Tragedi Cina Batavia 1740 adalah sebuah
peristiwa memilikukan yang pernah diceritakan. Puncak tragedi terjadi pada tanggal
11 Oktober 1740. Namun anehnya, adanya pembantaian Cina (Chinezenmoord) di
Batavia tidak pernah sebelumnya diberitakan. Terminologi Chinezenmoord bahkan
tidak pernah ditemukan sesudahnya. Baru pada tahun 1972 terminologi Chinezenmoord
muncul (NRC Handelsblad, 29-09-1972). Lantas sesungguhnya apa yang terjadi pada
tahun 1740 terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia. Apakah ceritanya lebih
menyeramkan daripada kenyataannya atau sebaliknya kenyataannya lebih mengerikan
dibanding ceritanya. Semua itu bersifat misteri hingga tahun 1972.
Oprechte Haerlemsche courant, 18-07-1741 |
Artikel
ini berhasil menelusuri semua koran-koran yang terbit di Belanda pada tahun
1740 dan 1741. Surat kabar yang pernah melaporkan adalah koran Oprechte
Haerlemsche courant edisi 15-07-1741 dan edisi 18-07-1741. Dua edisi ini cukup
lengkap menggambarkan situasi dan kondisi yang ada tentang orang-orang Tionghoa
di Batavia.
Chinezenmoord Terkuak 1972
NRC Handelsblad edisi 29-09-1972 secara
terbuka melaporkan Tragedi Cina di Batavia tahun 1740 dengan judul: ‘Lijken
gevonden van massamoord op Chinezen in Nederlands-Indiƫ in 1740 (Mayat
ditemukan dalam pembunuhan massal Tionghoa di Hindia Belanda pada tahun 1740).
Berita itu pada intinya melaporkan ketika adanya pembangunan sebuah pusat
perbelanjaan baru di Jakarta telah menemukan kerangka ratusan Cina yang
dieksekusi paling mungkin tahun 1740 atau hanya dibunuh oleh tentara Belanda. Orang
Cina diborgol pada saat kematian mereka. Kerangka ditemukan di sebuah lubang
yang dalamnya lima meter. Pembangunan pusat perbelanjaan untuk sementara
dihentikan untuk memberikan kesempatan untuk dilakukan penyelidikan.
Tragedi
Cina Batavia sebagai Chinezenmoord telah terkubur selama 232 tahun. Mengapa
berita besar serupa ini tidak terlaporkan di dalam surat kabar sebagai Chinezenmoord?
Apakah terminologi Chinezenmoord belum ada? Atau justru ada tetapi dalam
terminologi yang lain. Mari kita lacak!
Bermula 1722
Sejak Kota Batavia dibentuk tahun 1621 dan
setelah satu abad kemudian, Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon merasa
perlu mendatangkan imigran dari Tiongkok. Namun kehadiran imigran Cina di
Batavia tidak terlalu berhasil mendongkrak volume bisnis VOC di Batavia. Ketika
aliran imigran ini makin deras masuk, Gubernur Jenderal membatasi dan
menghambat masuknya imigran baru. Namun, itu tidak mudah. Lalu muncul keputusan
pada tahun 1732 untuk mengembalikan dan ‘mendeportasi’ atau mengusirnya ke
tengah lautan.
Imigran yang tidak mengindahkan larangan lalu
ditangkap, diborgol dan akan dikirim ke Afrika Selatan. Sebagian dari mereka
yang tidak berhasil ditangkap dan masih ‘berkeliaran’ di pinggir kota membuat
pejabat VOC menjadi kewalahan. Lalu pada tanggal 25 Juli 1740 Gubernur Jenderal
Adriaan Valckenier memutuskan agar semua Cina yang berkeliaran tanpa surat izin
(semacam KTP sekarang) ditangkap dan diborgol untuk ditahan. Tindakan yang
sangat represif ini menimbulkan kebencian di kalangan Tionghoa. Puncak kebencian
ini menyebabkan timbulnya pemberontakan secara resmi melawan Belanda pada
tanggal 8 dan 9 Oktober di Batavia. Beberapa penyerangan yang dilakukan
Tionghoa dapat ditahan dan berhasil dipukul mundur, Namun untungnya bagi
Belanda, orang-orang Tionghoa yang berada di dalam kota (yang memiliki Izin
atau semacam KTP) tetap tenang. Namun demikian posisi Belanda di Batavia pada
waktu itu dalam situasi mengerikan.
Lantas kemudian Gubernur Jenderal mengusulkan ‘membersihkan
kota dari orang-orang Cina’, namun usul itu tidak bisa diterima oleh Dewan
Hindia Timur. Dalam kenyataannnya, Dewan menemukan telah terjadi pemeriksaan
pada semua rumah Cina dan bagi yang melawan dan berbahaya diambil tindakan
lebih lanjut. Ketika putusan pemeriksaan telah dimulai, kurang dari satu jam
setelah putusan diteapkan tetapi dalam prakteknya yang terjadi adalah pembantaian
yang sangat berdarah, dimana lebih dari 10.000 orang Cina, pria, wanita dan
anak-anak dibunuh dan rumah-rumah mereka dijarah dan dibakar pada tanggal 9 dan 10 Oktober tanpa adanya langkah-langkah yang
diambil oleh Gubernur Jenderal untuk menghalanginya.
Peristiwa
inilah yang disebut Chinezenmoord oleh NRC Handelsblad edisi 29-09-1972 pada
tahun 1740. Sejak berita inilah Chinezenmoord di Batavia sebagai isu pokok yang
terus bergulir kemudian baik di dalam surat kabar maupun artikel-artikel di
dalam jurnal dan buku-buku yang terbit kemudian.
Lantas mengapa Tragedi Cina di Batavia 1740
tidak pernah ada yang melaporkan sebelumnya. Pertama, surat kabar yang ada pada
masa itu besar kemungkinan dimiliki oleh para pedagang VOC. Pembataian ini
boleh jadi dianggap bukan kemenangan tetapi malah genosida yang harus didiamkan
atau disembunyikan. Kedua, pada masa itu, belum ada hubungan internasional dan
di Batavia sepenuhnya didominasi oleh orang-orang Belanda dan segilir orang
Eropa lainnya yang tidak memiliki pengaruh untuk melaporkannnya.
Setelah
kejadian tragedi Batavia Oktober 1750 tidak satu pun surat kabar di Belanda
yang melaporkan kejadian. Koran-koran tersebut seperti Leydse courant (Leyden),
Oprechte Haarlemsche courant (Haarlem), Amsterdamse courant (Amsterdam). Semua
koran ini sepenuhnya melaporkan berita kapal, pelayaran keberangkatan dan
kedatangan orang Eropa dari dan ke berbagai tempat. Bahkan Leydse courant pada
bulan Maret 1741 melaporkan kapal Belanda telah tiba dua kali di China. Berita
kapal ke China itu seakan menafikan peristiwa yang belum lama berlalu. Mungkin
ada pelaut atau orang Tionghoa yang pulang ke Tiongkok lalu melaporkan
peristiwa yang terjadi, tetapi apa daya, Tiongkok saat itu tidak ada apa-apanya
dibandingkan Eropa. Oleh karena itu tidak ada reaksi dari Tiongkok. Semuanya
berjalan apa adanya, demikian juga orang-orang Tionghoa di Nusantara terus
melakukan kehidupannya.
Ketiga, pelayaran ke Eropa, dimana surat-surat
kabar yang ada terbit, membutuhkan waktu yang lama yang dapat memakan waktu
berbulan-bulan dari Batavia ke Belanda. Keempat, belum ada museum yang
menyimpan arsip dan penelitian di perguruan tinggi belum berkembang. Kelima. Boleh
jadi masa itu belum ada HAM, pembunuhan baik sedikit maupun massal dianggap
sesuatu yang lazim?.
Ketika
pers Belanda di Hindia Belanda mulai berkembang di pertengahan abad ke-19,
tragedi ini telah berlalu seabad lamanya. Semua insan pers yang hidup dalam
awal era demokrasi pers adalah generasi yang lain yang tidak terhubung dengan
peristiwa. Informasi masa lalu tidak/belum menjadi bagian dari investigasi
jurnalistik. Generasi ini juga menambah gelap adanya peristiwa yang pernah
terjadi pada tahun 1740. Oleh karena itu, baru setelah penggalian dalam
pembangnan pusat perbelanjaan di Jakarta 1972 kasus masa lampau ini terungkap
ke permukaan. Investigasi pers lalu dimulai terhadap kasus ini.
Berita Surat Kabar Pertama
Berita pertama tentang peristiwa orang-orang
Tionghoa di Batavia dilaporkan surat kabar di Belanda. Tunggu deskripsi lengkapnya.
Oprechte Haerlemsche courant, 15-07-1741: '.....'
Oprechte Haerlemsche courant, 18-07-1741: '.....'
Dari Bidara Cina Hingga Pondok Cina
Sebelum VOC mendatangkan kuli Cina untuk
dipekerjakan di Batavia sebagai kuli maupun buruh pabrik-pabrik gula, para
imigran dari Tiongkok sudah lama adanya, bahkan sebelum VOC didirikan di
Batavia, 1619. Orang-orang Tiongkok ini datang sebagai pedagang atau yang
melakukan migrasi ke berbagai tempat di Nusantara.
Satu
bukti terawal adanya komunitas Tionghoa di Batavia dicatat dalam Dagh-Register
tanggal 1 Maret 1701 ketika seorang Tionghoa baru pulang dari Padang Sidempuan
setelah sepuluh tahun berdagang di Angkola. Ia telah menikah dengan gadis
Angkola dan mempunyai seorang putri berumur lima tahun ketika dia bersama
istrinya tiba di Batavia tang 27 Februari 1701. Di Batavia orang Tionghoa ini
bergabung kembali dengan bangsanya dan memulai hidup baru sebagai petani. Boleh
jadi wanita asal Angkola yang menjadi istrinya ini sangat piawai bertani (suatu
kegiatan yang tidak lazim bagi orang-orang Tionghoa di Nusantara kala itu.
Setelah
kejadian pembantaian Cina di Batavia, orang-orang Tionghoa yang ada di Nusantara
semakin sedikit, dari yang sedikit itu mereka terpencar-pencar di berbagai
tempat dalam koloni-koloni kecil di sepanjang pantai utara Jawa, pantai-pantai
Sumatra, semenanjung Malaka dan pantai-pantai Kalimantan.
Koloni Cina di Batavia sebelum peristiwa
adalah koloni terbesar di Nusantara. Jumlahnya tentu sangat banyak, sebagaimana
dilaporkan kemudian yang terbunuh sekitar 10.000 adalah angka yang sangat
banyak. Akan tetapi setelahnya koloni Cina hanya berjumlah kecil dan tidak
memiliki pengaruh.
Dari
koloni-koloni kecil dan cukup tersebar di luar Batavia, orang-orang Tionghoa
melanjutkan kehidupannya. Boleh jadi mereka ini telah memainkan peran sebagai
pedagang keliling yang pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Namun
tentunya ada yang menetap dan membuka kampung dan kampung-kampung Cina bahkan
sudah ada sejak lama, seperti Pondok Cina dan Bidara Cina.
Ekspedisi tahun 1703 ke Pakuan (Bogor) yang dipimpin
oleh Abraham Jan van Riebeeck melalui rute: Benteng (Kastil Batavia) - Tjililitan
- Tandjong (Barat) - Seringsing (Serengseng) – Pondok Tjina - Depok – Pondok
Terong - Bodjong Manggis (dekat Bojonggede) - Kedoenghalang - Paroengangsana
(Tanah Baru). Dari nama-nama tempat ini kampung Pondok Cina diduga adalah
koloni Tionghoa di pedalaman di sekitar daerah aliran sungai Ciliwung.
Informasi ini mengindikasikan bahwa Pondok Tjina sudah ada sebelum orang
Eropa/Belanda memasuki wilayah hulu Tjiliwong. Setelah ekspedisi Riebeeck
(orang Eropa/Belanda pertama) baru menyusul para planter, seperti Cornelis Chastelein
di Depok.
Imigran
dari Tiongkok terus berlangsung, tetapi upaya VOC dengan sengaja untuk
mendatangkannya langsung dari Tiongkok tidak pernah terjadi lagi. Kuli imigran
Cina setelah 1740 telah menjadi momok. Kuli-kuli pribumi dari berbagai tempat
di Hindia Timur menjadi alternatif. Mereka ini banyak yang bestatus budak.
Boleh jadi Cornelis Chastelein temasuk yang memanfaatkan tenaga kerja pribumi
ini. Strategi ini tampaknya ditempuh untuk mengimbangi orang-orang Tionghoa
yang sudah ada seperti di Pondok Tjina.
Semakin
maraknya tenaga kerja yang didatangkan dari pribumi di hulu Tjiliwong seiring
dengan perkembangan Landhuis. Beberapa landhuis yang sudah muncul antara lain Tjiliboct,
Pondok Terong, Sawangan, Tjineli dan Koupan (lihat Vlissingsche courant, 12-03-1835).
Landhuis Pondok Terong kemudian bergeser
namanya menjadi Landhuis Tjitajam. Ini dapat dijelaskan bahwa Pondok Terong
dekat dengan sungai Tjiliwong sedangkan Tjitajam agak ke dalam menjauhi
Tjiliwong di hulu Sungai Pesanggrahan. Landhuis Pondok Terong menjadi landhuis
Tjitajam. Nama area Tjitajam inilah yang terus eksis hingga ini hari.
Bidara
Tjina diduga muncul lebih awal jika dibandingkan dengan Pondok Tjina. Garis
perdagangan orang-orang Cina dari Batavia hingga ke Bidara Cina dan kemudian ke
Pondok Cina. Tiga pusat perdaganagn orang-orang Cina ini menggunakan moda
transportasi air dimana pelabuhan terdekat Bidara Tjina berada di Tjililitan. Ini
berarti rute perdagangan orang-orang Tjina digubungkan oleh tiga pelabuhan: Batavia,
Tjililitan dan Pondok Tjina. Batavia adalah pusat sedangkan Bidara Tjina dan
Pondok Tjina sebagai basis perdagangan orang-orang Tjina di tengah di Bidara
Tjina, di hulu Pondok Tjina dan di hilir Batavia sendiri.
Sejak era Pemerintah Hindia Belanda, Bidara
Tjina menjadi pusat perdagangan yang ramai, Karena itu besar kemungkinan alasan
pemrintah menetapkan Bidara Tjina sebagai pos pertama jalan pos trans Jawa yang
dirintis dari Anjer ke Panaroekan ruas jalan pos Batavia-Buitenzorg. Lantas apa
kaitannya Cina di Tangerang dengan nama Benteng. Boleh jadi mereka yang berada
di Tangerang awalnya seperti Bidara Tjina dan lambat laun komunitas orang-orang
Cina semakin banyak dan padat yang diduga merupakan eksodus dari Batavia (pasca
pembantaian) 1740. Boleh jadi orang-orang Cina di Tangerang yang menamakan
dirinya sebagai Cina Benteng merupakan komunitas yang eksodus tersebut.
Dari
Batavia Hingga Canton
Keberadaan
orang-orang China di Sunda Kelapa boleh kadi sudah sejak lama, jauh sebelum
Belanda membuat koloni di muara sungai Ciliwung yang disebut Batavia. Dari
laporan de Houtman yang datang tahun 1895 bertemua dua kapal Cina yang berisi
penuh rempah-rempah di perairan muara suingai Ciliwung (lihat ‘Journael vande
reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in Oost Indien, haer coersen, strecking
hen ende vreemde avontueren die haer bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot
tijt aengeteeckent, ..., 1598). Jumlah orang-orang Cina di Sunda Kelapa/Batavia
terus meningkat. Menurut Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1842, jumlah
orang-orang Cina di Batavia tahun 1620 sekitar 400-500 keluarga. Juga
disebutkan pada tahun 1622 kapal jung Cina di Batavia melakukan bongkar muat
seperti cula badak, berlian dan kamper Sumatra (Tapanoeli). Majalah ini juga
menyebutkan Coen mulai memberlakukan larangan terhadap kapal-kapal Cina.
Pada dasarnya hak-hak tradisional orang-orang
Cina di Sunda Kelapa/Batavia dirampas oleh Belanda. Kekuatan militer Belanda
telah mengakuisisi semua pusat-pusat ekonomi yang di perankan oleh
pedagang-pedagang Cina. Kekuatan Cina di tempat asal sangat lemah dan bukan
tandingan lagi bagi kekuatan Cina terhadap kekuatan Eropa (dalam hal ini
Belanda). Sejak Coen, pedagang Cina yang berada di Batavia dibawah kekuasaan
Belanda/VOC.
Pedagang-pedagang
Cina juga dilaporkan dalam hal ini di Batavia tidak hanya mengumpulkan komoditi
seperti rempah-rempah tetapi juga ‘membeli’ budak-budak dari berbagai tempat
yang dibawa ke Batavia baik untuk keperluan sendiri maupun ‘dijual’ kepada Belanda/VOC.
Eksistensi orang-orang Cina mulai diakui oleh VOC ketika Gubernur Jenderal
Carventier (1625), Untuk memudahkan proses justitite diangkat kepala Cina (Hoofd
der Chineezen). Dengan demikian, di Sunda Kelapa/Batavia dua bangsa
timur-barat, China dan Belanda sudah rebutan pengaruh sejak awal perkembangan
Batavia (1619).
Pengaruh Belanda tidak hanya di Jawa dan
pulau-pulau lainnya tetapi juga sudah sampai di Jepang. Kemudian menyusul Inggris,
setelah sukses di India membuka pos pedagangan di Canton (China) tahun 1792.
Rangkaian
Pemberontakan Orang-Orang Cina
Pemberontakan
orang-orang Cina di Batavia telah lama berlalu (pada tahun 1740). Rekonsiliasi
tampaknya telah dilakukan oleh orang-orang Eropa/Belanda dengan orang-orang
Cina. Hal ini karena orang-orang Eropa/Belanda tidak bisa bekerja sendiri,
peran orang-orang Cina sangat diperlukan yang dapat melakukan perdagangan ke
tempat-tempat dimana pribumi secara ekonomi sangat potensial. Meski
pemberontakan sudah redup (era VOC) namun perlawanan (perang) orang-orang
pribumi terhadap Belanda (era Pemerintah Hindia Belanda) terdapat dimana-mana
seiring dengan meningkatnya kekuasaan Belanda. Di daerah-daerah taklukan
orang-orang Belanda mulai melakukan kolonialisme.
Satu
yang tak terduga oleh Belanda (pemerintah Belanda) ketika sistem tanam paksa
diperkenalkan dan sudah berjalan di Jawa, Padangsc dan Afdeeling Mandailing dan
Angkola terjadi peristiwa yang mirip dengan pemberontakan orang-orang Cina di
Batavia tahun 1740. Orang-orang Manbdailing dan Angkola mulai tidak tahan terhadap
koffie-stelsel dan di beberapa tempat terjadi pemberontakan. Namun peristiwanya
tidak sampai seperti pembantaian Cina di Batavia, tetapi menangkap para
pentolan-pentolannya dan menjebloskan ke penjara di benteng Elout di
Panjaboengan. Namun represif militer Belanda tidak membuat mereda namun membuat
orang-orang Mandailing dan Angkola yang tidak senang dan tidak mau kerjasama
melakukan eksodus ke berbagai tempat terutama ke pantai timur Sumatra dan
Semenanjung Malaya (sejak itu muncul komunitas-komunitas Mandailing dan Angkola
di Selangor dan Negeri Sembilan (hingga masa ini).
Peristiwa pemberontakan orang-orang Mandailing
dan Angkola ini puncaknya terjadi pada tahun 1842-1843 (satu abad setelah
pemberontakan Cina di Batavia). Pemberontakan ini ‘direkam’ dengan baik oleh Edward
Douwes Dekker yang saat itu menjadi controleur untuk pertama kali di afdeeling
Natal. Edward juga tidak tahan terhadap laporan penduduk dan kemudian
mangadvokasi penduduk. Ulah Edward ini mendapat kecaman dari koleganya sesama
controleur di Pakantan dan Angkola yang akhirnya Edwar dipecat dari jabatannya
dan diombang-ambing selama setahun di Padang tanpa diperbolehkan bertemu
istrinya yang tinggal di Batavia. Dari kasus inilah Edward Douwes Dekker mulai
intens menulis apalagi Edward menambah pengalaman baru di Banten dan salah satu
bukunya yang terkenal Multatuli/Max Havelaar [kelak nama buku ini menjadi nama
jalan di Medan (juga terdapat di Rangkasbitung). Pada saat penggantian
nama-nama jalan di Indonesia tahun 1950, jalan Max Havelaar di Medan tetap
dipertahankan tetapi dengan menggeser namanya menjadi jalan Multatuli].
Pemberontakan
kembali muncul di Deli. Pemberontakan ini mendahului terjadinya Perang Sunggal.
Pemberontakan ini bukan oleh penduduk Melayu tetapi oleh orang-orang yang
bekerja sebagai kuli Cina perkebunan-perkebunan. Pemberontakan ini terjadi
tahun 1870 karena para kuli Cina tidak tahan dengan tindakan kerjam dari para
planter. Terjadilah pemberontakan di perkebunan di Perjoet yang menewaskan
pemilik kebun dan pegawai-pegawainya. Untuk meredam jangan sampai terjadi efek
domino, militer segera menanganinya. Jumlah kuli Cina di Deli tahun 1870an
sudah berkisar 7.000-8.000 orang. Para planter juga sangat tergantung dengan
kuli Cina karena itu harus diamankan, bukan dibantai seperti yang terjadi di
Batavia 1740. Untuk itu beberapa tokoh Tionghoa diangkat sebagai pimpinan
komunitas Cina dengan pangkat Kapten (Tjong Jong Hian) dan letnan (Tjong A
Fie).
Batavia dan Medan merupakan dua kota di
Indonesia pada masa kini yang memiliki populasi etnik Tionghoa yang cukup
banyak. Di dua kota itulah di masa doeloe pernah terjadi pemberontakan yang
dilakukan oleh orang-orang Cina terhadap orang Belanda (VOC dan Pemerintah
Hindia Belanda).
Last
but not least. Pemberontakan orang-orang Cina sudah tidak pernah lagi,
orang-orang Cina sudah lebih koperatif dengan orang-orang Belanda. Hubungan
manis antara orang-orang Belanda dan orang-orang Tionghoa sudah jauh lebih
mesra. Pribumi mungkin sangat iri melihat orang-orang Cina diperlakukan begitu
baik dibandingkan dengan orang-orang pribumi. Namun demikian, tidak semua
orang-orang Cina mendapatkan kebaikan dari Belanda dan bahkan diantaranya
selama proses kebangkitan bangsa dan masa pergerakan politik untuk mencapai
kemerdekaan tidak sedikit orang-orang Tionghoa yang turut berjuang untuk
melawan Belanda.
Namun tak diduga di Tangerang, tempat dimana
komunitas orang-orang Tionghoa sudah banyak sejak 1740 mendapat suatu hantaman
besar dari kalangan pribumi setempat. Peristiwa ini dikenal sebagai Pembantaian
Cina di Tangerang yang terjadi pada tahun 1946.
*Dikompilasi
oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar