*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini
Klik Disi
Kesusasteraan
Indonesia sesungguhnya adalah terdiri dari kesusateraan berbahasa daerah
seperti berbahasa Melayu, berbahasa Jawa, berbahasa Sunda, berbahasa
Minangkabau, berbahasa Batak dan lain sebagainya. Namun karena para pemuda
sudah menetapkan Bahasa Indonesia pada Kongres 1928, maka Kesusasteraan
Indonesia seharusnya kesusasteraan berbahasa Indonesia. Kesusasteraan Indonesia
berbahasa daerah dengan sendirinya tamat.
|
Dja Endar Moeda, Sastrawan |
Tentu saja pemenggalan
serupa itu akan membuat HB Jassin marah, sebab periodisasi kesusasteraan sudah
dipatenkan oleh HB Jassin (yang terus kita ikuti hingga sekarang). HB Jassin
membuat kategori kesusasteraan Indonesia berdasarkan angkatan: Angkatan Balai
Pustaka (1920-an); Angkatan Pujangga Baru (setelah 1933); Angkatan 1945 (Pendobrak),
dan Angakatn 1966 (Orde Lama). Periodisasi serupa itu, HB Jassin menganggap
karya-karya Balai Pustaka (1920an) adalah titik tolak ‘sastra Indonesia
modern’. Sedangkan karya-karya sastra sebelum itu dikategorikannya sebagai
‘sastra Melayu lama’. Pertanyaannya: sastra berbahasa daerah masuk kategori
yang mana, bukankah sastra bahasa daerah adalah bagian dari Sastra Indonesia?
Akibat
dari periodisasi ala HB Jassin tersebut, menempatkan roman berjudul Sitti Nurbaya
karya Marah Roesli keluaran Balai Poestaka, secara psikologi sebagai roman
pertama Indonesia (modern). Walau mungkin bukan yang pertama, tetapi dalam
periode Angkatan Balai Pustaka tersebut, roman Sitti Nurbaya yang paling
terkenal.