*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini
Siapa Bapak Pendidikan Indonesia? Yang jelas adalah ada dua sosok putra Indonesia terbaik yang menjadi pionir pendidikan dasar dan yang menjadi pionir pendidikan tinggi. Pendidikan menengah adalah intersection antara pendidikan dasar dan pendidikan tinggi. Sejatinya pionir pendidikan dasar adalah Willem Iskander dan pionir pendidikan tinggi adalah Soetan Kasajangan. Kedua pionir ini sama-sama menempuh pendidikan di Belanda. Willem Iskander berangkat studi ke Belanda pada tahun 1857 dan Soetan Kasajangan berangkat studi ke Belanda pada tahun 1905.
Siapa Bapak Pendidikan Indonesia? Yang jelas adalah ada dua sosok putra Indonesia terbaik yang menjadi pionir pendidikan dasar dan yang menjadi pionir pendidikan tinggi. Pendidikan menengah adalah intersection antara pendidikan dasar dan pendidikan tinggi. Sejatinya pionir pendidikan dasar adalah Willem Iskander dan pionir pendidikan tinggi adalah Soetan Kasajangan. Kedua pionir ini sama-sama menempuh pendidikan di Belanda. Willem Iskander berangkat studi ke Belanda pada tahun 1857 dan Soetan Kasajangan berangkat studi ke Belanda pada tahun 1905.
Willem Iskander adalah pionir pendidikan
Indonesia. Lantas mengapa Soetan Kasajangan dianggap sebagai pionir pendidikan
tinggi Indonesia? Soetan Kasajangan
adalah orang Indonesia pertama yang secara sadar mengklaim pendidikan tinggi
sangat diperlukan orang pribumi (baca: Indonesia). Inisiatif Soetan Kasajangan
ini didukung oleh Mr. Abendanon (sahabat Pena RA Kartini). Gerakan Soetan
Kasajangan inilah yang menyebabkan putra-putri Indonesia dari tahun ke tahun berbondong-bondong
studi (perguruan tinggi) ke Belanda. Dalam rombongan ini termasuk Todoeng
Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (tiba di Belanda 1911) dan Raden Mas
Soewardi Soerjaningrat yang tiba di Belanda bulan Oktober 1913 (lihat Bredasche courant,
03-10-1913). Soetan Kasajangan sendiri
pada bulan yang sama kembali ke tanah air setelah menyelesaikan sarjana
pendidikan. Mr. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat kelak dikenal sebagai Ki
Hadjar Dewantara (Menteri Pendidikan RI yang pertama) dan Menteri Pendidikan RI
yang kedua adalah Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D, Itulah true story-nya.
Untuk menambah pengetahuan dan untuk meningkatkan wawasan sejarah nasional
Indonesia, mari kita telusuri kiprah Soetan Kasajangan berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Organisasi Sosial Pertama Indonesia: Medan Perdamaian (1900)
Sepulang dari menunaikan haji ke Mekkah, seorang
pensiunan guru di Padang, Dja Endar Moeda sangat peduli dengan pendidikan
bangsanya. Satu buah sekolah yang dibangun pemerintah, tidak mampu menampung
jumlah penduduk usia sekolah yang ingin bersekolah. Pada tahun 1895 Dja Endar
Moeda membangun sekolah swasta di Padang. Sekolah ini sukses.
Sebagai
seorang pensiunan guru, Dja Endar Moeda tahu apa yang harus dilakukan. Menulis
buku pelajaran sendiri dan membangun perpustakaan sekolah. Dja Endar Moeda juga
menulis buku-buku roman (novel) dan mengirik artikel ke majalah-majalah. Salah
satu guru di sekolah tersebut adalah putrinya sendiri yang telah mendapat
pendidikan Eropa (ELS) dan sedang mengikuti pendidikan di sekolah guru
(kweekschool) di Fort de Kock. Putrinya yang bernama Alimatoe’ Saadiah tersebut
mengajar bahasa Belanda. Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda lahir di Padang
Sidempoean tahun 1861 lulus sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean
tahun 1884. Kweekschool Padang Sidempoean dibuka pada tahun 1879 sebagai
pengganti Kweekschool Tanobato. Salah satu guru Belanda terkenal yang bisa
berbahasa Batak di Kweekschool Padang Sidempoean adalah Charles Adrian van
Ophuijsen. Ayah Charles Adrian van Ophuijsen yang pernah nmenjadi Controleur di
Natal adalah pendiri Kweekschool Fort de Kock (1856). Dalam perkembangannya
diketahui, guru muda di sekolah swasta di Padang tersebut, Alimatoe’ Saadiah
menikah dengan dokter muda, Haroen Al Rasjid yang baru lulus STOVIA pada tahun
1904. Haroen Al Rasjid adalah anak Soetan Abdul Azis (murid pertama Willem Iskander).
Putri ‘panggoaran’ dari Dr. Haroen Al Rasjid dan guru Alimatoe’ Saadiah bernama
Ida Loemongga adalah perempuan Indonesia pertama bergelar doktor (Ph.D).
Pada tahun 1897 sebuah novel baru Dja Endar Moeda
ditawarkan kepada Percetakan
Winkeltmaatschappij yang
juga penerbit surat kabar berbahasa Melayu, Pertja Barat di Padang. Novel itu
oleh penerbit dianggap layak cetak. Namun ternyata, sebaliknya Dja Endar Moeda ditawarkan
untuk menjadi editor di surat kabar Pertja Barat. Gayung bersambung. Dja Endar
Moeda menerima manfaat ganda: novelnya dicetak dan memiliki job baru sebagai
editor surat kabar. Dua tahun kemudian, pada tahun 1899, diketahui bahwa Dja
Endar Moeda telah mengakuisisi surat kabar Pertja Barat (termasuk
percetakannya). Motto surat kabar Pertja Barat kemudian diubah menjadi: ‘Oentoek
Segala Bangsa’ (untuk semua suku/etnik pribumi).
Kini, Dja
Endar Moeda tidak hanya memiliki sekolah, juga percetakan (Winkeltmaatschappij) dan surat kabar (Pertja Barat).
Pada tahun 1900 Dja Endar Moeda menerbitkan satu lagi surat kabar berbahasa
Melayu yang diberi nama Tapian Na Oeli. Surat kabar ini ditujukan sirkulasinya
di Residentie Tapanoeli. Masih pada tahun 1900, Dja Endar Moeda menerbitkan
majalan dwi mingguan yang diberi nama Insulinde. Majalah ini berisi
artikel-artikel pembangunan, pemngembangan pertanian dan perihal sosial budaya.
Lengkap sudah mimpi Dja Endar Moeda. Seperti dikatakannya, pendidikan dan
jurnalistik sama pentingnya, sama-sama mencerdaskan penduduk (pribumi). Dja
Endar Moeda adalah editor surat kabar pertama pribumi dan juga pribumi pertama
pemilik surat kabar dan percetakan.
Dalam posisi pribumi terkaya di kota Padang, Dja
Endar Moeda menginisiasi pembentukan organisasi sosial di Padang. Organisasi
kebangsaan ini diberi nama Medan Perdamaian yang didirikan tahun 1900. Dja
Endar Moeda berindak sebagai presidennya. Medan Perdamaian adalah organisasi
kebangsaan (Indonesia) yang pertama didirikan. Cabangnya kemudian dibentuk di
kota-kota lain di (pantai barat) Sumatra.
Sebagai
organisasi kebangsaan, yang juga dengan motto Oentoek Sagala Bangsa tidak
membeda-bedakan suku bangsa. Pada tahun 1902 organisasi kebangsaan Medan
Perdamaian mengirimkan bantuan senilai f14.000 untuk peningkatan mutu pendidikan
di Semarang. Sumbangan dikirimkan melalui Direktur Pendidikan Pantai Barat
Sumatra, Charles Adrian van Ophuijsen (mantan gurunya di Kweekschool Padang
Sidempoean). Catatan: selama delapan tahun menjadi guru di Kweekschool Padang
Sidempoean, lima tahun terkahir menjadi direktur sekolah yang kemudian
dipromosikan menjadi Direktur Pendidikan Pantai Barat Sumatra yang berkedudukan
di Padang.
Pada tahun 1903 seorang ilmuwan Belanda yang bisa
berbahasa Malayu, Dr AA Fokker berkunjung ke Hindia Belanda untuk mempromosikan
majalah dwi mingguan berbahasa Melayu, Bintang Hindia yang terbit di Belanda.
Dalam rangka lawatan ke Hindia Belanda, selain di Batavia, Fokker juga ke
Bandoeng, Padang dan Medan. Fokker adalah advisor majalah Bintang Hindia. Boleh
jadi Fokker ingin belajar dari keberhasilan surat kabar Pertja Barat di Padang dan
surat kabar Pertja Timoer di Medan. Editor surat kabar berbahasa Melayu, Pertja
Timor yang diterbitkan oleh surat kabar Sumatra Post adalah Hasan Nasoetion
gelar Mangaradja Salamboewe. Hasan Nasoetion adalah alumni Kweekschool Padang
Sidempoean 1892 (editor pribumi kedua). Pada saar kembali 'Dr AA Fokker ke
Belanda, ikut bersamanya tiga orang dari Padang, satu diantaranya Dja Endar
Moeda.
Algemeen
Handelsblad, 16-07-1903: .'Dr AA Fokker dari Amsterdam yang baru-baru ini
berkunjung ke Sumatra mengirimkan tulisan berjudul: Perjalanan ke (pantai)
Barat Sumatra. Fokker mengatakan bahwa masih dalam bulan ini ada tiga orang dari
Padang datang ke Amsterdam. Satu diantara tiga orang tersebut adalah Dja Endar
Moeda. [Koran ini menyebutkan bahwa] anak Batak di Padang ini terkenal dan
terampil, adalah editor dua bilah koran (berbahasa) Melayu dan (satu buah)
majalah, akan berkesempatan untuk mengunjungi negara kita. Pria ini akrab
dengan bahasa kita dan teman baik peradaban kita. Kita sudah lihat--dalam
imajinasi kita--sudah ada koloni (pekerja) Melayu di Amsterdam dimana ruang
besar (di Belanda) akan mampu memancarkan peradaban jauh ke tanah musim panas
abadi di Asia Tenggara (maksudnya Nederlandsche Indie). [Fokker dalam tulisan
ini juga menyebut] saat ini tujuh belas Melayu dari Straits (mungkin maksudnya
koloni Inggris—Malaya dan Singapura) telah berada di London. Apakah anak asuh
(maksudnya pribumi Hindia Belanda) kita, akan segera seperti England? Kami
tidak percaya. (Dr AA Fokker: Amsterdam, 6 Juli 1903).
Dua orang yang bersama Dja Endar Moeda tersebut
adalah guru senior Soetan Kasajangan dan guru junior Baginda Djamaloeddin bin
Mohamad Rasad. Radjioen Harahap gelar Soetan Kasajangan adalah guru sekolah di
Padang Sidempoean dan Baginda Djamaloeddin yang belum lama lulus di Kweekschool
Fort de Kock bekerja untuk Dja Endar Moeda sebagai asisten editor majalah
Insulinde. Dja Endar Moeda tidak lama di Belanda (sekitar tiga bulan termasuk
perjalanan bolak-balik), Namun Soetan Kasajangan dan Djamaloeddin Rasad tetap
di Belanda (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant, 26-07-1904).
Provinciale Drentsche en Asser courant, 26-07-1904 |
Dalam perkembangannya diketahui Dr. Abdoel Rivai,
dokter di Bandoeng, alumni Docter Djawa School (kemudian berubah nama menjadi
STOVIA tahun 1902) juga menyusul sendiri ke Belanda. Beberapa waktu kemudian,
Dr. Abdoel Rivai menjadi editor Bintang Hindia.
Di
Belanda sudah ada orang terpelajar yang sudah lebih dahulu tiba. Paling tidak
yang pertama adalah Raden Mas Kartono lulus ujian HBS di Semarang (Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-06-1896) dan
kemudian RM Kartono, berangkat ke Batavia untuk test perguruan tinggi (De
locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 17-07-1896). RM Kartono,
anak ketiga Bupati Djepara akan melanjutkan studi Indologi ke politeknik di
Delf (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
20-07-1896). Raden Mas Pandje Sono Kartono dalam kuliahnya gagal (DO). Akan
tetapi RA Kartono tidak putus asa dan kemudian mendaftar di universitas lain di
Utrech dan diterima di faculteiten der godgeleerdheid enz/Fakultas Teologi
(Algemeen Handelsblad, 25-08-1901). RA Kartono adalah abang dari RA Kartini.
Pada
bulan Juni 1904 tiba Hussein Djajadiningrat di Belanda untuk melanjutkan studi.
Raden Hoessein Djajadiningrat lulus ujian akhir HBS lima tahun di Weltevreden
(lihat Soerabaijasch handelsblad, 13-06-1904). Hussein Djajadiningrat segera
bergegas untuk melanjutkan studi ke Belanda. Dengan kapal ss Sindoro, pada
tanggal 14 Juni berangkat dari Tandjoeng Priok menuju Amsterdam via Padang
(lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-06-1904). Singgah di Marseille dan berangkat
lagi tanggal 25 Juli dari Marseille (lihat
Haagsche courant, 27-07-1904).
Setelah cukup lama di Belanda, Soetan Kasajangan pulang
ke tanah air untuk mengantar istrinya pulang ke kampong halaman. Sementara
Soetan Kasajangan akan kembali ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Soetan
Kasajangan dan istri berangkat dari Amsterdam tanggal 5 Juli 1905 dengan kapal
Prinses Juliana menuju Batavia. Soetan Kasajangan melanjutkan pelayaran ke
Sibolga dan seterusnya ke Padang Sidempoean dengan kereta kuda. Pada akhir
tahun 1905 Soetan Kasajangan sudah di Belanda kembali. Salah satu himbauan
Soetan Kasajangan yang dimuat di Bintang Hindia, 1905 dapat dibaca pada buku Di
negeri penjajah: orang Indonesia di negeri Belanda, 1600-1950, Harry A. Poeze,
Cornelis Dijk, Inge van der Meulen, Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.
De Sumatra post, 08-11-1905 |
Pada bulan Agustus 1906 Soetan Kasajangan sudah
melakukan praktek pengajaran di sekolah dasar yang dipimpin oleh G Smelt (lihat
Het vaderland, 22-08-1906). Pada bulan Juli 1906 Soetan Kasajangan lulus ujian
akte guru sekolah dasar Lager Onderwijs di Rijkskweekschool te Haarlem (lihat De
Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 23-05-1907). Disebutkan di Haarlem, 21
Mei dari lima orang kandidat lulus tiga orang yakni OMA Wijsman dari Zandvoort,
MAH van Zoelen dari Haarlem dan Soetan Kasajangan Soripada dari Batoe Na Doea (Hindia
Belanda). Berita kelulusan Soetan Kasajangan menjadi sangat heboh di Belanda.
Belasan surat kabar memberitakan dan mewawancarainya. Soetan Kasajangan adalah
pribumi pertama yang mendapat sertifikat-akte pendidikan sekolah dasar di
Belanda. Pada masa ini, akte pendidikan guru sekolah dasar lulusan Sekolah
Pendidikan Guru (SPG).
Harry A. Poeze, dkk, Gramedia, 2008 |
Keberhasilan Soetan Kasajangan ini juga menjadi heboh di tanah air. Semua
surat kabar yang terbit di Jawa dan Sumatra memberitakannya. Satu yang paling
penting dari pemberitaan di Belanda dan Hindia Belanda adalah hasil wawancara
wartawan surat kabar besar yang terbit di Belanda De Telegraaf yang dimuat pada
edisi 03-06-1907 [Catatan: tulisan ini juga dilansir (copy-paste) oleh surat kabar yang terbit di Batavia,
Bataviaasch nieuwsblad edisi 02-07-1907].
De Telegraaf, 03-06-1907: ‘R. SOETAN CASAJANGAN
SORIPADA
De Telegraaf, 03-06-1907 |
— Naar de Ba...ba..., wat?...
...„de Bataklanden...., kin, je aardrijkskunde!
....'t volk fascineert me...; ik zou willen studeeren...,
reizen..., oh!, óveral..., naar Manukari, Warekori...., wo man alles Leid vergisst....
woder gluckliche Maori seine Schwiegermutter frisst!!...
Bayangkan, Bu, bahwa di pagi
hari yang tenang suami Anda dengan sarapan roti gulung dengan secangkir teh.
Namun dengan kebingungan Anda justru menuangkan botol cuka di atasnya ...? Tapi
pikirkan bahwa itu tidak pernah menjadi keinginan Anda untuk hati nurani yang
serius dengan rencananya .... Maka Anda memiliki emosi istri dan kerabat
Batakker yang disebutkan di atas, ketika ia pergi ke Holland. Tidak pembaca,
ini bukan seorang pangeran Hindia -
seperti yang Anda pikirkan ketika membaca nama panjangnya, tetapi sesuatu yang
lebih baik: yaitu seorang lelaki yang melepas topinya kepada Anda dengan rasa
hormat spontan! - Karena seminggu yang lalu, seorang penduduk di pedalaman
Batak di Haarlem lulus ujian akta guru sekolah dasar Belanda, dan itu, setelah
hanya tiga tahun ia menghabiskan waktunya di negara kita! Melihat pabrik
pemintalan, berjalan pagi di padang rumput yang berumput dan jalan-jalan
Haarlemmer, pelayanmu yang patuh telah menyegarkan diri dengan kenangan
paragraf dalam buku geografinya, yang dikhususkan untuk Batakker ... banyak
suku ... banyak pertempuran. Hatimu terbuka! Anda melihat mereka, orang-orang berkulit
sawo matang dengan gigi hitam dan kerudung berwarna-warni; lincah seperti
kucing di antara semak-semak yang keras dan lebat! .... tombak panjang di
tangan. Lembing ringan melompati udara. Pisau, pedang senjata eksentrik,
berkilau di bawah sinar matahari ... Seorang tahanan perang bertugas sebagai
budak, atau dalam vol-au-vent pemenangnya. Kerbau dengan hidung lebar mengendus
tanah. Di dalam hutan, seorang pemburu yang sendirian mengintip di sekitar
pohon dengan seekor raja harimau: matanya seperti bara yang bercahaya, dan
cakarnya mencengkeram batang yang merobek-robek mangsanya! Di rumah-rumah kayu
yang dibangun di atas panggung, para wanita menumbuk padi, dan setelah bekerja
seharian para pria duduk bercengkrama atau menari dengan musik simbal,
klarinet, gitar dan gong...,mereka tidak bernafsu untuk sepak bola untuk saat
ini, dan sedang memperlihatkan jimat menyeramkan yang baru diperoleh, dimana
beberapa musuh harus berkontribusi sendiri, tapi ... oh, tempora, oh adat
istiadat! waktu, peradaban Eropa telah banyak mengubah..., menjadikannya ketika
aku memasuki rumah kecil yang bersih di Haarlem di belakang yang bercat biru
dan putih...,aku sedang menghadapi ...seorang pria yang benar, berkulit gelap dengan
mengenakan jas, yang mempersilahkan saya duduk sabil menunjuk sebuah kursi
seperti yang dilakukan oleh orang yang paling beradab di antara orang-orang
beradab di Batavia. Dan orang Belanda Amsterdamm dapat mengambil pelajaran dari
orang Batakker ini, Duduk dengan tenang di hadapanku, kata Pak Soetan, betapa
dia datang untuk mengabdi untuk tujuan mengabdi pada ibu pertiwi, untuk
diterapkan ke bahasa Belanda. Pada saat itu, di bawah kepemimpinan yang luar
biasa dari Mr Ophuysen, sekarang menjadi profesor di Leiden, ia memperoleh akte
guru pribumi dan ditempatkan di daerah asalnya - Batoe Ka Doea. Anak-anak bekerja
dengan cepat di bawah bimbingannya, dan dua belas dari mereka lulus ujian
transisi mereka untuk memasuki sekolah Etopa (ELS). Anda tahu, kata Pak Soetan,
saya tahu dasar-dasar bahasa Belanda, tetapi saya sangat menyukai kata-kata
itu, yang tetap menjadi misteri bagi saya, kalimat yang yang sama yang mengubah
masa sekarang menjadi bentuk lampau. Dan aku berkata kepada kamu sekali untuk
saudaraku, aku harus pergi ke Belanda ...maka orang akan segera melihat betapa
besar keinginan pribumi untuk berkembang...Apakah Anda enam puluh? Dia
bertanya. Dan sungguh, kita telah berdebat tentang hal itu...selama
berbulan-bulan, sebelum aku datang untuk mengejar rencanaku. Jarang sekali
terjadi ketika seorang Batakker meninggalkan tanah asalnya, dan ia harus
bekerja dengan semua anggota suku keluarganya sebelum ia dapat melaksanakan
idenya. Tiga tahun yang lalu, pria berusia tiga puluh tahun itu mengucapkan
selamat tinggal kepada istri dan anak-anak, pertama kali bekerja di Amsterdam
selama setahun, dan kemudian dua tahun di sekolah Rijkskweekschool di Haarlem,
dimana dia ingin membuka jalan untuk putranya yang tertua, di antara hal-hal
lain, Bukankah itu aneh... di Belanda? Tentu saja mengerikan; dan sangat dingin
di musim dingin. Makanan berjalan cukup baik ... ayah saya, yang merupakan
kepala suatu suku, dulu melakukan kontak dengan orang Eropa ...; Saya telah
mencicipi kentang! Dan bagaimana dengan keluarga saya? Pikirkan, tepat sebelum
ujian saya, saya tidak tahu apa-apa tentang mereka. Kemudian saya menjadi tidak
tenang..., gugup. Tapi ada pesan yang saya ingat! Mereka mengharapkan membuat
yang terbaik. Dan tenang seperti saya dulu... tenang! Dengan tangannya yang
lentur membuat gerakan tenang, dia duduk di meja di seberangku. Kepala
bulatnya, warna kulit cokelat-Melayu, dengan rambut hitam pendek, kuat di atas
kerah putih di belakang kacamata lorgnet emas, matanya yang kecil dan penuh
wawasan. Kumis tipis di atas mulut lebar, dengan bibir bawah tebal yang agak
menonjol. Rencananya untuk masa depan. Nah, pengembangan dan pengembangan lebih
lanjut untuk penduduk pribumi begitu dia kembali di Hindia. Ayahnya sudah
melakukan banyak hal untuk peradaban Batoe Na Dua, selalu bersikeras mendirikan
sekolah. Saya harus melihat foto-foto. Potret rumahnya. Ya, itu dimodernisasi,
tidak berdiri di atas tiang panggung seperti rumah-rumah lain dan memiliki atap
ubin! Pohon-pohon menjulang tinggi, ada di sekitar halaman dan disamping bendera
ada bendera Belanda! - Berikut adalah foto dari seorang saudara, sebagian
dengan pakaian barat, seperti yang Anda lihat dan dia juga memakai dasi!! Pendiduk
Mohammedanche umumnya tidak menyukainya. Anak Bataksche yang baik di lututnya
itu adalah putranya. Ini adalah makam ayahku. Hanya para kepala suku dimakamkan
disitu.... Saya bertanya apakah nama panjangnya juga memiliki makna khusus. Soetan
adalah nama gelar keluargaku, katanya, dan Soripada adalah nama kakekku, oleh karena
kami setiap seorang anak lelaki dinamai menurut nama kakek dan bukan ayahnya.
Dan Casajangan? Ya, dan mungkin berpikir itu gila? Casajangan berarti cinta dan
kami adalah tiga bersaudara, dan ayahku memberi julukan itu, karena - mulutnya
yang lebar tersenyum lembut, - dia sangat mencintaiku......Dengan mata
berkaca-kaca saya mengucapkan selamat tinggal kepada saudara lelaki saya dan
mereka memberi surat wasiat kapada saya, berharap saya lebih sukses dalam
rencananya. Dan sementara teringat dessa, dia berfilsafat tentang kerja,
keberanian, dan ketekunan penduduk asli Sumatra ini. Para tetua Batakker memiliki
keyakinan yang menaungi jiwa berada di kepala mereka, ini bukti cara intelek
mereka. Mungkin beberapa takhayul akan hidup kembali ketika Pak Soetan
mengembalikan "mit Preis krrönt" dengan Batoe-Na-Doaa yang
dicintainya!
Soetan Kasajangan tidak puas hanya sampai akte
guru sekolah dasar (guru untuk sekolah Eropa ELS). Soetan Kasajangan tidak
ingin segera pulang ke tanah air. Soetan Kasajangan seperti rencananya semula
ingin menjadi sarjana (agar bisa mengajar di sekolah menengah, seperti
Kweekschool atau Normaal School). Soetan Kasajangan kemudian mendaftar pada
tahun 1907 juga di sekolah keguruan (semacam IKIP pada masa ini).
Soetan
Kasajangan sudah menjadi mahasiswa, seperti teman-temannya yang lain seperti RA
Kartono dan Hoesein Djajadiningrat. Dr. Abdoel Rivai dan Baginda Djamaloeddin
juga mengikuti langkah yang dilakukan Soetan Kasajangan. Dua Tehupelory
bersaudara yang datang ke Belanda untuk membantu suatu projek riset juga
mengikuti langkah yang dilakukan oleh Dr. Abdul Rivai. Beberapa alumni Docter
Djawa School juga mulai menyusul datang ke Belanda seperti F Laoh.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Soetan Kasajangan dan Boedi Oetomo (1908)
Sebagai mahasiswa senior dan berprofesi guru di tanah air, Soetan Casajangan merupakan mahasiswa pertama di luar negeri yang tidak berbicara lagi tentang dirinya sendiri tetapi meningkat tentang soal kebangsaan dan nasib bangsanya sendiri. Bangsa pribumi harus ditingkatkan pendidikannya juga perlu mempelajari bahasa asing (waktu itu bahasa internasional adalah Bahasa Belanda). Menurut Soetan Casajangan, memiliki pengetahuan bahasa asing melalui pendidikan merupakan kunci untuk memperoleh pengetahuan secara luas. Soetan Casajangan memulai memperjuangkan pendidikan untuk bangsanya sendiri melalui perlunya mendidirikan sebuah organisasi mahasiswa. Gagasan pendidirian organisasi mahasiswa ini dapat diwujudkan dengan berdirinya Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) yang disahkan pada tanggal 25 Oktober 1908 di Leiden. Soetan Casajangan menjadi presiden pertama.
De nieuwe vorstenlanden, 01-02-1909 |
Organisasi ini menggalang persaudaraan orang
Indonesia yang berada di negeri Belanda yang dikemudian hari menjadi cikal
bakal Perhimpunan Indonesia (PI) di Eropa. Ketika Indische Vereeniging
didirikan pada waktu yang relatif bersamaan didirikan organisasi Boedi Oetomo
yang digagas oleh dokter Wahidin Soedirohoesodo. Keutamaan Indische Vereeniging
karena cakupannya lebih luas yang berbasis Indonesia (kebangsaan) sedangkan
organisasi Boedi Oetomo hanya terbatas di wilayah Jawa dan Madoera saja.
Soetan Kasajangan:
Pionir Pendidikan Tinggi
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar