*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini
Sejarah Cisarua sejatinya sudah tua. Sejarah paling tua di daerah Puncak yang sekarang. Kampong Tjisaroea tempo doeloe adalah kampong tertinggi di lereng gunung Pangrango. Tentu saja titik puncak Pas belum dikenal. Untuk menuju Tjiandjoer dari Tjisaroea masih menyusuri sisi timur melalui Tjipamingkis. Saat itu banyak jalan menuju Tjiandjoer. Jalan utama ke Tjiandjoer melalui Bantar Gebang (muara sungai Tjilengsi) dan Tjibaroesa atau dari Karawang dan Tandjoengpoera (muara sungai Tjibeet) terus ke Tjibaroesa dan Tjipamingkis.
Sejarah Cisarua sejatinya sudah tua. Sejarah paling tua di daerah Puncak yang sekarang. Kampong Tjisaroea tempo doeloe adalah kampong tertinggi di lereng gunung Pangrango. Tentu saja titik puncak Pas belum dikenal. Untuk menuju Tjiandjoer dari Tjisaroea masih menyusuri sisi timur melalui Tjipamingkis. Saat itu banyak jalan menuju Tjiandjoer. Jalan utama ke Tjiandjoer melalui Bantar Gebang (muara sungai Tjilengsi) dan Tjibaroesa atau dari Karawang dan Tandjoengpoera (muara sungai Tjibeet) terus ke Tjibaroesa dan Tjipamingkis.
Kampong Tjisaroea (Peta 1703) dan Rute jalan pos Daendels (1810) |
Lantas apa
hebatnya Sejarah Cisarua? Yang jelas nama
Tjisaroea yang pertama dikenal di daerah Puncak yang sekarang. Kampong
Tjisaroea adalah titik terpenting yang menjadi awal dibukanya perkebunan dan
pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di lereng gunung Pangrango. Untuk mengenal lebih jauh dan menambah
pengetahuan tentang Sejarah Cisarua, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.
Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor (Now) |
Tjisaroea: Pembangunan Jalan Pos
Daendels
Pembangunan jalan pos dimulai pada tahun 1810
berdasarkan Generaal Reglement yang ditandatangai Maarschalk en Gouverneur
Generaal Daendels (lihat Bataviasche koloniale courant, 05-01-1810). Disebutkan
rute jalan pos ini dari Batavia hingga Soerabaja melalui Buitenzorg dan
Tjieceroa. Pada setiap titik etafe yang ditentukan juga dibangun pesanggrahan.
Jarak etafe ini seperti dari Buitenzorg ke Tjieceroa dan dari Tjieceroa ke
Baybang (kini sekitar Rajamandala) sebagai jarak perjalanan satu hari (dengan
menggunakan kendaaraan kereta kuda). Rute via Tjisaroea ini tampaknya sudah
eksis sejak era VOC.
Nama Tjieceroa telah diidenfikasi pada peta yang
dibuat Michiel Ram dan Cornelis Coops pada tahun 1701. Dalam ekspedisi ke hulu
sungai Tjiliwong yang dilakukan pada tahun 1703 yang dipimpin Abraham
van Riebeeck juga disebutkan telah bertemu pemimpin lokal Priangan (Preanger)
Tjiandjoer. Namun tidak dijelaskan apakah Abraham van Riebeeck sampai ke
Tjiandjoer atau hanya bertemu di Tjieceroa. Jalan setapak yang diidentifikasi
dari Tjiseroa ke hilir di sisi selatan sungai Tjiliwong melalui kampong Tadjoer
dan menyeberang sungai Tjiliwong menuju kampong Paroeng Banteng (kini
Katulampa) lalu ke hilir (sisi timur sungai Tjiliwong) melewati kampong-kampong
Bantar Kambing, Baranangsiang, Pondok Sempoer, Babakan dan Bantardjati serta agak
ke hilir Kampong Baroe. Di seberang sungai Tjiliwong diidentifikasi kampong Kedong
Waringin (Kedong Badak). Nama-nama kampong ini masih eksis hingga ini hari. Di
Kampong Baroe adalah tempat kedudukan Bupati (regent van Campon Baroe).
Komunikasi antara Tjiandjoer dan Batavia muncul.
Pada tahun 1713 Gubernur Jenderal berjunjung ke Bandoeng dan Tjiandjoer
(Daghregister 7 Juli 1713). Pada tahun 1715 surat yang dikirimkan bupati
Tjiandjoer diterjemahkan di Batavia (lihat Daghregister 9 Agustus 1715). Ada
beberapa kali surat yang diterima di (kasteel) Batavia selama tahun 1715. Pada
tahun 1722 diteriman di Batavia surat dari seorang tentara dari Tsjisaroea
(lihat Daghregister 16 Oktober 1722). Juga pada tahun yang sama diterima dari
tentara surat dari Tandjoeng Peosra. Pada tahun 1724 suatu ekspedisi ke
Tjiandjoer dan membuat akte (perjanjian) dengan bupati Tjiandjoer. Pada tahun
1739 dibuat notifikasi (perjanjian baru) dalam penanaman lada dengan bupati
Tjiandjoer. Dari catatan Kasteel Batavia ada indikasi wilayah Priangan (dalam
hal ini Tjiandjoer) diakses dari Tandjoeng Poera dan Tjisaroea.
Apa yang menjadi keutamaan kampong Tjisaroea
sejak era VOC diduga karena menjadi sebuah perkampongan yang besar. Suatu
perkampongan besar mengindikasikan populasinya sudah banyak. Oleh karena sejak
era VOC sudah terhubung dengan jalan ke (pelabuhan) Soenda Kalapa (Batavia)
diduga kampong Tjisaroea adalah pusat perdagangan di hulu paling ujung sungai
Tjiliwong. Dalam hal ini kampong Tjisaroea dan kampong Baybang menjadi dua
titik etape penting. Diantara dua titik etafe (pesanggrahan) terletak kampong
(kota) Tjiandjoer).
Keutamaan
lain dari kampong Tjisaroea sejak era VOC karena telah dijadikan sebagai salah
satu benteng (fort) VOC. Benteng VOC pertama di pedalaman adalah benteng Fort
Padjadjaran yang dirintis sejak 1687. Setelah benteng Meester Cornelis kemudian
dibangun benteng Fort Tandjoeng (kini Pasar Rebo). Paralel dengan ini setelah
benteng Tangerang kemudian dibangun benteng Fort Sampoera (kini Serpong). Demikian
juga setelah dibangun benteng Antjol kemudian dibangun benteng di Bekasi (di
muara sungai Bekasi) dan di Tandjoeng Poera (muara sungai Tjibeet di sungai
Tjitaroem). Pada tahun 1713 dibangun benteng Fort Tjiampea. Untuk mengawal
benteng Fort Padjadjaran, selain sudah dibangun benteng di Tjiampea lalu
dibangun benteng di Tjisaroea. Benteng Tjisaroea adalah benteng penghubung
antara Fort Padjadjaran dan benteng Tandjoeng Poera. Satu lagi benteng VOC
dibangun di Goenoeng Parang (kelak menjadi Soekaboemi). Pada saat Abraham
van Riebeeck menjadi Gubernur Jenderal VOC (1709-1711) beberapa benteng di
hilir sudah eksis dan tengah direncanakan benteng di hulu (Tjisaroea, Goenoeng
Parang dan Tjiampea). Abraham van Riebeeck sejak 1710 sudah mengintroduksi
(tanaman) kopi di seputar wilayah Batavia termasuk hulu sungai Tjiliwong dan
Priangan. Bibit-bibit kopi ini didatangkan dari Malabar (India). Sebelum Abraham
van Riebeeck menjadi Gubernur Jenderal VOC beberapa tahun di Malabar sebagai
Gubernur. Sebagaimana dijetahui Abraham van Riebeeck sejak 1703 telah memiliki
lahan di Bodjongmanggis (kini Bojong Gede).
Kampong Tjieseroa berinduk ke Kampong Baroe (regent
van Campon Baroe). Dimana posisi GPS Kampong Baroe diduga kuat di sekitar
Warung Jambu yang sekarang. Namun agak sedikit membingungkan jika nama Kampong
Baroe dibandingkan antara Peta 1701 yang dibuat Michiel Ram dan Cornelis Coops dengan peta yang
dibuat Isaac de Graaff yang dipublis pada tahun 1695. Nama Kampong Baroe adalah
benar-benar nama kampong yang baru (suatu nama yang asing di tengah-tengah
perkampongan asli, Soenda).
Peta
yang dibuat Isaac de Graaff berdasarkan hasil ekspedisi yang dilakukan Sersan Pieter
Scipio pada tahun 1687. Dalam peta itu, nama negorij (negeri) Campon Baroe (Kampong
Baroe) berada di hilir Tjisalak (sekitar Pasar Rebo yang sekarang). Sedangkan
nama-nama kampong di hulu sungai Tjiliwong antara lain Tjiloear, Kedong Halang
dan negorij Par[a]akan. Sedangkan pada
peta yang dibuat Michiel Ram dan Cornelis Coops pada tahun 1701 adalah
kampong-kampong Kampong Baroe, Bantardjati dan Babakan. Dengan asumsi tidak ada
salah pencatatan, diduga kepala negorij (kampong) Kampong Baroe (di Pasar Rebo
yang sekarang) telah diangkat Pemerintah VOC menjadi bupati dan relokasi ke dekat
kampong Parakan (Kampong Baroe). Besar dugaan kepala Kampong Baroe yang
relokasi adalah pewaris (utama) area dimana Fort Padjadjaran berada. Area yang kelak
disebut Bloeboer ini diketahui pemiliknya adalah kepala Kampong Baroe.
Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem baron van
Imhoff (1743-1750) pada tahun 1745 membangun villa di Kampong Baroe di dekat
Fort Padjadjaran. Villa ini pada tahun 1852 hancur karena ada serangan dari
Banten. Lalu kemudian di lokasi eks villa tersebut dibangun kembali villa. Area
ini kemudian disebut Buitenzorg.
Sejak Abraham van Riebeeck membuka lahan di
Badjongmanggis (Bodjong Gede) sejak 1703 sejumlah lahan partikelir terbentuk di
hulu sungai Tjiliwong, seperti Kedong Badak, Tjiloear dan Tanah Baroe (Kampong
Baroe). Area Fort Padjadjaran dan villa Buitenzorg kemudian dijadikan sebagai
tanah partikelir (land) dengan nama Land Bloeboer).
Pada saat Gubernur
Jenderal Daendels membangun jalan pos dari Batavia ke Soerabaja via Buitenzorg
dan Tjisaroea, land Bloeboer diakuisisi menjadi tanah Pemerintah Hindia Belanda
untuk menjadikan Buitenzorg sebagai ibu kota (pemerintah). Villa Buitenzorg
diganti dengan membangun istana Buitenzorg (istana Gubernur Jenderal). Selain
land Bloeboer, lahan yang diakuisi pemerintah adalah Pasar, Kampong Baroe dan
wilayah Bondongan (Empang). Lalu dibentuk tiga desa: Pasar, Empang dan
Paledang.
Sehubungan
dengan pembentukan kota pemerintah ini, Bupati yang sebelumnya berkedudukan di
Kampong Baroe dipindahkan ke Empang (di sekitar lapangan Empang yang sekarang).
Kedudukan Bupati berada di Kampong Empang paling tidak terdeteksi pada tahun
1843 (Javasche courant, 18-02-1843). Tidak diketahui kapan Kampong Empang
menjadi ibukota. Sementara itu di distrik Buitenzorg sendiri, selain penduduk
pribumi, populasi orang-orang Eropa dan Tionghoa sudah banyak termasuk di land
Bloeboer dimana Kampong Empang berada.
Salah satu tanah partikelir (land) di hulu sungai
Tjiliwong adalah land Tjisaroea. Land ini adalah land terjauh di hulu sungai
Tjiliwong. Siapa pemilik land Tjisaroea tidak diketahui secara pasti. Namun yang
jelas wilayah Tjisaroea sudah menjadi tanah partikelir sejak era VOC. Landhuis
land Tjisaroea tidak berada di kampong Tjisaroea tetapi di Gadok.
Pada
era pendudukan Inggris, dibentuk dua land baru yang masuk wilayah Tjiandjoer
yakni land Tjipoetri (Tjipanas) dan land Soekaboemi (Goenoeng Parang). Namun ketika
Pemerintah Hindia Belanda berkuasa kembali dua land yang berada di luar
Residentie Batavia tersebut di beli oleh pemerintah dan diserahkan kepada
Bupati Tjiandjoer.
Land Cisarua pemiliknya pada tahun 1949 bernama Raden Haji Kartawijaya Bin Raden Haji Muhamad Rais
BalasHapus