 persen RI. ini mengingatkan kembali pada kabinet Syahrir I dimana terdapat faksi 100 persen RI (Tan Malaka dkk) yang mencurigai PM Soetan Syahrir lalu menculiknya dan baru dibebaskan Amir Sjarifoeddin Harahap di Solo. Dalam perkembangannya akibat tekanan 100 persen RI, PM Soetan Sjahrir harus lengser dan digantikan PM Amir Syarifoeddin Harahap. Namun hasil yang tidak menguntungkan dalam konferensi/perjanjian Renville, giliran PM Amir Sjarifoeddin Harahap yang ditekan oleh para pemimpin 100 persen RI. Lalu PM Amir Sjarifoeddin Harahap lengser dan digantikan oleh PM Mohamad Hatta. Lalu apakah hasil konferensi/perjanjian KB akan menekan PM Mohamad Hatta? Sudah pasti, sebab para pemimpin 100 persen RI masih sangat banyak. Mereka itu kini telah berkumpul di ibukota RI di Jogjakarta.

Nah lalu bagaimana dengan Ir. Soekarno, Mohamad Hatta, Hamengkoeboewono dan Soepomo yang akan siap-siap meninggalkan (ibukota) RI di Jogjakarta dan pindah ke (ibukota) RIS di Djakarta. Mereka harus dilihat lebih lanjut, diuji oleh waktu apakah benar-benar mereka ini sepenuh hati ke RIS dan setengah hati ke RI atau sebaliknya?

Setelah terbentuknya kabinet RIS/Hatta di Djakarta dan diresmikan pada tanggal 20 Desember 1949 maka pada tanggal 27 Desember 1949 secara resmi Belanda menyerahkan sepenuhnya Indonesia. Namun Presiden RI Ir. Soekarno masih di Djogjakarta dan baru tanggal 30 Desember ke Djakarta untuk menempati istana negara, tetapi tidak sebagai Presiden RI tetapi sebagai Presiden RIS.

Wilayah-wilayah RI yang hanya tinggal secuil dalam peta Indonesia, terutama di Djogjakarta dan Tapanoeli. Abdul Hakim Harahap, Residen Tapanoeli setelah berakhir KMB pada tanggal 2 November 1949 di Den Haag langsung balik kampung di Tapanoeli untuk memimpin pendudukan Tapanoeli yang 100 persen Republiken. Abdul Hakim Harahap tidak setuju dengan konsep RIS yang disepakati dalam KMB oleh Mohamad Hatta (pemimpin delegasi RI). Abdul Hakim Harahap, Residen 100 RI dari penduduk di Tapanoeli yang 100 persen RI. Abdul Hakim Harahap juga adalah tokoh penting Masjumi dan sebagian besar Masjumi tidak setuju RIS yang berbau Belanda.

Para pemimpin RI di Djogjakarta memanggil Abdul Hakim Harahap ke Djogjakarta. Diperlukan pemimpin 100 RI di Jogjakarta setelah Soekarno, Mohamad Hatta dan Hamengkoeboewono pindah ke (ibukota) RIS di Djakarta dan telah ‘mengingkari’ RI. Lalu setelah Abdul Hakim Harahap berada di Jogjakarta, para pemimpin 100 persen RI di Jogjakarta tidak membolehkan Abdul Hakim Harahap pulang ke Tapanoeli. Abdul Hakim Harahap didaulat menjadi Wakil Perdana Menteri RI di Djogjakarta. Lalu struktur kabinet RI sementara yang dibentuk oleh Susanto Tirtoprodjo yang telah diserahkan kepada Mohamad Hatta yang menjadi PM RIS pada tanggal 20 Desember 1949 diubah secara proporsional. Dalam kabinet RI di Djogjakarta ini tidak hanya mengangkut perdana menteri baru Abdul Halim tetapi juga mengangkat seorang presiden (Assaat). Kabinet baru ini mulai bertugas pada tanggal 21 Januari 1950. Inilah untuk kali pertama di Indonesia terdapat dualisme kepempimpinan (ibarat dalam sepakbola Indonesia antara PSSI dan KPSI). Dualisme sepakbola adalah hal kecil, tetapi tidak dengan negara Indonesia bahwa RI dan RIS adalah masalah yang sangat besar. Abdul Hakim Harahap yang tidak kembali lagi ke Tapanoeli, posisinya sebagai Residen Tapanoeli digantikan oleh Binanga Siregar (100 persen RI).

Dalam jajaran militer, Menteri Pertahanan RIS Hamengkoeboewono bahu membahu dengan dua tokoh penting TNI yang pro 100 persen RI. Dua tokoh penting TNI itu adalah TB Simatupang dan Abdul Haris Nasution. TB Simatupang menjadi panglima besar sebagai Kepala Staf Angkatan Perang menggantikan posisi Jenderal Soedirman (yang telah meninggal) dan Abdul Haris Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Darat.

Uniknya, Abdul Hakim Harahap, Abdul Haris Nasution dan TB Simatupang yang dulu di era kolonial Belanda, sebelum pendudukan Jepang sudah bekerja pada pemerintah kini berbalik 100 persen RI. Sebaliknya Soekarno dan Mohamad Hatta yang tidak pernah bersentuhan dengan Belanda, kini menjadi bagian dari RIS yang berbau Belanda. Sedangkan Hamengkoeboewono yang setengah hati dengan Belanda, kini juga berada pada barisan RIS yang berbau Belanda. Namun, seperti diutarakan di atas, tiga nama yang terakhir ini masih perlu diuji dengan berjalannya waktu apakah mereka benar-benar 100 persen setia RI.

Sementara Pemerintahan RIS berlangsung di Djakarta yang dipimpin oleh PM Mohamad Hatta dengan Presiden Soekarno, maka para Republiken di Djogjakarta yang 100 persen RI mulai bekerja. Bukan bekerja untuk pembangunan tetapi bekerja untuk memikirkan bagaimana RIS kembali ke RI. Perjuangan (kemerdekaan) belum selesai. Karena itu belum terpikirkan untuk membangun negeri. Negara 100 persen RI belum tercapai. Negara RIS yang compang-camping bukan wujud yang diinginkan pejuang Republik Indonesia Merdeka sejak 1927 (dibentuknya PPPKI yang digagas oleh Parada Harahap, pendiri surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean, Tapanoeli Selatan).

Para penduduk Republiken di wilayah-wilayah RI dalam kesulitan dan penderitaan,  tidak hanya di Tapanoeli dan Jogjakarta, tetapi juga para warga Republiken di wilayah-wilayah federal (negara-negara bagian bentukan Belanda). Para warga Republiken yang setia 100 persen RI di ibukota negara faderal juga tertekan seperti di Bandoeng (ibukota Negara Pasundan), Soerabaja (ibukota Negara Jawa Timur) apalagi di Medan (ibukota Negara Sumatra Timur). Mereka ini bahkan secara sosial disingkirkan oleh warga pro federalis. Hanya di Djakarta, ibukota RIS terlihat ada euforia. Paling tidak euforia ini tampak ketika Presiden Soekarno tiba di Djakarta dari Jogjakarta pada tanggal 30 Desember 1949.

Koneksitas para Republiken antara Jogjakarta, Tapanoeli dan Sumatra Timur mulai digarap untuk mempengaruhi struktur Pemerintahan RIS dan juga sekaligus untuk menguji para pemimpin Republiken di Djakarta yang telah ‘mengingkari RI’ dan menjabat sebagai Presiden (Soekarno), Perdana Menteri (Mohamad Hatta) dan Menteri Pertahanan (Hamengkoeboewono IX) serta Menteri Kehakiman (Soepomo). Di Jogjakarta ada Abdul Hakim Harahap (Wakil Perdana Menteri), di Tapanoeli ada Binanga Siregar (Residen RI Tapanoeli), dan di Sumatra Timur yang berpusat di Medan ada Dr. Djabangun Harahap (yang menangani kesehatan warga Republiken) dan Mr. GB Josua Batubara (yang menangani pendidikan warga Republiken).

Sebagai wilayah RI, Tapanoeli tidak banyak pengaruh Belanda dalam struktur pemerintahan RIS. Demikian juga di Jogjakarta bengaruh Belanda sangat minor. Namun pengaruh Belanda cukup besar di Medan, Palembang (ibukota Negara Sumatra Selatan), Bandoeng, Soerabaja dan Makassar (ibukota Negara Indonesia Timur). Itu semua karena kue ekonomi yang besar sebagai pusat perkebunan (ekspor), perdagangan (impor) dan pertambangan yang mana orang-orang Eropa/Belanda terlibat langsung (meski dalam kabinet RIS semuanya adalah pribumi). Sehubungan dengan itu, kebijakan pertama kabinet RIS/Hatta adalah mengeluarkan peraturan perundang-undangan terkait (kemudahan) investasi asing. Akibat kebijakan PM Mohamad Hatta ini timbul reaksi dimana-mana terutama dari pemimpin Indonesia 100 RI.

Satu hal yang membedakan Medan (Sumatra Timur) dengan negara-negara federal lainnya adalah bahwa para Republiken di Sumatra Timur khususnya di Medan cukup dominan. Orang-orang Eropa/Belanda yang mulai menyatu kembali dengan pihak kesultanan-kesultanan (yang pro Belanda seperti di era kolonial Belanda) membuat para Republiken gerah. Lalu muncul dikotomi Negara Kesatuan RI (NK-RI) dan Negara RIS (N-RIS). Suatu gerakan muncul di Medan melancarkan protes keras (semacam pemberontakan) ke pusat Pemerintahan RIS di Djakarta. Dr. Djabangoen Harahap, Soegondo, GB Joshua Batubara dan lainnya mulai menginisiasi dengan menyelenggarakan Kongres Rakyat di seluruh Negara Sumatra Timur (NST). Kongres Rakyat ini semacam referendum, apakah NKRI atau RIS.    

Gerakan RI dan Kongres Rakyat ini sangat dikhawatirkan oleh PM (RIS) Mohamad Hatta. Lalu para pentolan NST mulai kasak-kusuk ke Djakarta menemui Mohamad Hatta untuk menghambat kongres tersebut. Dan, nyatanya Mohamad Hatta sempat mengulur-ulur waktu diantara desakan para Republiken dengan kekhawairan para kaum federalis. Kongres Rakyat tidak terbendung.

Kongres Kongres Rakyat yang diselenggarakan pada tanggal 25 April 1950 hasilnya sangat di luar dugaan Pemerintah Pusat RIS di Djakarta. Hasil Kongres Rakyat menyatakan ‘Bubarkan NST’ dan ‘Bentuk NKRI’.

Hasil Kongres Rakyat di Medan dan Sumatra Timur telah membuat PM Mohamad Hatta bingung, tetapi tidak dengan Presiden Soekarno. Dalam perkembangannya Presiden Ir. Soekarno menjadi paham dan lalu memberikan dukungan terhadap hasil Kongres Rakyat di Medan. Sejak inilah Presiden Soekarno mulai memikirkan kembali negara kesatuan RI (NKRI). PM Mohamad Hatta ‘molohok’. PM Mohamad Hatta belum lama mengeluarkan kemudahan investasi asing yang menguntungkan investor-investor Belanda.

Hasil Kongres Rakyat di Medan juga didukung dan dikawal oleh militer yang mana Kolonel Maludin Simbolon berani pasang badan. Dua petinggi militer di pusat, Jenderal TB Simatupang dan Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution sumringah dan wait en see. Setali tiga uang, Menteri Pertahanan Hamengkoeboewono IX juga tak mampu menahan perasaannya, sumringah dan juga wait and see. Hanya keputusan Presiden Soekarno yang mampu memecahkan persoalan ini. Para Republiken di Sumatra Timur khususnya di Medan menunggu tindak lanjut Presiden Soekarno.

Pada fase gerakan NKRI di Sumatra Timur yang telah menjalar ke pusat (Djakarta), situasi ini seakan mengambarkan dinamika politik tingkat pemerintah dengan yang terjadi di level (bidang) pendidikan tinggi, RIS beribukota di Djakarta cooperative dengan Belanda, sementara RI (para republiken) yang beribukota di Djogjakarta mengusung RI 100 Persen. Akhirnya gelombang perubahan terjadi. Proses perubahan RIS menjadi NKRI Sumatra Timur yang berpusat di Medan mencapai puncak pada tanggal 17 Agustus 1950.

Perubahan RIS ke (NK)RI sedikit lebih mudah dan mulus di Bandoeng dan Soerabaja serta di Palembang. Ada sedikit resistensi di Makassar, ibukota Negara Indonesia Timur. Wilayah-wilayah lainnnya di Indonesia hanya sekadar mengikuti arus agin yang besar, kemana angin berhembus ke arah itu haluan berlayar. Di Djakarta tidak terlalu masalah karena sejatinya lebih pro RI daripada pro-federalis. Lalu bagaimana dengan Tapanoeli dan Djogjakarta? Tentu saja mengidam-idamkan NKRI.  

Pada tanggal 17 Agustus 1950 ini di Medan lalu diperingati hari kemedekaan dengan inspektur upacara Mr. GB Josua Batubara (pemilik sekolah Joshua Instituut). Dalam upacara ini untuk kali pertama dinyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raja di Medan. Dengan berkumandangnya lagu Indonesia Raya di Medan dan sekitarnya maka para Republiken benar-benar merasakan kemerdekaan sejati.

Republik Indonesia Serikat dibubarkan pada 17 Agustus 1950. Ini adalah kemenangan bagi Republik Indonesia dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itulah komitmen dari TNI juga termasuk komitmen penduduk Tapanoeli dan termasuk mantan Residen Tapanoeli di Djogjakarta (Abdul Hakim Harahap, Wakil Perdana Menteri RI), Bagaimana dengan penduduk Bandoeng dan Priangan dan penduduk Soerabaja dan Jawa Timur? Jelas masih lebih banyak yang republiken. Jangan lupa, penduduk Soerabaja dan Bandoeng adalah yang terawal bersukacita dengan berita kemerdekaan Indonesia. Juga jangan lupa Soerabaja dan Bandoeng sudah menjadi pusat perjuangan kemerdekaan sejak awal.

Last but not least. Bagaimana dengan wilayah Djogjakarta sendiri? Inilah pertanyaan inti kita. Wilayah Djogjakarta hanya memberontak kepada Belanda (Sultan Agung, 1628, Amangkurat III, 1755 dan Pangeran Diponegoro, 1825 serta Hamengkoeboewono dalam Serangan Umum 1 Maret 1949). Selanjutnya para Sultan Jogjakarta tidak pernah memberontak kepada RI. Malah sebaliknya membuka pintu lebar-lebar sebagai ibukota RI dan menerima para Republiken dari luar Djogjakarta dengan baik. Setali tiga uang wilayah Tapanoeli tidak pernah memberontak kepada RI dan lebih menyukai NKRI daripada federalis. Orang-orang Tapanoeli hanya memberontak di luar wilayahnya, dalam hal ini, yakni melancarkan ‘pemberontakan’ di Medan dan Sumatra Timur kepada Pemerintahan RIS melalui praktek konstitusional yang disebut Kongres Rakyat. Tapanoeli sangat menginginkan NKRI. Djogjakarta sangat setia RI. Itulah keistimewaan Yogyakarta.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar