*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini
Cornelis Chastelein
sangat terkenal. Cornelis Chastelein adalah orang Eropa pertama yang membuka
lahan di sisi barat sungai Tjiliwong. Lahan pertama yang diusahakan di sisi barat
sungai Tjiliwong adalah lahan di Sering Sing (baca: Serengseng). Pada tahun
1706 Corneille le Bruyn pernah berkunjung ke Sering Sing. Lahan dimana Cornelis
Chastelein mengusahakan pertanian.
|
Lukisan asli Cornelis Chastelein di Serengseng (le Bruyn, 1706) |
Pada tahun 1696 Cornelis Chastelein membeli lahan baru di
Depok dan Mampang. Sebelum meninggal pada tahun 1714, Cornelis Chastelein telah
menjual lahan Sering Sing kepada Bupati Tjiandjoer. Sejak penjualan lahan
Sering Sing, Cornelis Chastelein mulai intensif mengusahakan lahan di Depok.
Ada dua dokumen
kuno yang mengindikasikan keberadaan lahan yang diusahakan Cornelis Chastelein
di Sering Sing. Dokumen tersebut adalah peta lokasi Sering Sing dan lukisan
lahan pertanian Cornelis Chastelein di Sering Sing. Namun yang menjadi rujukan
lukisan Sering Sing yang beredar selama ini bukanlah lukisan yang asli. Replika
lukisan tersebut tidak diketahui siapa pembuatnya. Lukisan yang asli dibuat
sendiri oleh Corneille le Bruyn, seorang pelancong yang memiliki keahlian
melukis.
Francois Castelijn alias Cornelis Chastelein: Orang-Orang Prancis di Hulu Sungai Tjiliwong
Francois Castelijn
adalah keturunan Prancis lahir di Amsterdam 10 Agustus 1657. Francois Castelijn
(Prancis) kemudian juga disebut sebagai Cornelis Chastelein (Belanda). Nama keluarga Castelijn juga
lebih kerap ditulis Chastelein (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 12-02-1916). Cornelis
Chastelein pada usia 17 tahun merantau ke Hindia. Cornelis Chastelein memulai
karir dari bawah di organisasi dagang Belanda (VOC) di Batavia.
Sebelum Cornelis Chastelein tiba di Batavia, aktivitas
perdagangan Belanda (VOC) telah mengalama peribahan yang cepat (lihat Hendrik
Kroeskamp, 1931). Pada saat VOC memulai aktivitas di Batavia tahun 1615 VOC telah
mengubah pola perdagangan secara longgar dan terbatas hubungan dengan komunitas
di sekitar pantai menjadi wilayah penduduk asli (pribumi) diperluas menjadi
bagian perdagangan VOC. Kebijakan berlangsung hingga tahun 1663. Antara periode
1663 hingga 1666 kebijakan VOC bergeser menjadikan penduduk asli sebagai sekutu.
Setelah tahun 1666 kebijakan VOC berubah yang mana penduduk asli dijadikan sebagai
subyek VOC. Pada era kebijakan baru inilah Cornelis Chastelein meniti karir di
Batavia.
Cornelis Chastelein
sangat berbakat di bidang perdagangan dan karirnya cepat naik. Karir tertinggi Cornelis
Chastelein menjabat sebagai Direktur General yang mana sebelumnya Cornelis
Chastelein pernah menjabat sebagai Direktur Perdagangan. Pada tahun 1680 VOC
tidak hanya menjalankan kebijakan penduduk asli dijadikan sebagai subyek tetapi
para pejabatnya juga mulai melakukan eksploitasi lahan pertanian di sekitar
Batavia (Algemeen Handelsblad, 21-11-1840).
Cornelis Chastelein sangat dekat dengan Joan van Hoorn
dan Abraham van Riebeeck. Dua nama ini kemudian menjadi Gubernur Jenderal: Joan
van Hoorn (1704-1709) dan Abraham van Riebeeck (1709-1713).
Cornelis Chastelein
melakukan terobosan baru dengan membuka lahan di sisi barat sungai Tjiliwong di
Sering Sing. Lahan di Sering Sing defacto menjadi lahan pertama yang diusahakan
di sisi barat sungai Tjiliwong. Lahan Sering Sing berlokasi antara lahan
Tjinere dan lahan Tjitajam. Dalam Peta 1695 teridentifikasi lahan Sering Sing,
lahan terjauh di sisi barat hulu sungai Tjiliwong. Sementara lahan terjauh di
sisi timur adalah lahan Chililitang (Cililitan).
|
Peta Serengseng di sungai Tjiliwong, 1695 |
Sebelum Cornelis Chastelein membuka lahan di Sering Sing,
Gubernur Jenderal memberi hadiah lahan paling potensial (subur dan luas) kepada
Sersan Mayor Saint Martin di Tjinere dan Tjitajam. Dua lahan ini diberikan
kepada Saint Martin sebagai hadiah karena Saint Martin telah berhasil meredakan
ketegangan di Banten. Meski demikian, Sant Martin masih fokus mengeksploitasi
lahan dan pabrik gula di Bekasi. Saat Cornelis Chastelein memulai eksploitrasi
lahan di Sering Sing, lahan-lahan Saint Martin belum diusahakan secara optimal.
Tidak diketahui sejak kapan Cornelis Chastelein memulai eksploitasi lahan di
Sering Sing. Namun yang jelas pada Peta 1695 sudah teridentifikasi nama lahan
di Sering Sing (sisi barat sungai Tjiliwong) dan di Tjililitan (sisi timur
sungai Tjiliwong).
Cornelis Chastelein membuka lahan di Sering Sing paling
tidak dimulai tahun 1695. Bagaimana situasi dan kondisi di lahan Sering Sing
dapat dilihat pada lukisan tahun 1706. Lukisan ini dibuat oleh Coneille le
Bruyn, seorang pelukis asal Prancis yang pernah berkunjung ke Sering Sing pada
tahun 1706. Dua dokumen (peta dan lukisan) tersebut yang ditampilkan di atas
diduga menjadi data/informasi paling tua tentang keberadaan Cornelis Chastelein
di hulu sungai Tjiliwong.
Namun sejatinya, De
Pionier di hulu sungai Tjiliwong, bukanlah Francois Castelijn alias Cornelis
Chastelein, tetapi Isaac de Saint Martin, seorang tentara profesional keturunan
Prancis yang memiliki minat yang kuat terhadap bahasa-bahasa penduduk pribumi, Isaac
de Saint Martin juga memiliki minat yang kuat terhadap botani.
Saint
Martin, De Pionier: Coneille le Bruyn dan Francois Valentjn
Dalam penulisan sejarah awal kota-kota di Indonesia, nama
Coneille le Bruyn tidak bisa diabaikan. Demikian juga nama Francois Valentjn tidak
bisa dilupakan. Francois Valentjn dan Coneille le Bruyn sama-sama keturunan
Prancis. Francois Valentjn bekerja untuk VOC dan Coneille le Bruyn seorang
pelancong yang telah mengunjungi berbagai tempat di Eropa, Timur Tengah dan
Asia. Dua orang ini termasuk dua orang pertama yang telah memberikan informasi
tentang keberadaan Cornelis Chastelein di Sering Sing.
Francois Valentjn yang cukup
lama bekerja di Amboina menulis buku terkenal berjudul Oud en nieuw Oost-Indien
yang diterbitkan tahun 1724, Buku ini cukup tebal terdiri dari lima volume. Volume
4, part 1. Java. Bantam. Batavia; part 2. Javaansche, Suratte, Groote Mogols,
Tsjina, Tayouan of Formosa).
|
Lukisan Asli vs Lukisan Replika |
Laporan perjalanan Coneille le Bruyn telah dibukukan dalam
bahasa Belanda dan diterbitkan pertama kali tahun 1714 di bawah judul Cornelis
de Bruins: Reizen over Moskovie door Persie en Indie. Buku ini diterjemahkan ke
dalam bahasa Prancis pada tahun 1718 dan mengalami revisi pada tahun 1725. Coneille
le Bruyn meninggal dunia tahun 1726. Buku ini kemudian direvisi kembali oleh
seorang Prancis Tome Cinquime dan diterbitkan pada tahun 1732 dengan judul Voyages
de Corneille le Bruyn: Par la Moscovie en Perse, et Aux Indes Orientales.
Laporan perjalanan dalam edisi Prancis ini dibuat lebih lengkap dengan
mencantumkan tanggal hari ke hari perjalanan Coneille le Bruyn pada samping
teks utama sebagai navigasi. Di dalam buku edisi Prancis inilah ditemukan semua
lukisan asli yang dibuat Coneille le Bruyn termasuk lukisan Cornelis Chastelein
di Sering Sing.
|
Cornelis de Bruins (1714) |
Lukisan Cornelis Chastelein
di Serengseng yang beredar selama ini bersumber dari buku Coneille le Bruyn edisi
bahasa Belanda (1711, reprinted 1714). Lukisan pada edisi Belanda ini sebenarnya adalah suatu replika
(dilukis kembali). Lukisan yang dibuat sendiri oleh Corneille le Bruyn terdapat
dalam edisi Prancis. Semua lukisan dalam edisi Prancis, termasuk Cornelis
Chastelein di Sering Sing tampak lebih alami dan proporsional. Perbedaan yang
kontras terlihat bayangan payung mengenai kaki Cornelis Chastelein pada edisi
Prancis, sedangkan pada edisi Belanda tidak. Lukisan asli pada edisi Prancis
cara melukiskan daun kelapa lebih sesuai jika dibandingkan replika pada edisi
Belanda. Ini menjelaskan ada perbedaan pelukis yang pernah melihat pohon kelapa
dengan pelukis yang tidak pernah melihatnya. Secara keseluruhan lukisan-lukisan
yang asli lebih tebal jika dibandingkan dengan yang replika yang cenderung
lebih tipis (objek terlihat lebih terang). Silahkan bandingkan lebih lanjut.
Catatan: Corneille le Bruyn tampaknya telah meminjamkan kepada penerbit edisi
Belanda untuk dibuat replika semua lukisan (1714); Setelah Corneille le Bruyn
meninggal tahun 1726, penerbit edisi Prancis menggunakan semua lukisan dalam
format asli.
|
Page 24 Ch. 66 Voyages de Corneille le Bruyn, 1706 |
Di dalam buku berbahasa
Prancis Voyages de Corneille le Bruyn, Chapitre LXVI, Corneille le Bruyn
menyebut telah tiba di Batavia tanggal 24 Februari. Lalu berangkat ke Sering
Sing pada tanggal 30 Maret 1706 (Petit voyage shur les terres de Mr.
Kashtelein, 30 Mars 1706). Corneille le Bruyn berangkat dari Meester Cornelis
naik kuda hingga ke Tandjong. Corneille le Bruyn melanjutkan perjalanan dengan
kano ke Sering Sing tempat dimana mansion Cornelis Chastelein berada. Di dalam
lukisan, mansion Cornelis Chastelein berada di tengah. Corneille le Bruyn
menjadi tamu Cornelis Chastelein di Sering Sing hingga akhir bulan April.
Disebutkan Cornelis Chastelein sudah membeli lahan di Mampang dan Depok.
Corneille le Bruyn bersama Cornelis Chastelein sempat ke Depok dengan naik kuda
dimana sudah ditanam dua bidang tanaman lada. Satu hal yang menjadi pertanyaan
adalah dimana posisi ‘gps’ mansion Cornelis Chastelein di Sering Sing
sebagaimana tampak dalam lukisan Corneille le Bruyn tahun 1706. Hanya ada satu
petunjuk yang dinyatakan Corneille le Bruyn dalam laporannya bahwa di sebelah
utara mansion Cornelis Chastelein adalah sungai Tjiliwong. Ini masuk akal bahwa
mansion Cornelis Chastelein menghadap ke hamparan lahan di depannya sementara
di belakang mansion adalah sungai Tjiliwong (menjadi benteng pertahanan,
sebagaimana lokasi gps mansion Cornelis Chastelein berikutnya di Depok). Jika
petunjuk ini digunakan untuk menduga posisi gps mansion itu berarti itu berada di
sekitar Jalan Gardu yang sekarang (di sekitar dimana terdapat jembatan ala Indiana Jones).
|
Dua wanita membantu Coneille le Bruyn selama di Sering Sing |
Dua lahan yang dibeli
oleh Cornelis Chastelein di Mampang dan Depok adalah lahan-lahan ‘kosong’ yang
berada diantara lahan Tjinere dan lahan Tjitajam yang telah dimiliki oleh Sersan
Majoor Saint Martin. Untuk sekadar diketahui Saint Martin juga adalah keturunan
Prancis. Boleh jadi antara Cornelis Chastelein dan Saint Martin sudah ada
kedekatan karena sama-sama keturunan Prancis. Pada saat Corneille le Bruyn berkunjung
pada tahun 1706 ke Sering Sing, Mampang dan Depok, Sersan Majoor Saint Martin
sudah lama meninggal dunia. Saint Martin meninggal pada tahun 1694. Oleh karena
Saint Martin tidak penya pewaris, pada tanggal 17 Mei 1696 harta tak
bergeraknya dilelang pemerintah VOC. Saint Martin sempat menulis surat wasiat,
semua kepemilikannya kepada adiknya yang tinggal di Prancis (tetapi pemerintah
tidak mengakui, karena belum ada undang-undang untuk orang asing).
Cornelis Chastelein dalam tugas-tugasnya di pemerintahan
adalah urusan perdagangan. Cornelis Chastelein sejatinya adalah seorang yang
menyukai perdagangan daripada bidang pertanian. Yang betul-betul pejabat yang
menyukai pertanian adalah Sersan Majoor Saint Martin. Meski Saint Martin adalah
tentara profesional tetapi dalam prakteknya sangat berminat dalam botani. Saint
Martin terbilang adalah botanis pertama di pemerintahan VOC. Karena itulah
diduga Saint Martin mendapat hadiah dari pemerintah atas jasanya di Banten dua
bidang lahan paling subur di hulu sungai Tjiliwong. Diharapkan Saint Martin
dapat mengembangkan bakat botaninya di Tjinere dan Tjitajam. Sebelum mendapat
hadiah lahan di Tjinere dan Tjitajam, Saint Martin sudah memiliki perkebunan tebu
dan pabrik gula di Bekasi. St Martin juga memiliki rumah di yang disebut
rumah.bangunan Mr. Majoor (yang kemudian tempat itu dikenal sebagai Kemajoran).
|
Bijdragen voor
vaderlandsche geschiedenis en oudheidkunde, 1920 |
Isaac St. Martin adalah
ahli bahasa penduduk asli dan ahli botani (lihat Isaac de St, Martin Een
Verdienstelijk Compagniesdienaar door S Kalff dalam Bijdragen voor
vaderlandsche geschiedenis en oudheidkunde, 1920, 01-01-1920). St. Martin dan Johannes
Camphuys sama-sama memulai karir. St. Martin di bidang militer dan Johannes
Camphuys di bidang perdagangan. Keduanya keturunan Prancis. St Martin menjadi
petinggi militer(menggantikan Majoor Poleman). Saat itu yang menjadi Direktur
General adalah Speelman, pahlawan Perang Gowa. Johannes Camphuys kemudian
menjadi Gubernur Jenderal (1684-1691). St Martin dan Rumphius (juga seorang
keturunan Prancis) sudah sejak lama berminat dalam ilmu pengetahuan di dalam
tugas-tugas mereka. St. Martin di Batavia memiliki perpustakaan sendiri yang
jumlahnya sebanyak enam lemari. Saint Martin telah banyak mengumpulkan spesimen
tanaman dan juga manuskrif-manuskrif penduduk pribumi. Pekerjaan ilmu
pengetahuan ala St Martin ini hampir satu abad mendahului sebelum Batavia
Society of Arts and Sciences didirikan tahun 1778. Saat St Martin mengundurkan
diri dan mulai konsentrasi ilmu pengetahuan dan pengembangan pertanian (di
Bekasi), St Martin dipanggil kembali tahun 1680 untuk memimpin ekspedisi ke
Banten untuk mengatasi Kapitein Jonker. Setelah inilah pemerintah memberikan
hadiah lahan Tjinere dan lahan Tjitajam kepada St. Martin. Dalam
perkembangannya St Martin sempat mengusulkan kepada pemerintah agar dibentuk
lembaga ilmu pengetahuan, tetapi Gubernur Jenderal tidak menanggapinya (mungkin
masalah lain masih prioritas). Baru pada tahun 1686 St Martin diminta Gubernur
Jenderal bersama Joan van Hoorn untuk membentuk komite untuk eksploitasi lingkungan
penduduk asli di sekitar Batavia dengan menyertakan Rumphius dari Ambon untuk membantu
St Martin dalam ;pengembangan tanaman langka. St Martin yang ahli dalam bahasa
penduduk asli tidak kesulitan untuk merangkul para pemimpin lokal untuk tujuan
eksploitasi (pertanian) tersebut. Pada 1687 St Martin dipromosikan
menjadi anggota dewan di Batavia. Rumphius yang tengah menulis buku botani tidak
sempat selesai karena meninggal. Usaha ini dilanjutkan oleh asistennya St.
Martin. Namun St. Martin juga kemudian meninggal dunia tahun 1694 dan pekerjaan
Rumphius dan St Martin tersebut dilanjutkan oleh Cornelis Chastelein. St,
Martin adalah figur yang langka, demikian S. Kalff dalam artikelnya.
,
Isaac de Saint Martin adalah de pionier di hulu sungai
Tjiliwong. Anggapan salama ini bahwa Cornelis Chastelein adalah pionir ternyata
keliru. Dengan memperhatikan risalah Saint Martin baru dapat dipahami mengapa
St Martin diberi hadiah lahan yang subur di hulu sungai Tjiliwong di Tjinere
dan Tjitajam.
|
Cornelis Chastelein, 1706 |
Yang selalu menjadi
pertanyaan adalah apakah adakah lukisan wajah Cornelis Chastelein? Sudah pasti
ada! Ini mudah diduga. Corneille le Bruyn cukup lama di Sering Sing, hampir
satu bulan. Lukisan mansion Cornelis Chastelein dan dua wanita Bali yang
menjadi pembantu Corneille le Bruyn selama tinggal di Sering Sing diabadikan di
dalam buku Corneille le Bruyn. Sudah barang tentu, sebagai teman, Corneille le
Bruyn melukis potret Cornelis Chastelein sebagai dokumen persahabatan. Masalahnya,
dimana lukisan potret Cornelis Chastelein itu kini berada? Dugaan kuat berada
di museum-museum atau perbupastakaan di Prancis.
Cornelis Chastelein dalam hal ini adalah pejabat VOC
yang mengikuti jejak Saint Martin dalam pengembangan pertanian di hulu sungai
Tjiliwong. Isaac de Saint Martin adalah tentara pemberani yang menguasai bahasa
pribumi tetapi juga menyukai ilmu pengetahuan dan botani. Sersan Major Saint
Martin juga adalah seorang planter.
|
Peta 1724 |
Ada perbedaan antara
Isaac de Saint Martin dan Cornelis Chastelein. Jelang kematian Isaac de Saint
Martin menulis surat wasiat untuk mewariskan semua hartanya kepada adiknya yang
tinggal di Prancis. Namun karena belum ada undang-undang yang mengatur
pewarisan kepada seseorang yang tinggal di luar Hindia, maka pemerintah harus
melelang semua hartanya di Bekasi, Kemajoran, Tjinere dan Tjitajam. Idem dito,
Cornelis Chastelein juga sebelum meninggal menulis surat wasiat yang sebagian
diwariskan kepada para pekerjanya di Depok dan Mampang. Pada tahun 1854 muncul
gugatan dari keluarga/keturunan Cornelis Chastelein dari Belanda tentang lahan
warisan di Depok, tetapi pengadilan memenangkan pihak pewaris di Depok. Jika
Isaac de Saint Martin mewariskan kepada pekerjanya, maka ceritanya menjadi
berbeda.
|
Peta 1904 |
Cornelis Chastelein meninggal dunia tahun 1714, tepat
pada tahun kapan buku edisi Belanda yang ditulis Corneille le Bruyn. Beberapa
tahun sebelum meninggal, Cornelis Chastelein telah menjual lahan Sering Sing
kepada Bupati Tjoandjoer. Cornelis Chastelein dan tenaga kerjanya lebih fokus
di lahan Depok dan Mampang. Lahan-lahan inilah kemudian yang diwariskan Cornelis
Chastelein kepada para pekerjanya.
Setelah lahan Sering
Sing dijual, nama daerah tersebut juga memudar, Nama yang melejit adalah nama
Depok dan Mampang (lihat Peta 1724). Ada dua nama tempat antara Sering Sing dan
Depok tampaknya semakin populer yakni Pondok Tjina dan Kemiri. Juga terlihat di
hilir sungai Tjiliwong nama Cililitan menghilang dan nama Tandjong yang sudah
disebut Cornelis Chastelein semakin populer. Tidak hanya itu, di Tandjong juga
telah didirikan benteng baru.
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar