*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Beberapa hari yang lalu muncul polemik tentang perdebatan soal apakah militer untuk rakyat atau militer untuk penguasa (pemerintah). Dalam hal itu dipertentangkan apakah militer untuk membela rakyat atau membela pemerintah. Namun sesungguhnya perdebatan itu muncul karena kesalahan persepsi masa kini yang kurang memahami sejarah militer (TNI) di Indonesia. Artikel ini tidak mermpesoalkan perdebatan itu, tetapi ingin memperhatikan bagaimana awal sejarahnya.
Lantas bagaimana sejarah semboyan ‘dari kayat, oleh rakyat dan untuk rakyat’ di Indonesia? Seperti disebut di atas formulasi itu muncul diantara anak-anak Tapanoeli yang tengah berjuang di Jawa untuk mempertahankan kemerdekaan. Semboyan itu tidak hanya di lingkungan militer, tetapi juga dalam dunia jurnalistik. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Sejarah Militer di Indonesia Sejak Zaman Kuno: Inspirasi Lahirnya Militer Indonesia (TNI)
Sejarah militer di bumi Indonesia, berlapis-lapis sejak era zaman kuno. Sejarah militer Republik Indonesia (kini menjadi TNI) adalah era terakhir. Pada era Pemerintah Hindia Belanda pembentukan tentara Pemerintah Hindia Belanda (KNIL) tidak bersumber dari semua daerah. Yang jelas tidak ada yang berasal dari wilayah Tapanoeli (Residentie Tapanoeli).
Pemerintah Hindia Belanda membentuk militer berdasarkan militer inti dari tentara Kerajaan Belanda ditambah dengan tentara profesional dari Eropa (negara lain di luar Belanda). Untuk menambah kekuatan, jumlah personil direkrut dari penduduk pribumi di sejumlah wilayah atas pertimbangan akses (izin pemimpin lokal) dan kebutuhan. Dalam Perang Jawa (1825-1830), militer Pemerintah Hindia Belanda dibantu oleh tentara berasal dari Madura dan Monahasa/Manado. Mengapa tidak dari Jawa atau dari Soenda? Dalam Perang Padri (1830-1837) mengapa tentara dari Madura dan Jawa dan bukan dari Lampung, Bangka atau Palembang? Bukan soal agama, tetapi kesediaan dan disesuaikan tidak berasal dari wilayah tetangga. Demikian juga, mengapa dalam Perang Tamiang dan Perang Arjeh tidak dari Tapanuli, tetapi dari wilayah Melayu, Madura dan Jawa? Demikian juga dalam Perang Banjar dan Perang Bone dari Madura dan Jawa dan mengapa bukan dari Ternate atau Manado? Namun dalam Perang Bali mengapa juga didatangkan dari Manado? Yang jelas, nyaris tidak pernah terdengar tentara berasal dari Batak dan Soenda. Mengapa?
Pada saat Pemerintah Hindia Belanda secara psikologis tertekan, karena eskalasi perang di Asia Timur meningkat dan gerakan politik peribumi di dalam negeri (1935-1937), orang-orang Belanda mulai menyuarakan agar dibuka kesempatan masuk militer (KNIL) berasal dari Tapanoeli. Mengapa persepsi orang Belanda berubah? Yang jelas pada angkatan tahun 1940 di Akademi Militer di Bandoeng terdapat dua pemuda asal Tapanoeli yang diterima. Dua pemuda itu adalah Abdoel Haris Nasution dan TB Simatoepang.
Dalam beberapa dekade terakhir, selain di Jawa (minus bagian barat), militer Pemerintah Hindia Belanda (KNIL) yang berasal dari pribumi hanya dari beberapa daerah terutama dari Ambon, Bali dan Manado. Pusat pelatihan militer di Gianjar dan Singaradja saat itu cukup terkenal. Di wilayah Tapanoeli tidak ada pusat pelatihan militer. Militer Pemerintah Hindia Belanda yang berasal dari pribumi di Tapanoeli berasal dari Jawa. Pangkat tertinggi tentara untuk yang berasal dari pribumi adalah Majoor. Selain dari pribumi, ada juga tentara yang Pemerintah Hindia Belanda yang berasal dari luar seperti dari Afrika. Sementara pada era pendudukan Inggris 1811-1816) tidak ada tentara yang berasal dari pribumi, tetapi ada yang berasal dari luar seperti dari Nepal atau wilayah di India.
Pada era VOC rekrutmen tentara berbeda dengan era Pemerintah Hindia Belanda. Militer dalam Pemerintahan VOC tidak didasarkan pada wilayah administrasi pemerintahan seperti pada era Pemerintah Hindia Belanda. Rekrutmen didasarkan atas basis adanya kerjasama (kontrak) antara pejabat VOC dengan pemimpin-pemimpin lokal (kerajaan-kerajaan). Oleh karena kerjasama VOC di luar Jawa umumnya di kerajaan-kerajaan di wilayah pantai maka rekrutmen tentara berasal dari kerajaan-kerajaan di pantai.
Pada era VOC, oleh karena Pemerintah Kerajaan Belanda tidak terlibat, maka sistem rekrutmen tentara di dalam militer VOC (tentara inti) didasarkan pada kehadiran tentara-tentara profesional apakah yang berasal dari Belanda atau negara-negara lain terutama dari Prancis dan Jerman. Mengapa tidak ada yang berasal dari Inggris, Spanyol dan Portugis? Tentu saja hanya karena faktor kedekatan wilayah di Eropa (Prancis dan Jerman) dan juga atas pertimbangan karena VOC (Belanda) terbilang bermusuhan dengan Spanyol dan Portugus serta Inggris di Hindia Timur sejak lama. Untuk mendukung militer VOC yang berasal dari pribumi direkrut dari wilayah-wilayah dimana terdapat kerjasama VOC dengan pemimpin lokal. Yang pertama dari pribumi (pasukan) yang mendukung militer VOC berasal dari Bali (kerjasama VOC bahkan sudah ada sejak kehadiran pertama pelaut-pelaut Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman tahun 1597). Pasukan dari Bali ini menjadi kekuatan pendukung utama ketika VOC menjadi pusat di Batavia tahun 1619. Lalu kemudian menyusul pasukan dari Banda, Ternate dan wilayah lainnya di Maluku. Pada tahun 1665 direktur pasukan yang berasal dari Bugis yang pimpinannya yang terkenal adalah Aru Palakka (dan Aru Petodjo). Pasukan Aru Palaka ini turut membantu militer VOC dalam mengusir para hulu balang Atjeh dari pantai barat Sumatra dan yang paling terkenal ikut membantu militer VOC di bawah pimpinan Admiral Speelman dalam menaklukkan kerajaan Gowa tahun 1669. Sejak itu pasukan yang berasal dari daerah-daerah di Sulawesi Selatan menggantikan posisi sebagian besar dari pasukan yang berasal dari wilayah Maluku (Ternate dan Banda). Pasukan yang menggantikan posisi pasukan Aru Palaka di Jawa kemudian digantikan oleh pasukan yang bersal dari Maluku (Kapiten Jonker) yang aktif ikut membantu militer VOC dalam Perang Banten (1680an). Pasukan Kapten Jonker ini juga masih dilibatkan untuk memperkuat pasukan yang berasal dari Sulawesi Selaytan dalam invasi VOC di Jawa (Jawa bagian rengah dan Jawa bagian timur). Pasukan yang berasal dari Bali tidak pernah absen. Demikian seterusnya menyusul pasukan dari wilayah Melayu yang mendukung militer VOC ditambah pasukan-pasukan yang berasal dari Sumbawa (Bima, Tambora dan lainnya) serta Timor khususnya Koepang dan Flores khususnya Manggarai..
Pasukan-pasukan pribumi pendukung militer VOC ini tidak ada yang bertugas di wilayahnya sendiri tetapi bertugas jauh di luar wilayah dalam rangka mendukung militer VOC dalam berperang (dengan kerajaan-kerajaan lainnya). Sebagian dari pasukan-pasukan itu kemudian ditugaskan untuk menjaga dan memelihari benteng-benteng VOC di berbagai tempat. Benteng-benteng VOC yang menjadi ruang pasukan pribumi tersebar luas mulai dari Afrika Selatan hingga Papua dari Koepang hingga Kamboja.
Distribusi benteng-benteng VOC di seputar Batavia terbilang yang terbanyak, Benteng-benteng di seputar Batavia pada intinya adalah untuk mendukung keamanan di ibu kota VOC (Kasteel Batavia). Benteng-benteng lingkar satu Batavia adalah benteng Amsterdan dan pulau Onrus di teluk Jakarta, benteng Jembatan Lima dan benteng Angke di barat; benteng Antjol dan benteng Jacatra di timur serta benteng Noordwijk dan Riswijk di selatan. Benteng-benteng yang dibangun kemudian pada lingkar dua adalah benteng Tangerang dan benteng Sampoera (Serping) di barat, benteng Bekassi dan benteng Tandjong Poera di timur, benteng Meester Cornelis dan bebnteng Tandjoeng (Pasar Rebo) di selatan. Benteng-benteng di pedalaman yang terhubung dengan benteng utama Fort Padjadjaran/Fort Manila (di istana Bogor yang sekarang) dibangun benteng-benteng di Tjiampea dan Panjamboengan serta Djasinga di barat, benteng Tandjoeng Poera difungsikan di timur; benteng Soekaboemi/Tjisaat di selatan. Beenteng-benteng kecil diantara benteng-benteng di pedalaman ini dibangun benteng Tjisaroea di timur dan benteng Tjitjoeroek di selatan. Pasukan-pasukan pribumi ini setelah usai berninas (pernsiun) banyak yang tidak kembali ke kampong halaman masing-masing. Mereka ini diberikan izin membuka lahan-lahan pertanian di seputar Batavia. Dari situasi dan kondisi inilah muncul kampong-kampong baru yang diasosiasikan penduduk sekitar dengan nama kampong sesuai asal penghuni seperti kampong Bali, kampong Banda(n), kampong Tambora, kampong Jawa, kampog Bugis, kampong Barru, kampong Melayu, kampong Manggarai, kampong Bangka, dan sebagainya.
Sebelum kehadiran orang-orang/pelaut-pelaut Belanda di Hindia Timur ada satu masa yang berbeda yakni pada era Portugis/Spanyol. Dalam pembentukan kekuatan, orang-orang Portugis tidak hanya mengandalkan pada tentara-tentara/pelaut-pelaut profesional, tetapi juga para pedagang-pedagang dan misionaris-misionaris Portugis dan Spanyol membentuk komunitas-komunitas penduduk. Terutama orang-orang Portugis banyak yang melebur dengan penduduk (kawin). Salah satu faktor kesuksesan (meleburnya) orang-orang Portugis dengan penduduk pribumi adalah eksistensi orang-orang Moor.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Terbentuknya TNI: Semboyan dari Rakyat, oleh Rakyat, untuk Rakyat
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar