Jalan pos
(postweg) adalah jalan utama yang menghubungkan satu tempat utama (hoofdplaats)
dengan tempat utama lain untuk keperluan pos. Jalan pos juga menjadi jalur moda
transportasi darat untuk arus barang dan orang. Jalan pos dalam perkembangannya
menjadi jalan raya utama pada masa kini. Jalan pos sudah ada sejak era VOC.
Jalan pos kemudian dirancang ulang oleh Daendles dengan kebijakannya yang
terkenal, yakni pembangunan jalan pos trans-Jawa dari Anyer-Panaroekan.
Bataviasche koloniale courant, 05-01-1810 |
Daendles membuat keputusan yang dimuat
dalam surat kabar, Bataviasche koloniale courant edisi pertama (lihat Bataviasche
koloniale courant, 05-01-1810). Di dalam keputusan ini (General Reglement) terdapat
aturan umum (general reglement) yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Daendles (setelah
dua tahun menjabat untuk) menetapkan beberapa nama tempat yang dijadikan
sebagai patokan (check poin) jaringan jalan pos yang menghubungkan semua wilayah
di Jawa (dimana orang-orang Eropa tinggal).
Satu hal yang
menarik dalam pembagian wilayah (distrik) ini hanya disebutkan nama tempat
Bantam, Batavia, Semarang dan Surabaya. Hal ini terkait dengan penarikan garis
dari satu tempat ke tempat lain sebagai jalan pos. Ini berarti belum ada
pembagian wilayah administrasi sebagaimana nanti Jawa dibagi tiga (lima)
wilayah: West Java, Midden Java dan Oost Java (Djocjakarta dan Soerakarta).
Sementara dalam General Reglement, 1810, rute antar tempat-tempat utama yang
disebut tidak diperinci seperti rute Batavia-Buitenzorg.
Jalan Pos Batavia-Buitenzorg
Jalan pos
Batavia-Buitenzorg adalah salah satu ruas jalan pos utama di Jawa. Jalan pos
ini bermula ketika istana Buitenzorg dibangun sebagai tempat peristirahatan Gubernur
Jenderal (dalam perkembangannya menjadi kantor Gubernur Jenderal). Jalan pos
Batavia-Buitenzorg menjadi bagian dari jalan pos trans-Jawa (Daendles).
Sejak era VOC (Hindia Timur), titik nol
Batavia adalah benteng (Casteel Batavia). Pada masa awal VOC jalan pos masih
melalui sungai/kanal, kemudian berubah menjadi jalan darat (sungai makin
dangkal dan tonase kapal/perahu makin berat). Jalan sungai awalnya melalui
sungai Ciliwung yang berbelok-belok. Dalam perkembangannya di satu titik
Ciliwung (sekarang Masjid Istiqlal) sungai disodet ke arah barat melalui
Harmoni yang sekarang terus ke Glodok via Hayam Wuruk/Gajah Mada yang sekarang.
Aliran air sungai Ciliwung yang disodet tersebut menjadi kanal (lalu lintas
pelayaran baru menggantikan yang lama). Selanjutnya di sekitar masjid Istiqlal
disodet kembali melalui Pasar Baroe dan Goenoeng Sahari menuju Antjol. Akibat
dua sodetan ini sungai ciliwung yang asli antara Juanda dan Mangga Doea
dihilangkan (lenyap). Di atas bekas sungai ini menjadi ruas jalan kereta api
antara stasion Djuanda dan stasion Manggadoea. Sementara aliran kanal yang
menuju Antjol dipecah, yang mana ke arah barat dibuat kana menuju Manggadoea
dan bertemu kembali dengan sungai Ciliwung yang asli. Era ini adalah era yang
masih menggunakan moda transportasi air (kanal).
Setelah
berakhirnya era moda transportasi air (sungai/kanal) berkembang moda
transportasi darat. Titik nol tetap berada di Casteel Batavia. Jalan pos dari
casteel kemudian sisi kanal (jalan Hayam Wuruk/Gajah Mada terus ke Harmoni,
lalu ke lapangan Banteng (belok di Pasar Baroe, kemudian Parapattan, Menteng
dan Bidara Tjina. Di Bidara Tjina dibangun satu pos, sebagai pos pertama dari
Batavia menuju Buitenzorg.
Jarak antara satu pos dengan pos lainnya
yang disebut etappe didasarkan pada jarak tempuh perjalanan darat dengan
mengendarai kuda. Di dalam pos ini terdapat satu bangunan utama untuk bongkar
muat pos sambil kuda-kuda diberi waktu istirahat. Namun dari sudut jarak fisik antar
pos ini tidak sama satu dengan yang lain. Itu tergantung dari mudah sulitnya
ruas jalan yang dilalui. Dan juga karena factor lain.
Keutamaan Pos Tjimanggis
Dalam Tijdschrift
voor Nederlandsch-Indie, 1842 antara Batavia dengan Buitenzorg tedapat enam
pos: Pos I: Bidara Tjina, Pos II Tandjoeng (15 paal dari Batavia), Pos III
Tjimanggis, Pos IV Tjibinong (28 paal), Pos V Tjiloear (34 paal) dan Pos VI
Buitenzorg (39 paal). Pos Tjimanggis terkenal karena posisinya strategis antara
Batavia dan Buitenzorg.
Pos Tjimanggies adalah pos tradisional,
sejak jaman Pakuan/Pajajaran. Suatu tempat, posisi tengah antara Pakuan dan
Sunda Kelapa yang kerap dijadikan sebagai tempat menginap (maksudnya para
kapilah pedati berkemah/bermalam. Hal ini ternyata berulang di era pendudukan
Jepang, tetapi bukan bermalan tetapi bersiang. Dari Bogor pedati berangkat
malam dan tiba pagi hari di Tjimanggis, lalu para crew pedati
beristirahat/tidur dan kerbau berkesempatan untuk makan rumput. Malam berangkat
lagi dan tiba pagi hari di Batavia (Jatinegara yang sekarang yang boleh jadi
masih sering disebut sekarang sebagai jalan Bogor). Demikian sebaliknya.
Keutamaan
lainnya Pos Tjimanggis karena di tempat ini mantan Gubernur Jenderal Petrus
Albertus Van der Parra mendirikan rumah tinggal (huis). Di lokasi tempat
tinggal van der Parra tersebut, pada saat ini masih ditemukan rumah tua yang
disebut Rumah Tua Cimanggis. Tidak jauh dari huis ini dulunya muncul bazaar
lalu berkembang menjadi pasar (yang kini
menjadi cikal bakal Pasar Cimanggis).
Sementara itu di
ruas jalan pos Batavia-Buitenzorg ini terdapat sejumlah tanah-tanah partikelir
(sejak era VOC). Menurut Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1842 tanah-tanah
partikelir itu ditandai dengan adanya landhuis, seperti Lanhuis Tandjoeng West
(kini Tandjong Barat; Tandjong Oost sendiri kini Pasar Rebo), Landhuis di
Tjilodong, Landhuis di Tjiliboet, Landhuis di Tjiturrup (Tjitrap, kini
Citeureup) dan Landhuis di Tjiomas. Di sisi barat sungai Ciliwung terdapat
jalan (westerweg) melalui Bamboe Koenning.
Satu tempat di antara Batavia-Buitenzorg
dekat Tjimanggis apa yang dari doeloe disebut Depok. Di tempat ini sudah ada Huis
van den zendeling. Di sekitar Depok ini juga sudaj sejak lama berkembang
tanah-tanah partikelir seperti Land Depok, Land Sawangan, Land Tjitajam, Land
Tjinire dan sebagainya.
Buitenzorg-Tjiandjoer dan Soekaboemi
Jalan pos utama
sejak awal (1810) adalah Batavia-Buitenzorg-Tjisaroer, Bandoeng, Sumadang dan
Tjirebon. Jalan pos dari Buitenzorg ke Soekaboemi baru muncul belakangan. Jalan
pos dari Buitenzorg hingga ke Tjoangjoer adalah Pos Wangoen (Ciawi?), Pos
Gadok, Pos Tjiceroa, Pos Toegoe, Pos Tjanjawar, Pos Tjipannas, Pos Tjihehrang,
Pos Tjiesietiel dan Pos Tjiandjor.
Jalan pos Buitenzorg melalui Tjitjoeroek
terus ke Tjiandjor tidak mengikuti rute yang sekarang tetapi justru doeloe
terbalik yang dimulai dari Tjiandjoer lalu ke Soekaboemi dan berujung ke
Wangoen (Ciawi?). Pos-pos tersebut adalah Pos I Waroeng Kondang, Pos II
Gekbron, Pos III Tjiroempoet, Pos IV Soekaboemi, Pos V Talaga dan Pos VI
Tjihoelang lalu ke Wangoen. Antara Tjihoelang dan Wangoen terdapat tempat
tetapi bukan pos yaitu: Nagrag, Tjitjoeroek dan Banjer Waroe.
Tentu saja perlu
mengetahui pos-pos dari Tjiandjoer ke Bandong. Ada delapan pos, yaitu: Soekamantrie,
Tjisokkan, Radjamandala, Tjipatat, Tjisitoe, Tjipadalarang, Tjimahi dan Bandong
(negri baroe). Seperti disebutkan Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1842,
Bandong yang domaksud adalah negeri baru. Artinya lebih tua dari Tjimahi dan Tjiandjor.
Rute pos ini masih berlanjut ke Sumadang dan Garoet. Terdapat beberapa pos
antara Bandong dengan kedua tempat ini (tidak disebutkan di sini).
Bagi komunitas sepeda motor yang
melakukan touring, rute ini cukup menarik. Hal ini karena moda transportasi
darat dari Batavia ke pedalaman adalah rute ini (sejak era Daendles). Beberapa
tempat yang menarik perhatian orang pada era tersebut sebagaimana disebut Tijdschrift
voor Nederlandsch-Indie, 1842 adalah sebagai berikut (selain pos pos yang ada):
Pondok Gedeh antara Wangoen dan Gadok, Poentjak Megamendoeng, sungai Tjigoendoel,
gidang kopi di Patjet (tampaknya Puncak Pas belum ada). Antara Tjoandjor dengan
Bandoeng adalah Kali Tjiisokkan, Kali Tjitaroem, Pesanggrahan Radjamandala,
kebun the Radjamandala serta Poentjak Massiegit (puncaj Masjid) antara Tjisietoe dan Tjipadalarang.
Untuk sekadar
diketahui asal mula kota Bandung adalah bukan Bandoeng (lama) tetapi Bandoeng (baru)
di dekat Odjoeng Brong. Antara Bandoeng (baru) dengan Odjoeng Brong adalah 1
pal. Sedangkan Bandoeng (lama) dengan Bandoeng (baru) berjarak 3 pal.
Kampong-kampong terdekat dengan Bandong (baru) ini adalah Bodjo Negara,
Tjoemboeloeit dan Tjoroek jaraknya masing-masing tiga pal, sebagaimana Bandoeng
(lama).
Hal ini juga sama dengan Batavia. Orang
Belanda cenderung tidak pernah mengakuisisi kampong lama, selalu membuat kota
di luar kampong asli tetapi dengan menggunakan nama kampong asli. Kota Batavia
tidak di Sunda Kelapa atau di Iacatra (Jakarta). Sunda Kelapa dan Jakarta masih
tetap eksis ketika Batavia berkembang. Demikian juga Medan, Padang Sidempuan
dan sebagainya. Pertanyaan: Dimana titik origin kota Bandoeng (baru) itu? Dan dimana
pula kampong Bandoeng (lama) itu? Jawabnya: kelak akan dibuat Sejarah Bandoeng
tersendiri (untuk melengkapi Sejarah Sepakbola Bandung).
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar