*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
***Baca juga: Sejarah Menjadi Indonesia (35): Pemusik Indonesia, Dari Follower Menjadi Leader; Alip Ba Ta Buka Jalan Musik Dunia Maya
*Baca juga: Sejarah Jakarta (79): Orangtua EDDIE van Halen Menikah di Jakarta, 1950; Ibu Lahir di Rangkasbitung, Nenek Asli Purworejo
**Baca juga: Sejarah Bandung (46): Eddy Chatelin 1957, Pionir Musik Rock’n Roll (Crazy Rockers); Kelahiran Bandung, Nenek Moyang Padang
***Baca juga: Sejarah Kota Surabaya (25): Sech Albar--Ayah Ahmad Albar--Pionir Musik Gambus; Ucok AKA Harahap, Pionir Musik Rock
Alif Gustakhiyat dengan nama pop Alip Ba Ta di channel Youtube telah menyita perhatian publik musik Indonesia. Alip Ba Ta bermusik dengan gaya fingerstyle yang hanya mengandalkan gitar tunggal mampu membunyikan senar dengan sound yang variatif. Gaya yang memainkan senar gitar dengan variatif menjadi ciri khas Alip Ba Ta diantara para gitaris dunia. Lagu country Leaving On a Jet Plane yang diciptakan dan dinyanyikan John Denver mampu digubahnya sesuai jiwa lagu tersebut.
***Baca juga: Sejarah Menjadi Indonesia (35): Pemusik Indonesia, Dari Follower Menjadi Leader; Alip Ba Ta Buka Jalan Musik Dunia Maya
*Baca juga: Sejarah Jakarta (79): Orangtua EDDIE van Halen Menikah di Jakarta, 1950; Ibu Lahir di Rangkasbitung, Nenek Asli Purworejo
**Baca juga: Sejarah Bandung (46): Eddy Chatelin 1957, Pionir Musik Rock’n Roll (Crazy Rockers); Kelahiran Bandung, Nenek Moyang Padang
***Baca juga: Sejarah Kota Surabaya (25): Sech Albar--Ayah Ahmad Albar--Pionir Musik Gambus; Ucok AKA Harahap, Pionir Musik Rock
Alif Gustakhiyat dengan nama pop Alip Ba Ta di channel Youtube telah menyita perhatian publik musik Indonesia. Alip Ba Ta bermusik dengan gaya fingerstyle yang hanya mengandalkan gitar tunggal mampu membunyikan senar dengan sound yang variatif. Gaya yang memainkan senar gitar dengan variatif menjadi ciri khas Alip Ba Ta diantara para gitaris dunia. Lagu country Leaving On a Jet Plane yang diciptakan dan dinyanyikan John Denver mampu digubahnya sesuai jiwa lagu tersebut.
Dr. Karl Halusa, seorang doktor musik asal Austria pernah
melakukan riset musik di Indonesia pada tahun 1936 (lihat De Sumatra post,
24-06-1936). Dr. Karl Halusa kaget
menemukan begitu banyak alat musik dan begitu berlimpah nada-nada alami
(unique). Dr. Karl Halusa dalm risetnya melakukan keliling Jawa dan Sumatra
untuk merekam sound-sound yang menggetarkan pendengarannya. Sejak itulah musik
Indonesia terdokumentasi dalam khasanah musik dunia (world music). Dalam hal
ini Dr. Karl Halusa sengaja diundang para pegiat musik orang-orang Belanda di
Indonesia. Orang-orang Belanda sendiri, meski masih malu-malu telah lama
mengidentifikasi musik di berbagai wilayah di Indonesia yang sangat khas dan
ragamnya sangat banyak.
Lantas apa hubungannya Alif
Gustakhiyat alias Alip Ba Ta dengan sejarah musik Indonesia? Alip Ba Ta telah
membuka perhatian kita pada dunia musik. Sementara kita sudah sejak lama
memiliki musik dunia (world music), tetapi tidak pernah mendunia. Alip Ba Ta
dengan karya-karyanya diharapkan agar para musafir musik dunia kembali
menyambangi Indonesia. Indonesia tidak hanya kaya sumber daya alam dan
keindahan alam, juga Indonesia kaya dengan nada-nada musik dunia. Musisi Alif
Gustakhiyat alias Alip Ba Ta di dalam permainan gitarnya (fingerstyle) telah
mengadopsi nada-nada alamiah khas Indonesia. Oleh karena itu, sudah waktunya
kita menyusun sejarah musik Indonesia, sejarah yang mempertemukan sejarah musik
tradisi dengan sejarah musik dunia.
Sumber utama yang digunakan
dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena
sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Fenomena Alif Ba
Ta
Alif Gustakhiyat alias Alip Ba Ta telah
memiliki komunitas penggemar sendiri. Saat ini, di akun Youtube Alip Ba Ta yang
telah melakukan subscribe sudah mencapai angka 620. Angka ini akan terus
meningkat. Untuk kepuasan penonton dapat diukur misalnya dengan mengambil lagu Leaving
On a Jet Plane by Jhon Denver pada hari pertama diupload sudah ditonton
sebanyak 141 rbx (baca ribu kali). Dengan waktu pencatatan pada tengah malam,
pada hari kedua jumlah telah meningkat menjadi 245 rbx, lalu pada hari ketiga
telah mencapai 310 rbx. Inilah fenomena Alif Ba Ta.
Talenta musisi Indonesia: Desy, Judika dan Alip Ba Ta |
Alif Ba Ta adalah suatu introduction, tiga
huruf awal terpenting dalam memperkenalkan musik Indonesia dan musisi Indonesia
ke tangga musik dunia. Dalam hal ini, Alif Ba Ta akan menjadi titik tolak kita
untuk menulis sejarah musik Indonesia.
Sejarah musik Indonesia sesungguhnya
belum pernah ditulis. Paling tidak di Wikipedia belum ada yang ‘berani’
menulisnya. Memang ada yang mencoba mulai menulinya tetapi, isinya terkesan
karangan belaka (imajinasi). Namun demikian, sejarah musik Indonesia seharusnya
terdokumentasi dengan baik dan benar, selengkap mungkin dan seakurat mungkin. Itu
menjadi tugas seluruh anak bangsa. Sejarah musik Indonesia ini terdiri dari
tiga artikel (tiga era yang berbeda) yang dibuat terpisah dan diupload secara
serial. Mari kita mulai dengan artikel pertama.
Sudah
barang tentu musik tradisi sudah eksis sejak lampau di berbagai tempat di
Indonesia. Itu terekam dalam berbagai dimensi terutama dalam relief
candi-candi. Namun alat-alat musik tersebut tidak diketahui secara jelas digunakan
dalam assembel musik apa, bagaimana asal-usul dan karakteristiknya dan dalam
hubungan apa digunakan. Semua itu gelap gulita dan baru mendapat titik terang
ketika orang-orang Belanda tempo doeloe mulai mencatatnya dan dapat kita pahami
pada masa ini.
Musik tradisi tetaplah
musik tradisi, tetapi musik tradisi juga mengalami transformasi membentuk musik
pop lokal (daerah) dan musik pop global (universal). Dari sinilah kontribusi
musik tradisi ke musik dunia (world music). Dari berbagai musik tradisi yang
bertransformasi membentuk musik pop dan digemari komunitasnya antara lain musik
Jawa, musik Batak, musik Minang dan musik Sunda. Produksi musik pop daerah dari
tiga etnik boleh jadi ini karena supply-demand yang tinggi.
Musik
tradisi Jawa, yang disebut gamelan, kali pertama keberadaannya dicatat pada
tahun 1827 (lihat Bataviasche courant, 17-01-1827). Disebutkan ‘kami baru saja
memasuki gerbang ketika para penari dan pemain ang[k]long, yang telah menemani
kami tepat waktu, mengucapkan selamat datang kepada kami dengan teriakan
nyaring, dan kemudian digantikan oleh penari yang baik, yang memainkan senar
dan musik gamelan, salendro dan pelog, menyanyikan lagu-lagu melodi mereka,
sementara di bawah pondok (panggung) kecil, tampak menari dengan cara biasa, tanpa
merasakan indra mereka, mereka mempersiapkan sosok-sosok yang ramah. Nyanyiannya,
kadang-kadang harmonis, tetapi kebanyakan keras dan tidak menyenangkan bagi
(telinga) orang Eropa..’.
Bataviasche courant, 17-01-1827 |
Catatan musik ini boleh jadi yang pertama
untuk musik tradisi Indonesia. Memperhatikan konteks beritanya, musik tradisi
tersebut dimainkan di daerah Soenda. Ini juga diperkuat dalam penggunaan alat
musik angklung. Gamelan di daerah Soenda juga disebut degung. Dalam permainan
musik ini juga terindikasi adanya penggunaan senar yang boleh jadi alat musik
ini adalah kecapi. Dalam penggambaran musik gamelan (degung) ini juga
dinyatakan dalam sistem nada salendro (tujuh nada) dan pelog (lima nada dalam
satu oktaf). Dalam permainan musik ini juga ada indikasi bahwa musik dan tarian
dipentaskan bersamaan (komplemen).
Berdasarkan
informasi ini, paling tidak kita telah mengenali lebih awal tiga ensambel musik
yang dimainkan oleh penduduk Indonesia: gamelan, angklung dan kecapi (plus
seruling). Seperti bahasa, agama, musik (tradisi) juga diturunkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya tanpa mengalami perubahan yang radikal.
Tentu saja tempo
doeloe tidak ditemukan musik pop. Musik tradisi adalah dominan, sebab musik
tradisi adalah bagian dari budaya, bagian yang memperkaya kehidupan itu
sendiri. Namun sangat disayangkan pencatatan musik tradisi ini tidak
berkesinambungan dan juga tidak mencakup semua musik tradisi yang ada yang
tersebar di berbagai pulau-pulau dan wilayah. Boleh jadi musik tradisi kita
berbeda di telinga orang Eropa/Belanda, karena itu mereka kurang menikmatinya
dan akibatnya mereka kurang memperhatikan yang pada gilirannya musik-musik
tradisi yang hidup di masayarakat lokal kita tidak terdokumentasi secara baik.
Ini dengan sendirinya banyak catatan-catatan musik tradisi kita yang hilang. Sudah
barang tentu catata-catatan musik tempo doeloe diperlukan pada masa kini untuk
mengetahui seberan musik tradisi, untuk melihat seberapa tua keberadaan satu
musik tradisi di suatu daerah. Misalnya, kecapi diduga kuat berasal dari
Tiongkok, tetapi karena minimnya catatan, kita tidak tahu sejak kapan musik
kecapi diintroduksi ke lingungan budaya Sunda, Lalu akhirnya kita juga
kehilangan informasi dimana kali pertama musik gamelan tumbuh berkembang:
apakah di Jawa, di Sunda atau di Bali dan Lombok.
Setelah
sekian lama tidak ditemukan catatan musik tradisi, pada tahun 1846 TJ Willer di
dalam laporannya menulis tentang musik tradisi. Musik tradisi Batak di
Mandailing dicatat oleh TJ Willer. Disebutkan TJ Willer pertama kali melihat
musik tradisi Batak dihadirkan ketika ada satu keluarga mengalami musibah yang
mana sesepuh mereka meninggal dunia (tidak disebutnya dimana apakah di
Mandheling, Angkola atau Pertibie). Kehadiran musik ini disebutnya untuk
mengusir begu. Selanjutnya TJ Willer mendeskripsikan musik tradisi tersebut
sebagai berikut:
‘Akhirnya muzijk
bergabung di sini (dalam suatu kemalangan). Para pemain bermain satu melodi
yang tidak menyenangkan yang diiringi oleh (alat perkusi) drum, banyak variasi
dalam drum dari segi ukuran ditambah dengan kekuatan gong, untuk membuat suara
mengusir roh jahat dan instrumen begitu melengking di udara. Ini kita bisa
menyebut satu mandolin Batak yang juga berasal dari instrumen lainnya. (Lebih
lanjut Willer menguraikan) perihal instrument musik tradisi Batak tersebut
sebagai berikut: Musik instrumental berpusat pada pasangan drum dengan ukuran
yang berbeda, yang biasa tergantung di dalam rumah seorang pamoesoek (radja).
Juga tampak gong dan simbal. Sebuah gong besar menjadi bagian dari kekayaan
radja. Seroeneh of hobo; rabab of viool (biola), dari nama menunjukkan asal
asing; asopi of mandoline, yang terbuat dari wadah kayu, dengan sisi lebar
bawah dan sisi sempit ke atas, leher
seperti gitar, di sentuhan dibelah dua dan disediakan sekrup, string kawat,
hanya dua jumlahnya, yang dimainkan dengan pena. Dibanding instrumen lain,
asopi tampak banyak daya invention dengan kesempurnaan, bahwa alat ini bisa
diragukan atau justru alat yang mungkin berasal (asli) Batak. Alat lainnya
berupa fluite yang disebut sordam dan oejoep-oejoep; juga gendang boeloe
(bamboo), dimana kulit seperti dipotong menjadi string yang dengan kedua ujung
tetap melekat pada ujung bamboo yang disangga dengan kayu agar string tegang
dan alat itu digunakan dengan tongkat kecil. Musik tersebut mengiringi tarian,
dan harus diakui bahwa Batak dengan semangat sejati seni, dimana ras ini cukup
piawai paduan suara baik laki-laki maupun perempuan. Mereka kerap terlihat
menari oleh lima atau enam gadis-gadis muda yang diantaranya adalah seorang
pemuda dengan gerakan pendek. Pertunjukkan mereka sangat jarang terlihat karena
memang tidak pernah diadakan dalam upacara publik, sehingga orang Eropa jarang
memiliki kesempatan untuk melihatnya. Manortor atau tarian yang bersemangat
yang saya tahu paling penuh perhatian dari banyak orang. Gambaran ini seperti
tarian yang lama dari Skotlandia, gerakan pendek, sangat cepat dan agak kaku
tidak seperti dalam gerakan tarian Jawa maupun Bali. Di dala Batak permainan menghibur
dengan pantomim. Saya beberapa kali hadiri ini sudah cukup efektif untuk
kepentingan rakyat karena begitu sedikit hiburan yang dimiliki. Namun hal itu
perlu dilakukan rehabilitasi agar hiburan di Batak ini cukup tersedia, tapi
dengan dominasi penganut agama Mahomedaansche sudah sangat jauh berkurang
kegiatan pertunjukannya’.
Catatan
musik tradisi dari Tapanoeli ini telah menambah pemahaman kita tentang sebaran
musik tradisi. Catatan musik tradisi di Mandailing en Angkola ini merupakan catatan
tertua tentang keberadaan musik (tradisi) di daerah Batak di wilayah Tapanoeli.
Seperti halnya
catatan musik tradisi tahun 1827 tentang keberadaan (ensambel) musik gamelan,
angklung dan kecapi, diberitakan karena bagian tak terpisahkan dari berita
dimana dilakukan suatu penyambutan pejabat, hal itu juga yang terdapat dalam
laporan Asisten Residen Mandailing en Angkola TJ Willer ((1840-1845). Laporan
ini dipublikasikan pada tahun 1846 dengan judul: 'Verzameling der Battahsche
Wetten en Instellingeb in Mandheling en Pertibie, Gevolgd van een Overzigt van
Land en Volk in die Streken' yang dimuat di dalam Tijdschrift voor
Nederlandsch-Indie, 1846. TJ Willer berakhir masa jabatannnya sebagai asisten
residen di Afdeeling Mandailing en Angkola (Residentie Tapanoeli). Laporan TJ
Willer ini semacam laporan pertanggungjawaban Walikota atau Bupati pada masa
ini di hadapan anggota dewan setiap tahun atau ketika berakhirnya masa
kepemimpinannya. TJ Willer memasukkan perihal musik tradisi di dalam laporan
karena musik tradisi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari penduduk. Sudah
barang tentu tidak setiap Asisten Residen memasukkan perihal musik tradisi di
dalam laporannya karena setiap daerah yang memiliki musik tradisi,
intensitasnya berbeda-beda sehingga musik tradisi tidak dianggap penting di
dalam laporan pertanggungjawaban yang dibuat. Musik tradisi di Afdeeling
Mandailing en Angkola dianggap sangat penting.
Upaya
Pendokumentasian Musik Tradisi
Seiring
dengan semakin intensnya kegiatan pemerintah Hindia Belanda dan semakin
meluasnya pengaruh kekuasaan Belanda di Hindia Belana (baca: Indonesia), para
pelancong juga semakin banyak yang berdatangan. Para pelancong ini bahkan
berani datang ke suatu wilayah dimana belum pernah datang sebelumnya orang Eropa.
Laporang-laporan perjalanan mereka dipublikasikan di media surat kabar dan
hasil lukisannya diikutkan dalam suatu pemeran seni.
AJ van der Ae, 1846 |
Dalam
buku yang dirangkum oleh AJ van der Ae berjudul Neerlands Oost-Indië, of
Beschrijving der Nederlandsche bezittingen in Oost-Indie yang dipublikasikan
pada tahun 1846 sudah teridentifikasi berbagai hal di Hindia Belanda termasuk
keberadaan musik tradisi, aneka permainan rakyat seperti catur, sastra dan
bahasa serta berbagai bentuk seni dan budaya penduduk. Buku ini terdiri dari rangkuman
yang dibagi ke dalam seksi juga dilampirkan artikel-artikel yang ditulis oleh plancong
maupun pejabat pemerintah baik yang sudah diterbitkan dalam jurnal maupun yang
belum . Buku ini seakan telah bertindak sebagai ensiklopedia pertama tentang Indonesia
(baca: Hindia Belanda).
Dalam buku ini
yang terkait denga musik disarikan keberadaan wayang yang dikaitkan dengan
musik gamelan, fungsi dalang, identifikasi ganmelan pelog, gamelan salendro,
sinden, topeng, pantomim dan ronggeng serta angklong. Juga diidentifikasi
tarian seperti Srimpi bahkan tentang konstum para pelakon. Namun bagaimana
musik gamelan dimainkan dan alat-alat apa saja yang digunakan tidak dijelaskan
secara eksplisit. Tampaknya relasi antara satu hal dengan hal yang lain yang
diutamakan seperti relasi gamelan dan tarian dan sinden. Dalam buku ini tentang
musik gamelan alat musiknya disebut sebagai berikut: gambang, ketjer, gonggong,
bonang. Ketipoeng, kendang, tjelempong, soeling dan rabab. Satu hal yang khusus
dalam buku ini dicatat keberadaan alat musik trwangsa dari Soenda (semacam
rabab). Satu-satunya sumber yang mendeskripsikan alat-alat musik yang digunakan
secara terperinci adalah tulisan TJ Willer di Afdeeling Mandailing dan Angkola.
Dalam tulisan TJ Willer sudah merinci ukuran variasi gendang dan beberapa
ukuran alat musik dari metal. Satu yang khas dalam tulisan TJ Willer adalah
musik tiup yang dicatatnya sebagai sordam dan musik tiup lainnya sejenis
trompet yang dicatatnya sebagai saroeni. Juga TJ Willer mencatat keberadaan alat
musik petik yang disebut asapi (semacam gitar bersenar dua).
Pengaruh Musik
Barat Terhadap Musik Tradisi
Musik
barat masuk ke Indonesia (baca: Hindia) melalui orang-orang Eropa/Belanda. Elemen
musik Barat hadir sebagai musik di kalangan militer. Musik militer ini kerap
dipertunjukkan dalam acara-acara resmi di dalam kalangan militer atau
pemerintahan. Jika sebelumnya tercatat ketika menyambut pejabat pemerintah
(Belanda), pejabat lokal menyajikan musik tradisi. Di dalam pemerintahan dan
militer Belanda yang dihadirkan adalah ensambel musik yang dimainkan oleh para
tentara. Musik militer juga mengiringi parade (militer).
Musik militer
terdiri dari instrumen musik yang sudah dimodernisasi seperti alat musik tabuh
(drum, perkusi), simbal, alat musik tiup dari metal seperti trompet dan
seksofon. Tentu saja adakalanya disertakan alat musik gesek seperti biola, tapi
jarang atau tidak pernah menghadirkan alat musik petik seperti gitar. Alat-alat
musik petik dan alat musik gesek boleh jadi dimainkan secara individu atau grup
di dalam rumah atau acara pertujukan di dalam ruangan seperti di gedung societeit.
Saat musik Barat ini semakin intens dilakukan dan semakin meluas ke berbagai
wilayah, musik tradisi tetap hidup di tengah-tengah masyarakat lokal.
Pada
era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) mulai digagas oleh para pensiunan
militer untuk mendirikan klub sosial (societeit). Gedung klub sosial pertama dibangun
di Riswijk, Batavia tahun 1817 yang disebut gedung Societeit Harmonie. Di
gedung inilah sebagaian para anggota membentuk klub musik (seperti klub
berburu, klub pacuan kuda dan sebagainya). Klub musik ini menjadi bagian dari
kegiatan-kegiatan yang diselanggarakan seperti acara tahunan, acara ulang tahun
dan bahkan acara perkawinan. Klub musik ini terus hidup, berganti orang
berganti generasi, dan alat-alat musik yang digunakan juga semakin berkembang
(sesuai dengan perkembangan di Eropa).
Klub-klub sosial
juga didirikan di kota-kota besar dan kota-kota utama di pedalaman. Klub sosial
didirikan tahun 1834 di Padang lalu menyusul klub sosial di Soerabaja dan
Semarang. Lalu klub sosial di Batavia berkembang, klub Harmoni menjadi klub
umum dan muncul klub militer di Weltevreden yang disebut societeit Concordia.
Dalam perkembangannya klub sosial Concordia dibuka juga di Bandoeng dan
Soerabaja. Di Medan pada tahun 1887 didirikan klub sosial de Witte.
Pada
awal tahun 1870 sudah mulai ada konser musik dengan kedatangan pemusik-pemusik
dari Eropa (umumnya Eropa Timur dan Italia) yang datang ke Jawa. Di Semarang
kedatangan concert van Mm. Mendelssohn en Signor Orlandini (lihat De
locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 18-04-1878). Di Soerabaja
kedatangan pemusik dan artis dari Italia (De locomotief: Samarangsch handels-
en advertentie-blad, 21-09-1878).
Besar
kemungkinan tiga kota besar di pantai utara Jawa (Batavia, Semarang dan
Soerabaja) kedua grup musik mancanegara ini mengunjunginya. Grup musik militer
juga masih mendapat tempat yang digelar di Concordia dengan berbagai variasi
musik yang dimainkan termasuk musik klasik (Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-01-1879).
Para
pemain musik dan penikmat musik di Hindia Belanda tidak kekurangan informasi
tentang perkembangan musik Eropa. Surat kabar di Hindia Belanda uga terus
melansir berbagai analisis-analisis musik di Belanda. Sebagai contoh
Bataviaasch handelsblad, 24-01-1879 mengulas konser-konser di Belanda seperti
pemain biola JJ Koert yang melakukan konser musik klasik dibandingkan dengan
pemusik klasik ternama dari Italia dan Jerman. Ini mengindikasikan bahwa surat
kabar juga terus menambah pengetahuan musik para penikmat musik di klub-klub
musik di Jawa.
Untuk sekadar
diketahui, penikmat-penikmat musik di Jawa cukup banyak dari kalangan orang
kaya, para pengusaha dan pejabat-pejabat. Pengusaha-pengusaha di Jawa yang
bermukim di Batavia, Semarang dan Soerabaya tidak kalah dengan kekayaan
pengusaha-pengusaha di Eropa. Oleh karenanya pengusaha-pengusaha ini lewat klub
musik di Sociteit tidak akan kesulitan mendatangkan pemusik dari Eropa. Dan
tentu saja para pemusik-pemusik Eropa ini sangat antusias datang karena musik
adalah musik, selagi peminatnya masih ada sekalipun jauh ke negara-negara di
timur. Ada tantangan bagi mereka yang datang jauh naik kapal layar ke negeri
jauh. Kombinasi inilah, pemusik yang tertantang dan audiens yang kaya raya
bertemu di gedung konser. Pertemuan ini semakin memperkaya apresiasi musik di
kalangan peminat dan penikmat musik baik di Batavia, Semarang maupun Soerabaja.
Konser-konser pemusik lokal di Batavia juga megutip tiket f2.4 entree per
persoon (De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 13-11-1879).
Ini mengindikasikan bahwa pasar (industri) musik juga telah merambah kota-kota
di Jawa.
Musik
mudah ditularkan. Hal ini karena mudah dinikmati dan dicerna telinga. Penilaian
(apresiasi) musik makin lama makin tinggi. Itu berarti masyarakat musik juga
berkembang seperti halnya di kota-kota di Jawa. Pada tahun 1881 di Soerabaja,
seorang guru musik dengan anak didik sebanyak 60 orang telah memulai babak baru
dengan memberanikan menggelar konser di Societeit (De locomotief: Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 26-02-1881).
Grup musik instrumen alat tiup di Sipirok, 1890 |
Dalam
sejarah awal musik di Indonesia (baca: Hindia Belanda) tampak banyak cara untuk
menghadirkan musik di dalam kota. Peran para anggota komunitas musik (Muziek
Verbond) tampak strategis. Musik hadir tidak hanya untuk kebutuhan internal
komunitas, tetapi juga berkolaborasi dengan pemerintah untuk menghadirkan musik
untuk memenuhi kebutuhan hiburan bagi warga. Hal yang bersifat sinergis
terjadi: komunitas musik sebagai penyelenggaran dapat meraih keuntungan hasil
penjualan karcis (setelah membayar kontrak para pemusik), pemerintah setempat
mendapat nilai pajak hiburan.
De locomotief, 08-12-1891 |
Javaansche
Rhapsodie by Paul Seelig (1909) Lebih Tua dari Bohemian Rhapsody by Queen (1975): Bismillah! We Will Not Let You Go
Upaya
memformulasikan musik tradisi (Indonesia) dengan musik modern (Eropa)
sesungguhnya sudah lama dilakukan. Adalah Paul Seeling yang dapat dibilang
sebagai yang pertama yang membuat eksprimen kolaborasi musik tradisi dan musik
Eropa pada tahun 1909. Hasilnya sangat bagus. Kolaborasi ini disebut Paul
Seelig sebagai Javaansche Rhapsodie (lihat De Preanger-bode, 03-05-1923).
Paul Seelig
lahir 23 Februari 1876 di Breda. Ayahnya, Mr Seelig adalah seorang kapelmeester
(director of a choir or orchestra) di Breda, yang setahun setelah kelahirannya,
pindah ke Hindia Belanda (baca: Indonesia), dimana sang ayah memegang posisi
serupa di Batavia dan Semarang. Di Semarang, sang ayah berkenalan dengan orang istana
Solosche, yang kelak akan sangat penting bagi (Paul) Seelig.
Paul Seelig (1876-1945) |
De Preanger-bode, 03-05-1923 |
Setelah
sukses di Eropa dan Amerika, Paul Seelig (kembali) datang ke Hindia Belanda
(baca: Indonesia). Paul Seelig akan manggung di gedung societeit Concordia, Bandoeng
pada hari Jumat tanggal 4 Mei 1923. Paul Seelig dengan orkestranya didatangkan
dengan biaya yang sangat mahal oleh pegiat dan penikmat musik di Hindia Belanda
yang tergabung dalam Het Kunstkringconcert. Pengurus (bestuur van den
Kunstkring) telah mengambil risiko dengan menanggung biaya mahal untuk
mendatangkan Paul Seelig untuk tampil di Bandoeng.
Pada masa ini,
dalam soal Javaansche Rhapsodie kita teringat grup musik rock Wueen yang
membawakan lagu hitnya Bohemian Rhapsody yang pada liriknya terdapat kalimat ‘Bismillah!
We Will Not Let You Go’. Lagu Bohemian Rhapsody yang dibawahkan grup Queen yang
diciptakan oleh Freddie Mercury (1975). Lagu ini pula yang kini dirilis kembali
oleh Alip Ba Ta dalam format fingerstyle.
Paul Seelig diundang Kunstkring Bandoeng
sehubungan dengan momen peresmian stasion radio telegrafi di Malabar, Bandoeng.
Gubernur Jenderal de Graeff akan meresmikan stasion radio terkuat di dunia ini
pada tanggal 5 Mei 1923. Sebelum peresmian, Gubernur Jenderal yang dijadwalkan
sudah berada di Bandoeng pada hari Jumat malam tanggal 4 Mei 1923 Kunstkring Bandoeng
menyelenggarakan konser musik selain untuk menyambut kehadiran Gubernur
Jenderal di Bandoeng, juga dalam rangka mensukseskan peresmian stasion radio
Malabar esok harinya. Dalam konser yang hikmat dimana Paul Seelig sebagai
primadona benar-benar membuat Gubernur Jenderal dan para hadirin lainnya puas. Paul
Seelig kembali menghadirkan genre musik baru ciptaannya Javaansche Rhapsody.
Gubernur Jenderal kemarin malan menghadiri konser musik
di Societetit Concordia dan juga telah berbicara dengan Paul Seelig dengan
menyatakan kepuasannya atas karya sang komponis tersebut. Karya Paul Sieleg
yang ditampilkan salah satu diantaranya Javaansche Rhapsody (lihat De
Preanger-bode, 05-05-1923).
Terima kasih Tulang ....
BalasHapusTerima kasih abang, atas referensi musik Indonesia nya....saluut
BalasHapusTerima kasihbatas referensi musik Indonesia nya bang
BalasHapusAlip Ba Ta memang sudah mendunia.. sejak 2020 tahun lalu, beliau sudah banyak direview oleh para gitaris pro diluar sana..
BalasHapus