Jumat, 18 Januari 2019

Sejarah Jakarta (34): Perpindahan Ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta, 1946 Tidak Seperti Diceritakan; Ini Fakta Sebenarnya


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Semarang dalam blog ini Klik Disin

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia (RI) 17 Agustus 1945 ibukota negara ditetapkan di Djakarta. Namun dalam perkembangannya, karena alasan situasi ibukota Djakarta tidak aman lalu ibukota RI dipindahkan ke Djogjakarta pada awal Januari 1946. Ibukota RI di Djogjakarta berlangsung selama era perang hingga hingga terjadinya agresi militer Belanda kedua. Djogjakarta yang diduduki oleh militer Belanda sejak 19 Desember 1948 menyebabkan ibukota RI berakhir.

Het dagblad, 07-01-1946
Dalam berbagai media disebutkan bahwa pada tanggal 3 Januari 1946, diadakan rapat pemindahan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta. Disebutkan bahwa Soekarno mengatakan: ‘Kita akan memindahkan ibu kota besok malam. Tidak ada seorang pun dari saudara boleh membawa harta benda. Aku juga tidak’. Juga disebutkan dalam berbagai media bahwa perpindahan dari Jakarta ke Yogyakarta tanpa diketahui NICA karena takut Soekarno dan seluruh pejabat RI akan dibunuh. Setelah gelap, sebuah gerbong kereta dan lokomotif yang dimatikan lampunya berhenti di belakang rumah Soekarno yang terletak di pinggir rel. ‘Dengan diam-diam, tanpa bernapas sedikit pun, kami menyusup ke gerbong. Orang-orang NICA menyangka gerbong itu kosong," kata Soekarno menggambarkan ketegangan saat itu. Lebih lanjut disebutkan Soekarno mengatakan bahwa ‘Seandainya kami ketahuan, seluruh negara dapat dihancurkan dengan satu granat. Dan kami sesungguhnya tidak berhenti berpikir apakah pekerjaan itu akan berlangsung dengan aman. Sudah tentu tidak. Tetapi republik dilahirkan dengan risiko. Setiap gerakan revolusioner menghendaki keberanian’. Masih dalam berbagai media disebutkan bahwa pada tanggal 4 Januari 1946, kereta api yang membawa Soekarno dan rombongan ke Yogyakarta di malam buta. Semua penumpang diliputi ketegangan. Tapi rupanya Tuhan memberikan kekuatan pada rombongan kecil itu mencapai Yogyakarta.  

Lantas apakah cerita tersebut sepenuhnya benar? Itu yang ingin diklarifikasi dengan membuka sumber-sumber lama. Pada saat itu sudah terdapat sejumlah media (surat kabar dan majalah Indonesia) tetapi baru ada satu surat kabar asing. Surat kabar asing tersebut terbit di Batavia yakni Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia. Oleh karena akses data artikel ini menelusuri berita hari demi hari di dalam surat kabar Het dagblad ditambah surat kabar lainnya. Mari kita telusuri.

Ibukota RI Pindah: Soekarno, Hatta dan Amir di Jogjakarta; Sjahrir Tetap di Djakarta

Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 07-01-1946 melaporkan Soekarno (Presiden) dan Mohamad Hatta (Wakil Presiden) telah memutuskan untuk berkantor di Djokja, sementara Menteri Informasi Mr. Amir Sjarifoedin juga berangkat kesana untuk menjalankan fungsi sebagai Menteri TKR (Tentara Keamanan Rakjat). (Di Jakarta) Amir Sjarifoeddin digantikan sebagai Menteri Informasi oleh Mohamad Natsir. Rasjidi diangkat sebagai Menteri Agama. Perdana Menteri Soetan Sjahrir tetap bersama anggota kabinet lainnya di Batavia (Djakarta).

Informasi ini secara eksplisit menngindikasikan hanya tiga pemimpin RI yang telah berangkat ke Jogjakarta (Soekarno, Hatta dan Amir). Berita keberangkatan tiga petinggi RI ini ke Jogja diketahui umum, tidak hanya orang Indonesia tetapi juga orang Eropa/Belanda. Satu-satunya moda transportasi cepat dari Batavia/Djakarta ke Jogjakarta adalah kereta api.

Sejak awal Markas Besar TKR berada di Djogjakarta yang untuk sementara dipimpin oleh Kepala Staf Oerip dan Kasman (lihat Helmondsche courant, 05-11-1945). Sangat masuk akal para pemimpin RI akan mendekati Markas Besar TKR sementara situasi keamanan di Djakarta semakin tidak kondusif. Hal ini karena arus militer Belanda semakin meningkat dan perlawanan para TKR/laskar semakin intens terhadap Inggris/Sekutu dengan tentara Belanda/NICA. Berita kepindahan pemimpin RI sendiri ke Jogjakarta sudah beberapa waktu sebelumnya diketahui sebagaimana diberitakan dalam surat kabar.

Ini bermula setelah adanya pertemuan Komite Nasional Indonesia Pusat wilayah Djogjakarta pada tanggal 8 Desember 1945. Dalam pertemuaan ini sebuah mosi disahkan yang berisi pertimbangan bahwa agar ibukota RI dipindahkan mengingat sebagian besar KNIP berada di luar Djakarta. Mosi ini akan disampaikan kepada Soekarno, Soetan Sjahrir dan KNIP melalui telegram (lihat Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 11-12-1945). Isi telegram tersebut sebagai berikut: ‘Komite Wilayah Yogyakarta, komite nasional mendesak pengalihan segera Pemerintah Pusat dan KNIP ke satu tempat di Jawa Tengah agar dapat bekerja lebih tenang’.

Sementara Pemerintah Pusat dan Kantor KNIP masih di Djakarta, sejumlah anggota KNIP lebih memilih tinggal di Bandoeng dan Djogjakarta. Beberapa hari kemudian pengumuman keputusan pemindahan ibukota RI ke Jogjakarta atau Soeracarta diberitakan Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 13-12-1945: ‘Pada tanggal 10 Desember jam setengah satu siang, menurut Aneta yang melansir pengumuman Radio Indonesia, alasan tentang memindahkan kedudukan (ibukota) Republik. Jakarta (Batavia) menjadi semakin banyak markas Sekutu dan Nica. Lebih baik bagi republik untuk menghapus kedudukan (ibukota) di Jakarta, sehingga pemerintah dapat melakukan tugasnya tanpa terhalang. Hingga saat ini Djogjakarta dan Solo tidak ditempati oleh Sekutu dan menurut janji mereka ini tidak akan terjadi di masa depan. Tidak ada kesulitan jika kedudukan (ibukota) republik dipindahkan ke Djocja atau Solo, ini akan menyiratkan bahwa sejumlah kantor pasukan Sekutu dan Nica untuk menjaga tetap adanya kontak dengan pemerintah kita (Nica) akan ditransfer ke sana yang akan menyebabkan kebingungan lagi. Satu-satunya solusi adalah memindahkan kementerian ke Jawa Tengah, sementara para Menteri tetap di Batavia untuk mempertahankan kontak. Oleh karena itu Sekutu dan Nica tidak perlu pergi ke ibu kota Indonesia yang baru.

Sejak adanya keputusan pemindahan ibukota dari Djakarta, Sukarno tetap menjalankan tugas kenegaraan. Surat kabar West : nieuwsblad uit en voor Suriname, 17-12-1945 melaporkan bahwa Soekarno, Perdana Menteri Soetan Sjahrir dan Menteri Informasi Amir Sjarifoeddin tengah melakukan perjalanan melalui Jawa Tengah dan Jawa Timur. Disebutkan tujuan dari perjalanan ini adalah untuk bertemu dengan para pemimpin lokal Indonesia dan juga untuk memulihkan ketertiban. Rombongan akan ke Djogjakarta. Menurut Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 18-12-1945 rombongan ini berangkat hari Minggu (tiga hari lalu) untuk perjalanan lima hari ke Djokja dan Solo. Rombongan ini  didampingi oleh Jaksa Agung Mr Kasman Singodimedjo, yang dianggap bahwa ia adalah salah satu tokoh terkemuka pembentukan tentara Indonesia, yang markasnya berlokasi di Djokja. Tampaknya sekarang tentara ini akan bergabung dengan TKR dan setidaknya telah ada pembicaraan di kalangan republik tentang pemindahan markas besar TKR ke Djokja.

Pindahnya ibukota RI ke Djogjakarta, paling tidak kehadiran tiga pertama pemimpin RI (Soekarno, Hatta dan Amir) sebagaimana dilaporkan Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 07-01-1946 merupakan amanat KNIP. Keputusan ini diperkuat dari informasi yang disiarkan (kantor berita) AP bertanggal 7 Januari di Batavia yang dilansir Het nieuws: algemeen dagblad, 07-01-1946 yang menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia, Sukarno dan Wakil Presiden, Hatta pindah ke Yogyakarta di Jawa Tengah setelah Pemerintah Indonesia diminta (KNIP) untuk mendirikan kantor di luar ibukota dengan mengingat situasi di Batavia, sebab secara umum, situasi di Jawa relatif tenang. Jika memperhatikan kunjungan Soekarno dan rombongan ke Jogja yang didampingi oleh Mr. Kasman, perpindahan ibukota ke Jogjakarta secara defacto bersifat alamiah karena di Djogka sudah dibentuk tentara Indonesia (cikal TNI). Hal itu juga menjadi pertimbangan KNIP memutuskan agar pemerintahan dipindahkan ke Djogjakarta.

Keesings historisch archief: 14-10-1945: ‘Pada tanggal 13 Oktober diundangkan yang disebut Tentara Rakyat Indonesia mengeluarkan proklamasi yang menyatakan perang terhadap Belanda, Indo, dan yang berafiliasi. Proklamasi merekomendasikan Indonesia untuk memulai perang gerilya, mengatakan: ‘Ketika matahari terbenam kita, masyarakat Indonesia, berperang dengan Belanda. Dalam pernyataan ini kami sarankan semua orang Indonesia untuk mencari musuh - Belanda, Indo-Eropa atau yang berafiliasi. Senjata militer adalah semua jenis senjata api, juga racun, panah beracun, pembakaran, dan semua spesies hewan liar - seperti ular. Perang gerilya akan disandingkan dengan perang ekonomi: tidak akan diizinkan untuk menjual makanan kepada musuh. Pasar harus dimonitor dan yang menjual makanan kepada musuh-musuh kita, akan dihukum berat. Juga dilaporkan bahwa Oemat Islam, yang berarti semua pengikut Muhammad, juga telah membuat deklarasi perang. Semua ulama Islamn di Batavia untuk mengadakan pertemuan doa bagi semua Muslim di Batavia dan sekitarnya telah diadakan, sebagai awal dari sebuah perang suci melawan ‘orang kafir’ Belanda. Selanjutnya, semua ulama dari Islam diminta untuk menyampaikan kepada umatnya untuk menaikkan bendera merah-putih setengah tiang dan juga semua lalu lintas, termasuk trem, sepeda, taksi dan kereta kuda dihentikan sepenuhnya’. Soekarno dalam menanggapi proklamasi perang (dari pemuda dan Islam) ini tidak setuju (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant, 17-10-1945).

Sebagai Menteri Keamanan Rakyat yang merangkap Panglima, Mr. Amir Sjarifoeddin mulai melakukan pengaturan terhadap organisasi keamanan dan pertahanan yang selama ini belum maksimal dilakukan oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Mr. Amir Sjarifoeddin meminta Kepala Staf Umum Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo untuk mengadakan konferensi diantara para pimpin militer untuk menentukan pimpinannya sebagai Panglima untuk menggantikannya. Mr. Amir Sjarifoeddin akan fokus pada fungsi manajemen keamanan dan pertahanan, dan Panglima yang memimpin pertempuran di lapangan. Konferensi yang diadakan pada tanggal 12 November 1945 di Djogjakarta menghasilkan sejumlah keputusan yang antara lain pembagian wilayah pertahanan Indonesia (terutama di Jawa) dan penetapan pimpinan militer tertinggi sebagai panglima. Yang terpilih adalah Soedirman salah satu pimpinan TKR/TRI dengan pangkat Jenderal. Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Keamanan Rakyat Mr. Amir Sjarifoeddin mengangkat Kolonel Soedirman menjadi Panglima pada tanggal 18 Desember 1945. Dengan demikian fungsi perencanan dan pengaturan (anggaran dan personel) ditangani oleh Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin dan pelaksana tugas di medan perang dikomandokan oleh Panglima Soedirman. Sebagai panglima yang baru, Mr. Amir Sjarifoeddin memberi layanan tersendiri bagi Jenderal Soedirman dengan menunjuk dokter berbakat Dr. Willer Hutagalung sebagai dokter pribadi Jenderal Soedirman. Sementara Menteri Amir Sjarifoeddin dan Panglima Soedirman mulai bekerja dalam kabinet baru (yang secara resmi dimulai tanggal 14 November 1945), benturan antara pasukan sekutu/Inggris dengan kelompok-kelompok perlawanan (TKR/Laskar) semakin memuncak. Juga tekanan pimpinan militer sekutu/Inggris yang membonceng NICA semakin terus menekan di bidang politik. Perdana Menteri Sjahrir terus berjuang dan berhadapan langsung dengan asing di tingkat politik. Praktis dua matahari di kabinet ini mendapat beban pekerjaan yang tiada bandingnya: Soetan Sjahrir ke luar dan Amir Sjarifoeddin ke dalam.

Pada tanggal 13 Desember 1945 dibentuk Komando Tentara dan Teritorium di Jawa (Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Panglima). Sejak ibukota RI dipindahkan dari Djakarta ke Djogjakarta tanggal 4 Januari 1946, TKR diubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) pada tanggal 25 Januari 1946. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk menjadikan TRI sebagai satu-satunya organisasi militer yang mempunyai tugas khusus dalam bidang pertahanan darat, laut, dan udara. TRI ini kemudian dibiayai oleh negara atas pertimbangan banyaknya perkumpulan atau organisasi laskar pada masa itu yang mengakibatkan perlawanan tidak dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Wilayah pertahanan dibagi ke dalam beberapa Divisi dengan mengangkat panglimanya. Dengan struktur baru ini, Kolonel Abdul Haris Nasution menjadi Panglima Divisi-3/Siliwangi.

Namun dalam perkembangannya, perpindahan ibukota ke Djogjakarta telah menimbulkan kesenjangan diantara para pemimpin sebagaimana dilaporkan surat kabar Merdeka 12 Januari yang dilansir surat kabar De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 15-01-1946. Disebutkan ada indikasi baru terdapat kesenjangan yang semakin besar antara para pemimpin di Djogjakarta (Soekarno, Hatta dan Amir) dan di Batavia (Sjahrir dan Menteri lainnya). Para pihak menduga Belanda/Nica ingin menggunakan Sjahrlr untuk kepercayaannya. Rumor ini juga muncul dari Jogja sebagaimana dikutip surat kabar yang menyatakan: ‘Radio Djokja menuduh markas besar (hoofdkwartier) Indonesia di Batavia menutup matanya atas infiltrasi pihak Belanda (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 17-11-1945). Perdana Menteri Sjahrir berangkat ke Djogjakarta.

De West : nieuwsblad uit en voor Suriname, 28-01-1946 mengitip (kantor berita) Aneta: ‘Sjahrir kembali di Batavia hari ini dari perjalanan ke Djogjakarta. Dia berunding disana dengan Sukarno dan para pemimpin republik lainnya (Hatta dan Amir). Sjahrir didampingi oleh sejumlah koresponden dalam perjalanannya ke Djogjakarta. Namun tidak ada orang Belanda, karena permintaan mereka untuk bergabung ditolak’. Dari kunjungan ini disebutkan Sjahrir bahwa dia mewakili Indonesia berunding dengan van Mook. Saat pertemuan di Jogjakarta yang turut dihadiri Hatta dan Amir, Soekarno dalam kondisi sakit menderita bronkitis (lihat Het nieuws : algemeen dagblad, 30-01-1946).

Ibukota RI Pindah Total Ke Jogjakarta: Dubes RI di Batavia Mr. Arifin Harahap

Semakin sengitnya pertentangan antara Belanda/NICA dengan Indonesia/Republik situasi dan kondisi di Batavia/Djakarta tidak lagi kondusif untuk pemerintah (Soetan Sjaharir dan Menteri lainnya). Dengan terbentuknya TRI di Djogjakarta, maka pemerintah dengan sendirinya telah memiliki fungsi perang yang akan berhadapan dengan militer Belanda/NICA.

Tentara Republik Indonesia (TRI) berarti ada Tentara Non Republik Indonesia. Mereka ini adalah militer sekutu/Inggris, militer Belanda/NICA dan orang Indonesia yang mengharapkan kedatangan Belanda dan orang Indonesia yang menyeberang ke kubu lawan. Untuk menyempurnakan struktur organisasi tentara Republik Indonesia dengan semakin menguatnya pasukan Belanda yang telah mengambil alih fungsi dan peran tentara sekutu/Inggris, pemerintah RI membentuk panita organisasi tentara yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Hasil kerja panitia diumumkan pada tanggal 17 Mei 1946 yang terdiri dari struktur pertahanan (yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan) dan struktur kemiliteran (yang dipimpin Panglima). Dalam pengumuman ini juga Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal, sementara personil militer disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi (lihat Nieuwe courant, 29-05-1946). Nama-nama para pimpinan BKR/TKR ditetapkan untuk mengisi jabatan-jabatan strategis.

Nieuwe courant, 29-05-1946: ‘Perubahan dan penunjukan pada posisi baru TRI telah diterbitkan. Dalam penunjukkan ini terlihat keterlibatan orang-orang muda dan perwakilan dari tentara rakyat di Jawa. Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal. Ketua Pengadilan Tinggi Militer ditunjuk Mr. Kasman Singodimedjo. Kepala staf diangkat Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Kolonel Soetjipto diangkat menjadi Kepala Dinas Rahasia; Kolonel TB Simatoepang sebagai Kepala Organisasi; Kolonel Hadji Iskandar sebagai Kepala Departemen Politik; Kolonel Soetirto sebagai Kepala Urusan Sipil; Kolonel Soemardjono sebagai Kepala Hubungan dan Kolonel Soeyo sebagai Kepala Sekretariat. Sudibyo diangkat menjadi Direktur Jenderal Departemen Perang yang mana Didi Kartasasmita adalah Kepala Infantri. Di dalam Departemen Perang juga diangkat: Kepala Departemen Artileri Letnan Kolonel Soerjo Soermano; Kepala Departemen Topografi Soetomo (bukan penyiar radio); Kepala Geni kolonel Soedirio; Kepala Persenjataan Mayor Jenderal Soetomo (juga bukan penyiar radio) dan Kepala Polisi Militer Mayor Jenderal Santoso (bukan penasihat Dr. Van Mook). 'Mayor Jenderal Abdoel Haris Nasution ditunjuk sebagai Panglima Divisi-1 dengan Letnan Kolonel Sakari sebagai Kepala Staf. Panglima Divisi-2 Mayor Jenderal Abdulkadir (bukan penasihat Dr. Van Mook) dengan Letnan Kolonel Bamboengkoedo sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-3 Mayor Jenderal Soedarsono (bukan menteri) dan Letnan Kolonel Pari sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-4 Mayor Jenderal Sudiro dengan Letnan Kolonel Fadjar sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-5 Mayor Jenderal Koesoemo dengan Letnan Kolonel Bagiono sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-6 Mayor Jenderal Songkono dengan Letnan Kolonel Marhadi sebagai Kepala Staf, dan Panglima Divisi-7 Mayor Jenderal Ramansoedjadi dengan Letnan Kolonel Iskandar Soeleiman sebagai Kepala Staf.

Sementara TRI mulai terkonsolidasi dengan baik, di lain pihak secara berangsur-angsur kementerian dan jajarannya dipindahkan ke Jogjakarta (sebagai ibukota RI yang baru). Perdana Menteri Soetan Sjahrir juga tidak lagi berkantor di Djakarta.

Rombongan terakhir Pemerintah Republik Indonesia yang hijrah dari Jakarta ke Jogjakarta terjadi pada tanggal 16 Oktober 1946. Rombongan terakhir ini berkumpul di bekas rumah Soetan Sjahrir yang terdiri dari bagian Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Informasi dan Kementerian Perhubungan. Rombongan ini dipimpin oleh Mr. Arifin Harahap. Rombongan terakhir ini berangkat dari Stasion Manggarai menuju Jogja yang dikawal oleh polisi Belanda (lihat Nieuwe courant, 17-10-1946).

Dari fakta-fakta ini semua dan membandingkannnya dengan tulisan-tulisan yang terdapat di berbagai media selama ini terkesan ada perbedaan yang jauh antara yang diceritakan (sangat mencekam) dengan keadaan yang sebenarnya (biasa-biasa saja). Seperti dapat dilihat bahkan pada rombongan terakhir Pemerintah Republik Indonesia hijrah ke Jogjakarta tidak ada indikasi hal yang mencekam. Polisi Belanda justru mengawal rombongan hingga ke stasion kereta api Manggarai untuk memastikan tidak terjadinya insiden yang tidak diinginkan. Dalam bahasa internasional sekarang: sekalipun ada dua pihak yang bertikai yang satu terhadap yang lain tetap menjaga tata krama hubungan politik internasional.

Mungkin anda membayangkan bahwa Pemerintah Indonesia seteril dari Djakarta setelah semua kementerian RI hijrah dari Jakarta ke Jogjakarta. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Sebab meski Batavia/Djakarta sudah dikuasai Belanda/NICA tetapi para Republiken (penduduk Indonesia yang tetap setia RI) masih banyak yang bertempat tinggal di Djakarta. Untuk itu fungsi penghubung antara Belanda dan Republik Indonesia, Sekretariat Delegasi Republik (Indonesia) tetap dipertahankan di Djakarta. Dalam hal ini Kepala Kantor Sekretariat untuk Djokja (perwakilan Belanda/NICA) adalah Setiadjit (pro Belanda) dan di Batavia sebagai perwakilan Pemerintah Republik Indonesia diangkat Mr. Arifin Harahap (lihat Nieuwe courant, 27-04-1948). Kepala Kantor Sekretariat ini pada masa kini boleh jadi semacam Kedutaan Besar (Kedubes). Kantor keduber inilah di Djakarta yang mewakili pemerintah RI di Djogjakarta dan juga kedubes ini yang menangani perosalan-persoalan yang dihadapi para Republike yang tetap tinggal di Djakarta/Batavia.

Dalam hal ini, antara hal yang diceritakan dengan sejarah adakalanya terdapat perbedaan yang besar. Sejarah adalah fakta-fakta yang terjadi apa adanya. Yaitu fakta-fakta yang benar-benar terjadi atau yang benar-benar dialami pada masa lampau yang ditulis pada masa kini.

Mr. Arifin Harahap
Arifin Harahap lulus sekolah hukum (Recht Hooge School) di Batavia tahun 1939 (lihat De Indische courant, 19-08-1939). Setelah itu kabar beritanya tidak muncul lagi. Arifin Harahap menyelesaikan pendidikan dasar (HIS) di Sibolga kemudian melanjutkan studi (MULO) di Batavia. Arifin Harahap lulus MULO Menjangan (Bataviaasch nieuwsblad, 08-05-1931) dan AMS di Batavia. Arifin Harahap adalah anak dari Djamin gelar Baginda Soripada, kelahiran Sipirok dan menjabat sebagai jaksa di Sibolga. Mr. Arifin Harahap adalah orang kepercayaan Soekarno. Mr. Arifin Harahap adalah seorang yang cemerlang, menjabat sebagai menteri di dalam tujuh kabinet mulai dari Kabinet Kerja I (10 Juli 1959) hingga Kabinet Dwikora III (25 Juli 1966). Ketika Suharto mmbentuk kabinet (Kabinet Ampera I) Mr. Arifin Harahap tidak lagi menjadi menteri, tetapi pada Kabinet Pembangunan I/1969  (era Suharto) Mr. Arifin Harahap diangkat menjadi Duta Besar untuk Aldjazair. Selama tujuh tahun dalam tujuh kabinet Era Sukarno, Mr. Arifin Harahap telah menjabat Menteri Muda Perdagangan, Menteri Urusan Anggaran Negara dan Wakil Menteri Bank Sentral (Bank Indonesia). Mr. Arifin Harahap adalah adik kandung Mr. Amir Sjarifoeddin.

Demikianlah sejarah perpindahan ibukota Republik Indonesia dari Djakarta ke Jogjakarta. Untuk melindungi para Republiken (warga yang setia RI) Pemerintahan RI di Djogjakarta mengangkat Mr. Arifin Harahap sebagai ‘Dubes’ di Djakarta.


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar