*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Makassar dalam blog ini Klik Disini
Sesungguhnya banyak pahlawan negeri yang tidak tercatat dalam sejarah nasional bahkan sejarah daerah. Di Depok yang berjuang melawan pemerintah Hindia Belanda di Bekasi Bapa Rama dan di Angkola Mengaradja Ranggar Laoet. Tentu saja masih banyak lagi di berbagai wilayah. Salah satu nama dari Luwu adalah Ambe Ma’a. Bagaimana sejarah perlawasan Ambe Ma’a di sisi utara teluk Luwu (teluk Bone) kurang terinformasikan. Padahal pahlawan tetaplah pahlawan.
Lantas bagaimana sejarah Ambe Ma’a di wilayah Luwu? Seperti disebut di atas bagaimana sejarah Ambe Ma’a kurang terinformasikan. Sebagaimana diketahui Luwu adalah kerajaan sejak zaman kuno (sudah dicatat dalam teks Negarakertagama 1365). Kerajaan Luwu berada antara gunung Gondangdewata di barat dan gunung Balease di timur. Kampong Ambe Ma’a berada di sisi timur gunung Balease dengan sungai Angkona. Lalu bagaimana sejarah Ambe Ma’a? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Ambe Ma’a: Pahlawan dari Luwu
Nama Ambe Ma’a muncul dan diberitakan pada tahun 1905 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-06-1905). Disebutkan Ambe Ma’a, seorang utusan Loewoe yang terkenal, tiba di sekitar danau Poso untuk tujuan mengusir orang-orang Belanda (Hollander). Pada tanggal 20 Desember telah dikirim satu detasemen dan Ambe Ma’a telah kembali ke Loewoe. Sebelum kehadiran Ambe Ma’a, para pemimpin Tonapu telah berseberangan dengan pemerintah Hindia Belanda di Poso.
Dalam bahasa Tae/bahasa Luwu, ambe diartikan sebagai ayah. Dalam berbagai tulisan sejarah linguistik gabungan bahasa Tae dan bahasa Bare’e melahirkan bahasa Makassar. Dalam perkembangannya dari bahasa Makassar terbentuk bahasa Wolio (Buton). Selanjutnya bahasa Bugis dan bahasa Mandar terbentuk dari bahasa Wolio. Dalam hal ini, bahasa Tae dan bahasa Bare’e di jantung pulau Sulawesi adalah bahasa asli, bahasa yang sudah erksis sejak zaman kuno. Ambe berasal dari kata Ama (ayah) suatu kata yang sudah eksis sejak zaman kuno. Nama Amboina (Ambon) juga sudah kuno, berasal daril kata Ama atau Ambe dan Ina (Amboina) di guna Binaia (pulau Seram).
Ambe Ma’a dapat dikatakan representasi orang Loewoe, sebagaimana di masa lampau dalam konteks yang kurang lebih sama, Soeltan Hasasnoedin (Makassar) dan Aroe Palaka (Bugis). Meski skala perjuangan Ambe Ma’a lebih terbatas, tetapi dengan masa yang berbeda, perjuangan Ambe Ma’a pada era teknologi perang yang sudah canggih (bukan era VOC, tetapi era Pemerintah Hindia Belanda). Munculnya Ambe Ma’a seakan marwah Kerajaan Loewoe kembali bangkit. Pada kurun yang sama, ketika Kerajaan Loewoe masih melakukan perlawanan, Kerajaan Boeton sudah mulai menjalin kerjasama dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Sebagaimana diketahui eksistensi Kerajaan Loewoe sudah ada pada era zaman kuno (era Majapahit). Dalam teks Negarakertagama 1365, selain nama Loewoe juga nama Makassar dan Boeton dicatat, Tiga kerajaan inilah, kerajaan-kerajaan tertua di selatan khatulistiwa di (pulau) Sulawesi. Perlawanan yang dilancarkan oleh Ambe Ma’a seakan menunjukkan (kerajaan) Loewoe masih hidup. Diantara tiga kerajaan-kerajaan ini, Kerajaan Loewoe adalah kerajaan tertua.
Kerajaan Loewoe, sebagai kerajaan tertua di selatan khatulistiwa di pulau Sulawesi, memiliki posisi strategis. Ke wilayah selatan bersingungan dengan orang Bugis, orang Bouton dan orang Makassar dan orang Mandar, ke wilayah sebelah utara, Kerajaan Loewoe berintraksi dengan penduduk pedalaman seperti Toraja di barat (meliputi Enrekang, Toraja dan Mamasa), di wilayah timur dengan penduduk Padoe dan Mekongga (Tolaki) serta Mori, dan di wilayah utara dengan penduduk yang lebih tua (Makki, Seko, Rampi, Bada, Napu dan Besoa). Kerajaan-kerajaan kecil di pedalaman ini sangat kaya dengan sumber daya alam (hasil hutan rotan dan damar serta bahan tambang). Kerajaan Loewoe sangat tergantung dengan pedalaman dalam membangun ekonomi (perdagangan) di pantai, sebaliknya kerajaan-kerajaan kecil di pedalaman sangat tergantung Kerajaan Loewoe untuk meneruskan hasil produksi dan mendapatkan barang-barang industri termasuk garam),
Keberadaan kerajaan-kerajaan kecil di pedalaman inilah pada awalnya yang menjadi faktor terbentuknya kerajaan di pantai di teluk Loewoe (Kerajaan Loewoe). Kerajaan-kerajaan kecil di pedalaman ini sudah terbentuk sejak zaman kuno (sebelum era Majapahit) sebagaimana dapat diperhatikan situs-situs tua dalam bentuk prasasti di Seko, Bada, Besoa dan Napu. Kerajaan-kerajaan kecil ini sebagai komunitas-komunitas kecil yang memiliki bahasa yang berbeda-beda tetapi masih satu rumpun yang dibagi ke dalam dua rumpun besar (bahasa Tae dan bahasa Bare’e). Komunitas-komunitas kecil ini masuk ke pedalaman dari sungai Sigi (teluk Donggala) dan sungai Pasangkayu (Pasangkayu) dan sungai Lariang (Mamuju). Komunitas-komunitas kecil juga terdapat di wilayah utara yang membentuk Minahasa. Dalam perkembangannya, penduduk wilayah utara (Minahasa dan Gorontalo) memasuki wilayah teluk Tomoni di sekitar muara sungai Poso dan sungai Bangka yang berhadapan dengan pednduk asli di pedalaman seperti Napu, Besoa, Seko dan Rampi (di sekitar danau Poso).
Kehadiran orang Eropa/Belanda di wilayah pedalaman inilah yang mengusik perhatian (kerajaan) Loewoe dengan mengirim panglima perang Ambe Ma’a ke wilayah utara di sekitar danau Poso. Beberapa waktu sebelumnya, para pemimpin suku Napu (yang dipimpin oleh Uma I Soli) telah melakukan keberatan dengan adanya aktivitas pemerintah Hindia Belanda di teluk Tomini di Poso. Penduduk Poso (yang asal-usulnya darei wilayah utara) yang bekerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda) menjadi pangkal perkara mengapa para pemimpin suku Napu Uma I Soli berang (catatan: Uma bahasa Napu adalah Ama atau Ambe). Sebab, selama ini wilayah pantai Poso diklaim Napu sebagai wilayahnya, dimana kehadiran penduduk pendatang (pemukim) dikenakan pajak. Sekarang pajak itu telah beralih kepada pemerintah Hindia Belanda. Setali tiga uang, apa yang menjadi pangkal perkara Kerajaan Loewoe melakukan perlawanan di wilayah utara (Poso) karena di satu sisi Napu sedang terancam dan di sisi lain, Kerajaan Loewoe akan kehilangan mitra dagang di pedalaman (khawatir pengaruh orang-orang Belanda semakin jauh ke pedalaman).
Orang-orang pedalamana adalah penduduk pemberani. Semua orang Eropa/Belanda yang pernah berinteraksi dengan penduduk pedalaman ini di pantai menyebut sebagi penduduk berperawakan besar, kuat dan tidak banyak bicara. Kruijy menyebut orang Napu, Besoa dan Bada sebagai pemberani. Demikian juga Adriani menyebut pemberani untuk orang Toraja berbahasa Bare’e, Seko dan Rampi. Hal itu juga disebut oleh Sarasin bersaudara dan Treffers bahwa orang Tolaki (Mekongga dan Konawe) sebagai pemberani. Mereka menduga semua penduduk pedalaman ini memiliki asal-usul nenek moyang yang sama di zaman kuno. Penduduk Loewoe, Makassar kemudian Bugis dan Mandar adalah penduduk yang terbentuk di wilayah pantai-pantai (juga orang Bouton, Tobungku dan Mori serta Poso di teluk Tomini) serta Kaili/Donggala di wilayah Sigi. Namun penduduk pedalaman ini sangat takut kepada Kerajaan Loewoe karena pasukannya yang banyak dan peralatan perang (senapan) yang dimiliki. Sementara penduduk pedalaman masih menggunakan senjata tradisi seperti sumpit, tombak dan sejenisnya. Yang lebih mereka takutkan sebenarnya adalah kehilangan mitra dagang di pantai (pedagang-pedagang Loewoe). Pada dasarnya penduduk di pedalaman ini adalah penduduk yang independen.
Lantas bagaimana kebijakan Kerajaan Loewoe selanjutnya? Itu satu hal. Hal yang lebih dalam hal ini (panglima) Ambe Ma’a memiliki prinsip tersendiri. Ambe Ma’a tampaknya ingin dan sangat melindungi penduduk pedalaman. Apakah Ambe Ma’a memiliki asal-usul dari pedalaman? Yang memiliki asal-usul yang berbeda dengan para bangsawan Loewoe?
Tunggu deskripsi lengkapnya
Penutur Bahasa Padoe di Wilayah Luwu: Toraja, Bada, Seko, Rampi dan Mori
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar