* Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Ibukota Republik Indonesia pernah di Yogyakarta yang secara de facto dimulai tanggal 4 Januari 1946. Hal ini menyusul tidak amannya ibukota RI di Djakarta. Sebelum ibukota RI dipindahkan dari Djakarta ke Jogjakarta, wilayah Jogjakarta sudah ditabalkan sebagai salah satu provinsi di Indonesia dengan gelar Istimewa. Gelar yang diberikan Pemerintah Republik Indonesia ini sedikitnya dalam tiga hal: sejarah, bentuk dan kepala pemeritahan
Ibukota Republik Indonesia pernah di Yogyakarta yang secara de facto dimulai tanggal 4 Januari 1946. Hal ini menyusul tidak amannya ibukota RI di Djakarta. Sebelum ibukota RI dipindahkan dari Djakarta ke Jogjakarta, wilayah Jogjakarta sudah ditabalkan sebagai salah satu provinsi di Indonesia dengan gelar Istimewa. Gelar yang diberikan Pemerintah Republik Indonesia ini sedikitnya dalam tiga hal: sejarah, bentuk dan kepala pemeritahan
Pertanyaannya: Apa
istimewanya Djogjakarta? Satu hal Jogjakarta pernah menjadi ibukota Republik
Indonesia dan keistimewaannya dapat dilihat dalam peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia. Namun bukan itu inti pertanyaannya, tetapi mengapa
Jogjakarta harus diberi gelar Istimewa dan mengapa ibukota RI dipindahkan ke
Jogjakarta. Dua pertanyaan ini saling terkait. Mari kita telusuri.
Sultan Agung Menyerang VOC di
Batavia, 1628
Pada tahun 1619
VOC/Belanda memindahkan pos utama perdagangan dari Ambon ke muara sungai
Tjiliwong dan membangun benteng yang dikenal Casteel Batavia. Posisi casteel
Batavia yang strategis (di tengah Hindia Timur) membuat volume perdagangan
VOC/Belanda semakin meningkat dari waktu ke waktu. Frekuensi pelayaran antara Casteel
Batavia dengan pelabuhan Texel di Belanda semakin tinggi. Kedudukan casteel
Batavia menjadi sangat penting bagi VOC/Belanda.
Courante uyt Italien, Duytslandt, &c., 14-07-1629 |
Courante uyt Italien,
Duytslandt, &c., 14-07-1629 tidak hanya melaporkan berita kapal dari
Batavia, tetapi juga melaporkan tentang kejadian yang terjadi di stadt (ibukota)
Batavia yang dipimpin oleh Generaal Koenen. Disebutkan bahwa stadt Batavia telah
dikepung 50.000 orang Banten dan Jawa. Dalam kejadian ini kapal Wapen van
Enckhuisen telah hancur dengan uang tunai 100.000 Gulden. Korban tewas sebanyak
50 orang.
Kejadian ini dalam sejarah awal
VOC/Belanda dan pada masa keemasan Mataram diketahui sebagai perang yang
dilancarkan Sultan Agung ke Batavia. Pada bulan Agustus 1628 pasukan Mataram
sudah berada di Batavia. Disebutkan pasukan Mataram ini mengalami kekalahan.
Sejak kekalahan melawan VOC/Belanda di Batavia, lambat laun satu per satu
wilayah kekuasaan Mataram memberontak. Kerajaan Mataram pada gilirannya mulai
melemah. Masa keemasan Mataram secara perlahan meredup. Meski demikian,
Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung telah menunjukkan anti koloni/penjajah
asing.
Sultan Agung meninggal
tahun 1645 yang kemudian digantikan oleh putranya (Amangkurat I). Namun Amangkurat
I menghadapi pemberontakan di Soerabaja (Trunojoyo). Dalam situasi ini
Amangkurat I berkolaborasi dengan VOC/Belanda. Amangkurat I meninggal 1677 dan
digantikan anaknya (Amangkurat II). Kraton dipindahkan ke Cartasoera. Gambaran
Kota Gede ini seseorang telah melukisnya dengan baik yang disalin kembali tahun
1676 berdasarkan lukisan tahun 1664.
VOC: Jogjakarta vs Soerakarta, 1755
Kerajaan Mataram adalah
kerajaan besar. Gambaran ini telah dilukiskan ketika VOC/Belanda melakukan ekspedisi
pertama ke pedalaman Jawa hingga ke Mataram pada tahun 1695 dari benteng (fort)
Missier di Tagal (Tegal) di bawah pimpinan Jacob Couper. Pada saat itu baru
satu-satunya benteng VOC/Belanda di Jawa. Ekspedisi ke Jawa adalah ekspansi
setelah sukses Perang Gowa dibawah pimpinan Admiral Cornelis Speelman (1667).
Ekspedisi Jacob Couper ini di Jawa
dimulai dari Tagal hingga ke selatan lalu berbelok ke timur ke Mataram, lalu
menyusuri wilayah selatan dan naik lagi ke utara ke Soerabaja. Dari benteng
Missier juga dilakukan ekspedisi sisi wilayah dalam pantai utara hingga ke
Semarang dan terus ke Soerabaja. Peta 1700
Salah satu hasil
ekspedisi ini adalah peta area Kerajaan Mataram yang dibuat (disusun kembali) antara
tahun 1700 dan 1703 (lihat gambar). Peta ini menggambarkan lokasi-lokasi
strategis di lingkungan (area) kerajaan Mataram. Wujud peta ini dibuat dari
sisi pantai di selatan Jawa. Peta tersebut diberi judul Remvoy van de Pagger en
Campement op Marbongh. Peta ini adalah gambaran pusat Kerajaan Mataram
berlokasi di Kota Gede yang sekarang. Peta hasil ekspedisi 1695
Dalam perkembangannya, setelah ada
desakan dari internal kraton, Amangkurat III yang bertahta sejak 1703 mulai
menentang VOC/Belanda. Akibatnya, VOC/Belanda mengakui Pakuwono I. Dualisme
dalam Kerajaan tidak terhindarkan. Amangkurat III lalu memberontak (dan
diasingkan ke Ceylon). Pada era Pakuawana III Kerajaan Mataram akhirnya harus
dipisahkan menjadi dua: Ngajogjacarta (Soeltan) dan Soeracarta
(Soehoenan). Pemisahan ini dilakukan pada tanggal 13 Februari 1755 (perjanjian Giyanti).
Era Mataram berakhir. Kesultanan Jogjakarta kemudian membangun kraton baru di
tempat dimana kraton Jogjakarta yang sekarang.
Pangeran Diponegoro vs Pemerintah
Hindia Belanda, 1825
Setelah berakhirnya
VOC/Belanda dan digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda eskalasi politik
tidak berhenti, tetapi potensi perlawanan terhadap koloni/penjajah terus
tumbuh. Muncullah perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro yang
dikenal sebagai Perang Jawa. Perang ini baru berakhir pada tahun 1830. Perang
ini mengingatkan suatu perbandingan yang pernah dilancarkan oleh Sultan Agnng,
dua abad sebelumnya pada tahun 1628. Peta 1833
Para veteran Belanda lalu kemudian
dialihkan untuk ke Sumatra: Perang Bondjol (di Minangkabau yang berakhir 1837)
dan Perang Pertibi (di Tapanoeli yang berakhir 1838). Dengan berakhirnya Perang
Bondjol, Imam Bonjol menyerah dan diasingkan. Sementara dengan berakhirnya
Perang Pertibi, Tuanku Tambusai alias Haji Mohamad Saleh alias Hamonangan
Harahap diduga berhijrah ke Semenanjung. Pangeran Diponegoro menyerah dan
kemudian diasingkan.
Setelah berakhirnya
Perang Jawa (Perang Diponegoro) situasi dan kondisi di Jawa mulai kondusif bagi
Pemerintah Hindia Belanda untuk memulai era baru dalam pengembangan ekonomi di
Jawa, Namun wilayah Djogjakarta menjadi memiliki persoalan sendiri dan sedikit rumit.
Wilayah Djogjakarta sunyi sendiri, tengelam tidak berdaya.
Wilayah Djogjakarta dalam posisi
tidak menguntungkan. Pembangunan yang dimulai dari pantai-pantai utara, menyebabkan
Djogjakarta dan wilayah-wilayah pantai selatan seakan menjadi pintu belakang
dalam pembangunan. Faktor utama kelambatan pembangunan di wilayah Djogjakarta karena
wilayah yang jauh di pedalaman yang menyebabkan kesulitan akses dalam banyak
hal seperti pertumbuhan ekonomi (pasar internasional) dan perkembangan sosial (kesehatan
dan pendidikan). Soeracarta yang sedikit lebih intim dengan Pemerintah Hindia
Belanda dan wilayahnya lebih dekat ke pelabuhan di pantau utara Jawa menjadi lebih
baik dari wilayah Djogjakarta.
Wilayah Djogjakarta baru
mulai terbuka lebih lebar ketika pengembangan jalur kereta api telah mencapai
Djogjakarta pada awal tahun 1890an. Namun dalam banyak hal, Djogjakarta sudah
jauh tertinggal dibandingkan dengan kota-kota utama di Jawa (seperti Batavia,
Buitenzorg, Bandoeng, Semarang dan Soerabaja) dan bahkan di Sumatra (Padang,
Padang Sidempoean dan Medan). Djogjakarta ingin segera bangkit, tetapi tidak
mudah, dan tidak semudah pada era Mataram. Inilah titik nadir terendah wilayah
Mataram yang dahulu sangat digdaya.
Pusat-pusat pertumbuhan wilayah
terus berkembang. Kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan perkembangan
sosial ada yang cepat dan ada yang lambat. Kota-kota yang berkembang cepat
dinaikkan statusnya menjadi kota praja atau gemeente (Staatsblad tahun 1903
Nomor 329). Suatu kota yang berbentuk gemeente (kota praja) cenderung penataan
kota lebih terarah baik dalam hal planologi kota maupun pembangunan yang ada di
dalam kota. Gemente pertama di Hindia adalah Batavia (1903), kemudian disusul
Buitenzorg, Chirebon dan Soerabaja (1905). Pada tahun 1906 secara bersamaan
pembentukan beberapa gemeente: Makassar, Bandoeng, Samarang, Tegal, Pekalongan,
Magelang dan Palembang (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
03-03-1906). Kota Medan dibentuk pada tahun 1909,
Kota Jogjakarta dalam hal ini tidak
pernah naik kelas menjadi berstatus gemeente. Ukuran ini mengindikasikan bahwa
Kota Djogjakarta memiliki masalah tersendiri. Di era modern, Kota Djogjakarta
menjadi terbelakang, padahal di era lampau, ketika Semarang dan Soerabaja masih
suatu kampong, Jogjakarta adalah sebuah kota yang mungkin dapat disejajarkan
dengan kota Somba Opoe (Makassar kuno) dan kota Ambon. Kota Jogjakarta dalam
posisi dilematis: ibarat suatu putaran kota, ke dalam memiliki gaya sentripugal
yang kuat (kraton) dan ke luar memiliki gaya sentripetal yang lemah (orang
Eropa/Belanda).
Boedi Oetomo, 1908 dan Partai
Indonesia Raja, 1935
Wujud sebuah kota modern
tercermin dalam tingkat kosmopolitan para warga kota. Orang-orang terpelajar
mulai memiliki kesadaran bahwa ada perbedaan yang besar antara golong
Eropa/Belanda dan golongan Tionghoa di satu pihak dengan golongan pribumi di
pihak lain. Para pemuda yang bersekolah di perguruan tinggi juga mulai
merasakan persoalan tersebut. Para mahasiswa asal Jawa membentuk organisasi
kebangsaan di Batavia yang disebut Boedi Oetomo.
Organisasi kebangsaan pertama
didirikan di Kota Padang tahun 1900. Pendirinya adalah seorang mantan guru, Saleh
Harahap gelar Dja Endar Moeda, alumni sekolah guru (kweekschool) di Padang
Sidempoean tahun 1884. Organisasi kebangsaan ini disebut Medan Perdamaian. Dja
Endar Moeda sangat peduli pendidikan (kaum) pribumi. Setelah pulang haji dari
Mekkah, Dja Endar Moeda hijrah ke Padang dan mendirikan sekolah swasta pada
tahun 1895. Pada tahun 1900 Dja Endar Moeda mengakuisisi surat kabar berbahasa
Melayu milik investor Eropa, Pertja Barat beserta percetakannya. Pada tahun
yang sama Dja Endar Moeda menmabah satu lagi surat kabar berbahasa Melayu,
Tapian Na Oeli dan sebuah majalah pembangunan yang diberi nama Insulinde. Saat
inilah Dja Endar Moeda mempersatukan orang terpelajar di Padang dari golongan
pribumi untuk bersatu dan membentuk kesatuan dalam organisasi sosial kebangsaan
Medan Perdamaian. Dja Endar Moeda yang masih menjadi direktur Medan Perdamaian
tahun 1902 mengalokasikan dana organisasi untuk membantu peningkatan pendidikan
di Semaramg sebesar f14.000. Organisasi kebangsaan Medan Perdamaian berhaluan
nasional, seperti halnya surat kabarnya Pertja Barat dengan motto: “Oentoek
Sagala Bangsa’. Surat kabar Pertja Barat dan surat kabar Tapian Na Oeli adalah
organ Medan Perdamaian. Pada tahun 1907 di Medan dibentuk organisasi kebangsaan
yang disebut Sjarikat Tapanoeli. Organisasi ini dibentuk oleh orang-orang
Mandailing en Angkola (Padang Sidempoean) untuk mengimbangi dominasi ekonomi
(perdagangan) orang-orang Tionghoa di Sumatra Timur khususnya di kota Medan.
Sjarikat Tapanoeli membentuk organ dengan mendirikan surat kabar Pewarta Deli
tahun 1909 dengan motto ‘Oentoek Sagala Bangsa’ (beberapa bulan sebelum status
Medan ditingkatkan menjadi gemeente).
Organisasi kebangsaan
Boedi Oetomo digagas oleh Soetomo dan kawan-kawan yang kemudian diresmikan pada
bulan Mei 1908. Sejauh ini visi misi Boedi Oetomo yang berbasis di Batavia masih
bersifat nasional (seperti halnya Medan Perdamaian di Padang dan Sjarikat
Tapanoeli di Medan). Namun persoalan muncul ketika jelang kongres pertama Boedi
Oetomo yang akan diadakan di Djogjakarta pada tanggal 3-5 Oktober 1908, haluan
organisasi kebangsaan Boedi Oetomo bergeser dari visi nasional menjadi visi
kedaerahan. Dalam kongres, visi dan misi kedaerahan ini benar-benar disyahkan. Soetomo
tak berdaya menghadapi golongan seniornya. Organisasi kebangsaan Boedi Oetomo
di dalam statuta-nya hanya terbatas di Jawa dan Madura.
Seorang mahasiswa di Belanda,
Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan meradang. Ada perbedaan yang besar
visi misi Medan Perdamaian dan Sjarikat Tapanoeli di satu pihak yang nasional
dengan Boedi Oetomo di pihak lain yang kedaerahan. Soetan Casajangan lalu
mengumpulkan semua mahasiswa asal Hindia (baca: Indonesia) di rumahnya di
Leiden untuk membentuk organisasi mahasiswa yang bersifat nasional. Organisasi
mahasiswa ini disahkan pada tanggal 25 Oktober 1908 dengan nama Indisch
Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Secara aklamasi diangkat Soetan Cassjangan
sebagai presiden dan sekretarisnya Raden Soemitro. Soetan Casajangan adalah
mantan guru yang melanjutkan studi (kuliah) ke Belanda tahun 1905. Soetan
Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang Sidempoean. Kelak,
Indische Vereeniging diubah namanya pada tahun 1926 dengan Perhimpunan
Indonesia.
Ketidak berdayaan
Soetomo dan kawan-kawan karena semakin mendominasinya golongan senior yang ikut
bergabung dalam Boedi Oetomo terutama dalam kalangan pangeran dan para bupati. Pada
hari terakhir kongres Boedi Oetomo yang diadakan di Djogjakarta menetapkan
kantor pusat di Djogjakarta. Hal ini karena ketua terpilih pada kongres itu
berdomisili di Djogjakarta. Soetomo dan kawan-kawan di Batavia gigit jari,
karena Batavia dalam struktur baru Batavia hanya diposisikan sebagai cabang
Boedi Oetomo (yang berkantor pusat di Djogjakarta). Dalam struktur kepengurusan
pusat tidak terdapat golongan mahasiswa/pemuda. Boedi Oetomo yang digagas oleh
orang muda (mahasiswa Stovia) telah dikooptasi oleh golong senior (para
pejabat). Perubahan visi misi Boedi Oetomo ini didukung Pemerintah Hindia
Belanda (yang sangat takut dengan organisasi haluan nasional). Sejak inilah
Djogjakarta mengalami percepatan dalam pembangunan (infrastruktur, kesehatan
dan pendidikan). Dr. Soetomo, mulai melihat ada persoalan besar. Hukum
kelembaman nasib berlaku: jumlah gaya.energi itu sama, jika ditekan ke satu
sisi maka akan membengkak (di Jawa dan Madura) tetapi di sisi lain akan kempes
(di Deli).
Soetomo sudah sejak lama berada di
luar Boedi Oetomo. Soetomo, sang pendiri Boedi Oetomo tidak menyangka semuanya
berubah, apa yang dipikirkannya tidak sejalan dengan kanyataannya. Boedi Oetomo
larut dengan dirinya sendiri (terbatas di Jawa dan Madura). Setelah lulus
kuliah di Stovia, kemudian Dr. Soetomo ditempatkan di Tandjong Morawa, Deli.
Dr. Soetomo sangat prihatin melihat penderitaan kuli perkebunan asal Jawa dalam
praktek poenalie sanctie. Dr. Soetomo sempat berusaha mengadvokasi tetapi tidak
ada efeknya. Para planter sangat digdaya. Setelah tiga tahun di Deli, Dr.
Soetomo kembali ke Jawa pada tahun 1914. Dr. Soetomo sangat galau. Boedi Oetomo
sangat digdaya di Jawa tetapi para kuli asal Jawa di Deli tidak tersentuh,
hidup dalam kemiskinan dan penderitaan serta selalu dihantui sanksi..
Di Batavia Dr. Soetomo
bertemu pengurus Boedi Oetomo cabang Batavia, Sardjito (mahasiswa STOVIA).
Keduanya sepakat mengadakan rapat umum para anggota Boedi Oetomo. Dalam rapat
massa tersebut Dr. Soetomo berpidato berapi-api. Satu hal yang penting
dikatakan Dr. Soetomo adalah sebagai berikut: ‘Kita (Boedi Oetomo) tidak bisa
hidup sendiri, saya baru pulang dari Deli. Banyak orang-orang Tapanoeli yang
terpelajar. Kita tidak bisa memperjuangkan sendiri bagaimana nasib para kuli
asal Jawa di Deli. Kita membutuhkan orang lain, tidak hanya orang Tapanoeli’.
Mungkin pidato Dr. Soetomo ini di dengar Soetan Casajangan yang baru saja pulang
ke tanah air setelah lama di Belanda. Soetan Casajangan telah menjadi sarjana pendidikan
dan Indisch Vereeniging masih eksis.
Setelah beberapa kali Dr. Soetomo
dipindahkan sebagai dokter pemerintah termasuk ke Palembang, Dr. Soetomo
berangkat studi ke Belanda untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran. Tentu
saja Dr. Soetomo bergabung dengan Indisch Vereeniging. Pada tahun 1921 Dr.
Soetomo menjadi ketua Indisch Vereeniging. Atas saran temannya mahasiswa asal
Sumatra, Dr. Soetomo mengubah nama Indisch Vereeniging menjadi Indonesia
Vereeniging. Kelak pada tahun 1926 Mohamad Hatta yang menjadi ketua mengubahnya
lebih total menjadi Perhimpoenan Indonesia.
Dr. Soetomo setelah berhasil
mendapat gelar sarjana kedokteran, sebagaimana Soetan Casajangan kembali ke
tanah air. Dr. Soetomo di Soerabaja pada tahun 1924 mendirikan klub studi
dengan nama Indonesia Studie Club, suatu klub (orang-orang terpelajar) yang
menerjemahkan situasi dan kondisi sosial penduduk pribumi dan membuat
program-program. Dr. Soetomo tidak mudah, ternyata masih ada resistensi dari
golongan terpelajar. Dr. Soetomo berharap golongan terpelajar dari Boedi Oetomo
ikut bergabung. Namun gayung tidak bersambut. Klub studi Soerabaja
perkembangannya menjadi lambat.
Di Bandoeng, segera
Soekarno lulus di THS menggagas klub studi seperti yang telah didirikan Dr.
Soetomo di Soerabaja yang diberi nama Algemeen Studie Club. Klub studi Bandoeng
yang didirikan 1926 mendapat respon dari berbagai pihak dan berkembang sangat
cepat. Pada awal 1927 klub studi ini menjadi organisasi kebangsaan yang disebut
Perhimpoenan Nasional Indonesia (PNI). Pada bulan September, Parada Harahap,
pemilik surat kabar Bintang Timoer dan juga sekretaris Sumatranen Bond
mengundang para pemimpin organisasi kebangsaan. Pertemuan ini diadakan di rumah
Mr. Husein Djajadiningrat. Sejumlah organisasi hadir antara lain Sumatranen
Bond (Parada Harahap sendiri), Kaoem Betawi (MH Thmarin yang juga anggota
Volksraad), Pasoendan, Islamiten Bond, PNI (Ir. Soekarno) dan Boedi Oetomo
(direpresentasikan oleh Dr. Soetomo). Dalam rapat ini juga turut hadir Abdul
Firman gelar Mangaradja Soeangkoepon (anggota Volksraad) dan Soetan Casajangan
(direktur Normaal School di Meester Cornelis). Para anggota rapat sepakat
membentuk supra organisasi kebangsaan yang disebut Permoefakatan
Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia yang disingkat PPPKI. MH Thamrin
didaulat sebagai ketua dan sebagai sekretaris Parada Harahap (penggagas). Hasil
rapat juga menetapkan pembangunan kantor (di Gang Kenari) dan juga
mengagendakan kongres PPPKI akan diadakan pada bulan Oktober 1928. Dalam hal
ini Soetan Casajangan, Husein Djajadiningrat, Mangaradja Soeangkoepon dan Dr.
Soetomo adalah mantan-mantan pengurus Indisch Vereeniging.
Pada awal tahun 1928,
Ir. Soekarno dan kawan-kawan di Bandoeng mengubaj Perhimpoenan Nasional
Indonesa menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan ketua Ir. Anwari (teman
sekelas Ir, Soekarno di THS Bandoeng). Dalam satu kesempatan Ir. Soekarno
mengatakan agar Boedi Oetomo ikut bergabung dan mengusung visi misi nasional.
Ternyata himbauan sekaliber Ir. Soekarno ini kurang mendapat respon dari
kalangan Boedi Oetomo. Sebelumnya Dr. Soetomo sudah pernah menghimbau tetapi
tidak digubris. Ketika hampir semua organisasi-organiasi kebangsaan sudah
mengusung visi misi nasional, tetapi Boedi Oetomo tetap kukuh dengan visi misi
kedaerahan (terbatas Jawa dab Madura).
Parada Harahap sangat respek kepada
Dr. Soetomo, demikian sebaliknya, Dr. Soetomo sangat respek kepada Parada
Harahap. Parada Harahap ketika masih di Medan membongkar kasus poenalie sactie
yang diterbitkan pada surat kabar Benih Mardeka tahun 1918 (empat tahun setelah
Dr. Soetomo dipindahkan dari Deli ke Jawa). Artikel-artikel ini dimuat surat
kabar Soeara Djawa dan kemudian menjadi heboh di Jawa. Pada tahun 1919 Parada
Harahap pulang kampung di Padang Sidempoean dan mendirikan surat kabar Sinar
Merdeka. Ketika kongres Sumatranen Bond diadakan di Padang pada tahun 1919
Parada Harahap mewakili pemuda Tapanoeli. Di kongres inilah Parada Harahap
mengenal dan akrab dengan Mohamad Hatta yang ikut berkongres (masih duduk di
sekolah MULO). Parada Harahap terkena beberapa kali delik pers dan beberapa
kali di penjara, dan ketika Sinar Merdeka dibreidel lalu Parada Harahap hijrah
ke Batavia tahun 1922. Pada tahun 1923 Parada Harahap mendirikan surat kabar Bintang
Hindia bersama Dr. Abdul Riavai (eks pengurus Indisch Vereeniging). Pada tahun
1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita Alpena dengan merekrut WR
Supratman sebagai editor. Setahun kemudian Parada Harahap mendirikan surat
kabar yang lebih radikal Bintang Timoer. Oplahnya terus naik sehingga yang
terbesar di Batavia. Ir. Soekarno kerap mengirim tulisan ke Bintang Timoer. Dari
sinilah Parada Harahap saling kenal dengan Ir. Soekarno. Pada tahun 1927 Parada
Harahap bersama MH Thamrin mendirikan organisasi pengusaha pribumi (semacam
KADIN) di Batavia dengan ketua Parada Harahap. Lalu kemudian Parada Harahap
menggagas didirikannnya PPPKI (mengikuti seniornya Dja Endar Moeda dan Soetan
Casajangan).
Pada tahun 1928 diadakan
di Batavia dua kongres Indonesia. Pertama Kongres PPPKI (senior) yang diadakan
pada tanggal 29 September. Ketua panitia kongres ditunjuk Dr. Soetomo (yang
telah menjadi sohib Parada Harahap). Kedua, pada tanggal 28 Oktober diadakan
kongres Pemuda (junior). Panitia kongres Pemuda dibentuk. Dr. Soetomo
mengusulkan Soegondo (ketua Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia, PPPI).
Parada Harahap menempatkan dua mahasiswa Rechthoogeschool yakni sebagai
sekretaris Mohamad Jamin (Jong Sumatranen Bond) dan sebagai bendahara Amir
Sjarifoeddin Harahap (Jong Batak). Kedua kongres ini disponsori oleh KADIN
Batavia yang diketuai oleh Parada Harahap. Untuk menyebarluaskan gaung dua
kongres ini Parada Harahap menerbitkan Bintang Timoer edisi Semarang (untuk
Midden Java) dan edisi Soerabaja (Oost Java).
Dalam kongres PPPKI menyesalkan
ketidakhadiran dari Minahasa dan Ambon. Pada kongres PPPKI ini Ir. Soekarno
berpidato. Mohamad Hatta diundang untuk berbicara tetapi tidak bisa hadir
karena kesibukan kuliah di Belanda tetapi mengirim utusa Ali Sastroamidjojo.
Dalam kongres PPPKI diputuskan ketua yang baru Dr. Soetomo. Sementara pada
kongres pemuda dihasilkan keputusan yang berisi janji: Satu Nusa, Satu Bangsa
dan Satu Bahasa, Indonesia. Dalam kongres pemuda ini sohib Parada Harahap yakni
WR Supratman (editor kantor berita Alpena) memperdengarkan lagu Indonesia Raja.
Kongres PPPKI tahun 1929
diadakan di Solo. Lokasi ini dipilih karena Boedi Oetomo akan berkongres di
Solo (taktik ini diharapkan agar peserta kongres Boedi Oetomo juga ikut
bergabung). Selepas kongres PPPKI di Solo polisi Belanda menangkap Ir. Soekarno
dan kawan-kawan dari PNI (lalu dipenjara di Bandoeng).
Pada tahun 1930 Dr. Soetomo dan
sohibnya Dr. Radjamin Nasution mendirikan partai di Soerabaja yang diberi nama
Persatoean Bangsa Indonesia (PBI). Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution adalah
teman kelas sewaktu di STOVIA. Dr. Soetomo menjabat kepala rumahsakit Soerabaja
sementara Dr. Radjamin kepala divisi kesehatan Kantor Bea dan Cukai Soerabaja.
Dr. Radjamin Nasution juga adalah sekretaris organisasi pekerja pelabuhan
Tandjong Perak. Organ partai PBI dibentuk dengan mendirikan surat kabar Soeara
Oemoem (yang tidak lain adalah surat kabar Bintang Timoer edisi Soerabaja). Pada
tahun 1931 Dr. Radjamin Nasution terpilih sebagai anggota dewan (gemeenteraad)
Soerabaja. Kelak, Dr. Radjamin Nasution menjadi wali kota pribumi pertama Kota
Soerabaja.
Semakin panasnya suhu
politik yang terkait dengan sidang-sidang Ir. Soekarno dan kawan-kawan yang
dirumorkan akan diasingkan ke Diegoel. Media pribumi semakin menyuarakan
kebangsaan. Pada tahun 1933 semua media pribumi dibreidel termasuk Bintang Timoer,
Fikiran Rakjat di Bandoeng (yang didirikan Ir. Soekarno) dan Soeara Oemoem
(yang dipimpin oleh Dr/ Soetomo).
Melihat situasi dan kondisi yang
mana polisi/Belanda yang menghacurkan perjuangan Indonesia, Parad Harahap geram
dan memimpin tujuh revolusioner untuk berangkat ke Jepang pada tanggal 4
November 1933 dengan kapal Panama Maru. Di Jepang rombongan ini diterima sangat
antusias, sementara pers Belanda meradang. Diantaranya rombongan ini, selain
Parada Harahap juga termasuk Abdullah Lubis (pemimpin Pewarta Deli di Medan),
Mr. Samsi Widagda, Ph.D (guru di Bandoeng) dan Drs. Mohamad Hatta (yang baru
selesai studi di Belanda). Rombongan ini selama dua bulan di Jepang termasuk
perjalanan. Media Jepang menyebut Parada Harahap sebagai The King of Java
Press. Rombongan kembali ke tanah air dan turun di Soerabaja sambil melihat
situasi di Batavia. Hal ini juga karena faktor seperti Dr. Soetomo dan Dr.
Radjamin Nasution di Soerabaja dan kapal-kapal Jepang berpusat di Tandjong
Perak (dimana Dr. Radjamin Nasution adalah pengurus sarikat pekerja pelabuhan).
Pada saat rombongan turun dari kapal pada tanggal 13 Januari 1934, pada saat
yang sama Ir. Soekarno diberangkatkan dari pelabuhan Tandjong Priok ke
pengasingan di Flores. Di Batavia Parada Harahap dan Mohamad Hatta ditangkap
dan diajuan ke pengadilan. Oleh karena ada kesaksian atase Jepang di Batavia
dan memberikan jaminan keduanya dibebaskan.
Pada tahun 1935 Dr.
Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution di Partai PBI Soerabaja mulai menawarkan
kepada Boedi Oetomo untuk dilakukan merger. Reaksi pengurus Boedi Oetomo mulai
positif. Akhirnya Boedi Oetomo bersedia merger dan nama partai PBI dan Boedi
Oetomo dihilangkan dan dibentuk dengan nama baru Partai Indonesia Raja (yang
disingkat Parindra). Ke dalam partai ini juga termasuk MH Thamrin. Tamat sudah
Boedi Oetomo setelah berlangsung selama 27 tahun (sejak 1908). Dalam
praktisnya, Boedi Oetomo didirikan oleh Soetomo dan Dr. Soetomo pula yang
menutup Boedi Oetomo.
Itulah Dr. Soetomo yang dulu pernah
bertugas di Deli. Dr. Soetomo setelah semuanya menjadi Indonesia, pada tahun
1938 dikabarkan meninggal dunia di Soerabaja. Dr. Radjamin Nasution yang
berpidato mewakili keluarga saat jenazah Dr. Soetomo diantarkan ke pemakaman.
Dalam pemakaman ini turut dihadiri Parada Harahap dan MH Thamrin dari Batavia.
Mengapa begitu lama?
Itulah dilemanya. Boedi Oetomo yang digagas oleh mahasiswa yang awalnya bervisi
nasional, pada kongres pertama Oktober 1908 di Djogjakarta terkooptasi oleh
senior menjadi organisasi kebangsaan bervisi kedaerahan. Kepengurusan Boedi
Oetomo )kantor pusat) yang pertama di Djogjakarta. Kantor pusat hanya di sela
dua kali ketika kantor pusat berada di Solo dan Semarang. Pada saat penutupan
Boedi Oeotmo sebelum merger dengan PBI dan membentuk Parindra kantor pusat di
Jogjakarta. Satu hal dengan Boedi Oetomo, Kota Jogjakarta dapat mengejar
ketertinggalannya dari kota-kota lain. Setiap pembangunan kota ada ongkosnya,
juga setiap perjuangan kebangsaan juga ada ongkosnya.
Perubahan Boedi Oetomo dari
organisasi kedaerahan ke visi nasional (Parindra) sejatinya dilakukan namun
sangat perlahan-lahan. Oleh karena Ir. Soekarno berada di pnejara dan di
pengasingan, Dr. Soetomo adalah orang yang terus tanpa henti berjuang untuk
mengembalikan visi Boedi Oetomo ke awal (nasional). Untuk itu, Dr. Soetomo terus
mendukung adik-adiknya Mr. Soepomo, Ph,D dan Dr. Sardjito, Ph.D. Setelah pulang
studi meraih gelar Ph.D di bidang hukum dari Belanda Mr. Soepomo ditempatkan
sebagai Ketua Landraad di Djogjakarta. Mr.
Soepomo, Ph.D yang lahir di Solo menikah dengan seorang putri pangeran di
Djogjakarta. Sejak itu Mr. Soepomo menjadi pengurus pusat Boedi Oetomo. Mr.
Soepomo secara pelan-pelan mereformasi Boedi Oetomo dari dalam. Upaya Mr.
Soepomo ini juga didukung oleh Dr. Sardjito, mantan ketua Boedi Oetomo cabang
Batavia setelah pulang studi meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran.
Dua tokoh cerdas ini sangat besar perannya dalam mereformasi Boedi Oetomo
menjadi organisasi visi nasional. Kelak, Dr. Sardjito, Ph.D adalah rektor UGM
pertama dan Mr. Soepomo, Ph.D adalah rektur UI yang kedua.
Ibukota RI, 1946 dan Agresi Militer
Belanda Kedua, 1948
Lihat dalam blog ini: Sejarah Jakarta
(34): Perpindahan Ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta, 1946 Tidak Seperti
Diceritakan; Ini Fakta Sebenarnya
Serangan Umum 1 Maret 1949
Serangan umum yang dilakukan
hari Selasa tanggal 1 Maret 1949 bukanlah sesuatu yang serius. Surat kabar Het
dagblad yang terbit di Djakarta.Batavia melaporkan tujuh tentara Belanda tewas
dan 14 orang terluka. Komandan garnisun (Jogjakarta) Kolonel D van Langen,
mengatakan kepada koresponden Aneta bahwa pasukannya bertanggung jawab atas
situasi tersebut. Berita dari Jogjkarta ini bukan berita besar, justru berita
besarnya adalah Soekarno dan Mohamad Hatta yang berada di pengasingan dan
usulan konferensi meja bundar di Den Haag.
Pada hari Rabu pagi situasi di Jogja
kembali normal. Tidak ada indikasi penambahan pasukan di Jogjakarta. Untuk
menangani keamanan pasca serangan tetap hanya dipercayakan cukup kepada seorang
komandan garnisun di Djogja (Kolonel Langen). Jenderal Spoor terbang ke Djogja
setelah penyerangan untuk melihat situasi. Pada hari Rabu ini juga Spoor
berangkat dari Djogja dengan mobil ke Batavia via Semarang. Dalam kunjungan
Spoor ini beberapa pejabat sipil dan militer ikut mengunjungi Jogja. Mereka ini
juga mengunjungi ke kediaman Sultan Yogyakarta, yang adalah Menteri Negara
(minister voor Buitengewone Zaken) pada kabinet terakhir Repoeblik. Lebih
lanjut disebutkan kediaman Sultan, yang disebut Kraton, berada di daerah netral
aksi militer terakhir, dimana di tempat itu tidak ada pasukan Belanda yang
ditempatkan. Sejauh ini tidak ada kontak resmi antara Pemerintah Belanda dan
Sultan.
Yang menjadi terpenting
dalam serangan di Jogjakarta yang dapat dikatakan sebagai hal besar adalah ada
indikasi yang kuat serangan juga berasal dari selatan kota dari seputar
lingkungan kraton. Surat kabar Het nieuws: algemeen dagblad, 04-03-1949
mengutip berita kantor berita Aneta melaporkan bahwa ‘pada hari serangan
(Selasa) seorang sersan Belanda telah memberikan tanda dengan membunyikan
sirene untuk awal serangan gerilya yang dilakukan di Jogja sehingga terdengar
di sini (kantor Aneta?). Pada bunyi sirene yang pertama, serangan gerilyawan
dimulai dari beberapa titik. Para penyerang juga datang dari (arah) kediaman
Sultan. Sejauh ini kediaman itu tidak ditempati oleh pasukan Belanda. Tempat
tinggal Sultan berada di sebuah desa dimana beberapa ribu orang tinggal di
sekitar, yang semuanya terkait dengan layanan Sultan.
Berita serangan di Jogja tidak lama
kemudian sepi sendiri. Seperti sebelumnya, terkait Jogja berita politik lebih
terasa gaungnya. Soekarno yang berada di pengasingan terus digoda untuk berunding
di dalam konferensi meja bundar. Namun Soekarno tetap kukuh dengan
pendiriannya. Soekarno menginginkan (kembali ke) Jogja. Het nieuws : algemeen
dagblad, 07-03-1949: Repoebiikeinen secara resmi menolak undangan Belanda untuk
berpartisipasi dalam Konferensi Meja Bundar. Sukarno berpendapat bahwa dia
tidak dapat memberikan keputusan resmi selama dia belum dipulihkan di Jogja.
Jelas dalam hal ini
serangan di Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949 bukanlah masuk berita dunia. Yang
justru berita dunia yang dilansir oleh surat kabar di Eropa adalah keinginan
Soekarno kembali ke Jogja daripada sekadar menghadirkannya di meja perundingan yang
diwacanakan dalam konferensi meja bundar. Statement Soekarno ini adalah suatu
perjuangan herois di mata internasional. Soekarno ingin Jogja, Soekarno tidak
ada tawar menawar dengan RI yang beribukota di Djogjakarta.
Dalam serangan umum yang dilakukan 1
Maret 1949 yang berasal dari selatan mengindikasikan bahwa serangan itu
dipimpin oleh Sultan, paling tidak Sultan mengizinkan pegawainya untuk ikut
berpartisipasi dalam serangan umum. Sultan yang tengah berada di dalam
pengawasan setelah pendudukan Jogjakarta oleh militer Belanda (agresi militer
Belanda kedua) secara sukarela memimpin serangan atau paling tidak mengizinkan
wilayah selatan kota sebagai bagian dari serangan bukanlah hal sepele. Sebaliknya, justru dalam posisi Sultan seperti ini, serangan
umum di Jogjakarta dapat dianggap sebagai sesuatu yang besar. Dalam hal ini
kraton/Sultan masih Republiken (setia RI). Dengan kata lain, ketika kerajaan/kesultanan lain di berbagai telah berkiblat ke Belanda, Kesultanan Jogjakarta masih setia kepada RI. .
Republik Indonesia
adalah sebuah perjuangan panjang. Itu mulai mengkristal pada tahun 1927 dengan
dibentuknya PPPKI. Sejak itu gerakan Indonesia Merdeka semakin bergema. Para
pemuda juga mengambil bagian dengan menghasilkan satu keputusan hasil kongres
pemuda tahun 1928: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa, Indonesia.
Embrio ini dimulai
dengan kegelisan Dr. Soetomo yang melihat orang Jawa (Boedi Oetomo) tidak bisa
sendiri sepulang berdinas dari Deli 1914. Kegelisahan Dr. Soetomo tersebut
ditindaklanjuti Parada Harahap dengan membongkar kekejaman para planter
terhadap kuli, terutama kuli asal Jawa dengan melakukan investigasi langsung.
Hasil investigasi itu dimuat pada surat kabar Benih Merdeka yang terbit di
Medan pada tahun 1918. Surat kabar Soeara Djawa melansirnya dan kemudian
menjadi heboh di Jawa. Dr. Soetomo yang tengah berdinas di Palembang sumringah
mendengar berita itu. Parada Harahap terus berjuang, ketika Benih Merdeka
dibreidel, pulang kampung di Padang Sidempoean dan mendirikan surat kabar Sinar
Merdeka tahun 1919. Semangat Benih Merdeka (benih yang ditanam) naik kelas menjadi
semangat Sinar Merdeka (sudah tumbuh).
Pada tanggal 17 Agustus
1945 Indonesia benar-benar merdeka. Namun kemerdekaan tidak lama kemudian
diganggu lagi oleh Belanda/NICA yang menyusul Inggris/Sekutu dalam tugas
melucuti militer Jepang dan membebaskan interniran Eropa/Belanda yang ditahan
selama pendudukan Jepang. Untuk mempertahankan kemerdekaan, para Republiken
(orang setia Republik Indonesia) habis-habisan berperang melawan Belanda/NICA.
Era ini disebut Perang Kemerdekaan.
Pada tanggal 19 Desember 1948
mnyusul Agresi Militer Belanda kedua Perang Kemerdekaan menjadi anti klimaks.
Hal ini terjadi setelah para pemimpin Republik Indonesia di ibukota Jogjakarta
ditangkap. Pemerintah RI tidak vakum sebab muncul Pemerintah Darurat RI di
pengungsian. Para TNI dan penduduk setia RI disejumlah tempat melakukan
gerilya. Serangan umum 1 Maret 1949 di Jogjakarta adalah satu bukti para setia
RI masih eksis. Namun sangat ironis, para penghianat RI di sejumlah tempat
membentuk negara bersama Belanda/NICA (negara boneka). Mereka ini turut menekan
para Republiken. Kantong-kantong Republiken hanya tinggal sedikit terutama di
wilayah Jawa Tengah/Djogjakarta dan wilayah Tapanoeli.
Para Republiken mulai
lelah dan para pemimpin mereka berada di pengasingan dan pengungsian. Kelelahan
itu lebih pada psikologis karena sebagian pemimpin lokal di Indonesia telah
berada dalam pelukan Belanda. Tentu saja banyak dari mereka ini menyerahkan
diri kepada Belanda. Oleh karena adanya tawaran gencatan senjata, maka mau tak
mau harus diterima yang kemudian dilanjutkan ke meja perundingan (Konferensi
Meja Bundar di Den Haag).
Dalam persiapan menuju ke perundingan
ini Mohamad Hatta dikembalikan ke Jogjakarta dan pada tanggal 4 Agustus 1949
membentuk kabinet baru. Sementara Ir. Soekarno masih tetap ‘ditahan’ di Parapat
(Sumatra Utara). Kabinet baru ini dipimpin Perdana Menteri Mohamad Hatta dengan
Wakil Perdana Menteri Sjafroeddin Prawiranegara (mantan Ketua PDRI).
Hamengkoeboewono IX diposisikan sebagai menteri negara bidang pertahanan (yang
menjabat sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Hatta sebelum Agresi Militer
Belanda kedua). Nun, disana di Residentie Tapanoeli, Abdul Hakim Harahap masih memimpin
penduduk Tapanoeli sebagai Residen di pengungsian.
Konferensi ini diikuti
oleh empat pihak: Republik Indonesia, BFO, Belanda dan PBB. Delegasi Republik
Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Mohamad Hatta dengan anggota Mr. Mohamad
Roem, Prof. Dr. Soepomo, Dr.J Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo, Mr. Soejono Hadinoto,
Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo. Kolonel TB
Simatupang dan Mr. Muwardi. Sementara BFO yang merupakan gabungan negara-negara
boneka binaan Belanda dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak. Sedangkan Belanda dan PBB masing-masing dipimpin
oleh Mr. Van Marseveen dan Crittchlay.
Beberapa penasehat disertakan dalam
delegasi RI, salah satu diantaranya Abdul Hakim Harahap (Residen Tapanoeli).
Keutamaan Abdul Hakim Harahap karena menguasai tiga bahasa (Belanda, Inggris dan
Prancis). Abdul Hakim Harahap berpengalaman dalam birokasi di era kolonial
Belanda. Jabatan terakhir Abdul Hakim Harahap sebelum pendudukan Jepang adalah
kepala kantor ekonomi di Indonesia Timur yang berkedudukan di Makassar.
Konferensi KMB berakhir pada
tanggal 2 November 1949. Isi perjanjian konferensi pada intinya Kerajaan Belanda menjerahkan
kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).
Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949.
Hasil KMB menyebabkan Republik
Indonesia dikerdilkan dan terbentuk negara yang disebut RIS (Republik Indonesia
Serikat). Republik Indonesia yang hanya terdiri dari beberapa wilayah (terutama
Jogjakarta dan Tapanoeli) diposisikan sebagai negara bagian yang setara dengan
negara-negara (federal) bentukan Belanda seperti Negara Sumatra Timur, Negara
Pasoendan, Negara Jawa Timur dan sebagainya.
Hasil KMB ini (Mohamad Hatta) dapat
diperbandingkan dengan hasil-hasil konferensi sebelumnya Perjanjian Linggarjati
(Soetan Sjahrir) dan Perjanjian Renville (Amir Sjarifoeddin Harahap). Hasil KMB
atau Perjanjian KMB sungguh sangat miris. Republik Indonesia tidak hanya
melawan Belanda tetapi juga melawan sebagian bangsa sendiri yang telah
menyeberang ke Belanda. Dalam hal ini Wilayah Jogjakarta tetap setia Republik
Indonesia, demikian juga Tapanoeli tetap setia Republik Indonesia. Penduduk
kedua wilayah ini secara sosial tidak mengakuai wilayah-wilayah lain yang yang
telah membentuk negara-negara sendiri dan bergandengan tangan dengan Belanda
(negara boneka Belanda).
Dalam situasi kelelahan
para pemimpin Republik Indonesia juga harus mau tak mau menerima pengakuan
kedaulatan RI dalam bentuk RIS. Jika tidak begitu Belanda tidak akan memberikan
kedaulatan. Game Theory juga berlaku. Belanda mengetahuai para Republiken akan
mengambil solusi itu, tetapi para Pemimpin Republik Indonesia juga mengetahui
Belanda akan memberikannya. Namun tidak semua pemimpin Republik Indonesia
setuju dengan itu. Apakah para pemimpin RI terbelah? Tidak, hanya saja:
sebagian pemimpin 50 persen RI dan sebagian yang lain tetap 100 persen RI.
Lantas bagaimana dengan pemimpin negara-negara bagian? Mereka nol persen RI,
karena nyata-nyata telah membentuk negara sendiri (bukan negara RI).
Para pemimpin RI melihat yang tidak
dilihat Belanda. Meski wilayah RI hanya tinggal sedikit, tetapi wilayah RI
sangat kompak dan kuat. Sementara negara-negara bagian yang dibentuk Belanda
satu sama lain selain secara geografis berjauhan, secara psikologis dan secara
sosial sangat longgar (hanya terikat ke Belanda dan memiliki kepentingan
masing-masing). Dalam situasi dan kondisi ini para pemimpin RI mengambil posisi
sebagai ketua RIS. Oleh karena Mohamad Hatta adalah ketua delegasi RI ke Den
Haag, maka yang menjadi Perdana Menteri RIS adalah Mohamad Hatta. Lalu Mohamad Hatta
menyusun kabinet yang mana posisi strategis sebagai berikut: Menteri Luar
Negeri (Mohamad Hatta/RI); Menteri Dalam Negeri (Ide Anak Agung Gde Agung
(Indonesia Timur); Menteri Pertahanan (Hamengkubuwono IX/RI); Menteri Kehakiman
(Soepomo/RI).
Dalam komposisi strategis ini RI
dalam posisi unggul (yang dapat memainkan peran penting menjalankan bentuk
negara baru RIS dan dapat mengubah bentuk negara kembali ke RI/negara kesatuan
RI). Dalam struktur kabinet RIS sepintas tampak adalah susunan kabinet RI di
Jogjakarta (sebelum Agresi Militer Belanda kedua 1948 dan sebelum para pemimpin
RI ditangkap). Hamengkubuwono IX/RI sendiri telah memulai tugas sebelum susunan
kabinet terbentuk. Seperti dilaporkan De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 07-12-1949: ‘Komite Persiapan Nasional menyerahkan pembinaan dan
tanggung jawab untuk keamanan di seluruh Indonesia kepada Letnan Jenderal
Hamengkoe Boewono IX, Sultan Yogyakarta’. Juga disebutkan Hamengkoe Boewono IX mengunjungi
Bandoeng pada tanggal 6 Desember 1949 untuk mengadakan pembicaraan dengan
pemerintah Negara Pasoendan dan komandan pasukan Belanda di sana. Sebagai hasil
dari pembicaraan dengan pemerintah Pauoendan, Sultan menunjuk Kolonel Sadikin,
Komandan Divisi Siliwangi secara resmi menjadi Gubernur Militer Jawa Barat.
Susunan kabinet
RIS/Hatta ini diresmikan pada tanggal 20 Desember 1949. Ini mengingatkan bahwa
setahun yang lalu (19 Desember 1948) militer Belanda menduduki Jogjakarta dan
menangkap para pemimpin RI. Namun ibukota RIS/Hatta tidak lagi di Jogjakarta
tetapi di Djakarta/Batavia. Uniknya, Hamengkubuwono IX/RI juga harus pindah ke
Djakarta, karena Hamengkubuwono IX/RI adalah Menteri Pertahanan. Inilah untuk
kali pertama Raja Mataram/Jogjakarta secara politis ke Djakarta/Batavia sejak
era Sultan Agung.
Lantas bagaimana ibukota RI di
Jogjakarta yang ditinggalkan Mohammad Hatta dan Hamengkoeboewono dan Soepomo
yang memilih RIS dan pindah ke Djakarta. Para pemimpin 100 persen RI membentuk
pemerintahan sendiri di Jogjakarta yang mana Susanto Tirtoprodjo menyusun
kabinet sementara yang diresmikan pada 20 Desember 1949. Susunan kabinet lebih
pada syarat formalitas (administratif) karena kabinet RIS akan diresmikan 20
Desember 1949 yang mana kabinet RI di Jogjakarta diposisikan di bawah RIS/Hatta
di Djakarta.
Satu pertanyaan penting,
dimana Ir. Soekarno berada dan apakah ada posisi presiden dalam struktur RIS
(yang mana pengaruh Belanda masih cukup besar). Paling tidak Ir. Soekarno sudah
berada di Jogjakarta pada tanggal 7 Desember 1949 (lihat De locomotief:
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 07-12-1949). Namun mengapa Ir.
Soekarno masih berada di Jogjakarta, tidak seperti PM Mohamad Hatta dan Hamengkubuwono
IX yang sudah berada di Djakarta. Sesuai Perjanjian KMB penyerahan kedaulatan
Indonesia oleh Belanda dilakukan pada tanggal 27 Desember dan selambat-lambatnya
tanggal 30 Desember 1949. Apakah ini yang menghalani Ir. Soekarno ke Djakarta
(ibukota RIS) dan harus tetap berada di Jogjakarta (ibukota RI)?.
Situasi dan kondisi membuat waktu
cukup banyak bagi para pemimpin Republiken berkumpul di Jogjakarta. Tidak hanya
memikirkan bentuk negara baru RIS tetapi juga mempertimbangkan ulang agar
kembali ke 100 persen RI. Dalam hal ini di internal RI terbagi dua faksi:
pemimpin RI yang berkolaborasi dengan Belanda dan pemimpin 100 persen RI. ini mengingatkan
kembali pada kabinet Syahrir I dimana terdapat faksi 100 persen RI (Tan Malaka
dkk) yang mencurigai PM Soetan Syahrir lalu menculiknya dan baru dibebaskan
Amir Sjarifoeddin Harahap di Solo. Dalam perkembangannya akibat tekanan 100
persen RI, PM Soetan Sjahrir harus lengser dan digantikan PM Amir Syarifoeddin
Harahap. Namun hasil yang tidak menguntungkan dalam konferensi/perjanjian
Renville, giliran PM Amir Sjarifoeddin Harahap yang ditekan oleh para pemimpin
100 persen RI. Lalu PM Amir Sjarifoeddin Harahap lengser dan digantikan oleh PM
Mohamad Hatta. Lalu apakah hasil konferensi/perjanjian KB akan menekan PM Mohamad
Hatta? Sudah pasti, sebab para pemimpin 100 persen RI masih sangat banyak.
Mereka itu kini telah berkumpul di ibukota RI di Jogjakarta.
Nah lalu bagaimana dengan Ir.
Soekarno, Mohamad Hatta, Hamengkoeboewono dan Soepomo yang akan siap-siap
meninggalkan (ibukota) RI di Jogjakarta dan pindah ke (ibukota) RIS di Djakarta. Mereka
harus dilihat lebih lanjut, diuji oleh waktu apakah benar-benar mereka ini sepenuh
hati ke RIS dan setengah hati ke RI atau sebaliknya?
Setelah terbentuknya
kabinet RIS/Hatta di Djakarta dan diresmikan pada tanggal 20 Desember 1949 maka
pada tanggal 27 Desember 1949 secara resmi Belanda menyerahkan sepenuhnya
Indonesia. Namun Presiden RI Ir. Soekarno masih di Djogjakarta dan baru tanggal
30 Desember ke Djakarta untuk menempati istana negara, tetapi tidak sebagai Presiden
RI tetapi sebagai Presiden RIS.
Wilayah-wilayah RI yang hanya
tinggal secuil dalam peta Indonesia, terutama di Djogjakarta dan Tapanoeli.
Abdul Hakim Harahap, Residen Tapanoeli setelah berakhir KMB pada tanggal 2 November
1949 di Den Haag langsung balik kampung di Tapanoeli untuk memimpin pendudukan
Tapanoeli yang 100 persen Republiken. Abdul Hakim Harahap tidak setuju dengan
konsep RIS yang disepakati dalam KMB oleh Mohamad Hatta (pemimpin delegasi RI).
Abdul Hakim Harahap, Residen 100 RI dari penduduk di Tapanoeli yang 100 persen
RI. Abdul Hakim Harahap juga adalah tokoh penting Masjumi dan sebagian besar Masjumi
tidak setuju RIS yang berbau Belanda.
Para pemimpin RI di Djogjakarta memanggil
Abdul Hakim Harahap ke Djogjakarta. Diperlukan pemimpin 100 RI di Jogjakarta
setelah Soekarno, Mohamad Hatta dan Hamengkoeboewono pindah ke (ibukota) RIS di
Djakarta dan telah ‘mengingkari’ RI. Lalu setelah Abdul Hakim Harahap berada di
Jogjakarta, para pemimpin 100 persen RI di Jogjakarta tidak membolehkan Abdul
Hakim Harahap pulang ke Tapanoeli. Abdul Hakim Harahap didaulat menjadi Wakil
Perdana Menteri RI di Djogjakarta. Lalu struktur kabinet RI sementara yang
dibentuk oleh Susanto Tirtoprodjo yang telah diserahkan kepada Mohamad Hatta
yang menjadi PM RIS pada tanggal 20 Desember 1949 diubah secara proporsional. Dalam kabinet RI di Djogjakarta
ini tidak hanya mengangkut perdana menteri baru Abdul Halim tetapi juga
mengangkat seorang presiden (Assaat). Kabinet baru ini mulai bertugas pada
tanggal 21 Januari 1950. Inilah untuk kali pertama di Indonesia terdapat
dualisme kepempimpinan (ibarat dalam sepakbola Indonesia antara PSSI dan KPSI).
Dualisme sepakbola adalah hal kecil, tetapi tidak dengan negara Indonesia bahwa
RI dan RIS adalah masalah yang sangat besar. Abdul Hakim Harahap yang tidak
kembali lagi ke Tapanoeli, posisinya sebagai Residen Tapanoeli digantikan oleh
Binanga Siregar (100 persen RI).
Dalam jajaran militer,
Menteri Pertahanan RIS Hamengkoeboewono bahu membahu dengan dua tokoh penting TNI
yang pro 100 persen RI. Dua tokoh penting TNI itu adalah TB Simatupang dan
Abdul Haris Nasution. TB Simatupang menjadi panglima besar sebagai Kepala Staf
Angkatan Perang menggantikan posisi Jenderal Soedirman (yang telah meninggal)
dan Abdul Haris Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Darat.
Uniknya, Abdul Hakim Harahap, Abdul
Haris Nasution dan TB Simatupang yang dulu di era kolonial Belanda, sebelum
pendudukan Jepang sudah bekerja pada pemerintah kini berbalik 100 persen RI.
Sebaliknya Soekarno dan Mohamad Hatta yang tidak pernah bersentuhan dengan
Belanda, kini menjadi bagian dari RIS yang berbau Belanda. Sedangkan
Hamengkoeboewono yang setengah hati dengan Belanda, kini juga berada pada
barisan RIS yang berbau Belanda. Namun, seperti diutarakan di atas, tiga nama
yang terakhir ini masih perlu diuji dengan berjalannya waktu apakah mereka
benar-benar 100 persen setia RI.
Sementara Pemerintahan
RIS berlangsung di Djakarta yang dipimpin oleh PM Mohamad Hatta dengan Presiden Soekarno,
maka para Republiken di Djogjakarta yang 100 persen RI mulai bekerja. Bukan
bekerja untuk pembangunan tetapi bekerja untuk memikirkan bagaimana RIS kembali
ke RI. Perjuangan (kemerdekaan) belum selesai. Karena itu belum terpikirkan
untuk membangun negeri. Negara 100 persen RI belum tercapai. Negara RIS yang
compang-camping bukan wujud yang diinginkan pejuang Republik Indonesia Merdeka
sejak 1927 (dibentuknya PPPKI yang digagas oleh Parada Harahap, pendiri surat
kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean, Tapanoeli Selatan).
Para penduduk Republiken di
wilayah-wilayah RI dalam kesulitan dan penderitaan, tidak hanya di Tapanoeli dan Jogjakarta,
tetapi juga para warga Republiken di wilayah-wilayah federal (negara-negara
bagian bentukan Belanda). Para warga Republiken yang setia 100 persen RI di
ibukota negara faderal juga tertekan seperti di Bandoeng (ibukota Negara
Pasundan), Soerabaja (ibukota Negara Jawa Timur) apalagi di Medan (ibukota
Negara Sumatra Timur). Mereka ini bahkan secara sosial disingkirkan oleh warga
pro federalis. Hanya di Djakarta, ibukota RIS terlihat ada euforia. Paling
tidak euforia ini tampak ketika Presiden Soekarno tiba di Djakarta dari
Jogjakarta pada tanggal 30 Desember 1949.
Koneksitas para
Republiken antara Jogjakarta, Tapanoeli dan Sumatra Timur mulai digarap untuk
mempengaruhi struktur Pemerintahan RIS dan juga sekaligus untuk menguji para
pemimpin Republiken di Djakarta yang telah ‘mengingkari RI’ dan menjabat
sebagai Presiden (Soekarno), Perdana Menteri (Mohamad Hatta) dan Menteri
Pertahanan (Hamengkoeboewono IX) serta Menteri Kehakiman (Soepomo). Di
Jogjakarta ada Abdul Hakim Harahap (Wakil Perdana Menteri), di Tapanoeli ada
Binanga Siregar (Residen RI Tapanoeli), dan di Sumatra Timur yang berpusat di
Medan ada Dr. Djabangun Harahap (yang menangani kesehatan warga Republiken) dan
Mr. GB Josua Batubara (yang menangani pendidikan warga Republiken).
Sebagai wilayah RI, Tapanoeli tidak
banyak pengaruh Belanda dalam struktur pemerintahan RIS. Demikian juga di
Jogjakarta bengaruh Belanda sangat minor. Namun pengaruh Belanda cukup besar di
Medan, Palembang (ibukota Negara Sumatra Selatan), Bandoeng, Soerabaja dan
Makassar (ibukota Negara Indonesia Timur). Itu semua karena kue ekonomi yang
besar sebagai pusat perkebunan (ekspor), perdagangan (impor) dan pertambangan
yang mana orang-orang Eropa/Belanda terlibat langsung (meski dalam kabinet RIS
semuanya adalah pribumi). Sehubungan dengan itu, kebijakan pertama kabinet
RIS/Hatta adalah mengeluarkan peraturan perundang-undangan terkait (kemudahan)
investasi asing. Akibat kebijakan PM Mohamad Hatta ini timbul reaksi
dimana-mana terutama dari pemimpin Indonesia 100 RI.
Satu hal yang membedakan Medan
(Sumatra Timur) dengan negara-negara federal lainnya adalah bahwa para
Republiken di Sumatra Timur khususnya di Medan cukup dominan. Orang-orang
Eropa/Belanda yang mulai menyatu kembali dengan pihak kesultanan-kesultanan (yang
pro Belanda seperti di era kolonial Belanda) membuat para Republiken gerah.
Lalu muncul dikotomi Negara Kesatuan RI (NK-RI) dan Negara RIS (N-RIS). Suatu gerakan
muncul di Medan melancarkan protes keras (semacam pemberontakan) ke pusat Pemerintahan
RIS di Djakarta. Dr. Djabangoen Harahap, Soegondo, GB Joshua Batubara dan
lainnya mulai menginisiasi dengan menyelenggarakan Kongres Rakyat di seluruh Negara
Sumatra Timur (NST). Kongres Rakyat ini semacam referendum, apakah NKRI atau RIS.
Gerakan RI dan Kongres
Rakyat ini sangat dikhawatirkan oleh PM (RIS) Mohamad Hatta. Lalu para pentolan
NST mulai kasak-kusuk ke Djakarta menemui Mohamad Hatta untuk menghambat
kongres tersebut. Dan, nyatanya Mohamad Hatta sempat mengulur-ulur waktu
diantara desakan para Republiken dengan kekhawairan para kaum federalis.
Kongres Rakyat tidak terbendung.
Kongres Kongres Rakyat yang
diselenggarakan pada tanggal 25 April 1950 hasilnya sangat di luar dugaan
Pemerintah Pusat RIS di Djakarta. Hasil Kongres Rakyat menyatakan ‘Bubarkan
NST’ dan ‘Bentuk NKRI’.
Hasil Kongres Rakyat di
Medan dan Sumatra Timur telah membuat PM Mohamad Hatta bingung, tetapi tidak
dengan Presiden Soekarno. Dalam perkembangannya Presiden Ir. Soekarno menjadi
paham dan lalu memberikan dukungan terhadap hasil Kongres Rakyat di Medan.
Sejak inilah Presiden Soekarno mulai memikirkan kembali negara kesatuan RI
(NKRI). PM Mohamad Hatta ‘molohok’. PM Mohamad Hatta belum lama mengeluarkan
kemudahan investasi asing yang menguntungkan investor-investor Belanda.
Hasil Kongres Rakyat di Medan juga
didukung dan dikawal oleh militer yang mana Kolonel Maludin Simbolon berani
pasang badan. Dua petinggi militer di pusat, Jenderal TB Simatupang dan Mayor Jenderal
Abdul Haris Nasution sumringah dan wait en see. Setali tiga uang, Menteri
Pertahanan Hamengkoeboewono IX juga tak mampu menahan perasaannya, sumringah
dan juga wait and see. Hanya keputusan Presiden Soekarno yang mampu memecahkan
persoalan ini. Para Republiken di Sumatra Timur khususnya di Medan menunggu
tindak lanjut Presiden Soekarno.
Pada fase gerakan NKRI
di Sumatra Timur yang telah menjalar ke pusat (Djakarta), situasi ini seakan
mengambarkan dinamika politik tingkat pemerintah dengan yang terjadi di level
(bidang) pendidikan tinggi, RIS beribukota di Djakarta cooperative dengan
Belanda, sementara RI (para republiken) yang beribukota di Djogjakarta
mengusung RI 100 Persen. Akhirnya gelombang perubahan terjadi. Proses perubahan
RIS menjadi NKRI Sumatra Timur yang berpusat di Medan mencapai puncak pada
tanggal 17 Agustus 1950.
Perubahan RIS ke (NK)RI sedikit
lebih mudah dan mulus di Bandoeng dan Soerabaja serta di Palembang. Ada sedikit
resistensi di Makassar, ibukota Negara Indonesia Timur. Wilayah-wilayah
lainnnya di Indonesia hanya sekadar mengikuti arus agin yang besar, kemana
angin berhembus ke arah itu haluan berlayar. Di Djakarta tidak terlalu masalah
karena sejatinya lebih pro RI daripada pro-federalis. Lalu bagaimana dengan
Tapanoeli dan Djogjakarta? Tentu saja mengidam-idamkan NKRI.
Pada tanggal 17 Agustus
1950 ini di Medan lalu diperingati hari kemedekaan dengan inspektur upacara Mr.
GB Josua Batubara (pemilik sekolah Joshua Instituut). Dalam upacara ini untuk
kali pertama dinyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raja di Medan. Dengan
berkumandangnya lagu Indonesia Raya di Medan dan sekitarnya maka para
Republiken benar-benar merasakan kemerdekaan sejati.
Republik Indonesia Serikat
dibubarkan pada 17 Agustus 1950. Ini adalah kemenangan bagi Republik Indonesia
dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Itulah komitmen
dari TNI juga termasuk komitmen penduduk Tapanoeli dan termasuk mantan Residen
Tapanoeli di Djogjakarta (Abdul Hakim Harahap, Wakil Perdana Menteri RI),
Bagaimana dengan penduduk Bandoeng dan Priangan dan penduduk Soerabaja dan Jawa
Timur? Jelas masih lebih banyak yang republiken. Jangan lupa, penduduk Soerabaja
dan Bandoeng adalah yang terawal bersukacita dengan berita kemerdekaan
Indonesia. Juga jangan lupa Soerabaja dan Bandoeng sudah menjadi pusat
perjuangan kemerdekaan sejak awal.
Last but not least.
Bagaimana dengan wilayah Djogjakarta sendiri? Inilah pertanyaan inti kita.
Wilayah Djogjakarta hanya memberontak kepada Belanda (Sultan Agung, 1628,
Amangkurat III, 1755 dan Pangeran Diponegoro, 1825 serta Hamengkoeboewono dalam
Serangan Umum 1 Maret 1949). Selanjutnya para Sultan Jogjakarta tidak pernah
memberontak kepada RI. Malah sebaliknya membuka pintu lebar-lebar sebagai
ibukota RI dan menerima para Republiken dari luar Djogjakarta dengan baik.
Setali tiga uang wilayah Tapanoeli tidak pernah memberontak kepada RI dan lebih
menyukai NKRI daripada federalis. Orang-orang Tapanoeli hanya memberontak di
luar wilayahnya, dalam hal ini, yakni melancarkan ‘pemberontakan’ di Medan dan
Sumatra Timur kepada Pemerintahan RIS melalui praktek konstitusional yang
disebut Kongres Rakyat. Tapanoeli sangat menginginkan NKRI. Djogjakarta sangat
setia RI. Itulah keistimewaan Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar