*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Musik tradisi (seperti gamelan, degung, gondang) sudah sejak lama diidentifikasi oleh orang Eropa/Belanda. Pada tahun 1909 Paul Seelig memggabungkan musik tradisi (Jawa) dengan musik barat (Eropa) yang disebutnya Javaansche Rhapsody. Namun musik tradisi (Indonesia) baru mendapat tempat disiarkan di radio tahun 1930an. Seiring dengan mengudaranya musik tradisi yang dapat ‘ditangkap’ di seluruh antero dunia, para pegiat musik Eropa/Belanda di Hindia (baca: Indonesia) mendatangkan seorang peneliti musik terkenal berkebangsaan Austria Dr. Halusa, Ph.D untuk meneliti musik tradisi Indonesia. Sejak inilah boleh dikatakan musik tradisi Indonesia mulai mendapat perhatian dari para pemusik dunia.
Musik tradisi (seperti gamelan, degung, gondang) sudah sejak lama diidentifikasi oleh orang Eropa/Belanda. Pada tahun 1909 Paul Seelig memggabungkan musik tradisi (Jawa) dengan musik barat (Eropa) yang disebutnya Javaansche Rhapsody. Namun musik tradisi (Indonesia) baru mendapat tempat disiarkan di radio tahun 1930an. Seiring dengan mengudaranya musik tradisi yang dapat ‘ditangkap’ di seluruh antero dunia, para pegiat musik Eropa/Belanda di Hindia (baca: Indonesia) mendatangkan seorang peneliti musik terkenal berkebangsaan Austria Dr. Halusa, Ph.D untuk meneliti musik tradisi Indonesia. Sejak inilah boleh dikatakan musik tradisi Indonesia mulai mendapat perhatian dari para pemusik dunia.
Dr. Halusa, Ph.D) di Medan, 1936 |
Akhir-akhir ini, gitaris Alip Ba Ta,
spesialis fingerstyle (one man band) telah mendapat perhatian para pemusik
dunia. Musik aransemen Ali Ba Ta mulai banyak dikutip oleh para pemusik. Ini
adalah satu momen penting bagi kita, untuk memperkenalkan sejarah musik kita di
mata dunia. Untuk melanjutkan artikel kedua, mari kita telusuri lebih lanjut sumber-sumber
tempo doeloe.
Musik Tradisi
Mengudara di Radio, 1937
Kehadiran
Dr. Karl Halusa di Indonesia (baca: Hindia Belanda) tahun 1936 adalah langkah
baru dalam sejarah musik Indonesia. Tidak hanya orang Eropa/Belanda di
Indonesia yang mengharapkan kehadirannya, tetapi juga Karl Halusa sangat tergoda
dan antusias untuk datang membagi keahliannya dalam genre musik modern/Eropa sekaligus
untuk melakukan penelitian musik di Indonesia. Keberadaan musik tradisi
Indonesia sudah sejak lama diketahui di Eropa. Karl Halusa datang ke Indonesia
tentu saja tidak buta tentang musik tradisi, karena itu, Dr. Karl Halusa
sebagai seorang ahli musik (muskologi) membawa peralatannya sendiri untuk
keperluan perekaman. Dr. Halusa bukan
PhD orang sembarangan. Halusa adalah seorang doktor (Ph.D) di bidang musik dari
Universitas Vienna (Wina).
Pemusik-pemusik Eropa
datang ke Indonesia, paling tidak sudah tercatat pada tahun 1870. Grup musik dari
Eropa ioni umumnya dari Eropa Timur dan Italia. Mereka mengadakan konser musik
di kota-kota besar di Jawa. Pemusik Eropa ini semakin intens datang. Satu
konser yang mendapat perhatian adalah concert van Mm. Mendelssohn en Signor
Orlandini dari Italia tahun 1878 (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 18-04-1878). Surat
kabar di Hindia Belanda (baca: Indonesia) juga terus melansir berbagai
analisis-analisis musik di Belanda. Sebagai contoh Bataviaasch handelsblad,
24-01-1879 mengulas konser-konser di Belanda seperti pemain biola JJ Koert yang
melakukan konser musik klasik dibandingkan dengan pemusik klasik ternama dari
Italia dan Jerman. Ini mengindikasikan bahwa surat kabar juga terus menambah
pengetahuan musik para penikmat musik di klub-klub musik di Jawa. Untuk sekadar
diketahui, penikmat-penikmat musik di Jawa cukup banyak dari kalangan orang
kaya, para pengusaha dan pejabat-pejabat. Pengusaha-pengusaha di Jawa yang
bermukim di Batavia, Semarang dan Soerabaya tidak kalah dengan kekayaan
pengusaha-pengusaha di Eropa. Oleh karenanya pengusaha-pengusaha ini lewat klub
musik di Sociteit tidak akan kesulitan mendatangkan pemusik dari Eropa. Dan
tentu saja para pemusik-pemusik Eropa ini sangat antusias datang karena musik
adalah musik, selagi peminatnya masih ada sekalipun jauh ke nagara-negara di
timur. Ada tantangan bagi mereka yang datang jauh naik kapal layar ke negeri
jauh. Kombinasi inilah, pemusik yang tertantang dan audiens yang kaya raya
bertemu di gedung konser. Pertemuan ini semakin memperkaya apresiasi musik di
kalangan peminat dan penikmat musik baik di Batavia, Semarang maupun Soerabaja.
Pada tahun 1882 di Batavia terdapat maklumat di surat kabar bahwa musik sudah
waktunya diintroduksi sebagai bagian dari kurikulum sekolah (De locomotief:
Samarangsch handels- en advertentie-blad, 20-02-1882). Sebaliknya musik tradisi
untuk kali pertama tampil di Eropa pada tahun 1883. Dalam suatu festival di
Belanda dihadirkan gamelan dari Parakan Salak (Soekaboemi). Pagelaran gamelan
ini cukup menyita perhatian para pengunjung yang datang dari bebagai kota ke
festival tersebut. Pada tahun 1885 kembali heboh di Hindia Belanda dengan
kedatangan pemusik dari Italia, Remènyi Concert (lihat Bataviaasch handelsblad,
30-09-1885).
Agenda
pertama Dr. Karl Halusa di Indonesia adalah memberikan presentasi (kuliah) di
Medan. Ternyata peminat musik di Medan cukup banyak. Itu terlihat karena
ruangan yang disediakan tidak mampu menampung semua peminat sehingga harus
dikutip bayaran (beli tiket) yakni sebesar f2 untuk anggota dan f5 untuk non
anggota per orang. Bagaimana isi materi kuliah Dr. Karl Halusa di gedung
Societeit De Witte Medan diringkas oleh surat kabar De Sumatra post, 24-06-1936
sebagai berikut (hanya mengutip yang penting-penting saja):
Dr Halusa mulai
presentasinya dengan menunjukkan bahwa niatnya tidak hanya untuk menyebutkan
berbagai fenomena di musik, tetapi juga untuk menjelaskan dan menunjukkan
perlunya keberadaannya. Oleh karena itu perlu bahwa ia memberikan gambaran dari
berbagai bentuk seni pada umumnya, dilihat dalam konteks waktu. Dr Halusa menyebutkan
bahwa 123tahun yang lalu, saat perang pembebasan Napoleon semua orang berharap
untuk masa depan yang lebih baik, tapi segera berlawanan dan ternyata bahwa
tirani itu lebih kuat daripada sebelumnya dan bahwa kebebasan pribadi bermusik semakin
dihilangkan. Semua harapan itu hilang dan perihal musik di masa lalu telah
hilang semuanya….Dalam musik tercermin dan dapat mencatat secara khusus. Satu
hal tidak hanya melihat deskripsi
sederhana dari pengalaman jiwa, tetapi memahami lebih jauh….Betul kini telah
muncul bentuk seni tertinggi dalam artistik. Namun tujuan dari musik bukan
untuk pesona, tetapi ekspresi perasaan tertentu dari komposer. Kebanyakan
datang untuk ini melalui lagu dan opera, setelah semua, kata-kata bisa
menjelaskan apa yang dialami sang pencipta, musik bisa mendukung hal itu.
Sebagian besar tokoh, seperti Richard Wagner, selain musisi juga seorang
penyair, sehingga membuat satu kesatuan, karyanya menjadi sempurna lewat suara.
Ke dalam barisan ini dapat disebut seperti van Mendelssohn, Lieder Ohne Worte
dan van Fr. Liszt ‘Symphonische Gedichte’…Singkatnya, imajinasi pendengar harus
mendorong ke arah tertentu, sehingga mereka harus menjadi lebih dekat dengan artis
agar dapat menangkap pengalaman (nuansa) musik itu sendiri…Tapi cara kita pada masa
ini adalah dengan merespon yakni yang secara teknis harus dapat mencapai secara
luas dalam semua jenis musik (meskipun itu jauh ke Hindia atau bahkan ke
wilayah pedalaman). Kita telah kehilangan musik pada satu era, kehadiran music
masa lalu kita telah lenyap (tidak terekam). Kita harus mendapat perhatian
lebih dan lebih agar musik (tradisi) tidak hilang disini (di Indonesia).
Dalam
kuliah tersebut Dr. Karl Halusa tampaknya ingin menekankan bahwa jangan sampai
terulang (kembali) suatu musik yang pernah hidup pada suatu masa, apakah karena
ada suatu larangan (seperti di Eropa) atau karena kemalasan (tidak berminat) untuk
melestarikannya. Setelah memberi presentasu di Medan, Dr. Karl Halusa
dijadwalkan akan memberi kuliah musik di Bandoeng. Namun sangat disayangkan, Dr.
Halusa terpaksa dibatalkan di Bandoeng karena kurangnya peminat (Het nieuws van
den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-09-1936). Sementara itu, di Malang, Halusa
dilaporkan mendapat sambutan yang pantas ketika memberikan kuliah gratis (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-10-1936). Dari Malang, Halusa
kembali ke Batavia dan dalam perkembangannya Dr. Halusa akan melakukan riset
musik ke Tanah Batak.
Tentu saja Dr.
Karl Halusa di Batavia akan menganalisisi hasil kunjungannya ke sejumlah kota
di Jawa dan kota Medan. Dr. Karl Halusa menjadi semacam kurator musik di
lembaga ilmu pengetahuan Batavia. Ternyata kemudian, Dr. Halusa sangat tertarik
dan ingin kembali lagi ke Medan untuk memberikan kuliah pada bulan Oktober
1937. Uniknya Dr. Karl Halusa tidak hanya disponsori oleh lembaga ilmu
pengetahuan di Batavia tetapi juga oleh Deutschen Gesellschaft für Natur-und
Völkerkunde Ostasiens. Asosiasi ini didirikan di Tokyo pada tahun 1873. Sekitar
dua tahun yang lalu asosiasi ini dibuka cabang di Batavia. Tujuannya asosiasi
peminat musik negara Timur ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang
menyeluruh tentang penggunaan dan kebiasaan negara-negara asing. Presentasi Dr.
Karl Halusa dilakukan di Grand Hotel Medan. Dalam presentasi ini, Dr Halusa membawa
tema ‘Der Sinn der Vökerkunde’ (lihat De Sumatra post, 06-10-1937). Dalam
kunjungan Dr. Karl Halusa ke Medan termasuk untuk melakukan riset musik di
Tanah Batak selama 12-14 minggu.
Apa
yang menarik bagi Karl Halusa dengan musik tradisi Batak? Ternyata Dr. Halusa sangat
puas dan telah menemukan sedikitnya ada 40 jenis instrumen musik Batak, baik
yang dimainkan laki-laki maupun perempuan. Temuan ini dilaporkan pada bulan
Maret 1938 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23-03-1938).
Disebutkan telah mengunjungi Karolanden, Bataklanden dan Zuid Tapanoeli.
Yang cukup
mengejutkan, Karl Halusa, PhD ahli musik dari Wina menduga musik Batak telah
berkembang sejak lama mendahului yang lain. Yang membedakan musik tradisi Batak
dengan yang lain menurut Halusa adalah drum atau gondang. Menurut Halusa musik
tradisi Batak juga telah dipengaruhi oleh
musik Eropa dan juga musik dari Arab. Musik tradisi Batak memiliki banyak
melodi bahkan mencapai 48 melodi yang berbeda di Karolanden (De Telegraaf,
14-01-1938). Banyaknya melodi di Karolanden diduga adanya tambahan pengaruh
Arab yang dapat dijelaskan dengan kontak yang kuat dengan Atjeh, yakni bermain
dengan cara drum bespeling yang telah diterapkan pada musik Batak. Sebelumnya
Dr. Karl Halusa telah memberi statement bahwa perbedaan lainnya bahwa orchest
Karolanden adalah yang terkecil dibanding yang lain dan di Zuid Tapanoeli
cenderung lebih besar. Karolanden hanya memiliki dua trommen dan satu dezer
trommen (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-12-1937). Hal
lain juga yang tidak kalah penting, meski Tanah Batak masih digolongkan daerah
primitive (saat itu), tetapi Dr. Halusa telah membuat rekaman yang sangat
banyak, jumlahnya bahkan mencapai 175 buah (De Indische courant, 15-12-1937).
Dalam surat kabar De Sumatra post, 18-12-1937 Dr Halusa juga menggarisbawahi
bahwa secara umum harus dicatat, bagaimanapun, bahwa musik tradisi Batak juga
dipengaruh oleh musik Eropa modern, jazz dan musik Hawaiian. Di daerah Kristen
(Toba en Silinedoeng) untuk memainkan musik asli dilarang karena dianggap musik
asli masih ada pengaruh pagan. Sementara dari sudut pandang musicological,
kebaikan beberapa raja di Simaloengoen membuat upaya untuk mempertahankan musik
asli terkesan lebih banyak dibanding daerah yang lain dan bahkan diajarkan di
sekolah-sekolah rakyat. Musik di daerah ini sangat terhubung dengan religi. Het
Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 29-07-1938 mengutip bahwa music
tradisi Simaloengen terkesan lebih hidup dan paling menarik perhatian.
Bagaimana Dr.
Halusa melakukan perekaman dan interaksinya dengan para pemain pada lokasi
penelitian yang berbeda selama empat bulan. Mungkin ini soal remeh temeh tetapi
perlu juga dicatat karena sangat mempengaruhi dalam teknik perekaman. Di
Karolanden, Halusa harus bersusah payah, karena banyak diantara pemain yang
ketakutan apalagi dengan penggunaan mikrofon. Alasan mereka: ‘Kami membuat
musik, bukan karena kita bisa melakukannya sendiri tetapi karena kita
diperintahkan oleh roh-roh’. Sebaliknya di Zuid Tapanoeli, kata Dr Halusa,
bahwa penduduk tidak takut sedikit pun atau ragu-ragu mengenai kesediaan untuk
bermain untuk mikrofon, malahan sangat bersemangat (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 14-12-1937). Bagaimana hal itu berbeda di Zuid Tapanpoeli,
karena para pemuda dan pemudi di waktu senggang terbiasa melakukan musik dan
tari (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 02-07-1907).
Beberapa bulan sebelum Dr. Karl Halusa
memulai risetnya di Tanah Batak, tercatat radio-radio telah menyiarkan muziek
Batak, seperti Radio Pemerintah (NIROM) di Batavia, Bandoeng, Solo, Djogja,
Semarang dan Surabaya. Boleh jadi ini karena faktor pengaruh Dr. Karl Halusa.
Tidak diketahui secara jelas apakah radio swasta sudah menyiarkan musik
tradisi.
Soerabaijasch handelsblad, 23-04-1934 |
Bagaimana musik Batak ini dipersiapkan untuk
disiarkan tidak dijelaskan apakah disiarkan secara live atau hasil perekaman.
Musik Batak ini diduga kuat dipersiapkan oleh para pemuda Batak yang tergabung
dalam Jong Batak dengan nama Jong Batak orchest (lihat Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indie, 27-08-1937). Kemudian musik Batak ini berkembang yang
dimainkan oleh grup mandiri Batak Orchest, seperti yang dibawakan oleh grup Andalas
(lihat De Indische courant, 28-01-1938. Nyanyian (liedren) dari Sipirok
disiarkan oleh Bandoeng II, Batavia II dan PMH (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
20-09-1939).
Het nieuws van den dag voor N-Indie, 27-08-1937 |
Setelah sukses di Tanah Batak, Dr. Halusa
melanjutkan studi musik ke Bali (De Indische courant, 30-06-1938), lalu kemudian
melakukan studi musik selama tiga bulan di Jawa (Soerabaijasch handelsblad,
19-10-1939). Studi Karl Halusa di Jawa dan Bali dibiayai oleh pemerintah, sedangkan
studi Karl Halusi di Tanah Batak dibiayai oleh badan internasional yang bepusat
di Tokyo.
Tunggu deskripsi lengkanya
Fenomena Alip Ba
Ta: From Javaansche Rhapsody to Bohemian Rhapsody
Paul
Seelig dan Karl Hanusa adalah dua orang yang ahli di bidangnya pada musik. Mereka
berdua dapat dikatakan sebagai orang-orang pertama yang terlibat langsung dalam
dunia musik di Indonesia. Karl Halusa telah mencatat lagu-lagu rakyat dan
merekam di lapangan nyanyian dan musik yang dinyanyikan penduduk. Sejumlah lagu-lagu
rakyat (NN/No Name) yang populer hingga sekarang termasuk dalam catatan Hanusa
yang terus bertahan seperti Si Jali-jali (Betawi), Rek Ayo Rek (Jawa) dan Inang
Sarge (Batak). Paul Seelig sendiri terkenal dengan hasil karyanya yang membuat
komposisi baru dalam musik dengan menggabungkan musik tradisi (elemen gamelan)
dengan musik barat (pop/klasik) yang disebutnya Javaansche Rhapsody.
Paul Seeling
seorang praktisi musik, pemain musik dan membuat komposisi musik dan
mementaskannya. Paul Seelig adalah pionir dalam komposisi musik tradisi (Jawa)
yang digabung dengan musik barat (Eropa). Karyanya yang disebut Javaansche
Rhapsody telah dipentaskannya pada tahun 1909 di berbagai kota di Indonesia. Paul
Seebig sangat populer di berbagai tempat di Eropa dan Amerika Serikat. Karl
Hanusa yang berasal dari Austria adalah seorang berdarah Jerman, dosen dan
peneliti musik di Uniersitas Wina. Atas kemampuan akademiknya itulah
orang-orang Belanda mengundangnya sebagai tenaga ahli di Hindia Belanda (baca:
Indonesia). Ketika Karl Halusa melakukan rekaman musik di Tanah Batak membawa
alat perekaman sendiri. Suatu metode perekam pertama diterapkan di dunia
(selama ini perekaman selalu dilakukan di dalam studio). Apakah alat perekam
ini yang menjadi cikal bakal alat perekam portabel?
Kata rhapsody mangcu pada bahasa Jerman yang
diserap dalam bahasa Inggris. Rhapsody diartikan sebagai suatu kegembiraan
dalam karya seni termasuk komposisi sastra dan komposisi musik. Rhapsody juga
diartikan sebagai suatu percampuran yang menghasilkan kesenangan dan
kegembiraan. Paul Seelig dalam mengaransemen musik dengan memadukan elemen
musik tradisi dan elemen musik barat diduga telah menghasilkan musik gembiara
(riang). Terminologi rhapsody dalam musik diduga dipopulerkan oleh orang-orang
yang berasal dari Jerman termasuk Paul Seeling yang menyebut komposisinya pada
tahun 1909 sebagai Javaansche Rhapsody.
Gedung Bohemian runtuh (Het volk, 13-01-1934) |
Alip Ba Ta sangat banyak mencover lagu-lagu
legendaris seperti Bohemian Rhapsody Lagu-lagu legendaris tersebut termasuk Bengawan
Solo, My Heart Will Go On dan Hotel California. Lagu Bengawan Solo ciptaan
Gesang adalah lagu bergenre kroncong, suatu genre musik perpaduan elemen musik
barat dan Jawa yang boleh jadi dalam hal ini musik kroncong adalah kata lain
dari Javaansche Rhapsody? Lagu Bohemian Rhapsody yang dibawakan Alip Ba Ta
dalam fingerstyle telah mendapat apresiasi dari Dr. Brian May (persenoel
Queen). Lagu My Heart Will Go On dicover Alip Ba Ta dengan tambahan alat musik
recorder. Lagu ini dipopulerkan oleh Celine Dion sebagai sound track film
Titanic (lihat artikel dalam blog ini Sejarah Menjadi Indonesia (17): Kapal
Titanic 1912 dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck 1936; Kapal Tampomas II, 1980).
Hotel California (Algemeen Handelsblad, 09-07-1925) |
Lagu Indonesia
Raya Karya WR Supratman
Satu
yang terpenting dari sejarah musik Indonesia adalah tentang lagu kebangsaan
Indonesia yang diciptakan oleh WR Supratman yang diberi judul Indonesia Raya.
Lagu ciptaan WR Supratman ini kali pertama diperdengarkan pada saat diadakan Kongres
Pemuda pada tahun 1928. Lagu ini tentu saja akan abadi karena sudah diadopsi
menjadi lagu kebangsaan (naional anthem) Indonesia. Lagu Indonesia Raya lahir
di awal kebangkitan bangsa dalam melawan penjajahan.
Pada tahun 1927
Parada Harahap menggagas perluanya semua organisasi kebangsaan dipersatukan
dalam suatu wadah yang kemudian disebut Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan
Kebangsaan Indonesia disingkat PPPKI. Yang ditunjuk sebagai ketua adalah MH
Thamrin dan Parada Harahap sebagai sekretaris. Parada Harahap adalah pendiri
kantor berita pribumi Alpena (didirikan 1925), pemilik/editor harian Bintang
Timoer di Batavia (didirikan 1926), sekretaris Sumatranen Bond (juga pernah
menjadi ketua Bataksche Bond) dan ketua kamar dagang dan inudstri pribumi di
Batavia (semacam Kadin pada masa ini). Program pertama PPPKI adalah membangun
gedung dan menyelenggarakan Kongres PPPKI pada bulan September 1929. Sebagai
kepala kantor PPPKI di gang Kenari,
Parada Harahap hanya memajang tiga potret: Diponegoro, Soekarno dan Mohamad Hatta.
Surat kabar Bintang Timoer menjadi corong PPPKI. Kongres PPPKI yang akan
diadakan diintegrasikan dengan Kongres Pemuda yang akan diadakan pada bulan
berikutnya (Oktober). Ketua Panitia Kongres PPPKI ditunjuk Dr. Soetomo,
sementara Panitia Kongres Pemuda terdiri dari: sebagai ketua adalah Soegondo
(ketua PPPI, onderbouw PPPKI); sebagai sekretaris adalah Mohamad Jamin (dari
Jong Sumatranen Bond); dan sebagai bendahara Amir Sjarifoeddin Harahap (dari
Jong Bataksche Bond). Ketiga pemuda ini adalah mahasiswa Rechthoogeschool di
Batavia. Sebelumnya pembentukan PPPKI diadakan di rumah Hoessein Djajadiningrat
(yang menjabat sebagai dekan Rechthoogeschool). Jauh sebelumnya semasa
mahasiswa di Belanda, Hoessein Djajadiningrat adalah sekretaris Perhimpunan
Mahasiswa Indonesia (Indische Vereeniging) yang dibentuk di Leiden tahun 1908
yang mana sebagai ketua/penggagas adalah Radjioen Harahap gelar Soetan
Casajangan. Sebelum merantai ke Batavia, Parada Harahap mendirikan surat kabar
Sinar Merdeka 1919 di Padang Sidempoean, Parada Harahap juga merangkap sebagai
editor surat kabar Poestaha yang didirikan Soetan Casajangan pada tahun 1915.
Saat pembentuan PPPKI di rumah Hoesein Djajadiningrat, Soetan Casajangan adalah
direktur sekolah guru Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara).
Dalam hubungan inilah keterkaitan Kongres PPPKI (senior) dan Kongres Pemuda
(junior) terkait satu sama lain. Satu keputusan terpenting Kongres PPPKI adalah
mengubah PPPKI menjadi organisasi politik dengan mengubah namanya menjadi Permoefakatan
Perhimpoenan-Perhimpoenan Politik Indonesia yang juga disingkat PPPKI.
Sementara itu hasil keputusan Kongres Pemuda yang terpenting adalah Putusan
Kongres: Satu Niusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa Indonesia. Dalam saat
pembacaan Putusan Kongres inilah lagu Indonesia Raya karya WR Supratman
diperdengarkan dengan iringan biola. WR Supratman adalah editor kantor berita
Alpena (yang mana WR Supratman yang masih lajang tinggal di rumah Parada
Harahap). Parada Harahap juga sangat dekat dengan Amir Sjarifoeddin Harahap
(seorang pemain biola). Dua kongres ini disponsori oleh Kadin Batavia yang
diketuai oleh Parada Harahap yang menyebabkan bendahara Panitia Kongres Pemuda
diangkat Amir Sjarifoeddin Harahap. Tidak ada yang berdiri sendiri, semua
terhubung satu sama lain.
Pada era perjuangan pemuda tahun 1928, satu
grup musik tradisi yang terkenal di Batavia adalah Jong Batak Orchest. Salah
satu pemain band (orchest) Jong Batak ini adalah seorang mahasiswa keguruan
benama Nahum Sitoemorang. Dalam lomba cipta lagu kebangsaan yang diketuai oleh
Parada Harahap, Nahum Sitoemorang juga mengirimkan karyanya. Namun akhirnya
yang terpilih adalah karya WR Supratman. Nahum Sitoemorang dikenal sebagai
musisi dan komponis lagu-lagu Batak. Seperti disebutkan di atas, Jong Batak Orchest
inilah yang membawakan lagu-lagu Batak yang kali pertama disiarkan di radio (lihat
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 27-08-1937).
Piringan lagu 'Indonesia Raya' oleh WR Supratma |
Tunggu deskripsi lengkanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar