Kamis, 09 Februari 2023

Sejarah Pers di Indonesia (8): Polemik Pers Era Hindia Belanda;Orang Belanda Lupakan Penduduk - Pribumi Mulai Jauhi Belanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Pada masa ini diantara para jurnalis Indonesia, polemic yang selalu ada adalah soal hari pers nasional-perihal siapa yang berhak memiliki hari pers di Indonesia. Memang setiap era memiliki persoalan sendiri-sendiri, tetapi perihal polemik itu menjadi bagian tidak terpisahkan dalam perjalanan sejarah pers di Indonesia. Pada permulaan pers Indonesia, era Pemerintah Hindia Belanda, polemik pertama yang bergulir adalah soal kebangsaan: warga mana yang paling berhak mendapat perhatian pembangunan dan siapa diantara pribumi dan Belanda yang berhak tentang kepemilikan tanah air (warisan nenek moyang).


Polemik Hari Pers Nasional. Remotivi/Wisnu Prasetya Utomo. 2017. Perdebatan apakah tanggal 9 Februari layak diperingati sebagai Hari Pers Nasional? Hampir setiap tahun, AJI menolak itu. Pasalnya, tanggal tersebut hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), akan lebih tepat diperingati sebagai hari lahir PWI. Ide Hari Pers Nasional sudah berlangsung lama, di tahun 1978 saat kongres ke 16 PWI di Padang, saat itu ketua PWI Harmoko, pemimpin redaksi Pos Kota, menjadi salah satu keputusan kongres. Ide ini lantas diusulkan kepada Dewan Pers dan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 5 tahun 1985, tanggal 23 Januari 1985 Hari Pers Nasional resmi diperingati setiap tahun di tanggal 9 Februari. Ini bermula dari berbagai diskusi digelar dan perdebatan public sekelompok jurnalis dan penulis pada 7 Desember 2007 mendeklarasikan Hari Pers Indonesia di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. Pemilihan tanggal 7 Desember didasarkan pada hari meninggalnya Tirto Adhi Soerjo, bapak pers nasional. Salah satu yang tokoh yang turut mendeklarasikan Hari Pers Indonesia adalah Taufik Rahzen, penulis buku Seabad Pers Kebangsaan (2007) dimana dalam buku, Taufik menulis bahwa semestinya menjadi tonggak bagi kehidupan pers di Indonesia adalah Tirto Adhi Soerjo yang merupakan pemimpin redaksi Medan Prijaji, media pertama yang menggunakan bahasa Melayu. Suryadi, dosen dan peneliti di Universitas Leiden. menyebut bahwa menggunakan satu nama koran atau tokoh sebagai penanda peringatan pers Indonesia sama artinya dengan mengabaikan peran koran-koran lain yang juga memiliki sumbangan besar dalam sejarah pers di Indonesia. Perdebatan-perdebatan semacam ini hampir muncul setiap tahun hingga saat ini, sementara hari pers tetap diperingati pada 9 Februari (https://www.remotivi.or.id/)

Lantas bagaimana sejarah polemik pers era Pemerintah Hindia Belanda? Seperti disebut di atas, polemik pers antara (pribumi dan Belanda) dimulai soal warga mana yang paling berhak mendapat perhatian pembangunan dan kemudian berlanjut siapa diantara pribumi dan Belanda yang berhak tentang kepemilikan tanah air. Pada masa kini, soal itu sudah dapat dituntaskan, tetapi diantara insan pers masih seputar tentang penetapan hari pers nasional. Lalu bagaimana sejarah polemik pers era Pemerintah Hindia Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Pers di Indonesia (7): Kebangkitan Pers Pribumi di Padang, Batavia dan Medan; Surat Kabar Pertja Barat - Dja Endar Moeda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Sebagaimana disebut pada artikel sebelum ini, pers di Indonesia, yang dapat dikatakan dimulai pada era Pemerintah Hindia Belanda, berawal dari pers (berbahasa) Belanda kemudian terbentuk pers pribumi. Sebagaimana kita lihat nanti, pers pribumi inilah yang kemudian bertransformasi menjadi pers Indonesia (vs pers Belanda). Terbentuknya pers pribumi menjadi landasan kebangkitan pers peibumi di berbagai kota. Salah satu pegiat pers dalam kebangkinatn pers pribumi itu adalah Dja Endar Moeda, pemimpin dan redaktur surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat di Padang.


Dja Endar Moeda atau lengkapnya Dja Endar Moeda Harahap adalah perintis pers berbahasa Melayu kelahiran Padang Sidempuan, 1861. Dididik sebagai guru di sekolah pengajaran guru di Padang Sidempuan, kariernya di dunia pers dimulai sebagai redaktur untuk jurnal bulanan Soeloeh Pengadjar pada 1887. Sepulangnya dari naik haji tahun 1893 Dja Endar Moeda memutuskan untuk bermukim di Kota Padang. Di sana, selain mendirikan sekolah swasta ia menjadi redaktur Pertja Barat, yang didirikan oleh Lie Bian Goan. Pada tahun 1905, Dja Endar Moeda membeli Pertja Barat. Dja Endar Moeda juga mendirikan beberapa media cetak lain di Medan dan Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Pemberita Atjeh didirikan pada 1906. Dengan rekan-rekannya di Sjarikat Tapanuli dia menerbitkan Pewarta Deli, dengan dirinya sebagai pemimpin redaksi. Pada 1911, setelah keluar dari Pewarta Deli, Dja Endar Moeda menerbitkan Bintang Atjeh (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah kebangkitan pers pribumi di Padang, Batavia dan Medan? Seperti disebut di atas, terbentuknya pers pribumi dan kebangkitan pers pribumi bermula dari munculnya kesadaran berbangsa (berbeda dengan bangsa asing/Belanda). Pers Belanda berbahasa Belanda, pers pribumi berbahasa Melayu. Surat kabar berbahasa Melayu di Padang Pertja Barat yang dipimpin Dja Endar Moeda muncul pertama ke permukaan. Lalu bagaimana sejarah kebangkitan pers pribumi di Padang, Batavia dan Medan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 08 Februari 2023

Sejarah Pers di Indonesia (6): Surat Kabar Berbahasa Melayu Investasi Eropa/Belanda; Surat Kabar Berbahasa Jawa di Soerakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Sebagaimana dalam artikel sebelum ini, surat kabar berbahasa Inggris pernah eksis di Indonesia (masa pendudukan Inggris 1812-1816), lalu kembali dengan surat kabar berbahasa Belanda. Dalam perkembangannya mulai dimunculkan surat kabar berbahasa Melayu yang umumnya dengan investasi Eropa/Belanda.  Dalam perkembangannya berkembang investasi pribumi dalam inudustri surat kabar berbahasa Melayu (dan bahkan ada yang merintis dengan bahasa Belanda).


Kisah Singkat Al Juab, Koran Berbahasa Melayu Pertama di Indonesia. Eropa menerbitkan surat kabar pertama sejak abad ke-17. Dr. De Haan dalam buku Oud Batavia, Kort Bericht Eropa salah satu surat kabar pertama di Eropa terbit 1676 oleh Abraham Van de Eede merilis berita dari Polandia, Perancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris dan Denmark. Surat kabar pertama diterbitkan di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles. terbit Oktober 1744 dalam bahasa Belanda. Lalu berubah kritik perbudakan di Batavia dan perilaku penguasa VOC, media ini dibekukan dan baru dilanjutkan 30 tahun kemudian oleh Verdu Nieuws yang berisi iklan. Al Juab muncul tahun 1795, koran berbahasa Melayu pertama. menulis tentang berkaitan dengan agama Islam. Dalam Ensiklopedia Jakarta, surat kabar Al Juab diterbitkan mubaliq Islam asal Arab menggunakan aksara Arab. Dikabarkan, media ini tutup di tahun 1801, selanjutnya, 1824 koran ini digantikan oleh Bianglala, diterbitkan Oglive & Co dipimpin Stefanus Sandiman dan Marcus Geto. Surat kabar Bianglala berganti nama menjadi Bintang Johar. Di tahun-tahun berikutnya, koran-koran lain bermunculan. Dalam Bingkai Sejarah, disebutkan bahwa surat kabar dengan bahasa Melayu yang menyusul Al Juab pada tahun 1858 diantaranya Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, Soerat Khabar Betawi, Hindia Nederland, Slompret Melajoe. Setelah kedatangan mesin cetak di Batavia, surat kabar berkembang dan mempermudah surat kabar berbahasa Melayu tumbuh, hingga menjadi salah satu senjata perjuangan kemerdekaan Indonesia (https://www.goodnewsfromindonesia.id/2021/)

Lantas bagaimana sejarah surat kabar berbahasa Melayu investasi Eropa/Belanda? Seperti disebut di atas surat kabar berbahasa Melayu investasi Eropa/Belanda mulai diambil alih oleh pribumi (termasuk orang Cina). Diantara surat kabar berbahasa Melayu, juga muncul surat kabar berbahasa Jawa di Soerakarta dan surat kabar berbahasa Batak di Padang Sidempoean. Lalu bagaimana sejarah surat kabar berbahasa Melayu investasi Eropa/Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Pers di Indonesia (5): Surat Kabar Berbahasa Belanda; Batavia serta Semarang Padang Surabaja JogjakartaSurakarta Medan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Surat kabar berbahasa Inggris di Hindia Belanda (baca: Indonesia) hanya seumur jagung (selama 1812-1816) itu terjadi karena pendudukan Inggris (1811-1816). Namun itu akan kembali di masa nanti. Selama era Pemerintah Hindia Belanda, surat kabar berbahasa Belanda yang berjaya, bahkan surat kabar berbahasa Belanda masih eksis di era Republik Indonesia, sebelum terjadi nasionalisasi perusahaan swasta di Indonesia tahun 1957. Surat kabar berbahasa Belanda karenanya memiliki peran penting dalam sejarah pemberitaan di Indonesia selama hampir satu setengah abad. Suatu waktu yang sangat panjang.


Java-bode (Utusan Jawa) adalah surat kabar yang diterbitkan di Batavia, Hindia Belanda, koran ini terbit 2 kali per minggu dan sejak tanggal 1 Desember 1869 terbit setiap hari. Sejak bulan Maret 1942 hingga tahun 1949, koran ini tidak terbit karena pendudukan Jepang di Indonesia. Pada tanggal 11 Agustus 1852, koran ini diterbitkan untuk yang pertama kalinya, dan edisi penghabisan terbit pada bulan Maret 1957. Koran ini beraliran liberal, tetapi di bawah Conrad Busken Huet koran ini beralih haluan jadi konservatif dan sejak tahun 1932 arah koran ini menjadi "kanan" sejak dipimpin oleh Henri Zentgraaff, yang karena itulah mendapat kritik tajam dari penulis Eddy du Perron. Beberapa editor dan jurnalis telah diasosiasikan dengan Java Bode, termasuk Conrad Busken Huet(pemimpin redaksi 1868-1873), Jan Eduard van Someren Brand (penulis seri sejak 1889), Dirk Verbeek (kepala readaksi pada 1915), Johan Alberts (editor sejak 1918), Herman Salomonson (kepala redaksi 1923-1926 dan penulis dari sebagian Rhythm Chronicles Melis Stoke), Johan Ernst Jasper (kepala redaksi 1929-1932) da Alfred van Sprang (editor 1940-1942). Daftar pemimpin redaksi: H. Zentgraaff; Conrad Busken Huet (1868-1873); Henri Salomonson (1924-1926); Henri Zentgraaff (1932-1939) (Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah surat kabar berbahasa Belanda di Indonesia? Seperti disebut di atas, surat kabar berbahasa Belanda cukup lama di Indonesia bahkan sejak era VOC yang kemudian semakin intens sejak permulaan Pemerintah Hindia Belanda. Tidak hanya di Batavia, surat kabar berbahasa Belanda juga terbit di berbagai kota seperti Semarang, Padang, Soerabaja, Jogjakarta, Soerakarta dan Medan. Lalu bagaimana sejarah surat kabar berbahasa Belanda di Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 07 Februari 2023

Sejarah Pers di Indonesia (4): Pers Semasa Pendudukan Inggris 1811-1816; Surat Kabar Berbahasa Inggris Java Government Gazette


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Pada tanggal 26 Agustus 1811 Inggris menduduki Batavia. Dua minggu kemudian, Inggris membuat proklamasi pada tanggal 11 September 1811 lalu disusul kemudian tanggal 18 September 1811 membuat perjanjian dengan Belanda yang isinya Jawa dan Madura dikuasai Inggris. Butir berikutnya dari perjanjian tersebut bahwa semua tentara Belanda menjadi tawanan Inggris dan orang sipil Belanda dapat dijadikan pegawai Inggris. Pimpinan Inggris dalam hal ini Thomas Stamford Raffles. Surat kabar berbahasa Belanda Bataviasche Koloniale Courant berhenti terbit dan kemudian muncul surat kabar baru Java Government Gazette.


Surat kabar yang diterbitkan sebagai surat kabar resmi selama masa pemerintahan Inggris yang pendek di Indonesia (1811-1816), untuk menggantikan penerbitan resmi pemerintah Hindia Belanda, Bataviasche Koloniale Courant (1810-1811). Bataviasche Koloniale Courant diterbitkan atas permintaan Herman Willem Daendels menggantikan koran pendahulunya, Het Vendu-Nieuws (1776- 1809), yang dianggapnya "kurang menarik". Het Vendu-Nieuws (Berita Lelang) mulai terbit 30 tahun sesudah surat kabar pertama di Indonesia, Bataviasche Nouvalles en Politique Raisonnementen (1744-1746), ditutup atas perintah para direktur VOC, Perserikatan Dagang Hindia Timur, di Nederland. Java Government Gazette, dalam bahasa Inggris, beredar pertama kali tanggal 29 Februari 1812. Ketika Hindia Timur dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda, alih kekuasaan pada bulan Agustus 1816 sekaligus meresmikan penutupan surat kabar ini. Hindia Belanda mengeluarkan De Bataviasche Courant, yang terbit tiga kali seminggu (https://dinaskebudayaan.jakarta.go.id/)

Lantas bagaimana sejarah pers semasa pendudukan Inggris 1811-1816? Seperti disebut di atas, Batavia diduduki Inggris dan kemudian menguasai seluruh Jawa, Akibatnya surat kabar berbahasa Belanda Bataviasche Koloniale Courant berhenti terbit dan kemudian muncul surat kabar baru Java Government Gazette. Lalu bagaimana sejarah pers semasa pendudukan Inggris 1811-1816?  Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Pers di Indonesia (3): Permulaan Pers pada Era Hindia Belanda; Bataviasche Koloniale Courant Era Daendels 1810-1811


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini

Era VOC berakhir 1799. Hindia Timur diakuisisi Kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintah Hindia Belanda (semacam provinsi jauh Belanda). Namun tidak lama kemudian Belanda diduduki Prancis 1805. Dalam situasi ini Raja Belanda di bawah bayang-bayang kekuasaan Prancis mengirim Daendels menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk meningkatkan pertahanan Jawa dari kemungkinan ancaman Inggris (Seteru Prancis). Di Jawa, selain program pembentukan kota-kota, pembangunan jalan trans-Java juga menginisiasi kehadiran media.


Herman Willem Daendels (21 Oktober 1762 – 2 Mei 1818), adalah seorang politikus dan jenderal Belanda yang menjadi Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-36. Ia memerintah antara tahun 1808 – 1811. Masa itu Belanda sedang dikuasai oleh Prancis. Pada tahun 1780 dan 1787, ia ikut para kumpulan pemberontak di Belanda dan kemudian melarikan diri ke Prancis. Di sana ia menyaksikan dari dekat Revolusi Prancis dan lalu menggabungkan diri dengan pasukan Batavia yang republikan. Akhirnya, ia mencapai pangkat Jenderal dan pada tahun 1795, ia masuk Belanda dan masuk tentara Republik Batavia dengan pangkat Letnan-Jenderal. Pada tahun 1806, ia dipanggil oleh Raja Belanda, Raja Louis (Koning Lodewijk) untuk berbakti kembali di tentara Belanda. Ia ditugasi untuk mempertahankan provinsi Friesland dan Groningen dari serangan Prusia. Lalu setelah sukses, pada tanggal 28 Januari 1807 atas saran Kaisar Napoleon Bonaparte, ia dikirim ke Hindia Belanda sebagai Gubernur-Jenderal. Daendels tiba di Batavia pada 5 Januari 1808 menggantikan Gubernur-Jenderal Albertus Wiese. Daendels mengemban tugas yang diberikan oleh Raja Louis dari Hollandia untuk melakukan reformasi pemerintahan yang korup peninggalan VOC (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah permulaan pers era Pemerintah Hindia Belanda? Seperti disebut di atas, era baru Hindia Timur dimulai tahun 1800 dimana kerajaan Belanda membentuk Pemerintah Hindia Belanda. Sejak Daendels menjadi Gubernur Jenderal tahun 1808, didirikan surat kabar Bataviasche Koloniale Courant yang diterbitkan di Batavia 1810. Lalu bagaimana sejarah permulaan pers era Pemerintah Hindia Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.