*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pers dalam blog ini Klik Disini
Sebagaimana disebut pada artikel sebelum ini,
pers di Indonesia, yang dapat dikatakan dimulai pada era Pemerintah Hindia
Belanda, berawal dari pers (berbahasa) Belanda kemudian terbentuk pers pribumi.
Sebagaimana kita lihat nanti, pers pribumi inilah yang kemudian bertransformasi
menjadi pers Indonesia (vs pers Belanda). Terbentuknya pers pribumi menjadi
landasan kebangkitan pers peibumi di berbagai kota. Salah satu pegiat pers
dalam kebangkinatn pers pribumi itu adalah Dja Endar Moeda, pemimpin dan redaktur
surat kabar berbahasa Melayu Pertja Barat di Padang.
Dja Endar Moeda atau lengkapnya Dja Endar Moeda Harahap adalah perintis pers berbahasa Melayu kelahiran Padang Sidempuan, 1861. Dididik sebagai guru di sekolah pengajaran guru di Padang Sidempuan, kariernya di dunia pers dimulai sebagai redaktur untuk jurnal bulanan Soeloeh Pengadjar pada 1887. Sepulangnya dari naik haji tahun 1893 Dja Endar Moeda memutuskan untuk bermukim di Kota Padang. Di sana, selain mendirikan sekolah swasta ia menjadi redaktur Pertja Barat, yang didirikan oleh Lie Bian Goan. Pada tahun 1905, Dja Endar Moeda membeli Pertja Barat. Dja Endar Moeda juga mendirikan beberapa media cetak lain di Medan dan Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Pemberita Atjeh didirikan pada 1906. Dengan rekan-rekannya di Sjarikat Tapanuli dia menerbitkan Pewarta Deli, dengan dirinya sebagai pemimpin redaksi. Pada 1911, setelah keluar dari Pewarta Deli, Dja Endar Moeda menerbitkan Bintang Atjeh (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah kebangkitan pers pribumi di Padang, Batavia dan Medan? Seperti disebut di atas, terbentuknya pers pribumi dan kebangkitan pers pribumi bermula dari munculnya kesadaran berbangsa (berbeda dengan bangsa asing/Belanda). Pers Belanda berbahasa Belanda, pers pribumi berbahasa Melayu. Surat kabar berbahasa Melayu di Padang Pertja Barat yang dipimpin Dja Endar Moeda muncul pertama ke permukaan. Lalu bagaimana sejarah kebangkitan pers pribumi di Padang, Batavia dan Medan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Kebangkitan Pers Pribumi di Padang, Batavia dan Medan; Surat Kabar Pertja Barat dan Dja Endar Moeda
Kapan pers berbahasa Melayu bermula? Itu sudah lama, yang diinisiasi oleh para investor Eropa/Belanda. Mereka itu adalah para investor yang selama ini terlibat dalam berbagai penerbitan pers berbahasa Belanda di Indonesia maupun di Eropa. Lantas mengapa para investor tersebut merambah ke surat kabar berbahasa Melayu? Tentu saja itu seiring dengan semakin meluasnya warga pribumi (maupun orang-orang Cina) yang bersekolah, yang telah memiliki kepandaiaan membaca menulis dalam aksara Latin. Terutama di kota-kota.
Kota-kota besar, khususnya kota yang heterogen (mix population) yang
penggunaan bahasa Melayu sangat luas (lingua franca) dimana penduduk pribumi
(dan orang Cina) terbiasa dengan bahasa Melayu dan dengan pengathuan aksara
Latin baik karena belajar sendiri maupun karena pernah bersekolah. Kota-kota
yang tipikal dengan ini di masa awal antara lain Batavia, Semarang, Soerabaja
dan Padang. Di kota-kota inilah para investor Eropa/Belanda memulai usaha
penerbitan surat kabar berbahasa Melayu.
Usaha penerbitan surat kabar berbahasa Melayu pada awalnya bersifat pasang surut. Banyak usaha penerbitan surat kabar berbahasa Melayu gagal, tetapi dari waktu ke waktu usaha ini terus dilakukan. Hal ini tergambar dari banyaknya surat kabar yang terbit, tidak bertahan lama, tetapi kemudian muncul lagi surat kabar baru. Ini kontras dengan surat kabar berbahasa Belanda, yang umumnya usia hidupnya jauh lebih lama, bahkan ada surat kabar berbahasa Belanda puluhan tahun dan bahkan mencapai usia satu abad seperti Java Bode.
Banyak factor yang menyebabkan surat kabar berbahasa Melayu tidak berumur
panjang. Sementara factor yang membuat surat kabar berbahasa Belanda berumur
panjang karena pengelolaannya lebih tertata baik dengan penyajian dan konten
lebih baik. Surat kabar berbahasa Belanda, sirkulasinya lebih luas, antara kota
dan bahkan hingga ke Belanda. Semua itu karena penggunaan bahasa Belanda yang
lebih standar dimana sasarannya adalah orang-orang Belanda atau orang yang bisa
berbahasa Belanda (termasuk pribumi). Yang tidak boleh dilupkan yang membuat
surat kabar berbahasa Belanda memiliki pemasukan nilai iklan yang stabil dan cenderung
meningkat dari waktu ke waktu dari berbagai perusahaan pamasang iklan. Hal
serupa ini yang hampir tidak dimiliki oleh surat kabar berbahasa Melayu. Sebab
pengguna bahasa Melayu sangat terbatas semakin jauh dari kota-kota yang
menyebabkan oplahnya sulit ditingkatkan. Pendapatan dari iklan yang minim diduga
menjadi factor utama mengapa usia surat kabar berbahasa Melayu adakalanya hanya
seumur jagung.
Surat kabar berbahasa Melayu, yang sejak awal, yang mana umumnya para wartawan dan redakturnya adalah orang-orang Eropa/Belanda yang ‘bisa’ berbahasa Melayu. Namun seiring dengan peningkatan animo penduduk pribumi untuk membaca surat kabar berbahasa Melayu, para pimpinan surat kabar berbahasa Melayu boleh jadi merasakan bahwa kehadiran orang pribumi di jajaran redaktur semakin diperlukan. Hal ini di satu sisi, kemampuan berbahasa Melayu mereka yang orang Eropa/Belanda tentulah ada yang lebih baik diantara orang-orang pribumi. Fakto permintaan dan penawaran inilah yang memicu investor Eropa/Belanda dalam surat kabar berbahasa Melayu membutuhkan orang pribumi yang piawai. Salah satu nama pribumi yang mendapat kesempatan itu adalah Hadji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda di Padang. Era pribumi sebagai pembaca berita di surat kabar, mulai terwujud dimana orang-orang pribumi dilibatkan/terlibat dalam pembuatan berita.
Siapa Dja Endar Moeda? Seperti dikutip di atas, Riwayat Dja Endar Moeda
hanya seadanya yang terinformasikan. Dalam hal ini dapat ditambahkan bahwa Dja Endar Moeda memulai sekolah guru
(kweekschool) di Padang Sidempoean tahun 1879. Salah satu guru terkenal di
sekolah itu adalah Charles Adriaan van Ophuijsen, guru sastra dan bahasa Melayu
(ingat ejaan Ophuijsen). Dja Endar Moeda lulus tahun 1884 yang kemudian
diangkat pemerintah sebagai guru (juga merangkap kepala sekolah) di Batahan
(afdeeling Natal, residentie Tapanoeli). Sebagai seorang guru lulusan sekolah
guru, Dja Endar Moeda mengatahui apa yang harus dilakukan, tidak hanya
mengajar, menulis buku pelajaran sendiri. Itu sudah barang tentu hasil asuhan
dari guru Charles Adriaan van Ophuijsen yang menjadi guru di Kweekschool Padang
Sidempoean selama delapan tahun dimana lima tahun terakhir menjadi direktur
sekolah (sebelum diangkat sebagai Inspektur Pendidikan Pantai Barat Sumatra di
Padang). Dja Endar Moeda sambal mengajar juga menulis buku-buku certita (roman)
dan pada tahun 1887 menjadi editor jarak jauh majalah Pendidikan/keguruan yang
diterbitkan di Pasoeroean. Dja Endar Moeda setelah bebrapa kali pindah sekolah, akhirnya Dja
Endar Moeda pensiun di Singkil (residentie Tapanoeli) dan kemudian berangkat
haji ke Mekkah. Sepulang
dari naik haji tahun 1893 Dja Endar Moeda memutuskan untuk bermukim di kota Padang. Namun guru tetaplah guru, di
kota Padang Dja Endar Moeda mendirikan sekolah (karena daya tamping sekolah
pemerintah terbatas dengan jumlah anak usia sekolah). Pada tahun 1895 investor
Eropa/Jerman di Padang berkolaborasi dengan dua orang yakni dengan mengajak Dja
Endar Moeda dan seorang Cina untuk mendirikan surat kabar berbahasa Melayu.
Surat kabar pertama dimana Dja Endar Moeda terlibat dalam pendirian surat kabar berbahasa Melayu di Padang adalah Pertja Barat, suatu surat kabar yang dibentuk baru di kota tersebut. Dja Endar Moeda di dalam Pertja Barat duduk sebagai editor bersama seorang Cina rekannya. Rekannya seorang Cina tidak bertahan lama karena harus pindah ke kota lain, sehingga satu-satunya di Pertja Barat yang berurusan denga isi dan teknis pemberitaan hanya Dja Endar Moeda. Dengan kapasitas Dja Endar Moeda yang terbilang mumpuni dan kebutuhan surat kabar bagi warga yang terus meningkat, surat kabar Pertja Barat cukup lama bertahan.
Dja Endar Moeda di Padang, diantara orang pribumi, terbilang yang
memiliki portofolio tertinggi. Pensiunan guru yang masih mendapat uang
pensiunan. Gaji sebagai kepala editor surat kabar Pertja Barat, pemilik sekolah
swasta di Padang dan tentu saja royalty dari buku-buku pelajaran dan buku-buku
umum yang ditulisnya serta royalty dari buku-buku romannya menjadi factor penting
pemukukan modal bagi Dja Endar Moeda. Hal apa yang dimiliki Dja Endar Moeda ini
menjadi prakondisi yang membuat Dja Endar Moeda melangkah maju kea rah pemilikan
media dan sekaligus percetakannya. Seorang jurnalis surat kabar memiliki mimpi sendiri
dengan mewujudkan menjadi pengusaha/investor di dalam dunia persuratkabaran.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Surat Kabar Pertja Barat dan Dja Endar Moeda: Pendidikan dan Jurnalistik Sama Pentingnya, Sama-Sama Mencerdaskan Bangsa
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar