Hari ini, tanggal 3 Mei diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia (World Press Freedom Day 2017). Tahun ini yang menjadi tuan rumah adalah Indonesia. Peringatan Kebebasan Pers sedunia ini dari tanggal 1-4 Mei dipusatkan di JCC, Senayan, Jakarta. Jumlah delegasi yang hadir hampir 1.000 insan pers dari lebih 100 negara.
Surat kabar 'Pertja Barat' di Kota Padang |
Pers pribumi (baca: Pers
Indonesia) dimulai di Kota Padang (1897). Ini bermula ketika kali pertama orang
pribumi menjabat sebagai editor surat kabar. Pers internasional Indonesia juga juga
dimulai di Kota Padang (1905). Ini bermula ketika orang pribumi menerbitkan surat
kabar berbahasa Belanda agar bisa dibaca oleh orang asing (Eropa) di Kota di
Kota Padang.
Pengekangan pers Indonesia juga kali pertama terjadi di Kota Padang (1907).
Ini bermula ketika pemerintah Hindia Belanda di Kota Padang menerapkan pasal
delik pers terhadap insan pers pribumi. Sang editor dikenakan hukuman dan
denda. Lantas kapan, menyuarakan kebebasan pers Indonesia dimulai? Kapan
kebebasan pers internasional di Indonesia dimulai? Mari kita lacak.
Pers Pribumi dan
Delik Pers
Di Kota Padang terbit surat kabar berbahasa Melayu, bernama Pertja Barat.
Surat kabar yang diterbitkan oleh Percetakan Winkeltmaatschappij (sebelumnya
Paul Bauner & Co) pada tahun 1897 meminta Dja Endar Moeda, seorang guru di
Padang untuk menjadi editor (Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad,
04-12-1897). Sejak Dja Endar Moeda menjadi editor Pertja Barat, surat kabar Sumatra-courant
berbahasa Belanda yang terbit di Kota Padang kerap menguktip kolom editorial
yang ditulis yang ditulis oleh Dja Endar Moeda. Ini mengindikasikan bahwa Dja
Endar Moeda memiliki kapasitas menjadi editor Pertja Barat dan pendapatnya yang
tertulis dalam Pertja Barat serta hasil wawancara menunjukkan Dja Endar Moeda
memiliki kemampaun intelektual yang baik.
Sumatra-courant: nieuws-en
advertentieblad, 25-03-1898 memberitakan isi esai Dja Endar Moeda mengusulkan
di dalam korannya, Pertja Barat, menginginkan agar di sekolah pribumi, bahasa
pengantarnya adalah bahasa Melayu, bukan bahasa Belanda. Alasannya adalah bahwa
sangat sulit bagi pribumi untuk bisa berbahasa Belanda. Pernyataan Dja Endar
Moeda ini membuat petinggi di Batavia tersentak. Koran Sumatra Courant juga
memuat hasil wawancara korespondennya di Batavia yang menanyakan langsung
Menteri. Koresponden: ‘Apakah penggunaan bahasa kita (maksudnya Belanda) dalam
pendidikan akan dihentikan?”. Menteri menjawab: ‘Jangan sampai terjadi, nanti
tidak ada ajaran yang lebih mengikat seperti sebelumnya yang terjadi di sekolah
guru’. Dja Endar Moeda berpendapat, bahasa Melayu sebagai pengantar di sekolah,
tetapi bahasa Belanda juga perlu dan mengusulkan adanya pelajaran bahasa
Inggris atau Prancis di sekolah pribumi. Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad,
15-11-1898 memberitakan Dja Endar Moeda yang mengkritisi penghematan dan
pemotongan anggaran pendidikan untuk sekolah-sekolah pribumi (termasuk
kweekschool). Itulah
awal kiprah Dja Endar Moeda sebagai editor pribumi di dalam pers Belanda.
Disebut pers Belanda karena pemilikan surat kabar tersebut masih di tangan
orang Eropa/Belanda. Dari penyataan-pernyataan Dja Endar Moeda menunjukkan Dja
Endar Moeda tengah memperjuangkan bangsanya (baca: Indonesia).
Dja Endar Moeda sudah sejak muda berperilaku sosial. Ketika masih sekolah
dia mempelopori pengumpulan sumbangan dari warga kota untuk diberikan kepada
warga kota lain yang miskin agar mampu membiayai sekolah anak mereka. Dja Endar
Moeda juga aktif membantu penduduk yang terkena bencana. Dja Endar Moeda juga
ternyata aktif membantu penduduk yang membutuhkan keadilan. Daftar kebajikan social
ini masih panjang. Yang jelas, Dja Endar Moeda sangat sadar bagaimana
membangkitkan bangsanya di bawah tekanan colonial, dimanapun dia berada dan
siapa pun yang benar-benar membutuhkannya. Dja Endar Moeda adalah sosok
penduduk pribumi terpelajar yang langka.
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 01-05-1884: ‘Ada dua anak murid Kweekschool Padang
Sidempuoen yang bernama Si Saleh dan Si Doepang melakukan kebajikan
mengumpulkan dana untuk membantu orang yang membutuhkan pendidikan’. Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad,
11-07-1898: ‘Dja Endar Moeda dari Pertja Barat mendorong partisipasi penduduk
untuk membantu korban gempa di Bengkoelen’. Algemeen
Handelsblad, 02-11-1898: ‘Dalam suatu pengadilan di Padang, seorang terdakwa
pribumi tidak diwakili (oleh pengacara) di pengadilan. Mr. Dja Endar Moeda,
editor Pertja-Barat, tertarik dan mengusulkan dirinya menjadi berada di
belakang terdakwa. Permintaan ini dikabulkan. Si terdakwa mendapat hukuman yang
lebih ringan dan hanya dijatuhi hukuman kerja paksa satu tahun karena yang
bersangkutan membantu narapidana melarikan diri dari penjara’.
Dja Endar Moeda juga berjuang melawan pihak Belanda dengan opini. Dja
Endar Moeda gerah dengan sikap orang-orang Belanda yang membantu menyumbang
dana untuk Transvaal di Afrika sementara penduduk pribumi di Hindia Belanda
sangat kesusahan. Penyumbang ini jika diperhatikan di dalam list yang terbit
secara berkala di surat kabar tidak sedikit orang-orang yang bernama pribumi di
dalam daftar penyumbang. Dja Endar Moeda tidak mau membantu, malah sebaliknya
mengkritik orang-orang Belanda, Tionghia dan juga menyindir orang-orang pribumi
yang turut menyumbang sementara di sekitar sendiri penduduk terpuruk dalam
kehidupan.
Sumatra-courant: nieuws- en
advertentieblad, 15-12-1899 (pembaca menulis): ‘saya ingin memulai dengan apa
yang telah diketahui yang disebut: Transvalomanie (bantuan untuk Belanda di
Afrika). Ketika semua orang terdengar simpati di Belanda dan di diniuntuk
kepentingan chariti ordonante. Dalam Ind. Revuew, November 1899 kita membaca,
kata-kata yang sangat tepat berikutnya: .... bawah Transvalomanie untuk menunjukkan bahwa dari Belanda di sini uang
datang dalam jumlah banyak untuk Transvaal. Tujuannya baik. Tapi sama seperti
cinta tanpa pengetahuan adalah fatal, mungkin amal tanpa menyalip tujuan.
Sampai saat ini (9 November) hanya dari beberapa tempat penting di Nusantara
telah terkumpul jumlah f37.115,28. Untuk berperang di Belanda sudah dikumpulkan
f220.000. Ayo ke sana, ketika India adalah dalam kesulitan (yang kronis
terjadi) yang itu sangat besar buat di sini. Bagaimana terpuji itu, bantuan
untuk diberikan penghasilan sementara di sini terancam, di sini miskin dan juga
terlihat di sekitar. Yang susah payah uang dari Timur dikirim, sedangkan tempat
kami tinggal masih begitu banyak kemiskinan dan banyak air mata terlalu kering.
Panti Asuhan dan pendirian amal lainnya memiliki kesulitan terbesar untuk tetap
di tempat. The Transvaal didukung oleh seluruh beradab Hindia dunia bahkan ibu
pertiwi. Transvaal akan menjadi kegagalan senegara tertekan kami. Dja Endar
Moeda, Editor sini muncul lembar Melayu Pertja-Barat, baru ini menunjukkan yang
pasti tidak hangat dan tidak tulus mengeluarkan hati simpati untuk Transvaal.
Sekarang saya peduli sangat sedikit untuk sering membabi buta meniru Transvaal
Transfigurasi membuat banyak kebodohan tentu tidak biasa dilakukan. Editor ini
melaporkan dalam Koran melayu, bahkan dia mengaku putih, mengganggu, mereka
makan wooiden dalam Melayu: Nenek Mojang, kurang digunakan untuk berarti: nenek
moyang atau mengejek rangka mengutuk. Dan saya hanya bertanya: di mana perlu
untuk memarahi, dan apa yang membantu para petani?’.
Dja Endar Moeda juga mendukung penduduk yang mampu untuk pergi jauh untuk
melakukan ibadah hadji. Namun melihat selama ini banyak permasalahan yang
dihadapi oleh calon dan jemaah haji, seperti sakit, meninggal, dirampok selama
di perjalanan dan kehabisan uang dan tidak bisa kembali mencoba memandu dengan
dengan menulis semacam buku panduan haji. Buku saku ini ternyata kemudian
diadopsi oleh pemerintah untuk disebarkan di seluruh Hindia Belanda. Haji Dja
Endar Moeda adalah penulis buku panduan haji pertama.
Bataviaasch nieuwsblad,
14-11-1900: ‘Untuk tujuan Mekkah yang dikeluarkan oleh Pemerintah banyak dan
beragam persyaratan. Aturan-aturan ini jarang dibawa ke orang-orang yang
terlibat dalam pengetahuan, atau dengan cara sedemikian rupa sehingga mereka
yang bisa menarik bagiannya taruhan yang paling menguntungkan, tetap tidak
menyadari daripadanya. Dja Endar Moeda yang juga bernama Haji Mohamad Saleh
telah menulis manuicript yang isinya 44 paragraf tentang semua informasi yang
diperlukan untuk calon hadji yang akan berangkat dari Hindia Belanda berziarah
ke Mekkah. Dja Endar Moeda berniat bahwa naskah itu akan dikirimkan kepada
Direktur Pendidikan, Agama dan Budaya untuk ditawarkan agar bisa diadopsi lalu
dicetak dan didistribusikan. Tujuannya adalah dimaksudkan untuk setiap para
pejabat dapat meneruskan panduan tersbut kepada calon hadji ke depan. Kita
berharap ini panduan pertanda baik bagi mendatang yang akan ke Mekkah dan
berharap kepada pemerintah agar upaya Dja Endar Moeda agar dapat dihargai.
(Padanger)’. [Dilansir De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad,
17-11-1900]
Dja Endar Moeda, pensiunan guru yang mendapat gaji pension, pemilik sekolah di Kota Padang, pemilik copyright novel yang dikarangnya ternyata yang menjadi pemiliki surat kabar Pertja Barat (De locomotief: Samarangsch handels-en advertentie-blad, 02-05-1901). Di dalam berita ini, Dja Endar Moeda juga telah menerbitkan dua media berbahasa Melayu lainnya, Insulinde (majalah) dan Tapian Na Oeli (surat kabar). Juga disebutkan bahwa Dja Endar Moeda dengan tiga media (berbahasa Melayu) plus percetakan memiliki banyak karyawan. Disebutkan dalam edisi pertama Insulinde, Dja Endar Moeda mengatakan bahwa diperlukan banyak media bagi bangsa pribumi untuk memberikan atau pengetahuan pembacanya ide yang lebih baik untuk berkenalan dengan isu-isu yang berbeda, tidak melulu dalam hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari semata. Dja Endar Moeda berpendapat sekolah dan media sama pentingnya.
Nieuwe Rotterdamsche courant, 18-02-1856) |
Pertja Barat, setelah di tangan Dja Endar Moeda, profilnya drastis berubah
dengan isi yang memihak (pribumi) menjadi media yang terus direspon dengan baik
oleh penduduk. Pertja Barat tidak hanya menjadi rujukan bagi pribumi, juga
menjadi rujukan bagi surat kabar Sumatra Courant. Dengan memperhatikan
kiprahnya tersebut dan berbagai pendapatnya, Dja Endar Moeda dengan sendirinya
telah memulai pers pribumi: ‘dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat’. Dalam hal
ini, Dja Endar Moeda boleh dikata adalah pionir pers pribumi. Dikatakan pers
pribumi, karena Pertja Barat berbahasa Melayu, editornya pribumi, pemiliknya
juga orang pribumi. Yang lebih penting surat kabar ini secara sadar menyuarakan
‘suara orang pribumi’.
Dja Endar Moeda adalah
pribumi multi talenta: pendidik, jurnalis, dan novelis. Karyanya yang sudah
diterbitkan tahun 1900, antara lain: Kitab Sariboe Pantoen: Ibarat dan
Taliboen, Volumes 1-2 (terbit 1900); Tapian na Oeli na pinararat ni Dja Endar
Moeda ni haroearkon ni toean (terbit 1900); Kitab boenga mawar: pembatjaan bagi
anak2 (terbit 1902); Kitab peladjaran bahasa Wolanda oentoek anak anak baharoe
moelai beladjar (terbit 1902); Hikajat sajang taq sajang: riwajat Nona
Geneveuva (terbit 1902); buku terkenal Riwajat Poelau Sumatra (terbit 1903);
Kitab edja dan pembatjaan oentoek anak anak jang baharoe beladjar (terbit
1903); dan Kitab kesajangan: bergoena oentoek anak-anak jang baharoe beladjar
membatja hoeroef Belanda (terbit 1904). Dja Endar Moeda dengan sendirinya sebagaii
pribumi yang berhasil menjadi ‘konglomerat’ di Kota Padang. Dja Endar Moeda
juga telah memiliki penerbitan berbahasa Belanda (Bataviaasch nieuwsblad,
06-06-1905). Surat kabar berbahasa Belanda tersebut adalah Sumatrasche Nieuwsblad (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 05-07-1905: ‘Dja Endar Moeda, penerbit
Sum. Nieuwtblad dan Pertja Barat’)..Diduga Dja Endar Moeda memperkaya medianya di segmen berbahasa Belanda untuk
menjangkau opininya dapat dibaca oleh orang Eropa/Belanda dan juga untuk
menyasar orang-orang elit pribumi yang lebih fasih berbahasa Belanda
dibandingkan dengan berbahasa Melayu.
Dja Endar Moeda mulai menyadari betul arti berbangsa yang sepenuhnya melalui
dunia jurnalistik. Benar apa yang pernah dikatakannnya ‘pendidikan dan media sama
pentingnya’. Seorang pejabat di Kajoetanam yang membunuh orang pribumi diangkat
Dja Endar Moeda sebagai laporan. Dja Endar Moeda ingin membela kaumnya yang
tidak berdaya dan ingin menghukum pejabat Belanda yang lalim. Namun laporan
tersebut telah membuat Dja Endar Moeda dipermasalahkan dengan pasal delik pers
dan mendapat hukuman cambuk.
Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 30-11-1905 memberitakan delik pers di Pengadilan Padang
dimana dua orang redaktur dijatuhkan hukuman pada 24 Juli tahun ini. Koran ini
menulis bahwa Si Saleh gelar Dja Endar Moeda, alias Hadji Mohd. Saleh,
(menyebut nama Dja Endar Moeda sebagai demikian) editor koran berbahasa Melayu,
Pertja Barat mendapat hukuman cambuk dan mengakibatkan cedera. Sementara, K.
Baumer, editor Sumatraasch Nieuwsblad (berbangsa Belanda) hanya didenda f15.
Dja Endar Moeda tidak hanya mendapat hukuman yang menghina (dicambuk)
juga Dja Endar Moeda diusir dari Kota Padang. Lantas apakah Dja Endar Moeda
kapok? Ternyata tidak. Dja Endar
Moeda hijrah ke Atjeh sambil mengembangkan sayap bisnis di Kota Medan. Surat
kabar Pertja Barat dialihkan kepada adiknya Dja Endar Bongsoe. Sedangkan koran
Sumatraasch Nieuwsblad dengan mengangkat editor baru bernama heer CA van
Deutekom (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 03-07-1906).
Kasus delik pers kembali
menimpa Dja Endar Moeda. Namun yang memiliki kasus bukan dirinya, tetapi
editornya CA van Deutekom. Kasus ini terjadi bulan September 1906. Setelah
kasus delik pers yang kedua ini, Dja Endar Moeda menutup Sumatraasch Nieuwsblad
di Padang (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 25-03-1907)
dan Dja Endar Moeda mulai mengembangkan bisnisnya ke Kotaradja dan menerbitkan
surat kabar Pembrita Atjeh di Kota Radja dan menhidupkan kembali Sumatraasch
Nieuwsblad di Kota Medan.
Dja Endar Moeda dengan berat hati meninggalkan Kota Padang. Di kota
inilah Dja Endar Moeda memiliki sekolah sendiri (sekolah swasta) untuk memenuhi
pendidikan pribumi yang tidak tertampung di sekolah pemerintah. Di kota ini
pula Dja Endar menjadi jurnalis sejati yang juga menghantarkannya menjadi ‘konglomerat’.
Di Kota Radja, Dja Endar Moeda dengan surat kabar baru, Pembrita Atjeh.
Mengapa Dja Endar Moeda
hijrah ke Atjeh dan bukan ke Sibolga (Tapanoeli) agar lebih dekat dengan kampong
halamannya di Padang Sidempuan? Hal ini boleh jadi karena saat itu wilayah
hukum Province Sumatra’s Westkust termasuk Residentie Tapanoeli. Dengan sendirinya
ini menjelaskan bahwa Dja Endar Moeda tidak hanya terusir dari Kota Padang,
tetapi juga terusir dari kmpung halamannya di Tapanoeli. Saat itu, Residentie
Tapanoeli termasuk Afdeeling Singkel.
Dja Endar Moeda di Kota Radja, sebagaimana di Kota Padang tetap berjuang untuk
mencerdaskan bangsa dan juga melaporkan kelalilam pejabat dan juga bertindak
untuk menjadi pembela rakyat di pengadilan. Dja Endar Moeda menjadi tidak ada
takutnya lagi.
De Tijd: godsdienstig-staatkundig
dagblad, 02-08-1909 memberitakan bahwa Dja Endar Moeda, editor surat kabar Pembrita
Atjeh membantu seorang terdakwa secara hukum dan bebas. Atas memberikan
keterangan (saksi ahli) yang mewakili terdakwa dan sikap adil, Dja Endar Moeda
ditawari pemerintah f 5.000, melalui pengacara, tetapi Dja Endar Moeda
menolaknya. Ini satu indikasi Dja Endar Moeda telah berfungsi ganda dalam
membantu penduduk dengan tulus dan tidak mengejar fulus.
De Sumatra post, 30-12-1909 |
Surat kabar Dja Endar Moeda maju pesat di Kotaradja karena tidak ada
saingan. Dja Endar Moeda boleh dibilang adalah perintis surat kabar di Atjeh.
Sementara di Medan, Sumatraasch Nieuwsblad kalah bersaing dengan Deli Courant dan
Sumatra Post. Untuk koran berbahasa Melayu, Pertja Timor sulit tertandingi di
Medan. Akan tetapi sejak Pertja Timor tidak diasuh oleh editor Hasan Nasoetion
gelar Mangaradja Salamboewe, koran bertiras tinggi ini mulai melorot. Dja Endar
Moeda melihat peluang ini, sementara Sumatraasch Nieuwsblad terus kalah
bersaing. Akhirnya Dja Endar Moeda menutup Sumatraasch Nieuwsblad dan
menerbitkan Pewarta Deli (1910) di bawah bendera NV. Sjarikat Tapanoeli. Awalnya
yang menjadi editor Pewarta Deli adalah Dja Endar Moeda. Boleh jadi hanya
sekadar memulai dan karena kesibukan dalam mengelola bisnisnya di Kota Padang,
Kota Sibolga, Kota Radja dan Kota Medan editor Pewarta Deli diberikan kepada Panoesoenan
gelar Soetan Sori Moeda. Untuk sekadar catatan: motto surat kabar Pertja Barat di Kota Padang dan
Pewarta Deli di Kota Medan persis sama: ‘Oentoek Sagala Bangsa’, tidak hanya
Minangkabau, Nias, Batak, Melayu, Atjeh tetapi suku bangsa yang lainnya. Dja Endar
Moeda, Dja Endar Bongsoe, Mangaradja Salamboewe dan Soetan Sorie Moeda adalah
mantan-mantan guru yang sama-sama alumni Kweekschool Padang Sidempoean (suksesi
Kweekschool Tanobato yang didirikan oleh Willem Iskander tahun 1861).
De Sumatra post edisi
29-05-1908 yang terbit di Medan menulis dalam editorial (yang dikutip juga oleh
Bataviaasch nieuwsblad di Batavia) mengakui bahwa Maharadja Salamboewe memiliki
keingintahuan yang tinggi, memiliki kemampuan jurnalistik yang hebat. Koran ini
juga mengakui bahwa Maharadja Salamboewe memiliki pena yang tajam dan memiliki
kemampuan menulis yang jauh lebih baik disbanding wartawan-wartawan pribumi
yang ada. Hebatnya lagi, masih pengakuan koran ini, Maharadja Salamboewe selain
sangat suka membela rakyat kecil, Maharadja Salamboewe juga sering membela
insan dunia jurnalistik baik wartawannya maupun korannya. Kami juga respek
terhadap dia, demikian diakui oleh koran Sumatra Post yang juga diamini oleh koran
Bataviaasch nieuwsblad. Editor Sumatra Post ini melanjutkan: ‘Di dalam seratoes orang pribumi
tidak ada satoe yang begitoe brani’. Ini
suatu indikasi baru, setelah Dja Endar Moeda lalu Abdul Hasan gelar Maharadja
Salamboewe merupakan pejuang pers pribumi.
Dja Endar Moeda adalah alumni Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1884. Mangaradja
Salamboewe adalah alumni terakhir Kweekschool Padang Sidempoean (1893). Sekolah
guru yang dibuka tahun 1879 tersebut harus ditutup tahun 1893 karena penyusutan
anggaran pemerintah. Untuk siswa-siswa asal Tapanoeli disarankan menuju
Kweekschool Fort de Kock. Meski demikian adanya, Kweekschool Padang Sidempoean (sejak 1879) dan
Kweekschool Tanobato (sejak 1862) telah memberi pengaruh yang besar di
Afdeeling Mandailing dan Angkola, Residentie Tapanoeli.
Guru terkenal di Kweekschool
Padang Sidempoean adalah Charles Adrian van Ophuijsen yang berdinas selama
delapan tahun yang mana selama lima tahun terakhir menjadi direktur Kweekschool
Padang Sidempoean. CA van Ophuijsen anak dari mantan Controleur di Natal memulai
karir guru di Padang Sidempuan yang mempelajari bahasa Batak dan bahasa Melayu
yang kelak dikenal sebagai penyusun Tata Bahasa Melayu dengan nama ejaan
Ophuijsen (menjadi Profesor bahasa Melayu di Universiteit Leiden).
Sumatra-courant, 08-04-1874 |
Semua guru-guru alumni dua sekolah tersebut
menulis buku dan novel, semua murid-muridnya memahami tiga bahasa (Batak,
Belanda dan Melayu). Oleh karenanya penduduk cukup banyak yang fasih berbahasa dan
menulis Bahasa Melayu. Para penduduk tidak hanya biasa berbahasa Melayu diantara
mereka tetapi juga mengirim tulisannnya di surat kabar berbahasa Belanda yang
terbit di Padang. Pembaca menulis di surat kabar adalah bagian dari
pers. Sejak awal 1870an warga Padang Sidempuan sudah kerap menulis di surat
kabar Sumatra Courant yang terbit di Padang. Tulisan mereka yang dimuat
sebagian berbahasa Belanda dan sebagian yang lain menggunakan bahasa Melayu
(meski koran tersebut berbahasa Belanda). Tidak hanya guru-guru yang menulis,
tetapi juga banyak penduduk yang menulis iklan (seperti iklan dari ayah Soetan
Casajangan, Maharadja Soetan, murid dari Willem Iskander di Sumatra-courant:
nieuws- en advertentieblad, 08-04-1874).
Mengapa
penduduk Mandailing dan Angkola lebih terbiasa berbahasa Melayu dialek Riau
dibanding dialek Minangkabau karena boleh jadi secara historis penduduk di
Angkola dan Mandailing sudah sudah sejak lama terhubung dengan perdagangan di
selat Malaka dimana di pantai-pantai cukup banyak dan tersebar komunitas Melayu.
Riwayat awal Tirto Adhi
Soerjo tidak terlalu dikenal (sejauh yang bisa ditelusuri). Namanya muncul
pertamakali pada tahun 1902. Disebutkan Tirto Adhi Soerjo diangkat sebagai editor
Pembrita Betawi, majalah yang diterbitkan oleh firma Albrecht en Co, suatu perusahaan yang memiliki percetakan dan toko (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 17-05-1902). Dja Endar Moeda lebih awal lima tahun (sejak 1897). Nama Tirto muncul kembali tahun 1904
yang mana disebutkan Tirto adalah editor majalah Soenda Berita yang akan
melakukan kerjasama dengan Koningin-Wilhelmina School dimana siswa-siswa dengan
berbagai topik dapat dimuat dalam media tersebut (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
05-08-1904). Pada tahun 1907 majalah baru diterbitkan dengan nama Medan
Prijaji. Majalah berbahasa Melayu ini adalah organ dari Boedi Oetomo dengan
administrateur majalah, Mas Arsad (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1908).
Sedangkan editornya adalah Tirto yang kini Medan Prijaji jauh lebih populer
daripada mantan Pewarta Prijaji (Soerabaijasch handelsblad, 21-11-1908). Tirto
mulai beraksi dengan pemberitaan yang lebih kontras yang akhirnya editor Medan
Prijaji mendapat cobaan karena melakukan penghinaan (Soerabaijasch
handelsblad, 19-12-1908). Setelah Tirto pulang dari Negeri Belanda, proses
delik persnya terus berlangsung. Di pengadilan dinyatakan bersalah dan harus
dihukum. Tirto setelah habis masa hukumannya diasingkan ke Lampung (Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-05-1910). Setelah dari pengasingan,
Tirto kembali ke Batavia dan mulai aktif kembali dengan Medan Prijaji. Pada
tahu 1911 Tirto Adhi Soerjo berpolemik dengan pengurus Sarikat Militer Boemi
Poetra. Kemudian tahun 1912 Tirto Adhi Soerjo, editor Medan Prijaji berpolemik
(delik pers) karena memfitnah dan pencemaran nama baik (Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indie, 20-12-1912). Tirto dan kawan-kawan dihukum penjara
tetapi menebus dengan uang (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
27-12-1912). Tirto ‘berjuang’ hanya efektif sejak 1910 hingga 1912. Sejak akhir
tahun 1912 kabar berita Tirto tidak pernah terdengar. Setelah kasus yang
menimpanya (delik pers), Tirto Adhi Soerjo, juga soal perdata dengan para
kreditornya semakin merperburuk hal yang
harus dihadapi olehnya. Tirto Adhi Soerjo hidupnya boleh jadi menjadi tidak
menentu, karena asetnya di Medan Prijaji terus tersandera dan boleh jadi harus
dijual untuk menebus para kreditor (Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 05-02-1914). Tirto Adhi Soerjo tidak diketahui entah
dimana, Ketika namanya muncul kembali, Tirto Adhi Soerjo dikabarkan telah
meninggal dunia di Batavia tanggal 7 Desember 1918 dalam bentuk artikel
obituari yang ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo.
Mungkin anda tidak akan membayangkan bahwa Medan Prijaji akan berhenti
secepat itu, dan mungkin anda tidak membayangkan Tirto Adhi Soerjo tersandera
kasus perdata, lalu aset harus dijual dan juga mungkin anda tidak membayangkan
siapa yang akan 'membeli' nama Medan Prijaji ini. Yang membeli nama itu untuk
sekadar diketahui diantaranya adalah anak-anak Kota Padang Sidempoean dan
anak-anak Kota Padang (yang sebagian besar alumni STOVIA) yang kini (1915)
berada di Medan.
Sumatera post, 18-01-1915:
‘Dalam pertemuan terakhir pengurus Medan Prijaji terpilih. Hal ini terdiri
sebagai berikut: Abdul Rashid, Inlandsch arts, Presiden, J. Salim sebagai Wakil
Presiden, Mohd Yusuf, kepala sekolah sebagai sekretaris-1, Harazah sebagai
skretaris-2, St. Guru, sebagai bendahara. Anggota komisaris terdiri Baginda
Djoendjoengan, Dt. Raja Angat, Sjamsoeddin, Dt. Noordin, ARC Salim dan Abd. Wahab Siregar.
Dalam dunia pers, bobot tema perjuangan Dja Endar Moeda jauh lebih kuat
dibandingkan dengan Tirto Adhi Soerjo. Perkara pertama yang menimpa dirinya
dalam delik pers yang dikenakan adalah pasal penghinaan, yang mana Tirto Adhi
Soerjo di dalam Medan Prijaji edisi Juni 1908 No 24 menyebut wakil controleur
Poerwedadi sebagai ;ingus-monyet dari aspirant controller; (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18-08-1909). Kemudian kasus yang kedua menimpa Tirto Adhi Soerjo adalah juga pasal finah yang mana Adhisoerjo melakukan fitnah
di dalam korannya terhadap dua pegawai negeri sipil yang mengakibatkan dirinya
dapat hukuman empat bulan pemberhentian ke tempat pengasingan (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20-12-1912).
Hal penghinaan dan fitnah
bukanlah esensi perjuangan pers pribumi. Kalau ada kesalahan kutip atau
interpretasi adalah lumrah bagi seorang jurnalistik dan manusiawi. Tetapi jika
menghina dan menfitnah itu namanya bukan menghadapi risiko, tetapi membuat konyol.
Coba kita bandingkan dengan tema-tema yang diajukan Dja Endar Moeda sehingga
isinya dimuat koran-koran Eropa/Belanda. Jangan lupa, Dja Endar Moeda adalah
pendidik dan mantan guru yang terus peduli bangsanya. Mari kita simak kiprahnya
di dunia pendidikan dan jurnalistik, sebagaimana dikatakannya pendidikan dan
pers sama pentingnya.
Debat Dja Endar Moeda di Sumatra Courant, 1899. |
Riwayatnya
juga tidak terlalu dikenal. De waarheid, 04-03-1989: ‘Tentang Tirto ini sampai
sekarang sangat sedikit yang diketahui, meskipun ia dianggap di masa sekarang
Indonesia sebagai ‘Bapak Pers Nasional’.
Pada tahun 1973, pemerintah menabalkan Tirto Adhi Soerjo sebagai Bapak
Pers Nasional.
Untuk sekadar mengingat kembali bahwa surat kabar Bintang Timoer yang (juga) pernah terbit di Kota Padang pada tahun 1865 (tetapi kemudian tutup), hingga tahun 1878 hanya terdapat tujuh buah surat kabar berbahasa Melayu di Nederlandsch Indie (Hindia Belanda) yang mana enam buah beraksara Latin dan satu buah aksara karakter Arab. Yang beraksara Latin terdapat tiga buah di Batavia dan masing-masing satu buah di Semarang, Soerabaja dan Menado. Yang beraksara karakter Arab tedapat di Batavia (lihat Het nieuws van den dag: kleine courant, 11-11-1878). Namun perlu diketahui semua surat kabar berbahasa Melayu tersebut dimiliki oleh ‘investasi asing’ (non pribumi). Semua editor dari tujuh surat kabar tersebut adalah non-pribumi kecuali (pernah) satu orang berinisial WI asal Sumatra (WI, een inlander van Sumatra). Siapa yang berinisial WI sulit terlacak, tetapi pribumi terpelajar saat itu (yang pandai menulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu) adalah Willem Iskander. Apakah inisial WI adalah Willem Iskander? Sebab pada era-era awal pers berbahasa Melayu hanya Willem Iskander yang terbilang sebagai penulis dari golongan pribumi, sebagai penulis buku umum dan penulis buku pelajaran seperti buku De Braven Hendrik yang terkenal di Eropa diterjemahkannnya dalam bahasa Batak (Angkola Mandailing) dicetak dan diterbitkan di Batavia tahun 1862. Sementara itu sebelum tahun 1900 di Kota Padang hanya ada dua surat kabar berbahasa Melayu yakni Warta Brita dan Pertja Barat. Kedua surat kabar ini investasi asing (non-pribumi) yang kemudian pada tahun 1897 Pertja Barat yang menjadi editor diangkat Dja Endar Moeda. Dan, tahun 1900 Dja Endar Moeda mengakuisisi surat kabar Pertja Barat beserta percetakannya. Ini dengan sendirinya, Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah orang pertama di dalam pers pribumi (editor dan pemilik). Nama-nama seperti Mahjoeddin di Padang, Hasan Nasution gelar Mangaradja Salamboewe (1902 di Medan) dan Tirto Adhi Soerjo (1903 di Batavia) hanyalah editor semata. Editor yang naik kelas menjadi pemilik hanyalah Dja Endar Moeda (sejak akhir 1999). Dengan demikian, pers pribumi (editor sebagai jiwa dan pemilik sebagai badan), jika dan hanya jika itu yang dimaksud pers pribumi, pionirnya adalah Dja Endar Moeda (bukan siapa-siapa dan juga bukan Tirto Adhi Soerjo).
Dja Endar Moeda tidak hanya piawai untuk urusan pers pribumi (berbahasa
Melayu), Dja Endar Moeda juga jago dalam beropini dengan wartawan Belanda di
Sumatra Courant tahun 1899 dalam kasus transvaal (bantuan orang-orang Belanda
terhadap golongan putih de Boer di Afrika, sementara di Hindia Belanda, pribumi
dilanda kemiskinan). Ini juga berarti Dja Endar Moeda adalah pribumi pertama
yang mampu beropini (polemik) di dalam pers Balanda. Singkat fakta: semua
perihal awal pers dan perjuangannya adalah milik dan hak Dja Endar Moeda, bukan
milik Tirto Adhi Soerjo sebagaimana dipahami selama ini. Semua yang
diperjuangkan Dja Endar Moeda dimulai dari Kota Padang.
Kebebasan Pers dan Pers Internasional. Isu kebebasan pers dimulai oleh Parada Harahap; isu pers internasional oleh Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Dua topik ini akan dibuat dalam dua artikel dalam serial Sejarah Kota Padang ini..
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo
doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak
semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain.
Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut
di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar