Pusat pemerintahan Hindia Belanda di Batavia semakin berkembang pesat
sejak tahun 1860. Rencana tatakota sudah beberapa tahun sebelumnya dibangun. Sementara
itu, berbagai ekspedisi (membuka wilayah mulai intensif dilakukan ke luar Jawa
sejak ekonomi di Jawa sudah mulai jenuh. Ekspedisi ini berhasil dan dengan
cepat memberi kontribusi dalam pembiayaan pembangunan, utamanya pembangunan infrastruktur
ekonomi dan pengembangan sosial (kesehatan dan pendidikan).
Peta Batavia, 1825 |
Ibukota Batavia awalnya di
Batavia lama (Oud Batavia) tempat dimana awalnya benteng (casteel) dibangun
semasa Hindia Timur (VOC), Kemudian sejak pemerintahan Hindia Belanda, 1799 ibukota
dipindahkan ke sekitar Weltevreden. Lalu pada era pendudukan Inggris (semasa
Rapffles) ibukota Batavia dipindahkan ke Buitenzorg. Setelah Hindia Belanda
menggantikan Inggris kembali, ibukota dipindahkan lagi ke Batavia (tempat yang
istana negara yang sekarang).
Tata Kota-1: Istana
Arah ke Utara
Batas-batas Batavia baru (Peta 1860) |
Hasil penataan kota yang baru, tampak dalam Peta 1860. Di dalam peta ini
bangunan-bangunan di sekitar Koningsplein semakin padat (jika dibandingkan
dengan Peta 1825). Dalam peta baru ini lokasi pusat pemerintahan yang berpusat
di Koningsplein, di empat sisi lokasi terdapat pembatas: Ooster wal, Wester
wal, Zuider wal dan Noorder wal (diagonal antara Tanah Abang dan Gunung Sahari).
Boleh jadi wal (tembok) ini dibuat untuk memisahkan dengan kota lama dan juga
karena alasan keamanan (ingat kembali Pembantaian Tinghoa pada tahun 1740).
Ruas sungai Ciliwung yang diperkecil (Peta 1860) |
Untuk sekadar diketahui, sungai di depan istana ini bukanlah sungai
Ciliwung yang asli melainkan suatu kanal. Demikian juga sungai yang melalui
Pasar Baru yang sekarang bukan pula sungai Ciliwung yang asli, melainkan suatu
kanal juga. Banyak orang sekarang salah persepsi. Lantas sungai Ciliwung yang
asli kemana?
Sungai Ciliwung yang asli
(alamiah) telah sejak lama diperkecil yang arahnya ke utara sejajar dengan Gang
Patjenongan (dalam perkembangannya jejak sungai asli ini menghilang dan muncul
jalan kereta api). Sebagai ganti sungai asli, ke arah barat dibuat kanal (depan
istana) yang berbelok di Harmoni melalui Molenvier (Hayam Wuruk/Gajah Mada
sekarang) dan bertemu sungai yang asli di Glodok. Sementara itu, sungai Ciliwung
yang disodet (sebelum masjid Istiqlal yang sekarang) ke arah timur (melalui
jalan pos dan dibelokkan ke utara (jalan Gunung Sahari yang sekarang) dimana
sebagian debit air diteruskan hingga ke Antjol (Pintu Antjol) dan sebagian yang
lain dibelokkan melalui Mangga Dua lalu dihubungkan lagi dengan sungai yang
asli di Glodok (sebelum debit air ini mencapai Glodok disodet menuju benteng dan
bertemu kembali debit sungai asli yang datang dari Glodok. Antara sungai
Ciliwung dan kanal (sodetan) kelak menjadi Wilhelmina Park (di era RI menjadi
pertapakan masjid Istiqlal).
Tata Kota-2: Istana
Arah ke Selatan
Perluasan kota ke Tandjong Priok (Peta 1880) |
Sementara itu, di pusat kota Batavia yang berporos di Koningsplein meski
hanya sedikit perubahan tetapi perubahan itu sangat mendasar. Posisi Istana
Gubernur Jenderal yang sebelumnya menghadap ke utara kini diubah menghadap ke
Koningsplein. Jika sebelumnya, Istana Gubernur seakan di belakang gedung
Algemene Secretarie, sekarang berpindah posisi ke sampingnya (memanjang dari
utara hingga selatan). Posisi istana ini tidak berubah hingga sekarang.
Koningsplein (Peta 1887) |
Namun tak diduga, tanpa harus menunggu nanti, di Sumatra muncul booming
kopi. Produksi dan ekspor kopi khususnya di pantai barat Sumatra (Sumatra’s
Westkust) yang juga meliputi Tapanoeli terus meningkat dari waktu ke waktu.
Devisa ini terus mengalir ke Jawa, karena kebutuhan pembangunan di Sumatra
belum sebanyak kebutuhan di Jawa. Surplus kopi ini tidak hanya digunakan untuk
membiayai perang di berbagai tempat tetapi juga memberi kontribusi yang besar
dalam pembangunan fasilitas-fasilitas pemerintah di Batavia. Surplus kopi ini
semakin baik ketika kopi dari Mandailing dan Angkola (Residentie Tapanoeli)
mendapat apresiasi harga tertinggi di pasar internasional (Eropa dan Amerika
Serikat).
Ketika Medan masih kampung, Padang Sidempuan sudah kota |
Pembangunan di Batavia semakin menggila ketika di Deli ditemukan tembakau
berkualitas tinggi (1865-1869). Dengan dibukanya terusan Suez tahun 1869
pelayaran yang semakin singkat di satu sisi telah mengurangi ongkos ekspor yang
dengan sendirinya meningkatkan pendapatan pemerintah. Sedangkan di sisi lain,
kabar tembakau Deli di Eropa dalam waktu singkat menjadi industri tembakau
terbesar di dunia (para investor Eropa mengalir hari demi hari ke Deli).
Surplus tembakau Deli pada tahun 1880 bahkan sudah melampaui surplus gulu di
Jawa (yang bahkan tahun demi tahun semakin merosot, sementara tembakau Deli
semakin meroket).
Sebagaimana diketahui sejak
Deli muncul ke permukaan, hanya ada dua kota yang tumbuh dan kembang secara
cepat, yakni Batavia dan Medan. Antara dua kota ini saling kejar-kejaran
pembangunan perkotaan. Apa yang ada di Batavia ada di Medan, belum tentu
sebaliknya. Untuk urusan tata kota, kedua kota ini sangat komprehensif.
Tata Kota-3: Kanal
Hilang, Muncul Rel
Kota lama dan kota baru Batavia (Peta 1890) |
Tata Kota-4: Kanal Barat
dan Bandara
Pemanfaatan sungai Ciliwung sebagai moda transportasi telah lama berlalu.
Sungai dan kanal lambat laun makin dangkal. Debit sungai Ciliwung juga makin
lama makin menipis di musim kemarau (dampak penggulan hutan di hulu).
Sebaliknya di musim hujan, luapan sungai Ciliwung sangat menakutkan. Banjir
kembali menjadi momok (seperti sebelum adanya kanalisasi di kota tua). Banjir
tidak hanya menghantui penduduk pribumi tetapi juga orang-orang Eropa.
Untuk mengatasi permasalahan banjir, apalagi banjir tidak pilih kasih dan
bahkan banjir dapat mengepung istana Gubernur Jenderal pemerintah membuat kanal
baru tahun 1918. Di Manggarai, sungai Ciliwung disodet dan kanal baru yang
disebut kemudian Kanal Barat. Pintu Manggarai dibuat sedemikian rupa agar dapat
menyeimbangkan debit air menuju kota untuk mengatasi banjir. Kanal baru ini dibuat
melalui selatan Menteng dan diteruskan ke arah barat kota. Kanal ini di satu
pihak mampu menyelamatkan luapan air Ciliwung di kota, dan di pihak lain area
di sekitar kanal baru dikembangkan area pemukiman baru.
Satu moda trasnportasi di Batavia yang muncul kemudian adalah pembangunan
bandara. Lokasi bandara ditetapkan di area Kemajoran, suatu area yang relatif
kosong antara Batavia lama dan Batavia baru. Bandara ini mulai dibangun pada
tahun 1934.
Pesawat pertamakali mendarat
di Hindia Belanda adalah di Medan. Dari Medan ke Singapura dan dari Singapura
ke Batavia. Itu terjadi pada tahun 1924. Penerbangan pertama ini merupakan
langkah radikal dalam transportasi Belanda (Nederland) dengan Hindia Belanda
(Nederlandsch Indie). Jalur perdana Medan-Singapoera-Batavia ini kemudian
menjadi jalur internasional dari Batavia ke Eropa/Belanda. Namun demikian,
penerbangan domestik justru dimulai di Jawa baru kemudian menyusul di Sumatra.
Intensitas penerbangan dari dank e Batavia yang tinggi menyebabkan Batavia
memerlukan bandara yang besar, yakni bandara Kemajoran.
Sebelum adanya bandara Kemajoran, penerbangan Batavia-Medan secara militer
sudah dimulai pada tahun 1928. Pada bulan Agustus 1930 secara resmi akan dibuka
penerbangan sipil secara permanen dari Batavia-Medan. Bandara yang digunakan
sebelum bandara Kemajoran selesai tahun 1940 adalah bandara militer di
Tjililitan (kini disebut bandara Halim).
Banjir Besar
Jauh sebelum ada Kanal Barat di Batavia (Jakarta) sudah ada Kanal Selatan
di hulu sungai Ciliwung/Cisadane. Proyek Kanal Selatan ini dibangun tahun 1854
oleh Belanda--suatu kanal atau terusan yang menghubungkan sungai Cisadane dan sungai
Ciliwung yang daerah alirannya terletak antara kota Buitenzorg (Bogor) dan kota
Depok. Kanal ini dulu disebut Westerlokkan (Kanal Barat Ciliwung).
Muara dari kanal ini sungai
Cisadane di Buitenzorg disodet, tepatnya di daerah Pancasan/Empang Bogor yang
sekarang (Bendungan Empang). Aliran kanal ini pada masa ini terlihat dari
Empang melalui Paledang, Jembatan Merah (belakang Pasar Jalan Merdeka),
Ciwaringin, Jalan Semeru, Cimanggu Barata. Di Cimanggu Barata kanal bercabang,
yang satu ke kiri menuju Cilebut dan yang lain ke kanan menuju Jalan
Martadinata kemudian masuk Jalan Ahmad Yani dan selanjutnya aliran air masuk ke
Sungai Ciliwung. Inilah yang kemudian disebut bahwa ada kanal yang
menghubungkan antara sungai Cisadane dengan sungai Ciliwung di Buitenzorg sebagai
Kanal Selatan alias Kanal Barat Ciliwung. Fungsi kanal ini tidak hanya untuk
mengatur debit air sungai Cisadane jika terjadi banjir di Tangerang (setelah
proses kanalisasi selesai di Batavia) tetapi juga untuk kebutuhan pertanian.
Air dari kanal Westerlokkan
ini kemudian menjadi sumber irigasi untuk mengairi persawahan dan perkebunan
antara sungai Ciliwung, sungai Krukut (hulu di Setu Citajam) dan sungai
Pesanggrahan. (ketiga sungai ini sangat berdekatan dan jaraknya satu sama lain
sangat dekat di Pondok Terong). Aliran kanal dari Empang Cisadane dibuat
melalui Cileubeut, Bojong Gede dan Citajam. Lantas di daerah Citajam kanal ini
dipecah menjadi dua aliran. Ke arah barat melalui Cipayung, Mampang dan terus
ke Pondok Labu. Ke arah timur melalui Pondok Terong, Ratu Jaya, Depok, Pondok
Cina dan terus ke Srengseng (setu Djagakarsa) dan Tanjung Barat (Pasar Minggu),
Doeren Tiga, Tebet dan Boekit Doeri (masuk ke Tjiliwung dan kemudian dialihkan
ke Kanal Barat Batavia). Sementara itu, di Tjitajam (Tjipajoeng) kanal ini dialirkan
ke setu Tjitajam (hulu kali Kroekoet). Selanjutnya di hilir, kali Kroekoet di
Depok mendapat pasokan air dari kali bata (Kalibata) dan kali Mampang yang
airnya dibendung di Bendoengan Oedik/Hilir. Bendungan ini menjadi semacam
reservoir untuk Waterleiding di Pedjompongan (kini Penjernihan). Selanjutnya
kali Kroekoet mengalir terus ke Glodok/Loear Batang dan selanjutnya masuk ke
laut.
Untuk sekadar dicatat bahwa
di kali Kroekoet di Pedjompongam/Petamboeran di masa lampau airnya disodet yang
boleh disebut sebagai Kanal Barat Batavia yang debitnya di hilir kanal dibuang
ke Meora Angke (kali Angke/hilir kali Pesanggrahan) dan ke Moera Karang (kali
Grogol). Dalam perkembangannya ketika dibangun stasion Manggarai tahun 1914, di
Manggarai sungai Ciliwung disodet lagi (Pintoe Manggarai) dan dibuat kanal yang
disebut sekarang sebagai Kanal Barat (Kanal Selatan Batavia). Aliran Kanal
Barat Batavia yang berada di selatan Perumahan Menteng (Nieuw Gondangdia) ini ujungnya
bertemu dengan pangkal Kanal Barat Batavia di Petamboeran/Karet.
Last but not least. Jika ada
Kanal Barat dan Kanal Selatan di Batavia, tentu saja ada Kanal Timur, yaitu sungai
Ciliwung di masa lampau disodet di Gambir yang airnya dialirkan dengan membuat kanal
via Pasar Baroe di Goenoeng Sahari. Kanal Goenoeng Sahari ini boleh disebut
Kanal Timur Batavia. Selanjutnya di hilir, Kanal Goenoeng Sahari di pecah dan
debit airnya sebagain diteruskan ke laut melalui Pintoe Antjol dan sebagian
yang lain dimasukkan kembali ke sungai Ciliwung asli di Mangga Dua. Juga sungai
Ciliwung disodet di ujung jalan Djoeanda yang sekarang dengan membentuk kanal
ke Harmoni/Molenvier (terus ke Glodok dan bertemu sungai Ciliwung asli yang
dari Mangga Dua). Untuk sekadar diketahui ruas sungai Ciliwung antara titik
sodetan di Djoeanda dengan titik pertemuan Kanal Goenoeng Sahari/sungai
Ciliwung di Manggadua dikecilkan (yang sisi bekas sungai Ciliwung yang asli menjadi
jalur kereta api trans Batavia-Buitenzorg. Oleh karena itu dalam hal ini, kanal
barat dan kanal timur di Batavia (doeloe) harus dibedakan dengan terminologi sekarang
di Jakarta (kini) sebagai Banjir Kanal Barat (BKB) dan Banjir Kanal Timur
(BKT).
Bendungan Katulampa, kanal timur Ciliwung |
Banjir Batavia di masa
doeloe dan Banjir Jakarta di masa kini adalah membicarakan soal sungai/kali.
Semua kali/sungai yang ke Batavia/Jakarta melewati Depok/Buitenzorg. Sungai utama
adalah Kali Ciliwung. Di Depok di sisi barat sungai Ciliwung adalah kali Baroe,
kali Bata, kali Grogol, kali Baroe, kali Kroekoet dan kali Pesangrahan. Masih
di Depok, di sisi timur sungai Ciliwung adalah kali Tjipinang dan Kali Soenter.
Semua sungai yang disebut di Depok ini kerap membuat banjir di Jakarta,
sementara di Depok sendiri jarang terjadi banjir. Kini di Depok perumahan
sangat luar biasa banyaknya, yang mana warganya tiap hari membanjiri Jakarta
(untuk bekerja). Namun demikian, Jakarta harus tetap waspada banjir yang diakibatkan
luapan sungai/kali di Depok karena dampak pembangunan perumahan. Guyonan banjir
yang ada selama ini bahwa banjir di Jakarta akibat air bawaan dari Bogor. Tapi
kini harus ditambahkan banjir di Jakarta juga akibat air luapan di Depok
(akibat perumahan). Oleh karena itu, pemerintah Jakarta harus bekerjasama
dengan pemerintah di Depok dan pemerintah di Bogor. Caranya mudah: Pemerintah
Jakarta dapat melakukan intervensi dengan memperlancar arus lalu lintas warga
masuk Jakarta (manfaat bagi Depok), dan dengan begitu dapat melakukan
intervensi (manfaat bagi Jakarta) dengan turut membangun sistem drainasi perkampungan
dan perumahan terintegrasi di Depok agar lebih optimal mengurangi volume air dari
Depok yang masih kerap menimbulkan banjir di Jakarta. Saat ini di Depok tedapat
sebanyak 23 situ yang kurang terkelola dengan baik (sudah banyak situ yang
lenyap sejak era Batavia). Situ-situ yang ada makin lama makin sempit dan makin
dangkal. Dalam hal ini Pemerintah Jakarta dapat memberi kontribusi untuk
normalisasi kali dan normalisasi situ. Kali-kali kite dapat terbantu
(lingkungan), tapi juga situ ikut terbantu (banjir).
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber
tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar