*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Raden Noto Soeroto termasuk salah satu pangeran (Pakoe Alam) dari Djokjakarta yang terbilang terpelajar di awal era pendidikan tinggi. Seperti halnya penyair, gagasannya penuh dan beragam. Ini juga tergambar pada perjalanan hidupnya yang pasang-surut. Raden Noto Soeroto adalah sosok seorang pemimpin, paling tidak pernah menjadi Ketua Indische Vereeniging di Belanda (1912-1914), namun dalam urusan pendidikannya, Raden Noto Soeroto tidak sepenuhnya berhasil. Padahal semua ketua-ketua Indische Vereeniging berhasil dalam pendidikannya. Mengapa demikian? Untuk menambah pengetahuan, dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber sejaman tempo doeloe.
Raden Noto Soeroto termasuk salah satu pangeran (Pakoe Alam) dari Djokjakarta yang terbilang terpelajar di awal era pendidikan tinggi. Seperti halnya penyair, gagasannya penuh dan beragam. Ini juga tergambar pada perjalanan hidupnya yang pasang-surut. Raden Noto Soeroto adalah sosok seorang pemimpin, paling tidak pernah menjadi Ketua Indische Vereeniging di Belanda (1912-1914), namun dalam urusan pendidikannya, Raden Noto Soeroto tidak sepenuhnya berhasil. Padahal semua ketua-ketua Indische Vereeniging berhasil dalam pendidikannya. Mengapa demikian? Untuk menambah pengetahuan, dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber sejaman tempo doeloe.
Kakek moyang Raden Noto Soeroto
bekerjasama dengan Inggris (1811-1816), lahirlah Kadipaten Pakoealaman. Jaman
telah berubah, Raden Noto Soeroto di Belanda justru lebih mempererat hubungan
pribumi dengan Belanda. Visi Noto Soeroto ini berbeda dengan yang diusung oleh Dr.
Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat di tanah air yang ingin
memisahkan Hindia dari Belanda (tetapi bekerjasama dengan orang-orang Indo)
yang kemudian lahir Indische Partij (1913). Soewardi Soerjaningrat kelak
dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara.
Raden Noto Soeroto tetap dipandang sebagai mantan ketua
Indische Vereeniging di Belanda. Suatu organisasi pelajar-mahasiswa pertama di
Belanda. Sejak kepengurusan Hoesein Djajadingrat (Ketua Indische Vereeniging
yang kedua), orientasi Indische Vereeniging mulai sedikit bergeser rel.
Mahasiswa-mahasiswa asal Sumatra yang dimotori Sorip Tagor Harahap sedikit agak
gusar yang lalu membentuk sub organisasi Indische Vereeniging dengan nama
Soematra Sepakat. Rel Indische Vereeniging baru betul-betul terselesaikan pada tahun
1922 pada era kepemimpinan Dr. Soetomo dkk (dengan nama baru Indonesische
Vereeniging). Organisasi nasional mahasiswa yang diinisiasi oleh Radjioen
Harahap gelar Soetan Kasajangan di Leiden 1908 ini lebih disempurnakan oleh
Mohamad Hatta dkk tahun 1924 dengan nama Perhimpoenan Indonesia.
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’
seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan
sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil
kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini
tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang
lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah
disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih
menekankan saja*.
Raden
Noto Soeroto
Tidak seperti Raden Soemitro, anak bupati
Koetoardjo yang berangkat studi ke Batavia tahun 1901 (di Gymnasium Willem III),
Raden Noto Soeroto, pangeran (kadipaten) Pakoealaman, Djokjakarta justru
berangkat studi ke Semarang. Raden Noto Soeroto menjadi salah satu dari 103 kandidat
yang mendaftar di sekolah menengah HBS Semarang (lihat De locomotief: Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 27-04-1901). Dari semua kandidat ini hanya empat
orang pribumi dan dua orang Cina. Selain Raden Mas Noto Soeroro, tiga pribumi
lainnya adalah Raden Bagoes Achmat, Raden Soedjono dan Raden Mas Aboeseno.
Setelah lulus HBS Semarang tepat waktu pada tahun 1906, Raden Noto Soeroto
segera berangkat studi ke Belanda.
Pribumi pertama yang diterima di sekolah HBS lima
tahun di Semarang ini adalah Raden Mas Kartono tahun 1891 (lihat De locomotief:
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 13-05-1891). Raden Mas Pandji Sosno
Kartono lulus ujian HBS tahun 1896 (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-06-1896). RM Kartono, berangkat ke
Batavia untuk test (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad,
17-07-1896). RM Kartono, anak ketiga bupati Djepara lalu melanjutkan studi
Indologi ke politeknik di Delft (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 20-07-1896). Namun Raden Kartono gagal di tahun
ketiga. Raden Kartono tidak patah arang. Pada tahun 1901 Raden Kartono mendaftar
di Universiteit Utrech dan diterima di faculteiten der godgeleerdheid enz (lihat
Algemeen Handelsblad, 25-08-1901). Raden Kartono adalah abang dari RA Kartini.
De locomotief, 20-07-1906 |
Raden Mas Noto Soeroto, setelah pamit ke orangtua
di Jogjakarta, kembali ke Semarang untuk melakukan pelyaran jarak jauh ke
Nederland. Dengan kapal uap ss Ophir untuk tujuan Amsterdam pada bulan Juli
1906 berangkat dari Semarang (lihat De locomotief, 20-07-1906). Pada manifest kapal
hanya Raden Noto Soerono yang pribumi. Setelah singgah di Batavia dan Padang
kapal ss Ophir yang ditumpangi Raden Noto Soeroto ini tiba tanggal 18 Agustus
di Marseille (lihat Algemeen Handelsblad, 20-08-1906). Raden Mas Noto Soeroto
di Belanda mendaftar di Universiteit Leiden.
Di Universiteit
Leiden sudah lebih dahulu Raden Kartono (dari Djepara) dan Hoesein
Djajadiningrat (dari Banten) terdaftar sebagai mahasiswa. Hoesein
Djajadiningrat mengambil bidang bahasa dan sastra. Sedangkan Raden Mas Noto Soeroto
dalam bidang hukum. Soetan Kasajangan sendiri mengikuti pendidikan guru di
Rijkskweekschool di Haarlem.
Pada tahun 1908 mahasiswa senior, Soetan
Kasajangan menginisiasi pembentuk organisasi pelajar-mahasiswa pribumi di
Leiden. Raden Soemitro yang belum lama menjadi mahasiswa Indologi (di Leiden)
diminta Soetan Kasajangan untuk mengirim undangan untuk pertemuan di tempatnya
dalam pembentukan organisasi. Jumlah mahasiswa sebanyak 15 orang. Pada tanggal
25 Oktober di rumah Soetan Kasajangan dibentuk organisasi mahasiswa yang diberi
nama Indische Vereeniging. Dalam pertemuaan ini turut hadir Raden Noto Soeroto.
Secara aklamasi ketua terpilih Soetan Kasajangan dan sekretaris Raden Soemitro.
Sejak adanya organisasi mahasiswa pribumi ini mulai muncul diantara orang-orang
Belanda pro-kontra tentang tanah jajahan (Hindia Belanda).
Terdapatnya organisasi kebangsaan Medan Perdamaian yang digagas
Dja Endar Moeda dan sudah berdiri sejak 1900 di Padang, Sjarikat Tapanoeli di
Medan dan kemudian disusul tahun 1908 Boedi Oetomo Batavia-Djokjakarta dan
Indische Vereeniging di Belanda orang-orang Belanda mulai gelisah. Lebih-lebih
setelah adanya diskursus tentang sistem pertahanan di Djawa apakah militer
tetap orang Belanda atau melibatkan penduduk Jawa.
Majalah
dwimingguan Bintang Hindia yang terbit sejak 1903 telah menurun reputasinya
sehubungan dengan bertambahnya surat-kabar dan majalah berbahasa Melayu yang
terbit di Hindia. Sebut saja Pertja Barat di Padang (editor Dja Endar Moeda),
Pertja Timor di Medan (editor Mangaradja Salamboewe) dan Pembrita Betawi di
Batavia (editor Tirto Adhi Soerjo). Bintang Hindia tutup tahun 1907. Hal ini
juga sehubungan dengan editor terakhir Bintang Hindia Dr. Abdoel Rivai sudah
melanjutkan studinya di Belanda.
C. Clockener Brousson, pemimpin Bintang Hindia memahami
apa yang sedang terjadi lalu membentuk baru majalah dwimingguan yang diberi
nama Bendera Wolanda pada tahun 1909. Misi C. Clockener Brousson menggantikan
nama Bintang Hindia menjadi Bendera Wolanda mudah ditebak. Dalam upayanya, C.
Clockener Brousson membujuk mahasiswa-mahasiswa pribumi untuk membantunya. C.
Clockener Brousson bertindak sebagai kepala editor dan para editor adalah
Soetan Kasajangan, Raden Noto Soeroto dan Amaroellah (pernah menjadi guru di
Idie, Atjeh). Alasan perekrutan ini karena alasan C. Clockener Brousson akan berangkat
ke Hindia selama dua tahun 1909 dan 1910. Namun para mahasiswa cepat menyadari.
Bukan
Bendera Wolanda yang diperlukan. Tetapi bintang-bintang Hindia yang semakin
banyak bersekolah di Belanda yang dibutuhkan. Pada bulan Agustus 1909 Raden
Noto Soeroto menulis di surat kabar Nieuwe Rotterdam Courant tentang masalah
pertahanan di Jawa. Raden Noto Soeroto menyindir yang lalu kemudian menjadi
viral diantara orang-orang Belanda. Sementara Soetan Kasajangan terus melakukan
diplomasi kepada perhimpunan orang-orang Belanda peminat Hindia Belanda untuk
meningkatkan pendidikan pribumi. Seorang anggota parlemen Belanda Yzerman
mencermati gerakan mahasiswa pribumi seperti dikatakannya: ‘suara-suara pribumi
sudah ada di dalam negara kita sendiri (Belanda). Sementara anggota parlemen
yang lain mengatakan ‘Kita orang Belanda lebih sadar diri, karena kita tentu
saja tidak akan merekomendasikan keangkuhan, konsep dominasi (lihat De Sumatra
post, 03-08-1909).
Lambat
laun tiga editor yang ‘dibajak’ tersebut mundur satu per satu dari Bendera
Wolanda. Soetan Kasajangan menjalin dengan investor baru (Fa. BJ Rubens &
Co.) untuk menerbitkan majalah dwimingguan baru yang diberi nama Bintang
Perniagaan (1910). Tampaknya Soetan Kasajangan mempertegas yang dibutuhkan
pribumi adalah bintang-bintang pelajar semakin banyak yang memasuki perguruan
tinggi di Belanda dan semakin cerdasnya pribumi untuk berniaga (ekspor-impor).
Pada saat Soetan Kasajangan lulus studi dan mendapat gelar sarjana pendidikan
tahun 1911, masih tetap menjadi redaktur Bintang Perniagaan. Raden Noto Soeroto
terus memainkan penanya. Sementara Soetan Kasajangan juga banyak memenuhi
permintaan untuk menjadi pengajar pertama dalam bahasa Melayu di sekolah bisnis
(Handelsschool) yang berada di Rotterdam dan Haarlem. Guru tetaplah guru,
tetapi kebutuhan pribumi masih diutamakan. Soetan Kasajangan sambil mengasuh
Bintang Perniagaan dan mengajar bahasa Melayu di sekolah bisnis tentu saja cara
yang memungkinkan untuk mempelajari cara berbisnis yang dapat diterapkan di
Hindia.
Dua vokalis dari Indische Vereeniging, Soetan Kasajangan
dan Raden Noto Soeroto terus bekerja untuk atas naa pribumi baik di Hindia
maupun Belanda. Soetan Kasajangan masih melihat ketidakadilan dalam pendidikan
pribumi. Soetan Kasajangan dihadapan para pakar bangsa Belanda menuntut
keadilan. Para pakar ini tergabung dalam
Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda
di negeri Belanda dan di Hindia Belanda). Dalam forum yang diadakan pada tahun
1911 di Belanda, Soetan Kasajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan
makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan
pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya.
Geachte
Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).
..saya selalu berpikir tentang pendidikan
bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwi tidak pernah luntur...dalam
memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang
seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini).
Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga
untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya
ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih
tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada
konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan
dalam pendidikan pribumi).
Pidato Soetan Kasajangan ini tentu saja disampaikan
dengan santun, tetapi isinya sangat menohok. Soetan Kasajangan menyindir dengan
kata-kata puitis. Hal serupa ini juga menjadi cara yang disampaikan oleh Raden
Noto Soeroto di media-media Belanda. Saat itu kepengurusan Indische Vereeniging
dipimpin oleh Ketua Hoesein Djajadiningrat (1910-1912).
Portofolio
Raden Noto Soeroto semakin meningkat di Indische Vereeniging. Soetan Kasajangan
yang telah lulus studi tahun 1911, setelah beberapa waktu bekerja di Belanda
dan terus memperjuangkan pendidikan untuk pribumi, mulai bersiap-siap pulang ke
tanah air setelah sekian tahun di Belanda. Soetan Kasajangan ingin mengaplikasikan
pengetahuan dan pengalamannya di tanah air. Raden Noto Soeroto terpilih menjadi
ketua Indische Vereeniging tahun 1912 dan Soetan Kasajangan pada bulan Juli
1913 pulang ke tanah air.
*Akhir
Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok
sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan
Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti
di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi
berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau.
Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu
senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah),
tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis
Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang
dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar